Lian Hearn Kisah Klan Otori The Harsh Cry of The Heron Download Ebook Jar Lainnya Di http://zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net Dentang genta Gion Shoja mengumandangkan ketidakabadian segalanya. Warna bunga sala mengungkapkan kebenaran bahwa kemakmuran akan mengalami kemunduran. Keangkuhan tak akan bertahan lama, layaknya mimpi di malam musim semi Kekuasaan pada akhirnya akan jatuh, layaknya debu yang tertiup angin. TOKOH UTAMA : Otori Takeo penguasa Tiga Negara Otori Kaede istrinya Shigeko putri sulung mereka, pewaris Maruyama Maya putri Kembar mereka Miki Arai Zenko pemimpin Klan Arai, penguasa Kumomoto Arai Hana istrinya, adik Kaede Sunaomi dan Chikara anak mereka Muto Kenji ketua keluarga Muto dan Tribe Muro Shizuka pengganti dan keponakan Kenji, ibu dari Zenko dan Taku Muto Taku mata-mata Takeo Sada anggota Tribe sahabat Maya Mai adik dari Sada Yuki (Yusetyu) putri Kenji, ibu dari Hisao Muto Yasu pedagang Imai Bunta informan Shizuka Tabib Ishida suami Shizuka, tabibnya Takeo Sugita Hiroshi pengawal senior Maruyama Miyoshi Kahei panglima perang Takeo,penguasa Yamagata Miyoshi Gemba saudaranya Sonoda Mitsuru penguasa Inuyama Matsuda Shingen Kepala biara Terayama Kubo Makoto (Eiken) penggantinya,sahabat Takeo Minoru jurutulis Takeo Kurado Junpei Kurado Shinsaku pengawal Takeo Terada Fumio pemimpin angkatan laut Lord Kono putra Lord Fujiwara Saga Hideki jenderal Kaisar Don Joao orang asing, pedagang Don Carlo orang asing, pendeta Madaren penerjemah mereka Kikuta Akio ketua keluarga Kikuta Kikuta Hisao anaknya Kikuta Gosaburo paman Akio KUDA : Tenba kuda hitam pemberian Shigeko untuk Taeko Dua anak Raku, surai dan ekor mereka berwarna abu-abu Ryume kuda tunggangan Taku Keri kuda tunggangan Hiroshi Ashiege kuda tunggangan Shigeko "Cepat kemari! Ayah dan Ibu sedang bertarung!" Otori Takeo mendengar putrinya memanggil adik-adik-nya dari kediaman mereka di kastil Inuyama, dengan cara yang sama ia mendengarkan semua hiruk-pikuk baik di dalam kastil dan juga dari kota di luar kastil. Namun dia mengabaikan suara-suara itu, sama seperti ia mengabaikan nyanyian yang mengalun dari nightingale floor di bawah kakinya. Ia hanya berkonsentrasi pada lawannya: Kaede, istrinya. Mereka bertarung menggunakan tongkat: ia memang lebih tinggi, tapi istrinya terlahir kidal dan mampu menggunakan tangan kanan dengan sama baiknya. Sementara jari tangan kanannya putus karena tebasan belati bertahun-tahun lalu dan harus belajar meng-gunakan tangan kiri. Saat ini hari terakhir di tahun ini, hawa dingin menusuk, langit pucat kelabu, matahari musim dingin meredup. Mereka sering berlatih dengan cara ini di musim dingin: menghangatkan tubuh dan membuat sendi-sendi tetap lentur, dan Kaede suka putri-putrinya melihat bagaimana perem-puan mampu bertarung layaknya laki-laki. Ketiga putri mereka berlarian: Shigeko, si sulung. yang akan berusia lima belas lahun pada tahun baru ini, kedua adiknya tiga belas tahun. Papan lantai melantunkan nyanyian di bawah langkah kaki Shigeko, tapi si kembar menjejakkan kaki mereka begitu ringan dengan cara Tribe. Mereka sudah sering berlarian melintasi nightingale floor sejak kecil, dan tanpa menyadari belajar untuk membuatnya tidak bersuara. Kepala Kaede ditutupi selendang sutra merah yang dililitkan menutupi wajahnya, maka Takeo hanya bisa melihat matanya. Mata yang penuh dengan energi bertarung, dan gerakan-gerakannya masih cepat serta kuat. Sulit dipercaya Kaede adalah ibu dari tiga anak: dia masih bergerak dengan kekuatan dan kebebasan seorang gadis. Serangannya membuat Takeo menyadari akan usia dan kelemahan fisiknya. Hentakan serangan Kaede pada tongkat miliknya mem-buat tangannya terasa nyeri. "Aku mengaku kalah," ujar Takeo. "Ibu menang!" seru ketiga putrinya dengan bangga. Shigeko lari menghampiri ibunya dengan membawa handuk. "Untuk sang pemenang," ujarnya seraya mem-bungkuk dan menyodorkan handuk dengan dua tangan. "Kita harus bersyukur karena hidup dalam damai," tutur Kaede, seraya tersenyum dan menyeka wajahnya. "Ayah kalian belajar keahlian berdiplomasi dan tak perlu lagi ber-tarung mempertaruhkan nyawanya!" "Setidaknya kini aku sudah mendapat peringatan!" sahut Takeo, memberi isyarat pada salah satu penjaga, yang tengah menyaksikan dari taman untuk mengambil longkatnya. Halaman 448 dari 448 "Ijinkan kami bertarung melawan Ayah!" ujar Miki, si bungsu, dengan nada me-mohon. Dia berjalan ke tepian beranda dan mengacungkan kepalan tangan ke arah ayah-nya. Takeo berhati-hati untuk tidak menatap langsung mata atau menyentuh putrinya itu selagi memberikan tongkatnya. Takeo sadar akan rasa enggan dalam dirinya. Bahkan orang dewasa dan prajurit tangguh sekalipun, takut pada si kembar- bahkan, batinnya dengan hati pilu, ibunya sendiri juga takut. "Ayah ingin lihat apa saja yang telah dipelajari Shigeko," sahutnya. "Kalian berdua boleh menjajal kebolehannya." Selama beberapa tahun putri sulungnya menghabiskan sebagian besar waktu di Terayama, di bawah pengawasan mantan Kepala Biara, Matsuda Shingen, mantan guru Takeo, untuk mempelajari Ajaran Houou. Shigeko tiba di Inuyama sehari sebelumnya, untuk merayakan Tahun Baru bersama keluarganya, juga perayaan me-masuki usia akil balik. Kini Takeo memer-hatikan putrinya selagi mengambil tongkat yang tadi digunakannya serta meyakinkan kalau Miki menggunakan tongkat yang lebih ringan. Secara fisik, Shigeko mirip ibunya: bentuk tubuh ramping yang sama serta kerapuhan yang jelas terlihat, namun me-miliki karakter, berpengetahuan luas berkat latihan dan pengalaman, periang serta tegas dan tidak mudah berubah pendirian. Ajaran Houou amat keras dalam pengajarannya, dan guru-gurunya tidak membuat pengecualian untuk usia dan jenis kelamin, namun ia tetap menerima ajaran dan latihan yang diberikan, hari-hari panjang dalam kesendirian serta kcsunyian, dengan sepenuh hati. Dia ke Terayama atas kemnuannya sendiri, karena Ajaran Houou merupakan ajaran jalan kedamaian, dan sejak kecil Shigeko telah diajarkan ayahnya tentang pandangan untuk mewujudkan wilayah yang damai tempat kekcrasan tak pernah merajalela. Cara bertarungnya agak berbeda dari cara yang diajarkan kepada Takeo, dan dia sangat suka memerhatikan putrinya itu, menikmati bagaimana gerakan-gerakan tradisional menyerang diubah menjadi gerakan beladiri, dengan tujuan melemahkan lawan tanpa menyakiti. "Jangan curang," kata Shigeko pada Miki, karena si kembar memiliki semua kemampuan Tribe bahkan lebih, Takeo curiga. Saat ini, kemampuan mereka ber-kembang pesat, dan meskipun dilarang menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, terkadang godaan untuk memper-mainkan guruguru serta mengelabui para pelayan sulit untuk dibendung. "Mengapa aku tidak boleh memperlihatkan apa yang sudah kupelajari?" tanya Miki, karena dia juga baru kembali dari pelatihan-di desa Tribe bersama keluarga Muto. Kakaknya Maya akan kembali ke sana setelah perayaan. Akhir-akhir ini jarang sekali seluruh anggota keluarga bisa berkumpul bersama: pendidikan yang berbeda bagi tiap anak, tuntutan pada orangtua untuk mem-beri perhatian yang sama besarnya untuk seluruh Tiga Negara berarti perjalanan tanpa henti serta sering berjauhan. Tuntutan dalam pemerintahan kian meningkat: perundingan dengan orang asing; penjelajahan dan per-dagangan; pengembangan persenjataan; pengawasan distrik lokal yang mengatur sendiri administrasinya; percobaan pertanian; impor perajin asing dan teknologi baru; pengadilan untuk mendengarkan keluhan serta ketidakpuasan. Takeo dan Kaede memikul beban ini bersama. Kaede lebih banyak menangani wilayah Barat, sedang Takeo Negara Tengah dan keduanya bekerja-sama menangani wilayah timur, tempat adik Kaede, Ai beserta suaminya, Sonoda Mitsuru, memegang bekas wilayah Tohan. Miki setengah kepala lebih pendek dari kakaknya, tapi sangat kuat dan cepat; Shigeko tampak nyaris tak mampu meng-imbangi gerakannya, tapi adiknya tak mampu menembus pertahanannya. Dalam beberapa saat Miki sudah kehilangan tongkatnya, yang tampak seperti terbang melayang dari jemarinya, dan sewaktu tongkat itu membumbung tinggi Shigeko menangkapnya dengan mudah. "Kau curang!" Miki terengah-engah. "Lord Gemba yang mengajari," sahut Shigeko dengan bangga. Adik kembarnya yang satu lagi, Maya, mengambil giliran selanjutnya juga kalah dengan cara yang sama. Shigeko berkata, pipinya bersemu merah, "Ayah, ayo bertarung denganku!" "Baiklah," Takeo setuju karena terkesan dengan apa yang telah dipelajari putrinya dan ingin tahu sampai di mana kemampuannya menghadapi ksatria yang terlatih. Takeo menyerang putrinya dengan cepat, tanpa menahan tenaga, dan serangan pertama mengejutkan gadis itu. Tongkat ayahnya mengenai dadanya; Takeo menahan tikamannya agar tidak menyakiti putrinya. "Jika ini pedang, nyawamu pasti sudah melayang," ujarnya. "Lagi," sahut Shigeko dengan tenang, dan kali ini siap bersiap menghadapi serangan yang akan dilancarkan ayahnya; bergerak dengan kecepatan tanpa banyak tenaga, mengelak dari dua pukulan dan berhasil masuk ke sisi kanan ayahnya tempat tangan yang lebih lemah, menghentak sedikit, cukup untuk menggoyahkan keseimbangan ayah-nya, kemudian meliukkan tubuhnya. Tongkat milik Takeo jatuh ke tanah. Didengarnya helaan napas si kembar, dan para penjaga terperangah. "Bagus sekali," ujarnya. "Ayah tidak berusaha sekuat tenaga," sahut Shigeko kecewa. "Tentu saja ayah berusaha sekuat tenaga. Sama kuatnya seperti yang pertama tadi. Tapi, ayah sudah dibuat lelah oleh ibumu, juga karena sudah tua dan tidak sekuat dulu lagi!" "Tidak," pekik Maya. "Shigeko menang!" "Tapi itu sama saja kau curang," timpal Miki dengan serius. "Bagaimana kau melaku-kannya?" Shigeko tersenyum, menggelengkan kepala. "Itu yang harus kau lakukan dengan pikiran, jiwa serta tangan di saat bersamaan. Butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa menguasainya. Aku tidak bisa memperlihat-kannya begitu saja pada kalian." "Kau melakukannya dengan sangat baik," ujar Kaede. "Aku bangga." Nada suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman, seperti biasa hanya tertuju pada putri sulungnya. Si kembar saling benukar pandang. Mereka iri, pikir Takeo. Mereka tahu ibunya tidak memiliki kasih sayang yang sama kuatnya pada mereka. Dan dirasakan-nya debaran perasaan ingin melindungi yang tak asing lagi atas kedua putri kembarnya. Sepertinya ia selalu berusaha menjauhkan mereka dari segala yang bahaya-sejak mereka lahir, ketika Chiyo ingin menyingkir-kan bayi kedua, Miki, lalu membiarkannya mati. Ini tindakan yang biasa lakukan pada anak kembar karena anak kembar dianggap tidak wajar bagi manusia, membuat mereka kelihatan lebih mirip hewan, kucing atau anjing. "Mungkin tampak kejam bagi Anda, Lord Takeo," Chiyo memeringatkannya. "Tapi lebih baik bertindak sekarang daripada menanggung malu dan sial, sebagai ayah dari anak kembar, rakyat akan percaya kalau Anda menjadi sasarannya." "Bagaimana mereka bisa berhenti percaya pada takhayul dan kekejaman semacam itu bila bukan kita yang memberi contoh?" sahutnya dengan gusar karena bagi orang yang terlahir di kalangan kaum Hidden, ia sangat menghargai nyawa manusia lebih dari apa pun, dan tak percaya kalau memper-tahankan nyawa anak akan mendatangkan hinaan atau nasib buruk. Kemudian ia terkejul oleh kekuatan takhayul ini. Kaede pun bukannya tidak ter-pengaruh, dan sikapnya pada putri kembar-nya menggambarkan kegelisahannya yang bercabang. Dia lebih memilih mereka tinggal terpisah, satu atau yang lainnya biasanya tinggal bersama Tribe; dan Kaede tak meng-inginkan kehadiran mereka saat perayaan usia akil balik sang kakak, takut kalau kehadiran mereka akan mendatangkan nasib sial bagi Shigeko. Tapi Shigeko, yang sama protektifnya terhadap si kembar seperti ayah-nya, memaksa mereka harus hadir. Takeo senang dengan hal itu, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat semua anggota keluarga berkumpul bersama, berada dekat dengannya. Dipandanginya mereka semua dengan penuh kasih sayang, dan sadar kalau perasaan itu diambil alih oleh sesuatu yang lebih menggairahkan: hasrat untuk ber-baring bersama dan merasakan kulit istrinya. Pertarungan tongkat tadi telah membangkit-kan kenangannya saat pertama kali jatuh cinta pada Kaede, pertama kali mereka bertanding di Tsuwano sewaktu ia masih berusia tujuh belas tahun sedangkan Kaede lima belas tahun. Adu tanding itu ber-langsung di Inuyama, tepat di tempat yang sama hari ini, untuk pertama kalinya mereka tidur bersama, terdorong hasrat yang timbul dari keputusasaan juga kesedihan. Rumah yang lama, kastil milik Iida, nightingale floor yang pertama habis terbakar ketika Inuyama jatuh namun Arai Daiichi membangunnya kembali dengan cara yang hampir sama, dan kini menjadi salah satu dari Empat Kota yang termasyhur di penjuru Tiga Negara. Halaman 450 dari 450 "Anak-anak harus segera beristirahat," ujar Takeo, "karena perayaan di biara dimulai tengah malam, lalu ada Jamuan Makan Tahun Baru. Acara baru akan selesai pada Waktu Macan*. Aku juga ingin berbaring sebentar." "Akan kuminta agar tungku disiapkan di kamar," sahut Kaede, "sebentar lagi aku akan bergabung denganmu." Sinar matahari telah memudar saat Kaede mendatangi Takeo, dan malam musim dingin mulai menjelang. Meskipun ada tungku, hembusan napas Kaede membentuk kabut putih di tengah dinginnya udara. Selesai mandi, aroma kulit padi dan aloe dari air masih melekat di kulitnya. Di balik jubah tebal musim dingin tubuhnya terasa hangat. Takeo melepas sabuk istrinya lalu menyelinakan tangan ke balik pakaiannya, menarik tubuh Kaede agar berdekatan dengannya. Kemudian dilepasnya syal yang menutupi kepala Kaede lalu menarik, meng-usapkan tangannya di atas kulit lembut ber-bulu halus. "Jangan," ujar Kaede. "Buruk sekali." Takeo tahu kalau istrinya tak rela kehilangan rambut panjangnya yang indah, maupun bekas luka di tengkuk lehernya yang putih, yang mencoreng kecantikan yang pernah menjadi legenda sekaligus takhayul; tapi tidak nampak olehnya ketidaksempumaan tubuh istrinya, yang tampak hanyalah makin bertambahnya kerapuhan yang justru di matanya membuat sang istri semakin terlihat memesona. "Aku menyukainya. Seperti pemain sandiwara. Membuatmu kelihatan seperti laki-laki sekaligus perempuan, juga orang dewasa sekaligus anak-anak." "Kau juga harus perlihatkan bekas luka-mu." Kaede menarik sarung tangan sutra yang biasa dikenakan Takeo di tangan kanannya, lalu membawa sisa bekas jarinya yang putus ke bibirnya. "Apakah tadi aku menyakitimu?" "Tidak juga. Hanya sisa rasa sakit- pukulan seperti apa pun menyakitkan persendian dan membangkitkan rasa sakit-nya." Takeo bicara lagi dengan suara pelan, "Saat ini aku merasa kesakitan, tapi karena alasan lain." "Rasa sakit semacam itu bisa kusembuh-kan," bisik Kaede, seraya menarik tubuh suaminya, membuka diri pada Takeo, membawanya memasuki dirinya, memper-temukan hasrat mereka. "Kau selalu menyembuhkan diriku," ujar Takeo kemudian. "Kau membuat diriku utuh ." Kaede berbaring dalam dekapan Takeo, dengan kepala bersandar di bahunya. Pandangannya menjelajahi setiap sudut kamar. Cahaya lampu bersinar dari pegangan best, tapi di balik daun penutup jendela langit tampak kelam. "Mungkin tadi kau sudah memberiku seorang putra," ujar Kaede, tidak mampu menyembunyikan kerinduan dalam nada suaranya. "Kuharap tidak!" seru Takeo. "Dua kali hamil nyaris merenggut nyawamu. Lagipula kita tidak perlu anak laki-laki," imbuhnya dengan ringan. "Kita sudah punya tiga anak perempuan." "Aku pernah mengatakan hal yang sama pada ayahku," aku Kaede. "Aku percaya kalau diriku bernilai sama dengan laki-laki." "Begitu pula dengan Shigeko," sahut Takeo. "Dia akan mewarisi Tiga Negara, juga anak-anaknya kelak." "Anak-anaknya! Shigeko masih anak-anak. tapi sudah cukup dewasa untuk ditunangkan. Siapa orang yang bisa kita calonkan dengan-nya?" "Jangan terburu-buru. Shigeko seperti piala, perhiasan yang nyaris tak ternilai harganya. Kita takkan melepasnya dengan percuma." Kaede kembali pada pokok pembicaraan sebelumnya seolah hal itu menggerogoti dirinya. "Aku ingin memberimu anak laki-laki." "Meskipun dengan adanya pewarisanmu sendiri serta contoh dari Lady Maruyama! Kau masih saja bicara layaknya putri dari keluarga ksatria!" Halaman 451 dari 451 Kegelapan dan ketenangan membawa Kaede menyuarakan kecemasannya lebih jauh lagi. "Kadang aku berpikir si kembar menutup rahimku. Aku merasa andai mereka tidak dilahirkan aku akan dikaruniai anak laki-laki." "Kau terlalu banyak mendengar takhayul!" "Mungkin kau benar. Tapi apa yang akan terjadi pada anak kembar kita? Mereka tidak bisa mewarisi, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Shigeko, semoga Surga tidak mem-biarkan itu terjadi. Maka siapa yang akan dinikahkan? Tidak satu pun keluarga bangsawan atau ksatria mau menerima si kembar, terutama yang ternoda-maaf oleh darah Tribe serta kemampuan yang mirip ilmu sihir." Takeo tak bisa menyangkal bahwa hal yang sama juga mengganggu pikirannya, namun ia berusaha menyingkirkannya. Putri kembarnya masih amat muda: siapa yang tahu apa yang disiapkan nasib untuk mereka? Setelah beberapa saat, Kaede berkata pelan, "Tapi mungkin kita memang sudah terlalu tua. Semua orang penasaran mengapa kau tidak mengambil istri muda, atau selir, agar bisa punya lebih banyak anak." "Aku hanya menginginkan satu istri," sahut Takeo dengan sungguh-sungguh. "Perasaan apa pun yang pernah kuperlihat-kan untuk berpura-pura, peran apa pun yang kumainkan, cintaku padamu sederhana dan sejatj adanya-aku takkan bercinta dengan siapa pun selain kau. Pernah kukatakan padamu, aku pernah bersumpah pada Kannon di Ohama. Aku tidak melanggar sumpah itu selama enam belas tahun. Dan aku tak akan melanggamya sekarang." "Kurasa aku bisa mati cemburu," aku Kaede. "Namun perasaanku tidaklah penting dibandingkan kepentingan negara." "Aku percaya kita dipersatukan dalam cinta yang merupakan landasan pemerin-tahan kita yang baik. Aku tak akan merusak-nya," sahutnya. Takeo merengkuh Kaede lebih dekat lagi, mengusapkan tangannya di atas bekas luka leher istrinya, merasakan tulang rusuk yang mengeras dari jaringan yang tertinggal bekas luka bakar. "Selama kita bersatu, negara kita akan tetap damai dan kuat." Setengah mengantuk Kaede berkata, "Kau ingat saat kita berpisah di Terayama? Kau menatap mataku lalu aku jatuh tertidur. Aku tidak pernah menceritakan ini padamu. Aku bermimpi tentang Dewi Putih: dia berbicara padaku. Bersabarlah, katanya: dia akan menjemputmu. Kemudian satu kali lagi di Gua Suci kudengar suaranya mengatakan hal yang sama. Itu satu-satunya hal yang membuatku bertahan selama dikurung di kediaman Lord Fujiwara. Di sana aku belajar bersabar. Aku terpaksa belajar bagaimana harus menunggu, tidak melakukan apa-apa, agar ia tidak punya alasan untuk mencabut nyawaku, Setelah itu, saat dia mati, satu-satunya tempat yang terpikir olehku hanya-lah kembali ke gua suci, kembali pada sang dewi. Bila kau tidak datang, mungkin aku akan terus tinggal di sana melayani sang dewi sepanjang sisa hidupku. Lalu kau datang: aku melihatmu, begitu kurus, racun masih ber-sarang di tubuhmu, tangan indahmu hancur. Aku tak pernah melupakan saat itu; tangan-mu di atas leherku, salju turun, jeritan pilu sang bangau.... " "Aku tak layak mendapatkan cintamu," bisik Takeo. "Cintamu adalah anugerah terindah dalam hidupku, dan aku tak bisa hidup tanpa dirimu. Kau tahu, hidupku di-bimbing oleh ramalan... " "Kau pernah bilang. Dan kita sudah melihatnya terpenuhi: Lima Peperangan, campur tangan Surga- Akan kuceritakan sisanya sekarang, pikir Takeo. Akan kukatakan mengapa aku tidak menginginkan anak laki-laki, karena si peramal buta itu mengatakan hanya putraku yang bisa membawa kematian padaku. Akan kukatakan padanya tentang Yuki, dan anak yang dilahirkannya, putraku, yang kini berusia enam belas tahun. Namun ia tak ingin menyakiti istrinya. Untuk apa mengorek-ngorek masa lalu? Lima pertempuran telah menjadi bagian dari mitologi Otori, walaupun Takeo sadar hahwa ia yang memilih bagaimana menghitung semua pertempuran itu: bisa saja jumlah mencapai enam, empat atau tiga. Kata-kata bisa diubah dan dimanipulasi agar terkesan sarat makna. Bila suatu ramalan dipercaya, seringkali terpenuhi. Maka ia takkan mengeluarkan ramalan yang satu itu dalam kata-kata, karena dengan begitu justru meng-hidupkan ramalan itu. Dilihatnya Kaede hampir tertidur. Terasa hangat di bawah selimut, meskipun udara di wajahnya terasa dingin menusuk. Tak lama lagi ia sudah harus bangun, mandi serta ber-pakaian resmi dan menyiapkan diri untuk upacara menyambut datangnya Tahun Baru. Malam ini akan jadi malam yang panjang. Tubuhnya mulai terasa rileks, dan akhirnya ia pun tertidur.* Halaman 452 dari 452 Ketiga putri Lord Otori senang jalan ke kuil di Inuyama karena terdapat deretan patung anjing putih yang diselingi deretan batu tempat ratusan lampu dinyalakan di malam-malam perayaan besar. Kelap-kelip cahaya lampu menyinari patung-patung anjing hingga terlihat hidup. Udara cukup dingin hingga membuat wajah, jari tangan, dan kaki mati rasa, dan penuh dengan asap serta aroma dupa dan kayu pinus yang baru ditebang. Para peziarah pertama di Tahun Baru ini berkerumun di anak tangga curam menanjak menuju kuil. Lonceng besar berdentang, membuat Shigeko bergidik. Ibunya berada beberapa langkah di depan, berjalan ber-dampingan dengan Muto Shizuka, pen- damping kesayangannya. Suami Shizuka, tabib Ishida, sedang ke daratan utama. Sang tabib diperkirakan takkan kembali hingga musim semi. Shigeko senang Shizuka akan bersama mereka selama musim dingin karena dia salah satu dari sedikit orang yang di-hormati si kembar; dan Shigeko pikir, Shizuka pun menyayangi dan memahami mereka berdua. Si kembar berjalan mengapit Shigeko; sesekali beberapa orang dari kerumunan yang berada di sekeliling mereka menatap lalu menjauh, tak ingin tersentuh; tapi umumnya mereka tidak terlalu jelas terlihat di bawah sinar remang-remang. Shigeko tahu para penjaga ada di depan dan belakang mereka, dan putra Shizuka, Taku, bertugas menjaga ayahnya. Ia tahu kalau Shizuka dan ibunya membawa pedang pendek, dan ia pun menyembunyikan sebuah tongkat di balik jubahnya. Ia selalu mem-bawa tongkat karena berguna untuk me-lumpuhkan orang tanpa membunuh, seperti yang diajarkan Lord Miyoshi Gemba, salah seorang gurunya di Terayama. Setengah berharap ia akan sempat mencobanya, tapi sepertinya mereka takkan diserang di jantung Inuyama. Namun ada sesuatu di malam ini yang membuatnya waspada: bukankah guru-gurunya sering mengatakan bahwa ksatria harus selalu siaga agar kematian, baik kematian dirinya maupun lawannya, bisa terhindar? Mereka tiba di aula utama kuil, tempat Shigeko bisa melihat ayahnya yang tampak kerdil di antara atap tinggi dan patung raksasa dewa-dewa langit. Sulit dipercaya orang yang duduk resmi di depan altar adalah orang yang bertarung dengannya sore tadi di atas nightingale floor. Rasa sayang dan hormat yang mendalam pada ayahnya mengalir dalam diri Shigeko. Setelah mempersembahkan sesajian dan berdoa di depan Sang Pencerah, para perempuan berjalan ke kiri lalu berjalan lebih tinggi ke arah gunung menuju ke kuil sang maha pengampun, Kannon. Di sini para penjaga tetap berada di luar gerbang karena hanya perempuan yang diijinkan masuk ke pelataran. Ketika Shigeko berlutut di atas anak tangga kayu di depan patung yang berkilat, Miki menyentuh lengan kakaknya. "Shigeko," bisiknya. "Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?" "Di sini itu di mana?" Miki menunjuk ke ujung beranda, tempat seorang perempuan muda berjalan ke arah mereka dengan membawa semacam bingkisan: perempuan itu berlutut di hadapan Kaede lalu mengulurkan nampannya. "Jangan disentuh!" seru Shigeko. "Miki, ada berapa orang?" "Dua," jerit Miki. "Dan mereka membawa belati!" Saat itulah Shigeko melihat dua orang itu muncul dari udara, melompat ke arah mereka. Shigeko berteriak memeringatkan sambil mengeluarkan tongkatnya. "Mereka ingin membunuh Ibu!" pekik Miki. Tapi Kaede telah siaga pada seruan Shigeko yang pertama. Pedang sudah di tangannya. Gadis itu melempar nampan di depannya sambil menarik senjata miliknya, tapi Shizuka yang juga bersenjata, mem-belokkan serangan pertama, mematikan serangan gadis itu dengan membuat senjata-nya Halaman 453 dari 453 melayang di udara, kemudian berbalik menghadapi para penyerang laki-laki. Kaede mendekati perempuan itu dan meng-hempaskannya ke tanah, seraya mengunci lengannya. "Maya, di dalam mulutnya," seru Shizuka. "Jangan biarkan dia menelan racunnya." Perempuan itu melancarkan serangan dan tendangan, tapi Maya dan Kaede membuka paksa mulutnya dan Maya memasukkan jari ke dalam mulut, mencari-cari pil beracun lalu mengeluarkannya. Sabetan pedang Shizuka melukai salah satu penyerang laki-laki, dan darahnya berceceran di atas anak tangga dan di lantai. Shigeko memukul penyerang yang satunya lagi di bagian samping lehernya, seperti yang pernah dicontohkan Gemba, dan selagi si penyerang itu terhuyung, dihujamkannya tongkat ke arah selangkangannya, tepat ke bagian alat vitalnya. Tubuhnya melekuk, muntah karena kesakitan. "Jangan bunuh mereka," teriaknya pada Shizuka, tapi si penyerang yang terluka itu keburu kabur ke arah kerumunan. Para penjaga berhasil menangkapnya tapi tidak berhasil menyelamatkannya dari kemarahan kerumunan. Shigeko tidak terlalu kaget dengan serangan itu tapi lebih merasa heran dengan serangan yang ceroboh juga gagal itu. Ia mengira para pembunuh bayaran akan lebih mematikan, tapi ketika penjaga dating menghampiri ke pelataran untuk mengikat dua penyerang yang masih hidup dengan tali kemudian menggiring mereka pergi, tampak olehnya wajah mereka di bawah cahaya lentera. "Mereka masih muda! Tak jauh lebih tua dari usiaku!" Tatapan gadis itu beradu pandang dengan-nya. Tidak akan dilupakannya tatapan penuh kebencian itu. Itulah pertama kalinya Shigeko tersadar betapa ia sudah hampir melakukan pembunuhan, dan sekaligus lega dan bersyukur karena tidak mencabut nyawa kedua orang yang masih muda ini, yang nyaris sebaya dengan dirinya.* "Mereka putra-putrinya Gosaburo," kata Takeo tak Lama setelah memerhatikan mereka. Terakhir aku lihat mereka di Matsue, mereka masih bayi." Nama mereka tertulis dalam silsilah keluarga Kikuta, ditambahkan ke catatan Tribe yang dikumpul-kan Shigeru. Si pemuda, putra kedua Gosaburo bernama Yuzu, sedangkan yang perempuan bernama Ume. Dan yang tewas bernama Kunio, anak sulung, salah satu anak laki-laki yang pernah menjalani pelatihan bersama Takeo. Saat itu merupakan hari pertama di tahun baru. Para tawanan dibawa menghadap Takeo di dalam salah satu ruang tahanan di lantai paling bawah kastil Inuyama. Mereka berlutut di hadapannya, dengan wajah pucat tapi tanpa ekspresi. Tangan mereka diikat kencang ke belakang, tapi bisa dia lihat kalau pun lapar atau haus, tapi mereka tidak diperlakukan dengan kasar. Sekarang ia harus memutuskan apa yang harus dilakukan dengan mereka. Kemarahan sebelumnya atas serangan terhadap keluarganya diredakan oleh harapan bahwa kemungkinan situasi bisa berbalik menguntungkan baginya: kegagalan terbaru ini, setelah kegagalankegagalan yang se-belumnya, mungkin akhirnya bisa mem-bujuk keluarga Kikuta untuk menyerah, untuk bisa berdamai. Aku sudah terlalu berpuas diri, pikirnya. Aku yakin kalau aku kebal terhadap serangan mereka: aku tidak memperhitungkan mereka akan menyerang keluargaku. Ketakutan baru menyelimutinya saat teringat kata-katanya pada Kaede pada hari sebelumnya. Ia tak mampu mcmbayangkan bisa bertahan hidup jika istrinya tiada, kehilangannya; begitu pula dengan negara-nya. "Apakah mereka mengatakan sesuatu padamu?" tanyanya pada Muto Taku yang kini berusia dua puluh enam tahun, anak bungsu Muto Shizuka. Ayahnya dulu meru-pakan bangsawan besar, sekutu dan saingan Takeo, Arai Daiichi. Kakak Taku, Zenko, mewarisi wilayah kekuasaan ayahnya diBarat, dan Takeo ingin memberi Taku warisan dengan cara yang sama; tapi ditolaknya, seraya mengatakan Halaman 454 dari 454 bahwa dia tak ingin memiliki wilayah kekuasaan dan kehormatan. Dia lebih memilih bekerja dengan paman dari ibunya. Kenji, dalam mengendalikan jaringan mata-mata yang telah Takeo bangun melalui Tribe. Dia menerima pernikahan politis dengan gadis Tohan yang disukainya dan telah memberi-nya seorang putra dan seorang putri. Orang cenderung meremehkannya, yang justru disukainya. Sosok dan wajah Taku menurun dari keluarga Muto sedangkan Arai mewarisi keberanian dan kegagahannya, serta pada dasarnya menganggap hidup itu menyenang-kan dan pengalaman yang mengasyikkan. Taku tersenyum saat menjawab. "Tidak. Mereka menolak bicara. Aku hanya terkejut mereka masih hidup; kau tahu kalau Kikuta bunuh diri dengan menggigit lidah mereka sendiri! Tentu saja, aku belum berusaha sebegitu kerasnya untuk membujuk mereka." "Aku tidak harus mengingatkanmu kalau kekerasan dilarang di Tiga Negara." "Tentu saja tidak. Tapi apakah peraturan itu juga berlaku bahkan untuk Kikuta?" "Peraturan itu berlaku bagi semua orang," sahut Takeo ringan. "Mereka bersalah atas percobaan pembunuhan dan akan dieksekusi atas kesalahan itu pada akhirnya nanti. Untuk saat ini mereka tidak boleh diperlaku-kan dengan kasar. Akan kita lihat seberapa kuat keinginan ayah mereka agar anak-anaknya bisa kembali." "Mereka berasal dari mana?" selidik Sonoda Mitsuru, yang menikah dengan adik Kaede, Ai, dan meskipun keluarganya, Akita, dulunya adalah pengawal Arai, ia diyakinkan untuk bersumpah setia pada Otori dalam perdamaian besar-besaran setelah gempa. Sebagai imbalannya, dia dan Ai diberikan wilayah Inuyama. "Di mana bisa kau menemukan Si Gosaburo ini?" "Kukira di pegunungan di luar perbatasan wilayah timur," tutur Taku, dan Takeo melihat si gadis sedikit memicingkan mata. Sonoda berkata, "Maka untuk sementara waktu tidak mungkin mengadakan perundingan, karena salju pertama akan turun dalam minggu ini." "Musim semi nanti kita akan kirim surat pada ayah mereka," sahut Takeo. "Tidak ada salahnya membuat batin Gosaburo menderita memikirkan nasib anaknya. Bahkan mungkin membuatnya semakin ingin menyelamatkan mereka. Sementara itu, tetap rahasiakan identitas mereka dan jangan biarkan mereka berhubungan dengan orang lain selain kau." Didekatinya Taku. "Pamanmu berada di kota, kan?" "Ya; paman akan bergabung dengan kita di kuil untuk perayaan Tahun Baru, tapi kesehatannya sedang tidak baik, dan udara malam yang dingin menimbulkan kejang otot yang membuatnya batukbatuk." "Besok aku akan memanggilnya. Apakah dia berada di rumah lama?" Taku mengangguk. "Paman menyukai aroma pabrik pembuatan sake. Menurutnya udara di sana lebih mudah dihirup." "Kurasa sakenya juga ikut membantu." "Hanya ini kesenangan yang tersisa untuk-ku," ujar Muto Kenji, seraya mengisi cangkir Takeo dan memberikan botol sake kepada-nya. "Ishida memintaku mengurangi minum, mengatakan kalau alkohol buruk bagi paru paru, tapi... sake membuatku tetap ber-semangat dan membantuku agar bisa tidur." Takeo menuang sake yang bening serta keras ke cangkir gurunya yang sudah tua itu. "Ishida juga memintaku mengurangi minum sake," akunya saat mereka berdua menenggak habis minumannya. "Tapi bagiku sake meredakan rasa sakitku. Dan Ishida pun hampir tidak mengikuti sarannya sendiri, lalu mengapa kita harus mengikuti anjurannya?" "Kita adalah dua orang laki-laki tua," sahut Kenji, tertawa. "Siapa yang bisa mengira, melihatmu mencoba membunuhku tujuh belas tahun yang lalu di rumah ini, kalau kita akan duduk di sini saling mem-bandingkan penyakit?" "Bersyukurlah kita berdua masih hidup sampai saat ini!" timpal Takeo. Ia melihat ke sekeliling rumah yang dibangun begitu kuat dengan langit-langit tinggi, pilar kayu cedar dan beranda serta penutup Halaman 455 dari 455 jendela dari kayu cemara cypress. Rumah ini penuh kenangan. "Ruangan ini amat jauh lebih nyaman ketimbang lemari terkutuk tempat aku dikurung!" Kenji tertawa lagi. "Itu hanya karena kau bertingkah bak hewan liar! Keluarga Muto selalu menyukai kemewahan. Dan kini bertahun-tahun dalam kedamaian, per-mintaan akan produk buatan kami membuat kami sangat kaya raya, berkat kau, Lord Otoriku tercinta." Dinaikkan cangkirnya ke arah Takeo; mereka berdua minum lagi, kemudian mengisi lagi wadah mereka masingmasing. "Rasanya aku akan menyesal meninggal-kan semua ini, Aku sangsi masih bisa menyaksikan Tahun Baru." kata Kenji. Tapi kau-kau tahu orang bilang kalau kau tak bisa mati!" Takeo tertawa. "Tidak ada manusia yang tidak bisa mati. Kematian menantiku sama halnya seperti semua orang. Hanya saja waktuku belum tiba." Kenji adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu isi ramalan tentang Takeo, ter-masuk bagian yang dirahasiakannya: bahwa ia aman dari kematian kecuali di tangan putranya sendiri. Semua sisa ramalannya telah menjadi kenyataan, sampai tahap ini: lima pertempuran telah membawa kedamai-an di Tiga Negara, dan Takeo berkuasa dari ujung laut ke ujung laut lainnya. Gempa bumi yang menyengsarakan mengakhiri pertempuran terakhir serta menyapu habis pasukan Arai Daiichi, bisa digambarkan sebagai memenuhi keinginan Surga. Dan sejauh ini, tak seorang pun bisa membunuh Takeo, membuat ramalan yang terakhir ini semakin bisa di percaya. Takeo berbagi banyak rahasia dengan Kenji, yang dulu pernah menjadi gurunya di Hagi. Dengan bantuan Kenji, Takeo berhasil menembus kastil di Hagi dan membalaskan dendam atas kematian Shigeru. Kenji orang yang pintar, cerdik tanpa perasaan senti-mentil. Kenji adalah utusan dan juru runding yang baik, dan membuat Takeo sangat mengandalkannya. Kenji tidak punya hasrat lain di luar kegemarannya yang abadi pada sake dan perempuan dari rumah bordil setempat. Tampak tidak peduli pada harta benda, kekayaan maupun status. Mengabdi-kan hidupnya pada Takeo dan bersumpah untuk melayaninya; memiliki kasih sayang istimewa atas Lady Otori, yang dikaguminya; amat menyayangi keponakannya sendiri, Shizuka; dan rasa hormat pada putra Shizuka, Taku, ahli mata-mata; namun sejak kematian putrinya, Kenji semakin terasing-kan dari istrinya, Seiko, yang meninggal beberapa tahun lalu, dan tak memiliki baik ikatan cinta maupun kebencian dengan orang lain. Semenjak kematian Arai dan para lord Otori enam belas tahun yang lalu, Kenji bekerja dengan kesabaran dan cerdik terhadap tujuan Takeo: menarik semua sumber daya dan perangkat kekerasan ke tangan pemerintahan, mengendalikan kekuatan prajurit perseorangan dan kelompok bandit yang tak mengenal hukum. Kenjilah yang tahu keberadaan kelompok rahasia masyarakat kuno yang tidak diketahui Takeo-Kesetiaan pada Burung Bangau, Amarah Macan Putih, Jalan Sempit Ular- petani dan penduduk desa menggabungkan diri dalam kelompok masyarakat ini selama masa-masa anarkis. Kelompok ini kini dimanfaatkan dan terus dibangun agar masyarakatnya bisa mengatur masalah mereka sendiri di tingkat desa dan memilih sendiri pemimpinnya untuk mewakili mereka dan mengajukan tuntutan atas ketidakpuasan atau keluhan mereka di pengadilan tingkat propinsi. Pengadilan diatur oleh klas ksatria; anak laki-laki mereka dengan pola pikir yang tidak terlalu militer, dan terkadang juga anak perempuan, dikirim ke sekolah-sekolah besar di Hagi, Yamagata dan Inuyama untuk mempelajari etika pelayanan, pembukuan dan ekonomi, sejarah serta bahasa dan kesusastraan klasik. Saat kembali ke daerah asal, mereka memegang jabatan tertentu, diberi status dan penghasilan yang cukup: mereka bertanggung jawab langsung kepada tetua dari setiap klan, tanggung jawab yang sama juga dipikul pemimpin klan; para pemimpin klan ini bertemu Takeo dan Kaede secara teratur untuk membahas soal kebijakan, menentukan besarnya pajak serta mempertahankan pelatihan dan perlengkapan pasukan. Setiap daerah harus menyediakan sejumlah orang icrbaik untuk pasukan pusat: separuh tentara, dan sepa-ruh lagi petugas keamanan yang bertugas menangani bandit dan penjahat lainnya. Kenji menangani semua administrasi dengan trampil, mengatakan kalau cara ini mirip hirarki Tribe- hanya saja ada per-bedaan yang mendasar: kekerasan dilarang, dan membunuh serta menerima suap di-ancam hukuman mati. Aturan yang terakhir terbukti paling sulit dilaksanakan. Tribe mendapat cara untuk menghindar, tapi mereka tidak bertransaksi dalam jumlah besar atau memamerkan kekayaan. Makin kuatnya usaha Takeo membasmi korupsi membawa hasil, korupsi dan suap makin berkurang. Lalu bentuk praktik yang lain berjalan: praktik tukar menukar hadiah dalam bentuk Halaman 456 dari 456 keindahan dan selera, di mana nilainya tersembunyi. Hal ini menyebabkan datang-nya para perajin dan seniman ke Tiga Negara, bukan hanya mereka yang berasal dari Delapan Pulau tapi juga dari negeri-negeri di daratan utama, Silla, Shin dan Tenjiku. Setelah gempa mengakhiri perang di Tiga Negara, para ketua dari keluarga dan klan yang masih hidup bertemu di Inuyama dan menerima Otori Takeo sebagai pemimpin mereka. Semua pertikaian karena hubungan darah yang menentang Takeo maupun per-cekcokan antara mereka sendiri dinyatakan berakhir. Terjadi pemandangan yang meng-harukan saat para ksatria saling berdamai setelah puluhan tahun bermusuhan. Namun Takeo dan Kenji menyadari bahwa ksatria terlahir untuk bertarung: masalahnya, mereka akan bertarung melawan siapa? Dan jika mereka tidak bertarung, bagaimana menyibukkan mereka? Beberapa prajurit menjaga perbatasan di wilayah Timur, tapi hanya terjadi sedikit peristiwa dan musuh utama mereka adalah rasa jenuh; beberapa yang lainnya men-dampingi Terada Fumio dan tabib Ishida dalam perjalanan penjelajahan mereka, melindungi kapal dagang di laut dan toko serta gudang mereka di pelabuhan yang jauh; yang lainnya mengikuti lomba yang dibuat Takeo untuk keahlian berpedang dan memanah; sedang yang lainnya dipilih untuk mengikuti jalan utama dari pertarungan: penguasaan diri, Ajaran Houou. Ajaran Houou bermarkas di Biara Terayama yang dipimpin kepala biara Matsuda Shingen dan Kubo Makoto. Ajaran ini hanya dapat diikuti segelintir laki-laki- dan perempuan-dengan kekuatan fisik dan mental yang hebat. Keahlian Tribe adalah bakat dari lahir-pendengaran dan peng-lihatan yang sangat kuat, kemampuan menghilang, penggunaan sosok kedua-tapi sebagian besar manusia memiliki kemampu-an seperti ini namun belum terasah. Menemukan dan memurnikan kemampuan seperti inilah yang menjadi inti Ajaran Houou, mengambil nama burung suci yang bersarang jauh di dalam hutan-hutan di sekitar Terayama. Sumpah pertama yang dilakukan para ksatria yang terpilih ini yaitu tidak mem-bunuh, baik nyamuk atau pun manusia, bahkan demi membela diri. Kenji meng-anggap itu aturan yang gila karena dia sering menikam jantung orang, membunuh dengan garotte, menyisipkan racun ke dalam cangkir, mangkuk atau bahkan langsung ke orang yang tidur dengan mulut menganga. Berapa banyak? Dia tak bisa menghitungnya lagi. Tak ada penyesalan atas mereka yang telah dikirimnya ke alam baka- cepat atau lambat manusia juga akan mati. Dia melihat bahwa larangan membunuh ternyata jauh lebih berat daripada keputusan untuk membunuh. Dia tak kebal dengan kedamaian dan kekuatan spiritual Terayama. Akhir-akhir ini kesenangan terbesarnya yaitu menemani Takeo di sana dan menghabiskan waktu bersama Matsuda dan Makoto. Disadarinya kalau akhir hidupnya sudah dekat. Ia sudah tua; kesehatan dan kekuatan-nya makin memburuk: selama berbulan bulan paru-parunya terasa makin lemah dan seringkali muntah darah. Takeo berhasil menjinakkan baik Tribe maupun para ksatria: hanya Kikuta yang masih bertahan menentangnya. Kikuta bukan hanya berusaha membunuhnya tapi juga bersekutu dengan ksatria yang kurang puas, melakukan pembunuhan secara acak dengan harapan menggoyahkan kestabilan masyarakat, menyebarkan desas-desus. Takeo angkat bicara lagi, lebih serius. "Serangan yang terakhir ini membuatku jauh lebih waspada karena ditujukan pada keluargaku, bukan diriku. Jika istri atau anakku mati, itu akan menghancurkan diriku, dan Tiga Negara." "Kurasa itulah tujuan Kikuta," sahut Kenji ringan. "Kapan mereka akan berhenri?" "Akio takkan berhenri. Kebenciannya padamu hanya akan berakhir dengan kematiannya-atau kematianmu. Dia telah mengabdikan hidupnya demi tujuannya itu." Wajah Kenji berubah tenang dan bibinya berkerut menggambarkan kegetiran. Ia minum lagi. "Tapi Gosaburo seorang pedagang dan pragmatis: dia akan ketakutan setengah mati bila kehilangan anak-anaknya-satu putranya telah tewas, dan nasib dua lainnya ada di tanganmu. Mungkin kita bisa memberinya sedikit tekanan." "Kupikir juga begitu. Kita akan biarkan dua anaknya yang tersisa tetap hidup hingga musim semi, kemudian melihat apakah ayah mereka siap untuk berunding." "Mungkin sementara ini kita juga bisa mengorek keterangan yang berguna dari keduanya," gerutu Kenji. Takeo menaikkan pandangannya ke arah Kenji melalui pinggiran cangkir. Halaman 457 dari 457 "Baiklah, baiklah, lupakan saja aku pernah mengatakannya," gerutu laki-laki tua itu. "Tapi kau bodoh bila tidak menggunakan cara sama seperti yang digunakan musuh-musuhmu." Digelengkan kepalanya. "Aku berani bertaruh kalau kau masih juga menyelamatkan laron dari lilin. Kelembutan itu tidak pernah hilang." Takeo tersenyum tipis tapi tidak mem-bantahnya. Sulit rasanya untuk keluar dari apa yang pernah diajarkan padanya sewaktu ia masih kecil. Hasil didikan di antara kaum Hidden telah membuatnya teramat sangat enggan untuk mencabut nyawa manusia. Namun sejak berusia enam belas tahun nasib membimbingnya ke jalan hidup ksatria: menjadi pewaris sebuah klan besar dan sekarang menjadi pemimpin Tiga Negara; ia harus belajar menjalani hidup dengan ajaran pedang. Lebih jauh lagi, Tribe, Kenji sendiri, mengajarkan padanya berbagai cara untuk membunuh dan pernah berusaha memadam-kan sifat welas asih dalam dirinya. Dalam perjuangannya membalaskan dendam Shigeru dan menyatukan Tiga Negara dalam kedamaian, ia melakukan begitu banyak tindak kekerasan, banyak di antaranya amat disesalinya, sebelum belajar cara menyeimbangkan antara kekerasan dan welas asih, sebelum kemakmuran dan stabilitas negara serta peraturan hukum memberikan pilihan dengan cara yang diinginkan pada konflik kekuasaan yang buta antar klan. "Aku ingin bertemu dengan bocah itu lagi," ujar Kenji tiba-iiba. "Mungkin ini akan menjadi kesempatan terakhir bagiku." Ditatapnya Takeo lekat-lekat. "Kau telah memutuskan apa yang harus kita lakukan padanya?" Takeo menggeleng. "Aku tidak bias mengambil keputusan. Apa yang bisa kulakukan? Kemungkinan besar keluarga Muto-kau- menginginkannya kembali, kan?" "Tentu. Tapi Akio mengatakan pada istri-ku, yang berhasil menghubunginya sebelum mati, bahwa lebih baik dia yang bunuh anak itu ketimbang menyerahkannya, baik ke tangan Muto atau ke tanganmu." "Bocah yang malang. Didikan apa yang didapatkannya!" seru Takeo. "Ya, Tribe membesarkan anak-anak mereka dengan didikan yang sangat keras," sahut Kenji. "Apakah dia tahu kalau aku ayahnya?" "Itu salah satu hal yang bisa kucari tahu." "Kau kurang sehat untuk misi semacam ini," kata Takeo dengan nada enggan, karena ia tak bisa memikirkan ada orang lain yang bisa melakukannya. Kenji menyeringai. "Kesehatanku yang buruk justru menjadi alasan mengapa aku harus pergi. Bila aku tidak sempat melihat tahun ini berakhir, maka sekalian saja kau manfaatkan diriku ini! Lagipula, aku ingin bertemu dengan cucuku sebelum aku mati. Aku akan berangkat saat salju mulai men-cair." Sake, penyesalan dan kenangan meluapkan perasaan haru Takeo. Ia berdiri lalu me-rangkul gurunya yang sudah tua itu. "Sudah, sudah!" ujar Kenji, menepuk-nepuk bahunya. "Kau tahu betapa bencinya aku bila menunjukkan perasaan seperti ini. Sering-seringlah datang dan temui aku sepanjang musim dingin ini. Kita akan masih punya kesempatan untuk adu minum sake bersama. "* Anak laki-laki itu, Hisao, kini telah berusia enam belas tahun. Wajahnya tidak mirip orang yang dipercaya sebagai ayahnya, Kikuta Akio, maupun ayah kandungnya yang belum pernah dilihatnya. Tidak mewarisi ciri fisik Muto, keluarga ibunya, maupun keluarga Kikuta-dan kian lama kian jelas terlihat kalau dia tak mewarisi kemampuan magis Tribe. Pendengarannya tak lebih peka dibandingkan anak seusianya; dia pun tak memiliki kemampuan menghilang. Pelatihan sejak kecil membuat fisiknya kuat dan gesit, namun tak bisa melompat atau pun terbang seperti ayahnya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukannya agar orang tertidur yaitu rasa bosan karena dia jarang bicara. Andai dia buka mulut, Halaman 458 dari 458 bicaranya pelan, tersendat-sendat, tanpa ada tanda-tanda kecerdasan atau kreativitas. Akio adalah Ketua Kikuta, keluarga ter-besar dalam Tribe, yang menguasai berbagai kemampuan serta bakat yang kini mulai lenyap. Sejak kecil Hisao sudah menyadari kekecewaan ayahnya pada dirinya. Karena Tribe membesarkan anak mereka dengan cara sangat keras, melatih mereka dengan kepatuhan mutlak, bertahan me-nahan lapar, haus, panas, dingin dan rasa sakit yang luar biasa, serta melenyapkan semua perasaan, simpati maupun welas asih. Akio sangat keras pada putra tunggalnya itu dan tak pernah menunjukkan pengertian maupun kasih sayang. Perlakuan Akio yang kejam, bahkan mengejutkan kerabatnya sendiri. Tapi Akio adalah Ketua keluarga, penerus pamannya, Kotaro, yang mati di Hagi oleh Otori Takeo dan Muto Kenji. Dan sebagai Pimpinan, Akio bisa bertindak sesuka hati; tak seorang pun bisa meng-kritiknya. Akio tumbuh menjadi laki-laki sinis dan susah ditebak. Dia selalu menyalahkan Otori Takeo atas terpecah-belahnya Tribe, kematian Kotaro yang disayangi, serta kematian pesumo tangguh, Hajime, serta banyak kematian lainnya. Keluarga Kikuta dikejar-kejar sehingga mereka keluar dari Tiga Negara untuk pindah ke Utara, meninggalkan usaha mereka yang meng-hasilkan banyak uang. Anak-anak Kikuta tidur dengan kaki mengarah ke Barat, dan saling menyapa dengan kalimat, "Apakah Otori sudah mati?" dan dibalas dengan, "Belum, tapi tak lama lagi." Konon kabarnya kematian istrinya, Muto Yuki, dan kematian Kotaro yang membuat Akio begitu penuh dendam dan hidup dalam kebencian. Para tetua mengatakan kalau Yuki meninggal karena demam setelah melahir-kan, tapi tampaknya Hisao sudah tahu yang sebenarnya: ibunya mati diracun. Dapat dilihatnya kejadian itu dengan jelas, seolah menyaksikan dengan mata bayinya yang masih belum fokus. Keputusasaan dan kemarahan ibunya, kesedihan karena harus meninggalkan putranya; penolakan ibunya saat dipaksa menelan pil racun; jerit dan tangis ibunya; seringai puas Akio karena sebagian dendamnya terlaksana; penderitaan dan kenikmatan keji yang dirasakan Akio menjadi awal mula tenggelamnya dia dalam kekejaman. Hisao merasakan ini seiring ia tumbuh dewasa; tapi lupa bagaimana ia tahu itu. Apakah ia memimpikannya, atau ada yang menceritakannya? Ia ingat ibunya lebih jelas dari yang seharusnya- usianya baru beberapa hari saat ibunya meninggal-dan menyadari adanya hubungan dirinya dengan sang ibu. Seringkali ia merasakan kalau ibunya meng-inginkan sesuatu darinya, tapi ia takut men-dengarkan karena itu berarti ia membuka diri memasuki alam baka. Antara kemarahan si hantu dan rasa enggan dalam dirinya, kepala-nya terasa seperti terbelah karena rasa sakit. Itu sebabnya dia mengetahui kemarahan ibunya dan sakit hati ayahnya, dan itu membuat ia benci sekaligus iba pada Akio. Hal-hal buruk yang terjadi di antara mereka berdua yang setengah menakutkan, setengah diharapkan, karena hanya saat itulah ada orang yang memeluknya atau kelihaian membutuhkan dirinya. Hisao tidak pernah menceritakannya sehingga tak seorang pun tahu satu bakat Tribe yang telah hilang selama beberapa generasi ternyata ada pada dirinya. Kemampuan mengarungi dua dunia, men-jadi penghubung antara arwah dengan orang yang masih hidup. Anugerah semacam ini semestinya diasah dan pemiliknya akan ditakuti serta dihormati; tapi Hisao tak tahu cara mengatur bakatnya ini; apa yang dilihatnya di alam baka tampak berkabut dan sulit dimengerti: ia tidak mengetahui simbol dan bahasa untuk berkomunikasi dengan arwah. Ia hanya tahu kalau hantu itu adalah ibunya yang mati dibunuh. Meskipun Hisao suka membuat kerajinan tangan, dan menyukai hewan, namun ia merahasiakannya. Sekali dia terlihat meng-elus seekor kucing, yang kemudian ia lihat hewan malang itu digorok ayahnya di hadapannya. Roh kucing itu juga sesekali seperti menjerat Hisao dari dunianya, dan lolongan yang memusingkan terdengar makin keras hingga ia tak percaya kalau orang lain tak mendengarnya. Ketika alam baka membuka jalan dan mengajaknya masuk, kepalanya luar biasa sakit, dan satu sisi matanya menjadi gelap. Satu-satunya cara meredakan rasa sakit dan suara-suara si kucing serta si hantu perempuan adalah membuat benda-benda dengan tangannya. Ia membangun kincir air dan orang-orangan dari bambu untuk menakuti rusa, seolah pengetahuan itu sudah ada dalam darahnya. Ia dapat membuat ukiran kayu berbentuk hewan yang begitu hidup hingga tampak seperti hewan yang disihir menjadi patung. Ia menyukai semua aspek penempaan: mem-buat besi dan baja, pedang, pisau serta ber-bagai peralatan. Halaman 459 dari 459 Keluarga Kikuta ahli membuat senjata, terutama sen-jata rahasia Tribe-pisau lempar, jarum, belati kecil dan sebagainya- tapi mereka tak tahu cara membuat senjata yang disebut senjata api. Senjata yang digunakan Otori begitu dirahasiakan cara buatnya hingga membuat orang iri. Keluarga Kikuta terpecah untuk memiliki senjata itu. Ada yang beranggapan senjata itu meng-hilangkan semua kemampuan dan ke-nikmatan dalam membunuh, kalau cara tradisional lebih bisa diandalkan; sementara yang lainnya beranggapan kalau ingin menyingkirkan Otori, mereka harus me-nyeimbangkan kekuatan dengan memiliki senjata yang sama. Namun usaha mereka untuk mendapatkan senjata api selalu gagal. Otori membatasi penggunaan senjata ini hanya untuk sekelompok kecil orang: setiap pucuk senjata api yang ada di negara ini dihitung. Jika ada yang hilang, si pemilik harus membayar dengan nyawanya. Senjata ini pernah sekali digunakan orang barbar. Sejak itu semua orang barbar digeledah ketika datang, senjata-senjata mereka dirampas dan mereka hanya boleh berdagang di pelabuhan Hofu. Tapi berbagai laporan tentang pembunuhan yang memakan banyak korban jiwa terbukti sama efektifnya dengan senjata itu sendiri: semua musuh Otori, termasuk Kikuta, berusaha mendapatkan senjata itu dengan cara mencuri, berkhianat, atau mencari sendiri. Senjata-senjata milik Otori bentuknya panjang, berat serta tidak praktis: kurang prakris menurut cara pembunuhan yang dibanggakan Kikuta. Senjata-senjata itu tak bisa disembunyikan dan digunakan dengan cepat; bila terkena air maka senjata itu tak berguna. Hisao mendengar ayahnya dan seorang laki-laki yang lebih tua membahas benda ini, dan ia membayangkan senjata api yang kecil dan ringan, yang bisa di-sembunyikan di balik pakaian dan tak ber-suara, senjata yang bahkan tak mampu dilawan Otori Takeo. Setiap tahun ada saja pemuda yang ingin menjadi pahlawan, atau orang tua yang ingin mati terhormat yang pergi hendak mem-bunuh Otori Takeo untuk membalaskan kematian Kikuta Kotaro dan anggota Tribe lainnya. Mereka tak pernah kembali: kabar tentang tertangkapnya mereka datang beberapa bulan kemudian. Mereka disidang di depan umum yang disebut sebagai pengadilan Otori, dan dieksekusi. Ada kalanya Otori Takeo dilaporkan ter-luka sehingga harapan mereka membumbung tinggi, tapi dia selalu sembuh, bahkan dari racun, seperti pulihnya dia dari belati beracun milik Kotaro. Mendengar desas-desus kalau Otori tak bisa mati membuat kebencian serta kegeriran Akio semakin ber-tambah. Akio mulai bersekutu dengan musuh Takeo lainnya, menyerangnya melalui istri atau anak-anaknya. Tapi cara ini juga terbukti gagal. Keluarga Muto yang sudah bersumpah setia pada Otori telah menggandeng keluarga Tribe lainnya: Imai, Kuroda dan Kudo. Sejak keluarga Tribe melakukan perkawinan campuran, banyak pengkhianat yang memiliki darah Kikuta, diantaranya adalah Muto Shizuka serta kedua putranya, Taku dan Zenko. Taku seperti ibu dan paman buyutnya, mempunyai banyak kemampuan, memimpin jaringan mata-mata dan melindungi Otori; sementara Zenko, yang kurang berbakat, bersekutu dengan Otori melalui pernikahan: mereka bersaudara ipar. Belakangan sepupu Akio, dua putra Gosaburo, diutus bersama saudari perempuan mereka ke Inuyama tempat keluarga Otori merayakan Tahun Baru. Mereka berbaur dalam kerumunan di biara dan mencoba menikam Lady Otori dan putri-putrinya. Apa yang terjadi setelah itu tidak jelas, lapi ternyata para perempuan yang menjadi sasaran berhasil mempertahan-kan diri dengan kekejaman yang tak terduga: salah satu penyerang, putra sulung Gosaburo, terluka dan dipukuli sampai mati oleh kerumunan orang. Sedang yang lainnya berhasil ditangkap dan dibawa ke kastil Inuyama. Tak ada yang tahu apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Kehilangan tiga anggota muda yang ada hubungan erat dengan sang Ketua merupa-kan pukulan berat. Karena hingga musim semi tiba masih belum ada kabar tentang kedua orang yang ditawan, Kikuta menduga mereka sudah mati. Ritual pemakaman mulai diatur dalam kedukaan yang mendalam karena tak ada jenazah yang bisa dibakar dan tak ada abu jenazah. Suatu sore Hisao bekerja seorang diri di sepetak kecil sawah, jauh di kedalaman pegunungan. Selama malam-malam di musim dingin yang panjang, ia telah me-mikirkan cara mengaliri sawah dengan me-manfaatkan kincir air. Ia menghabiskan musim dingin membuat ember dan tali: embernya dibuat dari bambu yang paling ringan dan talinya diperkuat dengan batang tanaman rambat yang cukup kaku untuk bisa mengangkat ember kincir. Hisao tengah berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, tiba-tiba katak terdiam. Ia tengok kanan-kiri. Tak ada orang, tapi ia tahu ada orang yang menggunakan kemampuan menghilang Tribe. Halaman 460 dari 460 Mengira itu hanya salah satu anak yang datang membawa pesan, dia berseru, "Siapa di sana?" Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dengan usia tak bisa diperkirakan dan berpenampilan biasa berdiri di hadapannya. Tangan Hisao segera bergerak ke arah pisaunya karena yakin ia belum mengenal orang itu. Sosok laki-laki itu bergoyang-goyang selagi meng-hilang. Hisao merasakan jari-jari yang tak terlihat memiting pergelangan tangannya dan ototnya langsung terasa lumpuh saat telapak tangannya terbuka dan pisaunya terjatuh. "Aku takkan menyakitimu," ujar orang itu, dan menyebut namanya dengan cara yang membuat Hisao percaya padanya, dan dunia ibunya menyelubungi ambang batas dunianya; dirasakan kebahagiaan dan pendcritaan ibunya dan pertanda pertama dari sakit kepalanya serta kemampuan melihat separuh dari dua dunia yang ber-beda. "Siapa kau?" bisiknya, segera menyadari kalau orang mi dikenal ibunya. "Kau bisa melihatku?" sahut laki-laki itu. "Tidak. Aku tak memiliki kemampuan menghilang, maupun mengenalinya." "Tapi tadi kau mendengarku mendekat, kan?" "Hanya dari katak. Aku mendengarkan mereka. Tapi aku tak bisa mendengar dari jauh. Aku tidak tahu orang yang bias melakukannya di kalangan Kikuta saat ini." Ia heran telah bersikap biasa dan bebas pada orang yang belum dikenalnya. Orang itu kembali menampakkan diri dalam jarak serentangan tangan dari wajah Hisao. Sorot matanya tajam dan kelihatan penuh selidik. "Kau tidak memiliki satu pun kemampuan Tribe?" tuturnya. Hisao mengangguk, kemudian mengalih-kan pandangannya ke seberang lembah. "Kau bcrnama Kikuta Hisao, putra Akio?" "Ya, dan ibuku bemama Muto Yuki." Ekspresi wajah orang itu agak berubah, dan dirasakan reaksi penyesalan serta rasa iba ibunya. "Sudah kuduga. Kalau begitu, aku kakek-mu: Muto Kenji." Hisao menyerap semua keterangan ini. Sakit kepalanya kian menjadi-jadi: Muto Kenji adalah pengkhianat, kebencian Kikuta pada orang ini hampir sama besarnya seperti kebencian pada Otori Takeo, namun kehadiran ibunya terasa membebani dirinya dan bisa dirasakan ibunya memanggil, "Ayah!" "Apa itu?" tanya Kenji. "Bukan apa apa. Kadang-kadang kepalaku sakit. Aku sudah biasa. Mengapa kau kemari? Kau akan dibunuh. Seharusnya aku mem-bunuhmu, tapi kau bilang kalau kau kakek-ku, lagipula aku tidak ahli membunuh." Pandangannya turun menatap ke konstruksi yang tengah dikerjakannya. "Aku lebih suka membuat benda-benda." Betapa anehnya, pikir orang tua itu. Dia tidak punya kemampuan apa pun, baik dari ayah maupun dan ibunya. Rasa kecewa dan lega menyapu dirinya. Mirip siapa dia? Tidak mirip Kikuta, Muto, maupun Otori. Dia pasti mirip ibunya Takeo, berkulit gelap dan berwajah lebar. Kenji menatap bocah di hadapannya dengan tatapan iba, tahu betapa kerasnya masa kanak-kanak di Tribe, apalagi pada mereka yang tak berbakat. Jelas sekali Hisao punya beberapa kemampuan: benda itu dibuat dengan kreatif dan dengan keahlian tinggi. Dan ada sesuatu yang lain pada dirinya, gerakan matanya yang cepat menun-jukkan kalau dia bisa melihat hal lain. Apa yang bisa dilihatnya? Pemuda ini berbadan sehat, agak lebih pendek dari Kenji sendin tapi kuat, dengan kulit mulus tanpa cacat dan rambut tebal serta mengkilap, mirip rambut Takeo. "Mari kita temui Akio," ajak Kenji. "Ada yang aku sampaikan padanya." Ia tidak bersusah payah menyembunyikan sosoknya selagi mengikuti bocah itu menuruni jalan setapak dari atas gunung menuju desa. Sadar kalau akhirnya ia akan dikenali juga-siapa lagi yang bisa sampai sejauh ini, menghindari para penjaga di gerbang, bergerak tak terlihat dan tak terdengar melewati hutan?-dan juga Akio harus tahu kalau ia datang sebagai utusan Takeo. Halaman 461 dari 461 Perjalanan itu membuat napasnya terasa sesak, dan saat berhenti sebentar di tepi sawah yang penuh air, terasa ada darah di tenggorokannya. Tubuhnya terasa lebih panas dari yang semestinya. Langit berubah keemasan saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Pematang sawah berwarna cerah dengan bunga liar, vicia, buttercup, dan bunga krisan, dan cahaya matahari jatuh di sela-sela hijaunya dedaunan. Suasana terasa dipenuhi musik musim semi, nyanyian burung, katak serta jangkrik. Bila hari ini memang ditakdirkan menjadihari terakhir hidupku, maka tak ada hari yang lebih indah daripada hari ini, pikir kenji dengan sedikit bersyukur, dan merasakan dengan lidahnya kapsul beracun yang terselip rapi di bekas rongga gigi gerahamnya yang sudah tanggal. Kenji belum tahu tempat istimewa ini sebelum Hisao lahir, enam belas tahun lalu- dan butuh waktu lima tahun untuk menemukannya. Sejak saat itu, sesekali ia mengunjungi tempat ini tanpa diketahui penghuninya, dan mendapatkan laporan tentang Hisao dari Taku, keponakan buyutnya. Tempat ini sama seperti kebanyakan desa Tribe: tersembunyi di dalam lembah seperti lipatan kecil dalam barisan pegunungan. Pada kunjungan yang pertama ia sempat terkejut melihat ada lebih dari dua ratus orang di desa itu. Tapi kemudian ia tahu kalau keluarga Kikuta mundur ke tempat ini sejak dikejar Takeo. Mereka membangun desa di utara ini sebagai markas, jauh dari jangkauan Takeo, walaupun tidak di luar jangkauan mata-matanya. Hisao tidak berbicara pada siapa pun saat mereka berjalan di antara rumah kayu beratap rendah, dan meskipun beberapa anjing melompat-lompat penuh semangat ke arahnya, dia tak berhenti. Ketika sampai di bangunan yang paling besar, orang ber-kumpul di belakang mereka; Kenji men-dengar bisik-bisik dan tahu kalau ia telah dikenali. Rumah itu jauh lebih nyaman dan mewah ketimbang rumah-rumah di sekelilingnya, dengan beranda dari kayu runjung serta pilar kokoh dari kayu cedar. Seperti kuilnya, yang bisa dilihat dari kejauhan, atapnya terbuat dari rusuk atap yang tipis, dengan lekukan luwes yang sama indahnya seperti kediaman para ksatria. Seraya melepaskan sandal, Hisao naik ke beranda dan berseru ke dalam rumah. "Ayah! Kita kedatangan tamu!" Selang beberapa saat, seorang perempuan muda muncul, membawa air untuk membasuh kaki sang tamu. Kerumunan orang di belakang Kenji terdiam. Saat melangkah masuk ke dalam rumah, ia seperti mendengar tarikan napas tiba-tiba, seolah semua orang yang berkumpul di luar menarik napas di saat bersamaan. Dadanya terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk dan rasanya tak tahan ingin batuk. Betapa lemah tubuh-nya saat ini! Teringat dengan rasa penyesalan kalau semua kemampuan yang ia miliki kini hanya menjadi bayang-bayang. Ia ingin sekali meninggalkan raganya lalu pindah ke alam baka, kehidupan yang lain, kehidupan apa pun yang ada di sana. Andai ia bisa menyelamatkan bocah itu... tapi siapa yang bisa menyelamatkan orang dari takdir? Semua pikiran ini melintas di benaknya saat duduk di lantai berlapis karpet sambil menunggu Akio. Ruangan itu remang-remang: ia nyaris tidak bisa melihat gulungan yang tergantung di dinding sebelah kanan-nya. Perempuan muda yang sama datang membawa semangkuk teh. Hisao sudah pergi, namun terdengar olehnya anak itu sedang bicara dengan pelan di belakang rumah. Aroma minyak wijen merebak dari arah dapur dan didengarnya desis makanan di penggorengan. Lalu terdengar langkah kaki; pintu banian dalam bergeser terbuka dan Kikuta Akio melangkah masuk. Dia diikuti dua laki-laki yang lebih tua, yang satu bertubuh gempal dengan raut wajah halus yang dikenal Kenji sebagai Gosaburo, pedagang dari Matsue, adik Kotaro, paman Akio. Sedang yang satunya lagi pasti Imai Kazuo, yang menurut kabar telah menentang keluarga Imai untuk tinggal bersama Kikuta, keluarga dari pihak istrinya. Semua orang ini, setahunya, sudah bertahun-tahun mengincar dirinya. Mereka berusaha menyembunyikan keter-kejutan dengan kemunculannya. Mereka duduk di ujung lain ruangan seraya meng-amati. Tak seorang pun membungkuk normal maupun memberi salam. Kenji pun diam saja. Akhirnya Akio angkat bicara, "Letakkan senjatamu." "Aku tak membawa senjata," sahut Kenji. "Aku datang dengan membawa misi yang damai." Gosaburo tertawa sinis tidak percaya. Sedang dua laki-laki lainnya tersenyum, tapi tanpa rasa riang. "Benar, seperti serigala di musim dingin," ujar Akio. "Kazuo yang akan menggeledah-mu." Kazuo mendekati Kenji dengan hati-hati dan agak malu-malu. "Maaf, Ketua,"gumamnya. Kenji membiarkan orang itu meraba pakaiannya dengan jari-jarinya yang panjang dan cekatan. "Dia berkata jujur. Dia tidak membawa senjata." Halaman 462 dari 462 "Mengapa kau kemari?" sera Akio. "Rupa-nya kau sudah bosan hidup!" Kenji menatap tajam. Selama bertahun-tahun ia bermimpi berhadapan dengan orang yang telah menikahi dan terlibat dalam kematian putrinya. Tampak ada kerutan-kerutan di wajah Akio, rambutnya pun mulai memutih. Tapi badannya tampak sekuat baja; temyata usia tak mampu melunakkan maupun melembutkan sikapnya. "Aku datang membawa pesan dari Lord Otori," tutur Kenji tenang. "Kami tidak memanggilnya Lord Otori. Dia dikenal dengan nama Otori si Anjing. Kami tak ingin mendengar pesan apa pun darinya!" "Aku khawatir salah satu putramu sudah mati," Kenji bicara pada Gosaburo. "Putra sulungmu, Kunio. Tapi yang lainnya masih hidup, termasuk putrimu." Gosaburo menelan ludah. "Biarkan dia bicara," katanya pada Akio."Kita tak mau beranding dengan Si Anjing," sahut Akio. "Dengan mengutus pembawa pesan itu telah menunjukkan kelemahan," kata Gosaburo dengan nada memohon. "Dia sedang memohon pada kita. Setidaknya kita dengar dulu apa yang akan Muto sampai-kan." Gosaburo mencondongkan badan lalu bertanya pada Kenji. "Putriku? Dia tidak terluka?" "Tidak, dia baik-baik saja." Tapi putriku sudah mati enam belas tahun lalu. "Dia tidak disiksa?" "Kau harus tahu kalau penyiksaan kini dilarang. Anak-anakmu akan diadili dengan tuduhan percobaan pembunuhan, dan bisa dihukum mati, tapi mereka tidak disiksa. Kau tentu pernah mendengar bahwa Lord Otori memiliki sifat welas asih." "Satu lagi kebohongan dari Si Anjing," ejek Akio. "Tinggalkan kami, paman. Kesedihan membuatmu lemah. Aku akan bicara dengan Muto berdua saja." "Anak-anak itu akan tetap hidup jika kau setuju untuk berdamai," sahut Kenji cepat, sebelum Gosaburo berdiri. "Akio!" Gosaburo memohon, air matamulai berlinang. "Tinggalkan kami!" Akio juga berdiri, gusar, seraya mendorong tubuh orang tua itu ke pintu, menyuruhnya agar cepat keluar dari ruangan itu. "Sejujurnya," katanya saat kembali duduk. "Tua bangka bodoh itu tidak berguna lagi! Dia sudah mis kin, dan yang kini dia lakukan hanyalah meratap dan menyesali nasibnya. Biarkan Otori membunuh anak-anak itu, dan aku akan menghabisi ayahnya: kita akan menyingkirkan orang lemah." "Akio," tutur Kenji. "Kita bicara sebagai sesama Ketua, sesuai cara Tribe menyelesai-kan masalah. Dengar dulu apa yang akan kusampaikan. Setelah itu baru kau putuskan apa yang terbaik bagi Kikuta dan Tribe, bukan berdasarkan kebencian dan amarah pribadimu, karena ini akan menghancurkan mereka dan dirimu. Mari kita ingat lagi sejarah Tribe, bagaimana kita bisa bertahan sejak dulu kala. Kita selalu bekerjasama dengan para bangsawan yang hebat: jangan-lah kita menentang Otori. Apa yang dilaku-kannya di Tiga Negara baik adanya: disetujui masyarakat, baik petani ataupun ksatria. Masyarakat yang dibentuknya berjalan lancar; rakyat bahagia; tak ada yang mati kelaparan dan tak ada penyiksaan. Hentikan permusuhanmu. Sebagai imbalannya, keluar-ga Kikuta akan dimaafkan: Tribe akan ber-satu lagi. Menguntungkan bagi kita semua." Nada suaranya seakan mengandung sihir yang membuat ruangan senyap dan semua orang yang berada di luar bungkam. Kenji tahu kalau Hisao sudah kembali dan sedang berlutut tepat di balik pintu. Saat ia berhenti bicara, dikumpulkan tenaga lalu membiarkan gelombang tenaganya mengalir memenuhi ruangan itu. Dirasakannya ketenangan menyapu semua orang, mereka duduk dengan mata setengah terpejam. "Dasar penyihir tua bangka." Akio me-mecahkan kesunyian dengan teriakan penuh amarah. "Tua bangka licik. Kau tak bisa menjebakku dengan kebohonganmu. Tadi kau mengatakan Si Anjing melakukan hal baik! Rakyat gembira! Apa untungnya semua ini bagi Tribe? Kau sudah lemah seperti Gosaburo. Ada apa dengan kalian, orang-orang tua? Apakah Tribe membusuk dari dalam? Andai Kotaro masih hidup! Tapi Si Anjing membunuhnya-dia membunuh pemimpin keluarganya sendiri, pada siapa dia harus menyerahkan hidupnya atas kejahatan yang dia lakukan. Kau saksinya: kau men-dengar sumpah si Anjing saat di Inuyama. Dia melanggar sumpah itu jadi dia sudah Halaman 463 dari 463 sepantasnya mati. Tapi dia malah mem-bunuh Kotaro, Ketua dari keluarganya- dengan bantuannmu. Dia tidak bisa dimaaf-kan. Dia harus mati!" "Aku takkan berdebat tentang mana tindakannya yang salah dan yang benar," sahut Kenji. "Dia melakukan apa yang harus dilakukan saat itu, dan yang pasti, hidupnya dijalani lebih baik sebagai Otori ketimbang sebagai Kikuta. Tapi semua itu telah berlalu. Kumohon kau hentikan perlawananmu agar Kikuta bisa kembali ke Tiga Negara- Gosaburo bisa menjalankan lagi bisnisnya!- dan menikmati hidup selayaknya. Jika tetap tak mau berdamai, maka menyerahlah: kau takkan berhasil membunuhnya." "Semua orang pasti mati," sahut Akio. "Tapi dia takkan mati di tanganmu," ujar Kenji. "Betapa pun kau menginginkannya. Aku bisa meyakinkanmu akan hal itu." Akio menatapnya dengan memicingkan mata. "Pengkhianatanmu pada Tribe harus dihukum." "Aku telah melindungi keluargaku dan Tribe. Kau yang menghancurkannya. Aku kemari sebagai utusan, dan aku akan kembali dengan cara yang sama. Akan kusampaikan pesanmu yang patut disesalkan pada Lord Otori." Kenji begitu berwibawa sehingga Akio membiarkannya berdiri lalu berjalan keluar ruangan. Sewaktu lewat Hisao masih berlutut di luar, Kenji berkata, seraya membalikkan badan, "Ini putramu? Kurasa dia tidak memiliki kemampuan Tribe. Ijinkan dia menemaniku sampai ke gerbang. Mari, Hisao." Kenji bicara ke belakang dalam bayang-bayang. "Kau tahu di mana bisa menemukan kami bila kau berubah pikiran." Baiklah, pikimya saat melangkah keluar dari beranda dan kerumunan memberi jalan padanya, ternyata aku masih hidup lebih lama. Begitu sampai di tempat terbuka dan di luar jangkauan tatapan Akio, ia bisa saja menghilang lalu melenyapkan diri ke pedesaan. Tapi adakah peluang ia membawa bocah itu? Penolakan Akio tidak mengejutkannya. Tapi ia senang Gosaburo dan yang lainnya juga mendengar. Selain rumah utama, desa itu kelihatan menyedihkan. Pasti sulit men-jalani hidup di sini, apalagi di musim dingin. Kebanyakan penghuninya pasti mendamba-kan, seperti halnya Gosaburo, hidup nyaman di Matsue dan Inuyama. Kepatuhan mereka pada Akio, dirasakan oleh Kenji, lebih karena ketakutan ketimbang rasa hormat; ada kemungkinan anggota lain Kikuta me-nentang keputusannya, apalagi jika itu berarti sandera akan dibiarkan hidup. Saat Hisao muncul dari belakang dan berjalan di sampingnya, Kenji menyadari ada kehadiran lain yang mengambil tempat setengah tubuh dan pikiran bocah itu. Dahi-nya berkerut, dan sesekali menaikkan tangan-nya memegangi pelipis kirinya dengan ujung jari. "Kepalamu sakit?" "Mmm." Dia mengangguk tanpa bicara. Mereka sudah separuh jalan. Bila berhasil sampai di tepi sawah, lalu berlari di pematang ke hutan bambu.... "Hisao," bisik Kenji. "Aku ingin kau ikut denganku ke Inuyama. Temui aku di tempat tadi kita bertemu. Kau mau?" "Aku tak bisa pergi dari sini! Aku tak bisa meninggalkan ayahku!" Lalu ia berseru kesakitan, lalu terjatuh. Hanya tinggal lima puluh langkah lagi. Kenji tidak berani berbalik, tapi ia yakin tak ada yang mengikutinya. la terus berjalan dengan tenang, tanpa tergesa-gesa, tapi Hisao berjalan terseok-seok di belakangnya. Saat berbalik untuk memberi Hisao semangat, Kenji melihat kerumunan orang masih memerhatikan. Tiba-tiba ada yang menyeruak dari sela-sela mereka. Akio, diikuti oleh Kazuo: keduanya sudah menarik belati. "Hisao, temui aku," katanya, lalu meng-hilang, tapi ketika sosok tubuhnya menghilang, Hisao menangkap lengannya dan berteriak, "Bawa aku! Mereka takkan membiarkanku pergi! Tapi dia ingin ikut denganmu!" Mungkin karena Kenji sedang dalam keadaan menghilang dan berada di antara dua dunia, mungkin juga karena perasaan Hisao yang meledak-ledak, tapi saat itu Kenji melihat apa yang Hisao lihat.... Halaman 464 dari 464 Putrinya, Yuki. Meninggal enam belas tahun lalu.... Lalu menyadari dengan rasa takjub kemampuan sebenarnya bocah itu. Seorang penguasa alam baka. Kenji belum pernah bertemu orang dengan kemampuan ini: dia hanya tahu dari hikayat-hikayat Tribe. Hisao sendiri tidak mengetahuinya, begitu juga Akio. Akio tidak boleh tahu. Tak heran kalau bocah itu sering sakit kepala. Ia ingin tenawa, sekaligus menangis. Kenji masih merasakan cengkeraman Hisao di tangannya saat ia menatap wajah arwah putrinya, melihat putrinya saat masih kanak-kanak, remaja. Kian lama wajah putrinya kian melemah dan samarsamar. Dilihat bibir putrinya bergerak-gerak dan berkata, "Ayah," walaupun Yuki tidak pernah lagi memanggilnya dengan sebutan itu sejak berusia sepuluh tahun. Saat ini Yuki membuatnya terpesona, seperti yang selalu dilakukannya. "Yuki," katanya tak berdaya, dan mem-biarkan dirinya terlihat lagi. Terbukti mudah bagi Akio dan Kazuo untuk mendekati Keji. Tak satu pun kemampuan menghilangkan diri maupun menggunakan sosok kedua yang dapat menyelamatkan dirinya dari mereka berdua. "Dia tahu bagaimana menangkap Otori," seru Akio. "Kita akan tahu itu darinya, kemudian Hisao harus membunuhnya." Tapi Kenji sudah menggigit racun lalu mencerna dalam perutnya: ramuan yang pernah dipaksakan pada putrinya untuk ditelan. Kenji mati dengan cara yang sama, penuh penderitaan dan penyesalan karena misinya gagal dan juga karena meninggalkan cucunya. Di saat-saat terakhir dia berdoa agar bisa tinggal bersama arwah putrinya, agar Hisao memanfaatkan kekuatan dirinya untuk menjaganya: Tak terbayangkan betapa hebat-nya diriku sebagai hantu, pikirnya. Lalu ia tertawa: hidupnya yang penuh penderitaan dan kebahagiaan telah berakhir. Tugasnya di dunia sudah selesai, dan dia mati atas keinginannya sendiri. Rohnya bebas bergerak memasuki siklus abadi dari kelahiran, kematian dan kelahiran kembali.* Musim dingin di Inuyama terasa panjang dan berat, walau ada kesenangan tersendiri: selama itu Kaede menghabiskan waktu dengan membacakan puisi dan dongeng untuk ketiga putrinya. Takeo menghabiskan waktu dengan melihat-lihat catatan adminis-trasi bersama Sonoda. Saat ingin bersantai, ia mempelajari lukisan bersama seorang seniman beraliran tinta hitam, dan minum bersama Kenji di malam harinya: Ketiga putrinya disibukkan dengan belajar dan berlatih, ada juga rekreasi saat Setsu bun, perayaan yang ramai dan semarak saat setan diusir keluar dari rumah dan menyambut nasib baik. Juga ada perayaan usia akil balik Shigeko karena pada Tahun Baru dia berusia lima belas tahun. Perayaannya tidak mewah karena pada bulan kesepuluh nanti dia akan diserahkan wilayah Maruyama. Wilayah itu diwariskan melalui garis perempuan dan telah diwariskan kepada ibunya, Kaede, setelah kematian Maruyama Naomi. Kelak Shigeko akan menjadi penguasa Tiga Negara, dan kedua orangtuanya sepakat bahwa dia harus memimpin wilayah Maruyama tahun ini karena saat ini dia telah dewasa. Di sana dia harus membuktikan diri sebagai penguasa dan belajar secara langsung tentang prinsip-prinsip pemerintahan. Upacara di Maruyama nanti akan dilakukan dengan khidmat sekaligus megah, menguat-kan tradisi dan, Takeo berharap, memantap-kan keputusan baru: perempuan dapat me-warisi wilayah atau menjadi pemimpin desa, sederajat dengan laki-laki. Takeo teringat, saat keluarganya ter-lindungi dari kedinginan dan rasa bosan selama musim dingin yang panjang, dua pemuda yang tidak terlalu berbeda jauh usianya dengan putrinya, ditahan di kastil Inuyama. Meskipun diperlakukan dengan baik, namun tetap saja mereka adalah tawanan. Halaman 465 dari 465 Setelah salju mencair, dan Kenji berangkat melaksanakan misinya, Kaede serta putri-putrinya pergi ke Hagi bersama Shizuka. Takeo melihat kegelisahan istrinya pada si kembar semakin bertambah. Ia memikirkan kemungkinan Shizuka mengajak salah satu dari mereka, mungkin Maya, ke desa ter-sembunyi Muto, Kagemura selama beberapa minggu. Takeo pun menunda waktu untuk meninggalkan Inuyama, berharap mendapat kabar dari Kenji di bulan ini. Namun ketika hingga bulan keempat muncul dan masih belum ada kabar, dengan enggan ia pergi ke Hofu. Ia memberi instruksi agar Taku mengirimkan semua pesan kepadanya di sana. Selama berkuasa, ia sering melakukan per-jalanan, membagi hari-hari dalam setahun dari satu kota ke kota lainnya di Tiga Negara. Kadang ia melakukan perjalanan dengan semua kemegahan yang diharapkan dari seorang penguasa besar, kadang ia menyamar untuk dapat berbaur dengan rakyat biasa dan mengetahui pendapat, kegembiraan serta kebahagiaan mereka. Takeo tidak akan melupakan kata-kata Otori Shigeru kepadanya: Karena Kaisar yang begitu lemah sehingga bangsawan seperti lida bisa merajalela. Sebenarnya kaisar berkuasa atas Delapan Pulau, namun dalam pelaksanaannya, berbagai daerah mengurus masalah mereka sendiri: Tiga Negara dilanda konflik akibat para bangsawan berebut wilayah dan kekuasaan. Kini ia dan Kaede telah membawa kedamaian dan memper-tahankannya dengan penuh perhatian pada seluruh wilayah dan berbagai aspek ke-hidupan rakyatnya. Hasil dari semua itu terlihat saat ia ber-kuda ke wilayah Barat. Didampingi para pengawal, dua pengawal terpercaya dari Tribe- saudara sepupu Kuroda: Junpei dan Shinsaku, yang dikenal sebagai Jun dan Shin-serta jurutulisnya. Selama perjalanan ia memerhatikan tanda-tanda negeri yang damai: anak-anak yang sehat, desa yang makmur, sedikit pengemis serta tidak ada bandit. Tujuannya untuk membuat negara ini sangat aman hingga gadis belia pun bisa memegang kekuasaan, dan ketika tiba di Hofu, ia bangga dan puas bahwa Tiga Negara telah sesuai dengan tujuannya itu. Ia tidak menduga apa yang menantinya di kota pelabuhan itu, ataupun curiga kalau di sana nanti kepercayaan dirinya akan goyah dan kekuasaannya terancam. Tampaknya begitu ia tiba di kota mana pun di Tiga Negara, utusan bermunculan di gerbang kastil atau kediaman ia tinggal: ingin mengadakan pertemuan, meminta bantuan, membutuhkan keputusan yang hanya bisa diputuskan olehnya. Beberapa dari masalah ini sebenarnya dapat disampaikan pada petugas setempat, tapi terkadang ada keluhan atas para petugas itu sehingga hakim-hakim yang adil harus didatangkan. Musim semi ini, di Hofu, ada tiga mau empat kasus semacam ini, lebih dari yang Takeo harap-kan. Hal ini membuatnya mempertanyakan keadilan dari administrasi setempat. Bahkan dua petani mengeluh kalau putra mereka dipaksa menjadi prajurit, dan seorang pedagang memberi informasi bahwa para prajurit menyita sejumlah besar batu bara, kayu, belerang dan nitrat. Zenko tengah menghimpun kekuatan dan senjata, pikirnya. Aku harus bicara padanya. Takeo mengatur untuk mengirim kurir ke Kumamoto. Namun, keesokan harinya Arai Zenko- yang telah diberi bekas wilayah ayahnya di bagian Barat dan juga Hofu- datang dari Kumamoto dengan alasan hendak menyambut Lord Otori. Istrinya, Shirakawa Hana, adik bungsu Kaede, ikut bersamanya. Hana sangat mirip dengan kakak sulungnya, bahkan bila diperhatikan lebih lama lagi kelihatan lebih cantik di-bandingkan Kaede saat masih muda. Ia tidak suka maupun percaya pada Hana. Sepanjang tahun yang sulit setelah kelahiran si kembar, saat empat belas tahun, Hana selalu mencari kesempatan untuk menggoda dirinya agar menjadikannya istri kedua atau selir. Hana menjadi lebih dari sekadar godaan yang bisa diakui Takeo, dengan paras yang sama persis seperti Kaede muda, sebelum kecantikannya tercoreng. Bahkan Hana pernah menawarkan diri ketika kesehatan Kaede memburuk. Penolakan mantap Takeo untuk menganggap serius tawarannya telah melukai dan mem-permalukan Hana: keinginan Takeo untuk menikahkannya dengan Zenko justru mem-buat Hana kian gusar. Tapi Takeo memaksa: mereka menikah ketika Zenko berusia delapan belas tahun dan Hana enam belas tahun. Zenko sangat senang: persekutuan itu merupakan kehormatan besar baginya; Hana bukan hanya cantik, tapi juga segera mem-berinya tiga putra, semuanya sehat. Rasa tergila-gilanya pada Takeo segera digantikan rasa dendam padanya dan iri pada kakaknya. Dia pun bertekad untuk mengambil alih kedudukan mereka. Takeo tahu niat ini karena adik iparnya lupa kalau ia memiliki pendengaran yang sangat peka. Pendengarannya memang tidak setajam saat masih tujuh belas tahun, tapi masih cukup baik untuk menguping per-cakapan rahasia, menyadari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, di mana posisi tiap orang di kastil, kegiatan mereka yang ada di pos jaga dan istal, siapa mengunjungi siapa di malam hari dan untuk tujuan apa. Ia juga dapat membaca niat orang itu dari cara ber-diri hingga gerakan tubuh. Halaman 466 dari 466 Saat ini ia mengamati Hana yang sedang membungkuk di hadapannya, dengan rambut menjuntai ke lantai, sedikit tersibak hingga menampakkan tengkuknya yang putih sempurna. Hana bergerak dengan luwes, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah ibu dari tiga orang anak: orang akan mengira usianya tak lebih dari delapan belas tahun, tapi sebenarnya dia seumur dengan adik Zenko, Taku: dua puluh enam tahun. Suaminya, di usia dua puluh delapan tahun, tampak sangat mirip dengan ayahnya bertubuh besar, gagah perkasa, bertenaga besar, ahli menggunakan panah dan pedang. Pada usia dua belas tahun dia menyaksikan ayahnya mati ditembak dengan senjata api, orang ketiga di Tiga Negara yang mati dengan cara begitu. Dua orang lainnya adalah para bandit. Ia menyadari bila semua ini dijadikan satu maka bisa menimbulkan sakit hati yang mendalam pada pemuda itu, dan bisa berubah menjadi kebencian. Kedua orang ini tidak menunjukkan tanda-tanda kedengkian. Sambutan dan pertanyaan mereka mengenai kesehatan diri juga keluarganya terasa berlebihan. Ia menjawab dengan sikap yang sama sopannya, menutupi kenyataan kalau ia merasa lebih kesakitan ketimbang biasanya karena udara yang lembap. "Kalian tidak perlu repot-repot datang," katanya. "Aku hanya akan berada di Hofu selama satu atau dua hari." "Oh, tapi Lord Takeo harus tinggal lebih lama." Hana angkat bicara, seperti yang sering dia lakukan sebelum suaminya sempat bicara. "Anda harus tinggal di sini sampai musim hujan selesai. Anda tidak bisa bepergian dalam keadaan cuaca seperti ini." "Aku pernah melakukan perjalanan dalam cuaca yang lebih buruk," sahut Takeo sambil tersenyum. "Kami senang bisa menghabiskan waktu bersama kakak ipar," kata Zenko. "Baiklah, ada satu atau dua hal yang perlu kita bicarakan," sahut Takeo, memutuskan untuk menanggapi basa-basi ini. "Tidak ada kebutuhan, pastinya, untuk meningkatkan jumlah pasukan, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang kekuatan apa yang sedang kau himpun." Keterusterangannya yang keluar tepat setelah sopan-santun tadi, mengejutkan mereka. Takeo tersenyum lagi. Mereka pasti tahu, tak banyak hal yang bisa luput dari perhatiannya di seluruh Tiga Negara. "Kebutuhan senjata selalu ada," tutur Zenko. "Tombak, pedang, panah dan sebagainya." "Berapa banyak orang yang kau kumpul-kan? Paling banyak lima ribu orang. Catatan kami menunjukkan mereka semua diper-senjatai. Bila senjata mereka hilang atau rusak, maka mereka harus menggantinya dengan biaya sendiri. Keuangan wilayah bisa dijalankan dengan baik." "Dari Kumamoto dan distrik selatan, ya, benar lima ribu orang. Tapi ada banyak orang yang tidak terlatih dengan usia cukup untuk bertempur di wilayah Seishuu lainnya. Tampaknya ini kesempatan emas untuk memberi mereka pelatihan dan senjata, bahkan jika mereka kembali ke sawahnya untuk panen." "Klan Seishuu kini tunduk pada Maruyama," sahut Takeo dengan nada ringan. "Bagaimana pendapat Sugita Hiroshi tentang rencanamu?" Hiroshi dan Zenko tidak menyukai satu sama lain. Takeo tahu Hiroshi memendam hasrat untuk menikahi Hana, dan kecewa ketika perempuan idamannya itu menikah dengan Arai Zenko, walaupun Hiroshi tidak pernah mengatakannya. Kedua pemuda itu tidak saling menyukai sejak pertama kali mereka bertemu bertahun-tahun silam semasa perang saudara. Hiroshi dan Taku, adik Zenko, adalah teman dekat, jauh lebih dekat ketimbang. Kedua kakak beradik yang semakin dingin. "Aku belum sempat bicara dengan Sugita," aku Zenko. "Baiklah, kelak kita bicarakan masalah ini dengannya. Nanti kita semua akan bertemu di Maruyama pada bulan kesepuluh dan meng-kaji ulang kebutuhan pasukan di wilayah Barat." "Kita menghadapi ancaman dari kaum barbar," tutur Zenko. "Wilayah Barat terbuka lebar bagi mereka: Klan Snshuu belum pernah menghadapi serangan dari laut. Kami tidak siap." Halaman 467 dari 467 "Tujuan orang-orang asing itu sebenarnya hanyalah berdagang," sahut Takeo. "Mereka berada jauh dari kampung halaman mereka, kapal-kapal mereka kecil. Mereka mestinya jera dengan serangan di Mijima; maka sekarang mereka harus berurusan dengan kita melalui diplomasi. Pertahanan terbaik kita melawan mereka adalah berdagang dengan damai." "Tapi mereka selalu membual tentang pasukan hebat raja mereka," timpal Hana. "Seribu orang bersenjata api. Lima puluh ribu kuda. Satu ekor kuda mereka lebih besar dibandingkan dua ekor kuda kita, kata mereka. Dan pasukan pejalan kaki mereka menyandang senjata api." "Semua ini, seperti yang kau katakan, hanyalah bualan," Takeo mengamati. "Aku berani katakan kalau Terada Fumio mem-buat pernyataan serupa tentang keunggulan kita di kepulauan wilayah Barat dan pelabuhan di Tenjiku dan Shin." Dilihatnya ekspresi wajah Zenko berkerut saat nama Fumio disebut. Fumio yang menembak ayah Zenko saat gempa mengguncang dan meng-hancurkan pasukan Arai. Takeo menghela napas panjang, ingin tahu apakah mungkin menghapuskan keinginan balas dendam Zenko. Zenko berkata, "Di sana kaum barbar juga menggunakan perdagangan sebagai alasan untuk menjejakkan kaki. Lalu mereka melemahkan dari dalam dengan agama mereka, dan serangan dari luar. Mereka akan mengubah kita semua menjadi budak mereka." Zenko mungkin benar, pikir Takeo. Orang-orang asing itu sebagian besar terkurung di Hofu, dan Zenko bertemu dengan lebih banyak orang-orang itu ketimbang ksatria-nya sendiri. Kendati menyebut dengan kata kaum barbar, Zenko tampak terkesan dengan senjata dan kapal mereka. Seandainya mereka bergabung di wilayah Barat... "Kau tahu kalau aku menghormati pendapatmu dalam masalah ini," sahutnya. "Akan kita tingkatkan pengawasan terhadap orang-orang asing itu. Apabila nanti diperlu-kan lebih banyak pasukan, akan kuberitahu-kan kepadamu. Dan nitrat hanya boleh dibeli langsung oleh klan." Takeo memerhatikan selagi Zenko mem-bungkuk dengan enggan, segaris rona warna di lehernya menandakan kekesalannya atas peringatan keras tadi. Takeo teringat saat menempelkan pisau di leher Zenko. Kalau saja saat itu ia menggunakan pisau dengan baik, ia bisa terhindar dari banyak masalah. Namun kala itu Zenko hanyalah bocah kecil; ia belum pernah membunuh anak-anak dan berdoa semoga tidak akan pernah. Zenko adalah bagian dari takdirku, pikirnya. Aku harus hadapi dia dengan hati-hati. Apa lagi yang bisa kulakukan untuk menjinakkan dirinya? Hana berkata dengan suara selembut madu. "Kami takkan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Lord Otori. Sesungguhnya kami hanya menaruh per-hatian pada Anda sekeluarga serta kemak-muran Tiga Negara. Anda sehat-sehat saja, kurasa. Bagaimana dengan kakak sulungku, juga ketiga putri Anda yang cantik-cantik?" "Terima kasih: mereka semua sehat-sehat saja." "Satu kesedihan yang mendalam bagiku karena tidak punya anak perempuan," lanjut Hana, tatapan matanya lenang, serius dan agak malu-malu. "Seperti yang Lord Otori ketahui, kami hanya punya anak laki-laki." Mau ke mana arah pembicaraannya? Takeo penasaran. Zenko yang kurang memiliki kehalusan dalam berbicara dibandingkan istrinya lalu bicara dengan nada datar. "Lord Otori pasti sangat ingin memiliki putra." Ah! pikir Takeo, lalu berkata, "Karena sepertiga negara kiia sudah diwariskan melalui garis keturunan perempuan, hal itu tak menjadi masalah. Putri sulung kami pada akhirnya akan menjadi penguasa Tiga Negara." "Tapi Anda harus tahu kebahagiaan memiliki anak laki-laki," seru Hana. "Ijinkan kami memberikan salah satu putra kami." "Kami ingin Anda mengangkat salah satu putra kami," ujar Zenko, tanpa basa-basi. "Sungguh itu suatu kehormatan besar serta membawa kebahagiaan tak terbilang bagi kami," gumam Hana. Halaman 468 dari 468 "Kalian sangat murah hati dan penuh pengertian," sahut Takeo. Kebenarannya adalah: ia tak ingin anak laki-laki. Ia lega Kaede tidak melahirkan lagi dan berharap istrinya tidak hamil lagi. Ramalan bahwa ia akan mati di tangan putranya sendiri tidaklah menakutkan, namun menorehkan kesedihan mendalam pada dirinya. Saat itu Takeo berdoa, seperti yang sering dilakukannya, kalau kematiannya seperti kematian Shigeru, bukan seperti pemimpin Otori yang lain, Masahiro, yang mati digorok oleh anak haramnya. Ia juga berdoa dibiarkan hidup hingga tugasnya selesai dan putrinya telah cukup dewasa untuk memerintah negeri ini. Karena tak ingin menghina mereka dengan langsung menolak tawaran itu. Sesungguh-nya amat pantas mengangkat keponakan istrinya: bahkan mungkin kelak ia bisa menjodohkan anak itu dengan salah satu putrinya. "Mohon kami diberi kehormatan dengan menerima dua putra tertua kami," tutur Hana. Ketika Takeo mengangguk setuju, Hana bangkit dan berjalan ke pintu dengan luwes, sangat mirip dengan Kaede. Lalu masuk kembali bersama kedua anaknya: usia mereka delapan dan enam tahun, mengenakan jubah resmi, diam terpaku dengan khidmat dalam pertemuan itu. Rambut mereka ditata dengan bagian rambut yang panjang di bagian depan. "Yang sulung bernama Sunaomi, sedang adiknya, Chikara," tutur Hana selagi kedua bocah itu membungkuk sampai ke lantai di hadapan paman mereka. "Ya, aku ingat," sahut Takeo. Sudah tiga tahun ia belum bertemu kedua bocah ini, dan belum pernah bertemu putra bungsu Hana yang lahir tahun lalu. Kedua anak itu tampan: yang sulung mirip dengan Shira-kawa bersaudara, dengan tulang punggung yang panjang serta struktur tulang yang ramping. Sedangkan adiknya lebih bulat dan kekar, lebih mirip ayahnya. Takeo ingin tahu apakah salah satu dari mereka mewarisi kemampuan Tribe dari neneknya, Shizuka. Nanti akan ditanyakannya pada Taku atau Shizuka. Akan menyenangkan, renungnya, bagi Shizuka untuk mengasuh cucunya. "Duduk tegak, anak-anak," kata Takeo. "Biarkan paman melihat wajah kalian." Takeo tertarik pada si sulung yang amat mirip Kaede. Usianya hanya tujuh tahun lebih muda dari Shigeko, dan lima tahun lebih muda dari Maya dan Miki: perbedaan ini bukanlah masalah dalam perkawinan. Diajukannya pertanyaan tentang pelajaran, kemajuan berpedang dan memanah, dan senang dengan jawaban mereka yang cerdas serta jelas. Apa pun ambisi tersembunyi dan motif terselubung dari orangtua mereka, kedua bocah ini telah dididik dengan baik. "Kalian sangat murah hati," ujar Takeo lagi. "Aku akan membicarakannya dengan istriku." "Anak-anak akan bergabung bersama kita saat makan malam," ujar Hana. "Anda bisa lebih mengenal mereka nanti. Tentu saja, Sunaomi sudah menjadi kesayangan kakak sulungku." Kini Takeo ingat kalau ia pernah men-dengar Kaede memuji Sunaomi karena kecerdasannya. Ia tahu istrinya iri pada Hana dan menyesal karena tidak punya anak laki-laki. Mengangkat keponakannya mungkin bisa menjadi kompensasi, tapi jika Sunaomi menjadi putranya... Disingkirkannya pikiran itu jauh-jauh. Ia harus memutuskan yang terbaik saat ini: jangan sampai ia terpengaruh oleh ramalan yang mungkin saja tidak akan terjadi. Ketika Hana pergi bersama kedua anak-nya, Zenko berkata, "Aku ingin ulangi kalau ini akan menjadi kehormatan bagi kami bila Anda mengangkat Sunaomi-atau Chikara: Anda harus memilih." "Kita bicarakan ini pada bulan kesepuluh." "Bolehkah aku mengajukan satu permohonan lagi?" Ketika Takeo mengangguk, Zenko melanjutkan, "Aku tak ingin menyinggung perasaan dengan mengingat masa lalu, tapi- Anda ingat Lord Fujiwara?" "Tentu saja," jawab Takeo, menahan rasa kaget dan marah. Lord Fujiwara adalah bangsawan yang telah menculik istrinya. Bangsawan itu mati dalam bencana gempa tapi Takeo tidak pernah memaafkannya. Kaede telah bersumpah bahwa bangsawan itu tak pernah tidur dengannya, namun ada semacam ikatan aneh antara mereka berdua; Fujiwara telah memikat dan menyanjungnya; Kaede telah membuat perjanjian dengan laki-laki itu dan menceritakan rahasia paling pribadi tentang cinta Takeo. Juga pernah membantu keluarga Kaede dengan uang, makanan, juga banyak hadiah. Fujiwara menikahi Kaede dengan restu Kaisar. Fujiwara pernah berusaha agar Kaede mati Halaman 469 dari 469 bersamanya: Kaede berhasil lolos walaupun rambutnya terbakar, menyebabkan bekas luka, kehilangan kecantikannya. "Putranya berada di Hofu dan ingin ber-temu secara resmi dengan Anda." Takeo tidak berkata sepatah kata pun, enggan untuk mengakui kalau ia tidak mengetahuinya. "Dia menggunakan nama keluarga ibunya, Kono. Tiba dengan kapal beberapa hari lalu, berharap bisa bertemu Anda. Kami telah ber-hubungan melalui surat tentang hana warisan ayahnya. Ayahku, seperti yang Anda tahu, berhubungan baik dengan ayahnya-aku mohon maaf telah membuat Anda teringat masa-masa yang tak menyenangkan-dan Lord Kono membicarakan tentang masalah penyewaan dan pajak." "Sepanjang ingatanku, harta Fujiwara telah digabungkan dengan wilayah Shira-kawa." "Secara hukum Shirakawa juga merupakan milik Fujiwara, setelah pernikahannya, maka kini menjadi milik putranya. Karena Fujiwara diwariskan melalui garis keturunan laki-laki. Jika wilayah itu bukan hak Kono, maka seharusnya diteruskan pada pewaris laki-laki berikutnya." "Yaitu putra sulungmu, Sunaomi," timpal Takeo. Zenko menunduk tanpa bicara. "Enam belas tahun telah berlalu sejak kematian ayahnya. Mengapa kini dia tiba-tiba muncul?" tanya Takeo. "Waktu berlalu dengan cepat di ibukota," sahut Zenko. "Dia utusan Yang Mulia Kaisar." Atau barangkali karena seseo rang punya rencana jahat, kau atau istrimu-hampir pasti istrimu- melihat bagaimana Kono bisa dimanfaatkan untuk lebih menekanku, maka Kono dihubungi melalui surat, pikir Takeo, menyembunyikan kemarahannya. Hujan semakin deras menerpa atap, dan bau tanah yang basah mengapung di depan taman. "Dia boleh datang dan bertemu denganku besok," kata Takeo akhirnya. "Ya. Keputusan yang bijaksana," sahut Zenko. "Lagi pula jalan terlalu becek dan berlumpur untuk meneruskan perjalanan." Pertemuan ini semakin menambah ke-gelisahan Takeo, mengingatkannya betapa Arai Zenko sangat perlu diawasi: betapa mudahnya ambisi mereka dapat menggiring Tiga Negara kembali perang saudara. Sore berlalu dengan suasana cukup menyenang-kan: ia minum sake secukupnya untuk menyembunyikan rasa sakit, dan kedua anak laki-laki itu menghidupkan suasana dan menghibur. Meteka baru saja bertemu dengan dua orang asing di ruangan ini dan sangat bersemangat dengan pertemuan itu: bagaimana Sunaomi bicara pada mereka dengan menggunakan bahasa mereka yang telah dipelajari bersama ibunya; bagaimana orang-orang asing itu kelihatan seperti goblin dengan hidung panjang dan janggut lebat-nya, yang satu berambut merah sedangkan yang lainnya berambut hitam, tapi Chikara sama sekali tidak takut. Mereka memerintah-kan para pelayan untuk mengambilkan salah satu kursi yang dibuat oleh orang asing dari kayu eksotis, jati, dibawa dari pelabuhan pedagangan besar yang dikenal dengan nama Fragrant Harbour dalam kekuasaan kapal nana milik Terada yang juga membawa mangkuk jasper, lapis lazuli, kulit macan, gading dan giok menuju kota-kota di Tiga Negara. "Sangat nyaman," ujar Sunaomi, mem-peragakan. "Agak mirip tahta Kaisar," kata Hana, tertawa. "Tapi mereka tidak makan menggunakan tangan!" kata Chikara, kecewa. "Aku ingin melihatnya." "Mereka belajar sopan santun dari bangsa kita," tutur Hana. "Mereka berusaha keras, sama kerasnya dengan usaha Lord Joao mem-pelajari bahasa kita." Takeo agak merinding mendengar nama itu, sangat mirip dengan nama gelandangan Jo-An. Ia begitu menyesali tindakannya yang telah memenggal Jo-An, dan pengemis itu sering hadir dalam mimpinya. Orang-orang asing itu memiliki kepercayaan yang serupa dengan kepercayaan kaum Hidden dan ber-doa pada Tuhan Rahasia. Bedanya, orang-orang asing itu mempraktikannya secara terbuka, Halaman 470 dari 470 hingga membuat orang lain gelisah dan malu. Mereka memperlihatkan lambang Hidden, salib, pada untaian kalung yang menggantung di dada pakaian mereka yang aneh dan tidak nyaman. Bahkan di hari yang paling panas pun mereka tetap memakai pakaian ketat dengan kerah tinggi dan sepatu bot, dan mereka memiliki ketakutan yang tidak wajar untuk mandi. Kini Jo-An telah menjadi semacam dewa, terkadang salah ditafsirkan wujud Sang Pencerah: dia disembah oleh orang-orang miskin dan tunawisma. Hanya sedikit orang yang tahu siapa Jo-An dulunya atau ingat apa saja yang pernah dilakukan, namun namanya telah terikat dengan peraturan yang meng-atur pajak dan kewajiban masuk militer. Tak satu pun pemilik tanah diperbolehkan mengambil lebih dari tiga puluh bagian dari seratus bagian atas number daya apa pun, baik berupa beras, kedelai atau mniyak. Dan kewajiban militer tidak dikenakan pada putra petani, meskipun mendapat tugas untuk menangani sarana umum tertentu, misalnya mengeringkan tanah, membangun ben-dungan dan jembatan serta menggali saluran. Pertambangan juga merupakan pekerjaan wajib; karena pekerjaan ini sangat berat dan berbahaya hingga hanya sedikit orang yang mau melakukannya; namun semua bentuk pekerjaan wajib dirotasi ke seluruh distrik dan kelompok usia agar tidak ada orang yang harus memikul beban yang tidak adil. Berbagai tingkat kompensasi diatur untuk menggantikan kematian atau kecelakaan. Ini semua dikenal dengan Hukum Jo-An. Orang-orang asing bersemangat mem-bicarakan tentang agama mereka, dan ketika Takeo dengan hati-hati mengatur pertemuan dengan Makoto dan pemimpin agama lain-nya, tapi semua pertemuan ini berakhir dengan cara yang sama, dengan kedua belah pihak yakin dengan posisi mereka masing-masing, ingin tahu secara pribadi bagaimana ada orang lain bisa percaya pada omong kosong lawan bicaranya. Kepercayaan orang-orang asing, pikir Takeo, berasal dari sumber yang sama dari kaum Hidden namun ditambah dengan takhayul dan perubahan bentuk selama berabadabad. Ia sendiri dibesarkan dalam tradisi Hidden namun telah mengabaikan semua ajaran masa kecilnya dan memandang semua ajaran agama dengan kecurigaan dan keraguan, terutama agama orang asing karena baginya agama itu berhubungan dengan ketamakan mereka pada kekayaan, status serta kekuasa-an. Satu ajaran yang paling menyita pikiran-nya-yaitu dilarang untuk membunuh- tampaknya tidak menjadi bagian dalam kepercayaan mereka, karena mereka datang bersenjata lengkap dengan pedang tipis panjang, belati, pedang pendek dan tentu saja senjata api. Ketika kecil, Takeo diajarkan bahwa membunuh adalah dosa, bahkan untuk mempertahankan diri, namun, di-dasarkan pada pertarungan untuk me-naklukkan dan diawasi dengan kekuatan. Ia tidak bisa menghitung lagi sudah berapa banyak nyawa melayang di tangannya mau pun yang dieksekusi atas perintahnya. Tiga Negara dalam keadaan damai saat ini: pembantaian selama perang bertahun-tahun sudah menjadi sejarah. Takeo dan Kaede turun tangan untuk mengurus semua karena kekerasan diperlukan untuk pertahanan atau hukuman bagi pelaku tindakan kriminal: mereka mengawasi ketat para ksatria dan memberi jalan keluar bagi ambisi dan agresi. Serta banyak ksatria yang mengikuti bimbingan Makoto, menyingkirkan panah dan pedang, bersumpah tidak akan membunuh lagi. Kelak aku akan melakukan hal yang sama, pikir Takeo. Tapi bukan seka rang. Belum saatnya. Dialihkan lagi perhatiannya pada per-temuan, mengamati Zenko, Hana dan ber-sama anak-anak mereka, dan ia bersumpah dalam hati untuk memecahkan semua per-soalan tanpa pertumpahan darah.* Rasa sakitnya kembali terasa saat pagi hari, hingga memaksa Takeo terbangun. Dipang-gilnya pelayan agar membawakan teh, kehangatan sesaat dan mangkuk meredakan nyeri di tangan cacatnya. Hari masih hujan, udara di dalam kediaman terasa menyesakkan napas dan lembap. Mustahil untuk bisa tidur. Diperintahkannya pelayan untuk membangunkan jurutulisnya dan petugas agar membawa lentera. Sewaktu orang-orang tersebut sudah datang, ia duduk di luar di beranda bersama mereka lalu memeriksa catatan-catatan Shirakawa dan Fujiwara, membicarakan rincian serta mempertanyakan ketidaksesuaian sampai langit mulai berwarna pucat dan terdengar kicau Halaman 471 dari 471 burung dari taman. Takeo memiliki ingatan yang baik, visualisasi dan daya tangkap yang kuat; semua itu berkat latihan selama bertahun-tahun. Sejak bertarung melawan Kotaro, saat kehilangan kedua jari di tangan kanannya. Ia mendiktekan banyak hal pada juru tulisnya, dan ini juga menambah kekuatan ingatan. Dan seperti ayah angkatnya, Shigeru. ia menjadi sangat menyukai serta menghargai catatan: bagaimana segalanya bisa dicatat serta diingat; bagaimana catatan bisa men-dukung dan memperbaiki ingatan. Pemuda istimewa ini mendampinginya hampir sepanjang waktu akhir-akhir ini; salah satu dari banyak anak laki-laki yang menjadi yatim piatu karena bencana gempa bumi di usia sepuluh tahun, dia menemu-kan tempat berlindung di Terayama dan dididik di sana; kecerdasan dan kemamp-uannya yang cepat dengan kuas sudah diakui, begitu pula dengan kerajinannya-ia merupakan salah satu dari orang-orang yang belajar dengan hanya ditemani cahaya kunang-kunang dan pantulan salju, begitu kata pepatah-dan akhirnya dia dipilih Makoto untuk bergabung dalam lingkungan rumah tangga Lord Otori di Hagi. Bersifat pendiam, dan tidak peduli dengan sake, kepribadiannya agak membosankan bila ditilik dari penampilannya, namun memiliki komentar tajam bernada sarkasme saat hanya berdua dengan Takeo, tidak terkesan oleh siapa pun atau apa pun, memperlakukan semua orang dengan rasa hormat, me-merhatikan semua kekurangan dan kelebihan dengan jernih dan sikap welas asih tanpa prasangka. Namanya Minoru, yang membuat Takeo senang karena ia sendiri pernah mem-bawa nama itu dalam jangka waktu yang begitu pendek hingga terasa seperti kehidupannya yang lain. Ia menulis dengan cepat dan indah. Kedua tanah warisan itu rusak parah akibat gempa, rumah-rumah yang besar dan indah di pedesaan luluh lantak terbakar api. Shirakawa telah dibangun kembali dan adik iparnya yang satu lagi, Ai, secara teratur mengunjunginya dalam satu tahun bersama putri-putrinya. Suaminya, Sonoda Mitsuru sesekali mendampingi, namun tugas sering-kali menahannya di Inuyama. Ai adalah orang yang praktis dan pekerja keras serta memanfaatkan contoh yang telah dibuat kakaknya. Shirakawa telah pulih dari pengelolaan yang salah serta diabaikan oleh ayah mereka dan semakin berkembang, memberi keuntungan besar dalam bentuk beras, mulberi, persimmon, sutra serta kertas. Tanah kekayaan milik Fujiwara selama ini diatur oleh Shirakawa; pada dasarnya lebih kaya dan kini pun menunjukkan keuntungan yang mencukupi. Takeo agak enggan untuk mengembalikannya ke tangan putra Fuji-wara, bahkan kalau pun dia merupakan pemilik yang sah. Seperti saat ini, keuntungan bekas wilayah Fujiwara ini meyumbang pada perekonomian Tiga Negara. la curiga Kono ingin mengambil sebanyak mungkin, memeras sumber daya yang ada sebanyak-banyaknya, talu meng-habiskan hasilnya di ibukota. Ketika hari sudah terang, Takeo mandi. kemudian tukang cukur mencabut dan merapikan rambut dan janggutnya. Makan sedikit nasi dan sup kemudian mengenakan pakaian resmi untuk pertemuan dengan putra Fujiwara, menemukan sedikit kenyamanan pada kelembutan kain sutra serta motif yang tidak mengumbar ke-anggunan: bunga belukar wisteria berwarna ungu muda di atas latar berwarna ungu tua pada jubah bagian dalam dan tenunan yang lebih abstrak pada bagian luarnya. Pelayan menempatkan sebuah topi hitam kecil di atas kepalanya, dan Takeo meng-ambil pedangnya, Jato, dari rak ukiran yang sangat indah tempat pedang itu berada sepanjang malam lalu menggantungkan di sabuknya, seraya memikirkan segala macam bentuk sarung pembungkus yang pernah dilihatnya, mulai dari kulit ikan hiu hitam lusuh yang membungkus pegangannya ketika, di tangan Shigeru telah menyelamat-kan hidupnya. Kini baik pegangan maupun sarungnya dihiasi dengan dekorasi yang indah dan Jato sudah tidak pernah lagi merasakan darah selama bertahuntahun. la ingin tahu apakah akan mengeluarkan pedang itu dari sarungnya lagi dalam per-tempuran, dan bagaimana ia bisa meng-gunakan pedang itu dengan tangan kanannya yang sudah tidak utuh. Takeo berjalan melintasi taman dari sayap timur menuju aula utama rumah besar dan indah itu. Hujan telah reda namun taman masih basah dan bunga wisteria bergelayut berat dengan sisa titik air hujan, aromanya berbaur dengan aroma rumput basah, aroma garam dari pelabuhan dan segala macam bebauan dari kota. Di balik dinding bisa didengarnya debak-debuk bunyi daun jendela ketika kota terbangun, dan dari kejauhan terdengar teriakan pedagang jalanan di pagi hari. Para pelayan melangkah tanpa suara di depannya, membuka pintu, pijakan lembut kaki mereka di lantai yang mengkilap. Minoru, yang tidak selesai sarapan, ber-gabung dengannya tanpa suara, mem-bungkuk hormat kemudian berjalan be-berapa langkah mengikuti di belakangnya. Seorang pelayan berjalan di sampingnya membawa meja tulis, kertas, kuas, batu tinta dan air. Halaman 472 dari 472 Zenko sudah di aula utama, berpakaian resmi seperti Takeo namun lebih mewah lagi, benang emas berkilauan di bagian kerah dan sabuknya. Takeo mengangguk ke arahnya, menyambut penghormatannya, lalu menye-rahkan Jato ke tangan Minoru, yang kemudian menempatkan pedang itu dengan hati-hati di sebuah rak indah yang ada di sebelah samping. Pedang Zenko sudah ditempatkan di rak yang sama. Takeo lalu duduk di ujung ruangan, melayangkan pandangan ke sekeliling ruangan, melihat dekorasi, kertas kasa, ingin tahu bagaimana anggapan Kono tentang semua yang ada di sini setelah melihat istana Kaisar. Kediaman itu tidak sebesar maupun semegah seperti di Hagi atau Inuyama, dan ia menyesal karena tidak menerima kedatangan tamu bangsa-wannya di sana. Dia akan mendapat kesan yang salah mengenai kami: dia akan mengira kami tidak sopan dan sederhana. Apakah memang lebih baik dia berpikir seperti itu? Zenko berbicara tentang malam sebelum-nya. Takeo mengungkapkan persetujuannya dan memuji mereka. Minoru menyiapkan tinta di atas meja tulis kecil lalu duduk dengan tumit, pandangan mata menunduk seolah sedang bermeditasi. Hujan turun perlahan. Tak lama kemudian mereka mendengar suara yang menyerukan ada tamu yang datang, anjing menyalak dan derap kaki berat pengangkat tandu. Zenko bangkit lalu berjalan ke beranda. Takeo mendengarnya memberi salam pada tamu mereka, kemudian Kono melangkah masuk ke dalam ruangan. Keadaan menjadi agak canggung selama beberapa saat ketika tak satu pun dari mereka merasa harus membungkuk memberi hormat lebih dulu; alis mata Kono bergerak cepat naik lalu membungkuk hormat, tapi dengan sikap santun santun yang dibuat-buat hingga menghilangkan tanda penghormatan. Takeo menunggu lama satu helaan napas, kemudian membalas salam. "Lord Kono," sapanya dengan tenang. "Suatu kehormatan bagiku Anda bisa ber-kunjung kemari." Sewaktu Kono duduk tegak, Takeo meng-amati wajahnya. la belum pernah bertemu dengan ayah bangsawan ini, tapi itu tidak mencegah Fujiwara untuk datang meng-hantui mimpi-mimpinya. Kini ia tengah memberi muka pada putra dari musuh lamanya, yang berdahi lebar, bentuk mulut berlekuk, tanpa mengetahui bahwa Kono memang mirip ayahnya dalam beberapa hal, meskipun tidak mirip sekali. "Justru kehormatan bagiku bisa bertemu Lord Otori," sahut Kono, dan walaupun kata-kata itu sopan, Takeo tahu bukan itu maksudnya. Dan hanya ada sedikit peluang untuk perbincangan yang jujur. Pertemuan itu akan alot dan tegang, dan ia haras bersikap cerdik, kelihatan mahir serta penuh semangat. Takeo berusaha menenangkan diri, melawan kelelahan juga rasa sakit. Mereka mulai membicarakan tentang harta kekayaan, Zenko menjelaskan apa yang dia ketahui. Kono mengungkapkan keinginan untuk melihatnya sendiri, dan langsung dipenuhi Takeo tanpa protes karena merasa kalau Kono sebenarnya tidak terlalu tertarik pada wilayah itu dan tak bermaksud tinggal di sana; kalau dia mungkin hanya ingin diakui sebagai pemilik wilayah itu; kalau dia hanya ingin dikirimi sejumlah keuntungan-tidak seluruh pajak tapi sebagian saja. Harta kekayaan itu hanyalah alasan dari kunjungan Kono: alasan sempurna yang masuk akal. Kono datang dengan tujuan lain, tapi dia terus membahas tentang hasil bumi sehingga Takeo mulai bertanya-tanya kapan dia akan mengatakan tujuannya yang sebenarnya. Tak lama setelah itu, seorang penjaga datang membawa pesan untuk Lord Arai. Zenko meminta maaf dengan berlebihan lalu berkata kalau dia terpaksa pergi tapi akan bergabung lagi saat makan siang. Kepergiannya meninggalkan mereka ber-dua dalam kesenyapan. Minoru meletakkan kuasnya, semua pembicaraan telah ditulisnya. Kono berkata, "Aku harus membicarakan satu hal yang memerlukan penanganan yang bijaksana. Sebaiknya memang dibicarakan berdua saja dengan Lord Otori." Takeo menaikkan alis lalu menjawab, "Juru tulisku tetap di sini." la memberi isyarat pada sisa pengawal yang lain untuk meninggalkan ruangan. Setelah semua orang pergi, Kono diam selama beberapa saat. Ketika bicara, nada suaranya lebih hangat dan sikapnya lebih alami, tidak terlalu dibuat-buat. "Aku ingin Lord Otori tahu bahwa aku hanyalah seorang utusan. Aku tidak memendam kebencian terhadap Anda. Aku tahu sedikit sejarah dari kedua keluarga kita-keadaan yang tidak sepantasnya terjadi pada Lady Shirakawa-namun tindakan ayahku acapkali membuat ibuku dan aku tertekan, ketika beliau masih hidup. Aku tidak percaya kalau ayahku tidak bersalah." Halaman 473 dari 473 Tidak bersalah? pikir Takeo. Semua kesalahan justru ada padanya: penderitaan dan rusaknya wajah istriku, terbunuhnya Amano Tenzo, pembantaian tanpa perasaan pada kuda pertamaku, Raku, serta semua yang kehilangan nyawa di pertempuran Kusahara dan pada saat menarik mundur. la tidak bicara sepatah kata pun. Kono meneruskan, "Ketenaran Lord Otori telah menyebar ke seluruh Delapan Pulau. Kaisar pun sudah mendengarnya. Paduka Yang Mulia beserta kalangan lstananya mengagumi cara Anda mewujudkan kedamaian di Tiga Negara." "Aku merasa tersanjung." "Sayangnya semua prestasi hebat itu tidak mendapat persetujuan Kaisar." Kono ter-senyum dengan keramahan dan pengertian yang tidak tulus. "Dan prestasi Anda berasal dari kematian-aku tak ingin mengatakan itu sebagai pembunuhan-perwakilan di Tiga Negara yang diakui Kaisar, Arai Daiichi." "Lord Arai tewas, seperti ayahmu, dalam gempa." "Aku rasa Lord Arai ditembak oleh salah satu pengikut Anda, perompak Terada Fumio, yang pada dasarnya sudah penjahat. Gempa itu merupakan hukuman dari Surga sebagai akibat dari tindak pengkhianatan melawan wakil kaisar: itu yang dipercaya di ibukota. Ada juga kematian yang tak dapat dijelaskan, berhubungan dengan Kaisar yang berkuasa saat itu: kematian Lord Shirakawa, misalnya, kemungkinan di tangan Kondo Koichi, yang saat itu bekerja pada Anda, dan yang juga terlibat dalam kematian ayahku." Takeo membalas, "Kondo sudah meninggal bertahun-tahun lalu. Semua ini sudah menjadi masa lalu. Di Tiga Negara dipercaya bahwa Surga turun tangan untuk menghukum saudara-saudara dari kakekku dan Arai atas tindakan dan pengkhianatan keji mereka. Arai menyerang pasukanku yang tidak bersenjata. Bila ada yang disebut peng-khianatan, maka dialah yang berkhianat." Bumi menghantarkan apa yang diinginkan Surga. "Nah, putranya, Lord Zenko, adalah saksinya dan laki-laki dengan kejujuran pastilah berkata yang sebenarnya," sahut Kono acuh tak acuh. Tugasku yang tidak menyenangkan adalah memberitahukan bahwa karena Anda tidak pernah meminta ijin atau dukungan dari Kaisar, tidak pernah mengirim pajak atau upeti ke ibukota, maka pemerintahan Anda dianggap tidak sah dan Anda diminta untuk turun takhta. Anda akan diampuni bila mengasingkan diri ke pulau terpencil. Pedang keturunan leluhur Otori harus dikembalikan kepada Kaisar." "Aku sungguh tidak mengerti Anda berani membawa pesan semacam ini," sahut Takeo, seraya menyembunyikan rasa kaget dan marahnya. "Di bawah kekuasaankulah Tiga Negara menjadi damai dan sejahtera. Aku tak berniat turun takhta sampai putriku cukup dewasa untuk menjadi pewarisku. Aku ingin membuat perjanjian dengan Kaisar, dan orang lain yang ingin mendekatiku dengan damai; aku memiliki tiga putri yang bisa kuaturkan pernikahan politis bagi mereka. Namun aku takkan terintimidasi oleh ancaman." "Tidak seorang pun berani mengancam Anda," gumam Kono, sulit membaca ekspresi wajahnya. Takeo bertanya, "Mengapa baru sekarang kau datang? Di mana minat Kaisar bertahun-tahun lalu, ketika lida Sadamu menjarah Tiga Negara dan membunuhi rakyatnya? Apakah lida bertindak atas persetujuan Kaisar?" Dilihatnya Minoru agak menggerakkan kepala, dan berusaha mengendalikan ke-gusarannya. Tentu saja Kono memang ber-harap untuk membuatnya gusar, berharap menggiringnya membuat pernyataan terbuka tentang sikap membangkang yang akan diartikan sebagai pemberontakan selanjutnya. Zenko dan Hana ada di balik semua ini, pikirnya. Tapi pasti ada alasan lain mengapa mereka- dan Kaisar-berani bergerak menentang dirinya saat ini Kelemahan macam apa yang sedang mereka eksploitasi? Kekuatan tambahan apa yang mereka kira mereka punya? "Aku tak bermaksud untuk tidak meng-hormati Kaisar," ujar Takeo dengan hati-hati. "Namun beliau dihormati di seluruh penjuru Delapan Pulau atas tujuannya untuk mewujudkan kedamaian. Tentu saja beliau takkan berperang melawan rakyatnya sendiri, kan?" Benarkah Kaisar takkan menggalang kekuatan untuk melawanku? "Lord Otori belum mendengar kabar ter-baru," tutur Kono dengan nada sedih. "Kaisar telah menunjuk jenderal baru: keturunan salah satu keluarga tertua di wilayah Timur, pemimpin sepuluh ribu pasukan. Lebih dari segalanya, Kaisar ber-tujuan damai, namun beliau tidak dapat mengampuni tindakan kriminal, dan kini beliau memiliki tangan kanan yang kuat untuk menegakkan hukum dan keadilan." Halaman 474 dari 474 Kata-kata yang dilontarkan dengan lembut itu mengandung sengatan penghinaan, dan Takeo merasakan gelombang panas dalam dirinya. Hampir tak tertahankan karena ia dianggap penjahat: darah Otori dalam dirinya berontak menentang anggapan tersebut. Namun selama bertahun-tahun ia telah memadamkan tantangan dan per-selisihan melalui perundingan dan diplomasi yang cerdas. la tidak percaya kalau cara ini akan mengecewakannya sekarang. Dibiarkan-nya hinaan itu menyirami dirinya sambil berusaha mengendalikan diri, dan mulai mempertimbangkan jawaban seperti apa yang akan ia berikan. Jadi mereka mempunyai jenderal perang. Mengapa aku tak pernah mendengar namanya? Di mana Taku saat aku membutuhkannya? Di mana Kenji? Kelebihan senjata serta pasukan yang disiapkan Arai Zenko: mungkinkah mereka mendukung ancaman baru ini? Senjata-senjata: bagaimana kalau itu ternyata senjata api? Bagaimana jika mereka dalam perjalanan ke Timur? "Anda di sini sebagai tamu dari penguasa yang berada di bawah kekuasaanku, Arai Zenko," akhirnya ia berkata. "itu berarti tamuku juga. Kurasa Anda harus memper panjang masa tinggal Anda di wilayah Barat, mengunjungi kekayaan mendiang ayah Anda, lalu kembali bersama Lord Arai ke Kumamoto. Aku akan memanggil Anda sewaktu sudah kuputuskan bagaimana men-jawab ke Kaisar, ke mana aku akan pergi jika ingin mengundurkan diri, dan bagaimana cara terbaik untuk mempertahankan kedamaian." "Kuulangi lagi, aku hanyalah utusan," sahut Kono, lalu membungkuk dengan ketulusan yang jelas. Zenko kembali dan makan siang sudah siap: meskipun hidangannya mewah dan lezat, Takeo nyaris tidak bisa merasakannya. Perbincangan berjalan dengan ringan dan sopan; ia mencoba turut ambil bagian di dalamnya. Saat mereka selesai makan, Kono dikawal oleh Zenko menuju ke wisma tamu. Jun dan Shin sudah menunggu di luar di beranda. Mereka bangkit dan mengikuti Takeo tanpa suara ketika ia kembali ke kamarnya. "Lord Kono tidak boleh meninggalkan kediaman ini," katanya pada mereka, "Jun, tempatkan penjaga di gerbang. Shin, segera ambil alih perintah di pelabuhan. Lord Kono akan tinggal di wilayah Barat sampai kuberi-kan ijin tertulis baginya untuk kembali ke Miyako. Hal yang sama berlaku juga untuk Lady Arai dan kedua putranya." Kedua saudara sepupu itu bertukar pandang tapi tidak berkomentar selain, "Tentu saja, Lord Otori." "Minoru," ujar Takeo pada juru tulisnya. "Pergilah dengan Shin ke pelabuhan dan cari tahu rincian tentang kapal-kapal yang sedang merapat, terutama yang menuju ke Akashi." "Aku mengerti," sahut Minoru. "Aku akan kembali secepatnya." Takeo bersantai di beranda lalu men-dengarkan suasana di kediaman berubah ketika semua instruksinya dilaksanakan: langkah kaki penjaga, perintah Jun yang keras serta dengan paksaan, para pelayan yang bingung berjalan bergegas dan komentar bisik-bisik, satu seruan terkejut dari Zenko, saran Hana yang diucapkan dengan bergumam. Ketika Jun kembali, Takeo menyuruhnya untuk tetap berada di luar kamar dan jangan sampai ada orang yang mengganggunya. Kemudian ia istirahat di dalamnya, lalu membolak-balik catatan Minoru tentang pertemuan dengan Kono selagi menunggu juru tulisnya kembali. Huruf-huruf dalam tulisan seakan melompat ke arahnya dari halaman catatan, kaku dan goresan dalam tulisan tangan Minoru yang nyaris sempurna. Pengasingan, penjahat, pengkhianatan. Takeo berjuang untuk mengendalikan amarahnya yang timbul akibat penghinaan semacam ini, sadar kalau Jun hanya berada tiga langkah darinya. Hanya tinggal me-ngeluarkan satu perintah lagi, dan mereka semua akan mati: Kono, Zenko, Hana dan anak-anaknya... darah mereka akan menyapu rasa malu yang bisa dirasakan menoreh lulangnya, mengikis organ-organ tubuhnya. Lalu ia akan menyerang Kaisar serta jenderalnya sebelum musim panas berakhir, mendesak mereka kembali ke Miyako, mem-porakporandakan ibukota. Hanya dengan cara inilah kemarahannya bisa reda. Dipejamkan matanya, melihat motif gambar di kertas kasa terukir di kelopak matanya, lalu menghela napas panjang, mengenang bangsawan lain yang telah mem-bunuh untuk menyapu habis penghinaan dan akhimya mencabut nyawa orang lain demi kesenangannya sendiri, membayangkan betapa mudahnya mengambil jalan keluar seperti itu dan menjadi seperti lida Sadamu. Halaman 475 dari 475 Dengan penuh kesadaran, disingkir-kannya rasa terhina dan tikaman rasa malu jauh-jauh, seraya berkata pada dirinya sendiri kalau pemerintahannya memang ditakdir-kan dan direstui Surga: ia melihat restu ini dengan kehadiran burung houou, dengan kebahagiaan rakyatnya. Pada akhirnya kembali lagi pada keputusan untuk meng-hindari pertumpahan darah dan perang sebisa mungkin, dan tidak akan melakukan apa pun tanpa berkonsultasi dengan Kaede dan penasihat lainnya. Keputusan ini segera saja diuji kebenaran-nya, ketika Minoru kembali dari ruang catatan petugas pelabuhan. "Kecurigaan Lord Otori benar," tuturnya. "Dibuat seolah-olah satu kapal berangkat ke Akashi saat laut pasang semalam, tapi sertifikat pemeriksaan muatannya belum diisi. Shin membujuk kepala pelabuhan untuk segera menyelidikinya." Takeo memicingkan mata tanpa ber-komentar. "Lord Otori jangan khawatir," ujar Minoru untuk meyakinkan. "Shin hamper tidak perlu bertindak kasar. Orang-orang yang bertanggung jawab sudah dikenali; pegawai pabean yang mengijinkan kapalnya berangkat, dan pedagang yang menangani muatan. Mereka sudah ditahan, menunggu keputusan Anda tentang kelanjutan nasib mereka." la merendahkan suara. "Tak satu pun dari mereka mengakui dari mana asal muatan tersebut." "Kita harus mencurigai yang terburuk," sahut Takeo. "Mengapa pula harus meng-hindari prosedur pemeriksaan? Tapi jangan bicarakan hal ini secara terang-terangan. Kita harus berusaha menangani mereka sebelum sampai di Akashi." Minoru tersenyum tipis. "Aku juga ada kabar baik untuk Anda. Kapal Terada Fumio sedang menunggu di galangan. Mereka akan tiba di Hofu saat laut pasang malam ini." "Dia datang di saat yang tepat," seru Takeo, semangatnya segera bangkit. Fumio dan ayahnya adalah teman lamanya yang mengawasi pasukan kapal yang digunakan Klan Otori untuk melakukan perdagangan dan mempertahankan garis pantai mereka. Fumio pergi selama berbulan-bulan bersama tabib lshida, dalam perjalanan yang sering dilakukan untuk perdagangan dan pen-jelajahan. "Katakan pada Shin untuk membawa pesan pada Fumio kalau dia akan ke-datangan tamu malam ini. Pesannya tak perlu terlalu jelas. Fumio pasti mengerti." Takeo sangat lega untuk beberapa hal. Fumio pasti punya berita terbaru mengenai Kaisar; jika ia bisa segera berangkat, maka peluang untuk mengejar kapal ilegal itu cukup besar; dan lshida pasti membawa obat-obatan, sesuatu yang bisa meredakan rasa sakitnya yang berkepanjangan. "Dan sekarang aku harus bicara dengan adik iparku. Panggil Lord Zenko untuk datang menghadap." la senang punya alasan tentang petugas pabean untuk menekan adik iparnya. Zenko mengungkapkan permintaan maaf dan ber-janji untuk mengatur eksekusinya, me-yakinkan Takeo kalau itu adalah peristiwa yang jarang terjadi, hanya contoh dari keserakahan manusia. "Kuharap kau benar," sahut Takeo. "Aku ingin kau meyakinkan kesetiaan penuhmu kepadaku: kau berhutang nyawa padaku; kau menikah dengan adik istriku; ibumu adalah sepupuku dan sahabatku. Kau memegang Kumamoto atas keinginan dan ijinku. Kemarin kau menawarkan salah satu putramu kepadaku. Kuterima tawaranmu. Tentu saja aku akan membawa keduanya; saat berangkat ke Hagi mereka akan menemaniku. Mulai saat ini mereka akan tinggal bersama keluargaku dan dibesarkan sebagai putraku. Aku akan mengangkat Sunaomi, bila kau tetap setia padaku. Hidup Sunaomi dan adiknya akan diserahkan ke tanganku bila ada sedikit saja tanda ketidaksetiaan. Masalah pernikahan akan diputuskan nanti. lstrimu boleh bergabung dengan kedua putranya di Hagi, jika dia mau, tapi aku yakin kau menginginkan istrimu tetap bersamamu." Takeo mengamati wajah adik iparnya lekat-lekat ia bicara. Zenko tidak berani menatapnya. Bola matanya ikit berputar dan bicara terlalu cepat untuk memberi tanggapan. "Lord Takeo harus tahu kalau aku betul-betul setia. Apa yang telah Kono katakan hingga Anda beranggapan seperti ini? Apakah dia bicara tentang masalah-masalah di wilayah Timur? "Jangan pura-pura tidak tahu! Takeo tergoda ingin langsung menantangnya, tapi memutuskan kalau saatnya belum tiba. "Kita abaikan saja apa yang telah dikatakannya: itu tidak penting. Sekarang, di hadapan semua saksi di sini, ucapkan sumpah setiamu kepadaku." Halaman 476 dari 476 Zenko melakukannya dengan mem-bungkuk dalam-dalam, tapi Takeo ingat bagaimana ayahnya, Arai Daiichi, telah bersumpah setia hanya untuk meng-khianatinya, dan di saat yang paling genting lebih memilih kekuasaan melebihi dari nyawa kedua putranya. Putranya pun akan bersikap sama, pikirnya. Seharusnya kuperintahkan dia menca but nyawanya sekarang juga. Namun tak kuasa bertindak seperti itu, karena pada akhirnya semua kesedihan hanya akan menimpa keluarganya sendiri. Lebih baik tetap mencoba menjinakkannya, ketimbang membunuhnya. Tapi betapa lebih mudahnya kalau dia mati. Disingkirkannya pikiran itu seraya berjanji pada dirinya sendiri sekali lagi untuk ber-pegang pada jalan yang lebih rumit dan sulit, jauh dari kemudahan yang menipu dari pembunuhan atau bunuh diri. Begitu Zenko selesai menyampaikan semua keberatannya, semua dicatat oleh Minoru, Takeo ber-istirahat di wismanya, berkata kalau ia akan makan sendirian dan istirahat lebih awal karena hendak berangkat ke Hagi keesokan paginya. la ingin sekali berada di rumah, berbaring bersama istrinya dan membuka hati kepadanya, bertemu dengan putri-putrinya. Dikatakannya pada Zenko agar kedua putranya harus siap melakukan perjalanan bersamanya. Sepanjang hari hujan turun dan reda. tapi saat ini langit mulai cerah, angin berhembus lembut dari selatan meluluhkan awan gelap. Matahari tenggelam dalam warna merah muda dan cahaya keemasan yang membuat banyak warna hijau di taman bermandikan cahaya. Keadaan akan baikbaik saja pada pagi hari, hari yang baik untuk melakukan perjalanan, baik juga untuk kegiatan malam hari yang terlintas di benaknya. Takeo mandi lalu mengenakan jubah dari bahan katun tipis seolah bersiap pergi tidur, makan sedikit tapi tanpa minum sake, kemudian menyuruh semua pelayan pergi, mengatakan pada mereka kalau ia tak mau diganggu. Kemudian menenangkan dirinya sendiri, bersila di matras dengan mata ter-pejam dan kedua jari telunjuk dan ibu jari saling bersentuhan ditekan seakan tenggelam dalam posisi meditasi. Dipasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan suara-suara di dalam kediaman. Tiap suara terdengar olehnya: percakapan pelan para penjaga di gerbang, pelayan dapur mengobrol sambil membersihkan piring lalu menyimpannya, anjing-anjing menyalak, musik dan tempat minumminum di sekitar pelabuhan, gemuruh tanpa henti air laut, gemerisik dedaunan dan teriakan burung hantu dari gunung. Terdengar olehnya Zenko dan Hana membicarakan pengaturan untuk keesokan harinya, tapi percakapan yang sepele, seolah mereka ingat kalau ia mungkin saja sedang mendengarkan. Dalam permainan berbahaya yang telah mereka mulai, mereka tidak mau ambil resiko Takeo mencuri dengar strategi mereka, terutama bila ia memang jadi menahan kedua putra mereka. Tak lama kemudian, mereka bertemu Kono untuk makan malam, namun mereka sama berhati-hatinya: yang terdengar tak lebih dari tata rambut model terbaru dan cara berpakaian di istana, kegemaran Kono akan puisi dan drama, serta olahraga para bangsawan, bola tendang dan berburu anjing. Percakapan itu menjadi semakin hidup: seperti ayahnya, Zenko gemar minum sake. Takeo berdiri dan mengganti pakaiannya, memakai jubah yang tidak mencolok berwarna pudar seperti yang biasa dikenakan pedagang. Ketika melewati Jun dan Shin, yang sedari tadi duduk di luar pintu, Jun menaikkan alis; Takeo menggelengkan kepala. Tak ingin ada yang tahu kalau ia pergi. Dipakainya sandal jerami di anak tangga taman, menghilang lalu berjalan lewat gerbang yang masih terbuka. Anjing-anjing menggiringnya dengan tatapan mata tapi para penjaga tidak memerhatikannya. Bersyukurlah kalian tak berjaga di gerbang istana di Miyako, katanya tanpa suara pada anjing-anjing. Karena mereka akan memburu kalian dengan hujan anak panah untuk olahraga. Di satu sudut yang gelap tidak jauh dari pelabuhan, Takeo melangkah masuk ke bayangan tak tertihat dan keluar dengan penyamarannya sebagai pedagang yang sedang terburu-buru untuk pekerjaan di kota. Udara terasa penuh dengan aroma garam, ikan yang sedang dikeringkan dan rumput laut di atas rak-rak di tepi pantai, ikan dan gurita panggang di rumah makan. Lentera menerangi jalanan sempit dan cahaya lampu bersinar jingga dari balik kertas kasa. Di tepi galangan, kapal-kapal kayu saling bergesekan, terombang-ambing oleh ombak, air menghantam badan kapal, dengan tiang pancang yang kekar dan berwarna gelap di bawah siraman cahaya malam penuh bintang. Di kejauhan dapat dilihatnya pulau-pulau dari Laut Lingkar; di balik bentuknya yang menyembul tajam tampak cahaya temaram bulan yang baru naik. Tungku bara menyala di samping tali tambatan salah satu kapal besar, dan Takeo, dengan menggunakan dialek kota itu, ber-seru pada orang-orang yang, memanggang potongan-potongan Halaman 477 dari 477 abon kering dan berbagi sebotol sake. "Apakah Terada datang dengan kapal ini?" "Ya, benar," sahut satu orang. "dia sedang makan di Umedaya." "Apakah kau berharap melihat kirin*?" timpal yang lain. "Lord Terada menyembunyikannya di tempat yang aman sampai bisa diperlihatkan kepada penguasa kami, Lord Otori." "Kirin?" Takeo terkejut. Kirin adalah hewan dalam tongeng, separuh naga, separuh kuda, dan separuh singa. Dikiranya hewan itu hanya legenda. Apa yang ditemukan Terada dan lshida di daratan utama? "Seharusnya ini rahasia," orang pertama memperingatkan temannya. "Dan kau terus saja mengoceh pada semua orang!" "Tapi ini kirin!" sahut yang lainnya. "Sungguh suatu mukjizat bisa memiliki hewan ini hidup-hidup! Dan tidakkah itu membuktikan bahwa Lord Otori adil dan bijaksana melebihi yang lainnya? Pertama burung houou, burung suci kembali ke Tiga Negara, dan kini muncul seekor kirin!" Orang itu menenggak lagi sakenya lalu menawarkan botolnya pada Takeo. "Bersulang untuk kirin dan Lord Otori!" "Baiklah, terima kasih," sahut Takeo sambil tersenyum. "Aku berharap bisa melihatnya suatu hari nanti." "Tidak akan sebelum Lord Otori melihat-nya!" Takeo masih tersenyum selagi berjalan menjauh, kerasnya rasa sake membangkitkan semangatnya sama banyaknya dengan niat baik orang-orang tadi. Saat kudengar tidak lain dari kritikan tentang Lord Otori-saat itulah aku akan mengundurkan diri, katanya pada diri sendiri. Tapi tidak sebelum saat itu tiba, walau dipaksa sepuluh kaisar dan jenderaljenderalnya sekalipun.* * Kirin atau qilin (dalam bahasa cina) merupakan mahluk dongeng yang kemunnculannya dianggap sebagai simbol kemakmuran negeri dan keadilan bangsa Umedaya adalah sebuah rumah makan yang berada di antara pelabuhan dan distrik utama kota, satu dari banyak bangunan rendah yang menghadap ke arah sungai dan diapit pohon-pohon willow. Lentera digantung di tiang-tiang beranda dan di perahu-perahu besar pengangkut yang ditambatkan di depannya dengan muatan berbal-bal beras dan gandum, serta hasil pertanian lainnya dari pedalaman ke laut. Banyak pelanggan duduk di luar menikmati indahnya bulan yang kini berada di atas puncak pegunungan, meman-tulkan warna keperakan pada alur gelom-bang. "Selamat datang! Selamat datang!" seru pelayan saat Takeo menyibak tirai rumah makan itu lalu melangkah masuk; disebut-nya nama Terada dan dia menunjuk ke sudut beranda yang ada di bagian dalam. Fumio tampak sedang sibuk menelan ikan rebus dengan tergesa-gesa sambil berbicara dengan keras. Tabib Ishida duduk bersamanya, makan sama lahapnya, sambil mendengarkan dengan senyum tipis di wajahnya. Beberapa anak buah Fumio. beberapa di antaranya sudah dikenal Takeo, ada bersamanya. Halaman 478 dari 478 Berdiri tanpa dikenali dalam kegelapan, Takeo mengamati kawan lamanya selama beberapa waktu. Fumio tetap kelihatan kekar seperti biasa, dengan pipi tembam dan kumis tipis, meskipun kini kelihatan ada bekas luka baru di salah satu pelipisnya. Ishida kelihatan lebih tua, lebih kurus kering, kulitnya kekuningan. Takeo senang melihat keduanya lalu melangkah naik ke area duduk. Salah satu mantan perompak segera melompat berdiri menghalangi jalannya, mengira kalau ia hanyalah pedagang yang tak penting. Tapi setelah beberapa saat terkejut dan ke-bingungan, Fumio bangkit, mendorong anak buahnya ke samping, sambil berbisik, "Ini Lord Otori!" lalu memeluk Takeo. "Walaupun memang sedang menunggu-mu, aku tidak mengenalimu!" serunya. "Misterius dan aneh: aku tidak akan ter-biasa." Tabib Ishida tersenyum lebar. "Lord Otori!" Dipanggilnya pelayan untuk mem-bawakan sake lagi. Takeo duduk di samping Fumio, berhadapan dengan si tabib, yang mengamatinya dengan seksama di bawah cahaya temaram. "Ada masalah?" tanya Ishida setelah mereka bersulang. "Ada beberapa hal yang perlu kubicara-kan," sahut Takeo. Fumio memberikan isyarat dengan kepala, lalu anak buahnya pindah ke meja lain. "Aku ada hadiah untukmu," katanya pada Takeo. "Hadiah yang akan mengalihkan perhatianmu dari masalah. Coba tebak apa hadiahnya! Lebih hebat dari apa pun yang pernah kau inginkan!" "Ada satu hal yang kudambakan lebih dari segalanya," jawab Takeo. "Yaitu melihat seekor kirin sebelum aku mati." "Ah. Mereka sudah mengatakannya pada-mu. Dasar manusia brengsek yang tak ber-guna. Akan kurobek mulut mereka." "Mereka menceritakannya pada seorang pedagang miskin yang tak berani," sahut Takeo tertawa. "Aku harus mencegahmu menghukum mereka. Lagipula, aku juga hampir tidak percaya pada mereka. Apakah itu benar?" "Ya dan tidak," kata Ishida. "Tentu saja, bukan kirin yang sesungguhnya: kirin adalah hewan dalam dongeng, sedangkan yang ini adalah hewan sungguhan. Tapi hewan yang luar biasa, dan yang paling mirip dengan kirin dibanding hewan lain yang pernah kulihat." "Ishida jatuh hati pada hewan itu," tutur Fumio. "Dia menghabiskan waktu berjam-jam menemaninya. Ia lebih parah ketim-bang kau dan kuda tuamu itu, siapa nama-nya?" 'Shun," sahut Takeo. Shun mati karena usia tua tahun lalu; tak akan ada lagi kuda sepertinya. "Kau tidak bisa menunggangi hewan ini, tapi mungkin bisa menggantikan Shun, agar kau bisa mencurahkan kasih sayangmu," tutur Fumio. "Aku ingin sekali melihatnya. Di mana hewan itu sekarang?" "Di kuil Daifukuji; mereka menemukan taman yang tenang untuk hewan itu, dengan dinding yang tinggi. Kami akan perlihatkan padamu besok. Karena kau sudah merusak kejutan kami, maka sekalian saja ceritakan masalah-masalahmu pada kami." Fumio menuang sake lagi. "Apa yang kau tahu tentang jenderal baru Kaisar?" tanya Takeo. "Kalau kau tanya aku beberapa minggu lalu, aku akan jawab, 'Tidak tahu apa-apa,' karena kami sudah pergi selama enam bulan, tapi kami pulang melalui Akashi, dan kota itu sibuk membicarakannya. Namanya Saga Hideki, dengan julukan Pemburu Anjing." "Pemburu Anjing?" "Dia sangat suka berburu anjing, dan kabarnya mahir melakukannya. Jenderal itu mahir berkuda dan memanah, serta ahli siasat perang yang cerdas. Mendominasi propinsi-propinsi di wilayah Timur, kabar-nya memiliki ambisi menaklukkan seluruh Delapan Pulau, dan baru-baru ini ditunjuk Kaisar untuk bertempur atas nama Paduka Yang Mulia serta membinasakan musuh-musuhnya dalam rangka mencapai tujuan itu." Halaman 479 dari 479 "Sepertinya aku termasuk dalam daftar musuhnya," ujar Takeo. "Putra Lord Fujiwara, Kono, datang menghadapku hari ini. Ternyata Kaisar memintaku meng-undurkan diri, dan jika aku menolak, beliau akan mengirim si Penangkap Anjing untuk melawanku." Wajah Ishida berubah pucat ketika nama Fujiwara disebut. "masalah," gumamnya. "Apakah ada indikasi kalau senjata api di perdagangkan di Imai?" "Tidak, justru sebaliknya; beberapa pedagang mendekatiku, menanyakan ten- tang senjata dan bubuk mesiu, berharap menghindar pelarangan dari Otori. Mesti kuperingatkan padamu, mereka menawar-kan uang dalam jumlah besar. Jika jenderal Kaisar tengah bersiap melawanmu, kemung-kinan dia berusaha membeli senjata api: demi uang sebesar itu, cepat atau lambat akan ada orang yang akan menyediakan senjata api." "Aku khawatir mereka sudah dalam per-jalanan," ujar Takeo, dan menceritakan pada Fumio tentang kecurigaannya pada Zenko. "Mereka punya waktu kurang dari sehari untuk memulainya," sahut Fumio, meneng-gak habis minumnya lalu berdiri. "Kita bisa hentikan mereka. Aku ingin melihat wajah-mu saat kuperlihatkan kirin, tapi nanti Ishida bisa menceritakannya padaku. Tahan Lord Kono di wilayah Barat sampai aku kembali. Sebelum mereka bisa menandingi jumlah senjata api, mereka takkan memancingmu dalam pertempuran. Angin bertiup dari arah barat: kita bisa mendapat laut pasang jika berangkat sekarang." Dipanggil anak buah-nya, dan mereka pun berdiri, menjejalkan sisa makanan, menenggak habis sake, mengucapkan selamat tinggal pada pelayan perempuan dengan perasaan enggan. Takeo memberitahu mereka nama kapalnya. Fumio pergi begitu cepat hingga mereka hampir tidak sempat mengucapkan selamat berpisah. Takeo ditinggal bersama Ishida. "Fumio tak berubah," katanya, terhibur dengan tin-dakan cekatan kawannya. "Dia masih tetap sama," sahut Ishida. "Seperti angin topan, tidak pernah bisa diam." Si tabib menuang sake lagi lalu minum sampai habis. "Dia adalah teman seperjalanan yang memberi semangat, namun melelahkan." Mereka berbincang-bincang tentang per-jalanan, dan Takeo memberi kabar tentang keluarganya yang selalu menyita perhatian Ishida, karena dia sudah menikah dengan Muto Shizuka selama lima belas tahun. "Rasa sakitmu terasa lagi?" tanya si tabib. "Kelihatan dari wajahmu." "Ya, cuaca yang lembap memperburuknya: kadang kurasa masih ada sisa racun yang hingga terasa panas. Acapkali lukanya kelihatan memerah di balik carutannya. Membuat sekujur tubuhku sakit." "Akan kuperiksa nanti, berdua saja," sahut Ishida. "Bisakah sekarang kau kembali bersama-ku?" "Aku punya cukup persediaan akar-akaran dari Shin, dan obat tidur terbuat dari bunga candu. Untung saja kuputuskan untuk mem-bawanya," komentar Ishida seraya meng-ambil sebuah buntalan kain dan kotak kayu kecil. Tadinya aku bermaksud meninggal-kannya di kapal. Kalau tidak kubawa pasti barang-barang ini sudah setengah perjalanan menuju Akashi dan tidak terlalu berguna bagimu." Nada suara Ishida kedengaran murung. Takeo mengira dia akan melanjutkan bicara-nya, namun setelah beberapa saat dalam hening yang tidak mengenakkan, si tabib tampak berhasil mengendalikan perasaannya; dikumpulkan barang-barangnya lalu berkata dengan riang, "Setelah itu aku harus pergi memeriksa kirin. Aku akan menginap di Daifukuji malam ini. Kirin sudah terbiasa denganku, bahkan terikat dengan diriku: aku tak ingin membuatnya gelisah." Sedari tadi Takeo menyadari ada suara orang berdebat dari bagian dalam rumah makan, seorang laki-laki berbicara dengan bahasa asing dan suara seorang perempuan menerjemahkan. Suara perempuan itu membuatnya tertarik karena logatnya berasal dari wilayah Timur, meskipun perempuan itu bicara dengan dialek setempat, dan ada sesuatu dengan intonasi suaranya yang tidak asing bagi Takeo. Ketika berjalan melewati ruang bagian dalam, Takeo mengenali si orang asing, yang dipanggil Don Joao. Ia yakin belum pernah bertemu dengan perempuan yang berlutut di samping orang asing itu, namun seperti ada sesuatu... Halaman 480 dari 480 Selagi ia mengira-ngira siapa perempuan itu, si orang asing melihat Ishida lalu memanggilnya. Ishida amat disukai orang asing itu dan menghabiskan banyak waktu menemani mereka, saling bertukar ilmu pengetahuan medis, informasi tentang perawatan serta tanaman herbal, serta membandingkan kebiasaan dan bahasa mereka. Don Joao pernah bertemu Takeo beberapa kali, tapi selalu dalam suasana resmi, dan sepertinya saat ini dia tidak bisa mengenali. Orang asing itu gembira bertemu sang tabib dan ingin agar dia duduk dan mengobrol, tapi Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Perempuan itu, yang mungkin berusia dua puluh lima tahunan, melihat sekilas ke arah Takeo, yang terus memalingkan wajah dari perempuan itu. Dia menerjemahkan perkataan Ishida- sepertinya perempuan itu cukup fasih berbicara bahasa asing-lalu melayangkan pandangannya ke arah Takeo lagi; kelihatan-nya tengah mengamati Takeo dengan penuh seksama, seakan-akan mengira kalau mung-kin mengenal Takeo. Perempuan itu mengangkat tangan untuk menutup mulut, dengan pakaiannya terlipat ke belakang dan memperlihatkan kulit lengannya, halus dan gelap. Takeo merasa kulit perempuan itu amat mirip dengan kulitnya, amat mirip dengan kulit ibunya. Keterkejutannya tak terlukiskan, hingga tak kuasa mengendalikan diri, mengubahdirinya menjadi seorang bocah yang ketakutan serta tersiksa. Perempuan itu tercekat lalu berkata, "Tomasu?" Air mata menggenang di matanya. Tubuh perempuan itu terguncang karena luapan perasaan. Takeo ingat pada seorang gadis cilik yang menangis dengan cara yang sama karena menangisi seekor burung yang mati, kehilangan mainan. Selama ini ia menduga gadis cilik itu sudah tiada, tergeletak di sebelah ibu dan kakak perempuannya yang mati terbujur kaku-perempuan itu memili-ki ketenangan serta wajah yang lebar mirip ibu dan kakak perempuannya, dan warna kulit yang sama dengannya. Takeo menyebut nama adiknya dengan keras untuk pertama kalinya selama lebih dari enam belas tahun: "Madaren!" Sirna sudah semua hal yang ada dibenak-nya: ancaman dan wilayah Timur, misi Fumio merebut senjata api yang diselundup-kan, Kono, bahkan rasa sakitnya, bahkan kirin sekalipun. Ia hanya mampu meman-dangi adik yang dikiranya sudah tiada; hidupnya seperti meluruh lalu memudar. Yang ada dalam ingatannya hanyalah masa kecilnya, keluarganya. Ishida bertanya, "Lord, Anda baik-baik saja? Anda tidak sehat." Takeo bicara dengan cepat pada Madaren, "Katakan pada Don Joao aku akan menemuinya besok. Kabari aku di Daifukuji." "Aku akan datang ke sana besok," sahutnya, dengan tatapan terpaku pada wajah Takeo. Ia berhasil mcngendalikan diri lalu ber-kata, "Kita tidak bisa bicara sekarang. Aku akan datang ke Daifukuji; tunggu aku di sana." "Semoga Dia memberkati dan melin-dungimu," ujarnya, memanjatkan doa kaum Hidden saat berpisah. Meskipun atas perin-tahnya kaum Hidden kini bebas untuk ber-ibadah secara terbuka, tetap saja membuat-nya terkejut melihat terungkapnya sesuatu yang sebelumnya merupakan rahasia, sama seperti salib yang dikenakan Don Joao di dadanya tampak seperti pameran sesuatu yang keji. "Kau lebih tidak sehat dari yang kukira," seru Ishida saat mereka berdua berada di luar. "Perlu kupanggilkan tandu?" "Tidak, tentu saja tidak perlu!" Takeo mengambil napas dalam-dalam. Tadi hanya udara yang terasa pengap. Juga terlalu banyak minum sake, terlalu cepat." "Kelihatannya kau sangat terguncang. Kau mengenal perempuan itu?" "Bertahun-tahun yang silam. Aku tidak tahu kalau dia menerjemahkan untuk orang asing." "Aku pernah bertemu dengannya, tapi tidak akhir-akhir ini-aku pergi selama ber-bulan-bulan." Kota itu semakin senyap, cahaya dimatikan satu demi satu. Selagi mereka menyeberangi jembatan kayu di luar Umedaya dan mengambil salah satu jalan sempit yang mengarah ke kediaman, Ishida berkomentar, "Perempuan itu mengenalmu bukan sebagai Lord Otori, tapi sebagai orang lain." Halaman 481 dari 481 "Seperti yang tadi kubilang, aku sudah sangat lama mengenalnya, sebelum aku menjadi Otori." Takeo masih setengah tercengang dengan pertemuan tadi-dan cenderung setengah menyangsikannya. Bagaimana mungkin itu adiknya? Bagaimana dia bisa selamat dari pembantaian yang menghabisi keluarga dan membakar habis desanya? Tak diragukan lagi bahwa dia bukan sekadar seorang juru bahasa: terlihat olehnya pada tangan dan mata Don Joao. Pria asing itu kerap mengun-jungi rumah pelacuran itu seperti laki-laki lain, tapi sebagian besar perempuan peng-huninya enggan tidur dengan mereka, hanya pelacur kelas terendah yang tidur dengan mereka. Ia merasa ngeri saat memikirkan hidup seperti apa yang telah dijalani adiknya. Namun perempuan itu memanggil dengan nama aslinya. Dan Takeo pun mengenalinya. Di rumah terakhir sebelum sampai di gerbang kediaman, Takeo menarik Ishida ke bawah bayangan gelap. "Tunggu di sini sebentar. Aku harus masuk tanpa terlihat. Aku akan mengirim perintah pada penjaga agar membiarkanmu masuk." Gerbang sudah ditutup, disingsingkannya keliman panjang jubahnya ke sabuk lalu memanjat dinding dengan cukup ringan, kendati hentakan saat mendarat di sisi dinding satunya membuat sakitnya terasa lagi. Menghilang, lalu menyelinap melewati taman yang sunyi, melewati Jun dan Shin menuju ke kamarnya. Mengganti pakaian dengan jubah tidur lalu meminta dibawakan lentera dan teh, mengirim Jun untuk mengatakan pada penjaga agar membiarkan Ishida masuk. Si tabib tiba: mereka saling memberi salam dengan riang, seolah belum bertemu selama enam bulan lamanya. Pelayan perempuan menuang teh dan membawakan lagi air panas, lalu Takeo menyuruhnya pergi. Dilepasnya sarung tangan sutra yang me-nutupi tangan cacatnya dan Ishida menarik lentera lebih dekat agar bisa melihatnya. Di-tekannya jaringan kulit yang tumbuh meng-gantikan jaringan yang rusak dengan ujung jarinya lalu melemaskan jari yang tersisa. "Kau masih bisa menulis dengan tangan ini?" "Setelah berlatih berulang kali. Aku me-nulis dengan tangan kiri." Diperlihatkannya pada Ishida. "Rasanya aku masih bisa ber-tarung menggunakan pedang, tapi tidak ada alasan untuk itu selama bertahun-tahun." "Tidak kelihatan memerah karena infeksi," kata Ishida akhirnya. "Aku akan mencoba dengan jarum besok, untuk mengiris garis bujurnya. Untuk sementara waktu, ini akan membantumu untuk tidur." Selagi menyiapkan teh, Ishida bicara dengan suara pelan, "Aku sering membuat ini untuk istriku. Aku takut bertemu Kono; hanya mengetahui putranya berbaring di dalam kediaman ini, telah mengorek banyak kenangan. Aku ingin tahu apakah dia seperti ayahnya." "Aku belum pernah bertemu Fujiwara." "Kau beruntung. Aku menjalankan perin-tahnya, selama hampir seumur hidupku. Aku tahu dia orang yang kejam tapi dia selalu memperlakukan diriku dengan baik, menye-mangatiku untuk belajar dan melakukan perjalanan, mengijinkan aku melihat koleksi buku-bukunya yang berharga juga harta benda yang lainnya. Kupalingkan wajahku dari kegermarannya yang keji. Aku tidak pernah menyangka kekejamannya akan menimpa diriku." Tiba-tiba Ishida berhenti bicara dan menuang air mendidih ke atas herba kering. Aroma samar-samar dari rumput musim panas menyeruak, harum dan menenang-kan. "Istriku pernah cerita sedikit tentang saat-saat itu," sahut Takeo pelan. "Hanya gempa yang menyelamatkan kami. Belum pernah aku begitu ketakutan, meski-pun pernah menghadapi berbagai macam bahaya: badai di laut, kapal karam, perompak dan orang primitif. Aku pernah menghempa-skan diri di bawah kakinya dan memohon agar diijinkan bunuh diri. Dia berpurapura mengabulkannya, mempermainkan rasa takutku. Terkadang aku memimpikannya; sesuatu yang tak akan pulih dalam diriku; sungguh suatu perwujudan iblis dalam diri manusia." Ishida berhenti sebentar, tenggelam dalam kenangannya. "Saat itu anjingku melolong," tuturnya dengan amat pelan. "Bisa kudengar anjingku melolong. Dia selalu memperingat-kanku tentang gempa dengan cara seperti itu. Kutemukan diriku bertanya-tanya apakah ada orang yang memeliharanya." Diambilnya mangkuk lalu diberikan pada Takeo, "Aku mohon maaf yang sedalam-dalamnya atas keterlibatanku dalam memen-jarakan istrimu." Halaman 482 dari 482 "Semua itu sudah berlalu," sahut Takeo, seraya mengambil mangkuk tadi lalu me-nenggaknya sampai habis dengan rasa syukur. "Namun bila putranya sama seperti ayah-nya, dia hanya akan menyakitimu. Waspada-lah." "Kau memberiku obat dan memperingat-kanku dalam satu tarikan napas," ujar Takeo. "Mungkin aku memang harus menahan rasa sakit ini-paling tidak untuk membuatku tetap terjaga." "Aku harus berada di sini bersamamu... " "Jangan. Kirin membutuhkanmu. Anak buahku ada di sini untuk menjagaku. Untuk sementara ini aku tidak dalam bahaya." Takeo berjalan melewati taman bersama Ishida sampai ke gerbang, merasa lega karena rasa sakitnya mulai berkurang. Ia tidak terjaga lama-hanya cukup lama untuk menghitung kejadian luar biasa hari ini: Kono, ketidaksenangan Kaisar. Si Pemburu Anjing, kirin dan adiknya: apa yang akan dilakukannya dengan Madaren, perempuan milik si orang asing. salah satu kaum Hidden, adik perempuan Lord Otori?* Melihat kakak laki-laki yang dikiranya sudah tiada, bagi perempuan yang dulunya dipanggil Madaren tak kurang terkejutnya, nama yang biasa dipakai kaum Hidden. Selama bertahun-tahun setelah peristiwa pembantaian. Madaren berganti nama men-jadi Tomiko, nama yang diberikan perempu-an yang membelinya dari prajurit Tohan. Prajurit yang turut ambil bagian dalam pemerkosaan dan pembunuhan ibu serta kakak perempuannya, namun Maraden tidak ingat semua dari kejadian itu: yang diingat-nya hanyalah hujan musim panas, bau keringat kuda ketika pipinya menempel di lehemya, tangan laki-laki yang memegangi tubuhnya, tangan yang sepertinya lebih besar dan lebih berat dibandingkan sekujur tubuh-nya. Semuanya berbau asap dan lumpur dan sadar kalau ia takkan bersih lagi. Saat awal terjadinya kebakaran, kuda kuda dan pedang, ia berteriak memanggil ayahnya, memanggil Tomasu, seperti yang dilakukannya pada awal tahun itu ketika terjatuh ke sungai berarus deras dan terjebak di bebatuan sungai yang licin, dan Tomasu mendengar teriakan-nya dari sawah lalu berlari menghampiri untuk menariknya keluar dari sungai, meng-hardik juga menenangkannya. Tapi kali ini Tomasu tidak mendengar teriakannya; begitu pula ayahnya yang telah tiada; tak seorang pun mendengar teriakan-nya dan tak seorang pun datang menolong-nya. Banyak anak, tidak hanya yang hidup di kalangan kaum Hidden, merasakan pen-deritaan yang sama ketika Iida Sadamu berkuasa di kastil berdinding hitam miliknya di Inuyama; begitu pula dengan situasi yang berubah setelah Inuyama jatuh ke tangan Arai. Beberapa di antaranya bertahan hidup hingga dewasa, Madaren merupakan salah satunya, salah satu dari sejumlah besar gadis yang melayani kebutuhan klas ksatria, menjadi pelayan rumah, pelayan dapur atau penghuni rumah pelacuran. Mereka tidak punya keluarga, sehingga tanpa perlindung-an; Madaren bekerja pada perempuan yang membelinya, menjadi kelas terendah dari pelayan, menjadi orang pertama yang bangun di pagi hari dan tidak boleh tidur sebelum pelanggan terakhir pulang. Ia mengira kelelahan dan rasa lapar telah membuat diri-nya kebal terhadap segala sesuatu di se-kelilingnya, tapi saat dewasa dan segera men-jadi gadis yang disukai, ia menyadari kalau selama ini telah belajar dari gadis-gadis yang lebih tua, dengan mengamati serta men-dengarkan mereka, dan menjadi bijaksana tanpa menyadarinya pada sasaran-benar, satusatunya sasaran mereka yaitu para laki-laki yang datang berkunjung. Rumah pelacuran barangkali merupakan tempat yang paling kejam di Inuyama, terletak jauh dari kastil di salah satu jalan sempit yang terbentang di jalan utama, tempat rumah-rumah kecil yang dibangun kembali setelah kobaran api meluluh-lantakkan semuanya bak sarang tawon yang saling Halaman 483 dari 483 berdempetan. Tapi semua laki-laki memiliki hasrat, bahkan kuli pengangkut barang, buruh serta kuli angkut tanah di malam hari, dan di antara mereka ini banyak yang bisa diperdayai oleh cinta seperti laki-laki golongan klas lainnya. Itulah yang dipelajari Madaren; pada waktu yang ber samaan ia juga belajar bahwa perempuan yang dikuasai cinta merupakan makhluk yang paling tak berdaya di kota ini, dengan mudahnya disingkirkan bak anak kucing yang tidak diinginkan, dan ia memanfaatkan apa yang dipelajarinya ini dengan cerdas. Ia mau pergi dengan laki-laki yang dijauhi oleh gadis-gadis lain, memanfaatkan rasa terima kasih mereka. Ia bisa memeras hadiah dari mereka, atau kadang mencurinya, dan pada akhirnya membiarkan seorang pedagang yang hampir bangkrut membawanya ke Hofu, pergi meninggalkan rumah sebelum matahari terbit lalu menemui laki-laki itu galangan kapal yang masih berkabut. Mereka me-numpang kapal yang mengangkut kayu cedar dari hutan menuju wilayah Timur, dan aroma kayu itu mengingatkannya pada Mino, tanah kelahirannya. Hal itu meng-ingatkannya pada keluarganya dan laki-laki agak aneh yang menjadi kakaknya, yang membuat gusar sekaligus memesona ibu mereka. Air mata menggenang di matanya saat meringkuk di bawah papan tebal, dan ketika kekasihnya berbalik untuk memeluk-nya. Madaren menampiknya. Pedagang itu membosankan serta membuatnya gusar, dan akhimya ia kembali ke kehidupan lamanya, bergabung ke rumah pelacuran yang lebih tinggi kelasnya dibandingkan yang pertama. Kemudian orang-orang asing berjanggut berdatangan, bau mereka yang aneh dan tubuh mereka yang besar. Madaren melihat ada semacam kekuatan dalam diri mereka yang mungkin bisa dimanfaatkan dan dengan sukarela tidur dengan mereka; ia memilih orang yang bernama Don Joao, walaupun laki-laki itu mengira kalau dialah yang memilih Madaren: orang-orang asing bersifat sentimental sekaligus pemalu bila sudah berhubungan dengan kebutuhan jasmani: mereka ingin merasa istimewa bagi seorang perempuan, bahkan setelah mereka membeli-nya. Mereka memberi bayaran yang memadai dalam mata uang perak; Madaren berhasil menjelaskan pada pemilik rumah bahwa Don Joao hanya menginginkannya, dan tak lama kemudian ia tidak harus tidur dengan laki-laki lain. Awalnya, bahasa mereka hanyalah bahasa tubuh: nafsu si laki-laki, kemampuan si perempuan memuaskannya. Orang-orang asing sebelumnya memiliki seorang juru bahasa, seorang nelayan yang mereka selamatkan dari laut oleh kaum mereka karena kapalnya tenggelam dan dibawa ke markas mereka di Kepulauan Selatan. Nelayan itu mempelajari bahasa mereka: kadang menemani mereka ke rumah pelacuran; jelas dari cara bicaranya kalau si nelayan tidak berpendidikan dan berasal dari klas rendahan, namun hubungannya dengan orang asing memberinya status dan kekuasa-an. Mereka bergantung sepenuhnya kepada-nya. Nelayan itu merupakan pintu masuk mereka ke dunia baru yang rumit, yang mereka temukan dan mereka harapkan bisa meraih kekayaan dan kemenangan. Mereka percaya semua yang dikatakannya, bahkan ketika dia hanya mengarang sembarangan. Aku juga bisa meraih kekuasaan semacam itu, karena nelayan itu tidak lebih baik dariku, pikir Madaren, dan ia mulai berusaha me-mahami Don Joao, lalu mendorong laki-laki itu untuk mengajarinya. Bahasanya sulit, penuh dengan bunyi aneh dan dikumpulkan dari depan ke belakang- semuanya memiliki jenis kelamin. Ia tak bisa membayangkan alasannya, tapi pintu termasuk jenis perempuan, begitu pula hujan; sedangkan lantai matahari berjenis laki-laki-tapi hal itu justru memesonanya; dan jika bicara dengan bahasa itu pada Don Joao, ia merasa seperti menjadi orang lain. Karena Madaren sema-kin fasih-Don Joao tidak menguasai lebih dari beberapa patah kata dari bahasa Madaren-mereka mulai membicarakan hal-hal yang lebih mendalam. Don Joao mem-punyai istri dan anak-anak di Porutogaru*, kampung halamannya, orang-orang yang dia tangisi ketika sedang mabuk. Madaren tidak mengindahkan mereka, tak percaya kalau Don Joao bisa bertemu mereka lagi. Mereka begitu jauh hingga ia tak mampu membayangkan seperti apa kehidupan mereka, dan Don Joao bicara tentang kepercayaan serta Tuhannya-Deus**- dan kata-kata serta salib yang dikalungkan di lehernya membangkitkan kenangan masa kecil Madaren tentang kepercayaan keluarga-nya dan ritual kaum Hidden. Halaman 484 dari 484 Don Joao bicara penuh semangat tentang Deus, dan menceritakan tentang pendeta dalam agamanya yang berkeinginan kuat agar negara lain menganut kepercayaan mereka. Hal ini mengejutkan Madaren. Ia hanya *) Porutogaru adalah lafal Jepang untuk menyebut Portugal [pent.] **) Deus berarti Tuhan dalam bahasa Portugal [pent.] ingat sedikit tentang kepercayaan kaum Hidden, hanya ingat gema doa serta ritual yang dilakukan keluarganya dengan komu-nitas kecil mereka. Penguasa baru Tiga Negara, Otori Takeo, mengeluarkan ke-putusan bahwa rakyatnya bebas beribadah dan percaya pada kepercayaan pilihan me-reka, dan prasangka lama pun perlahan menghilang. Tentu saja, banyak yang tertarik dengan agama orang asing dan bahkan berkeinginan mencoba bila itu bisa mening-katkan perdagangan dan kekayaan bagi semua orang. Ada juga kabar burung yang mengatakan bahwa Lord Otori dulunya adalah orang Hidden, dan bahwa penguasa Maruyama yang sebelumnya, Maruyama Naomi, juga menganut kepercayaan itu. Tapi menurut Madaren keduanya tak mungkin melakukannya- karena bukankah Lord Otori membunuh kakek pamannya untuk balas dendam? Bukankah Lady Maruyama menceburkan diri ke sungai di Inuyama ber-sama putrinya? Satu hal yang diketahui semua orang tentang kaum Hidden yaitu Tuhan mereka, Tuhan Rahasia, melarang mereka mencabut nyawa, baik nyawa mereka sendiri maupun nyawa orang lain. Pada titik inilah sepertinya Tuhan Rahasia dan Deus berbeda, karena Don Joao men-ceritakan kalau mereka adalah orang ber-agama sekaligus prajurit. Apakah itu keduanya atau tidak satu pun, selalu atau tidak pernah, sudah atau belum? Don Joao selalu bersenjatakan pedang panjang tipis, penutup kepalanya berlekuk dan melindungi, bertahtakan emas dan kerang mutiara, dan membual bila dia selalu punya tujuan untuk menggunakan pedang ini. Orang asing itu terkejut karena penyiksaan dilarang di Tiga Negara, dan menceritakan bagaimana ke-kerasan digunakan di negaranya dan ter-hadap penduduk asli Kepulauan lain untuk menghukum, untuk mendapatkan informasi serta menyelamatkan nyawa. "Saat pendeta datang, kau harus dibaptis," kata Don Joao, dan ketika Madaren me-mahami maksudnya, ia ingat yang sering dikatakan ibunya: dilahirkan dengan air, lalu menyebut nama baptisnya. "Madalena!" ulang Don Joao dengan terperanjat, lalu membuat gerakan berbentuk tanda salib di depannya. Orang itu tertarik setengah mati pada kaum Hidden, dan ingin bertemu lebih banyak lagi penganutnya; Madaren menangkap ketertarikannya dan mereka mulai bertemu dengan para penganut dalam jamuan makan di kalangan kaum Hidden. Don Joao mengajukan banyak per-tanyaan dan Madaren menerjemahkannya, juga jawabannya. Madaren bertemu dengan orang-orang yang mengetahui desanya dan mendengar tentang pembantaian bertahun-tahun yang lalu di Mino; menurut mereka, ia bisa selamat merupakan mukjizat, dan menyatakan kalau Madaren masih dibiarkan hidup oleh Tuhan Rahasia untuk tujuan isti-mewa tertentu. Madaren menyambut kem-bali kepercayaan yang pernah hilang dari masa kecilnya dengan hangat, lalu mulai menunggu waktu untuk menjalankan misi. Kemudian Tomasu dikirimkan padanya, maka ia tahu misi itu berhubungan dengan kakaknya. Orang-orang asing hanya memahami sedikit sekali tentang sikap dan kesopanan, dan Don Joao berharap Madaren mene-maninya kemana pun ia pergi, terutama untuk menerjemahkan. Dengan keyakinan mencapai tujuan yang dibawanya sejak berhasil lolos dari Inuyama dan mempelajari bahasa asing, ia mempelajari keadaan di sekelilingnya yang masih asing, selalu ber-lutut dengan rendah hati sedikit di belakang orang-orang asing dan lawan bicara mereka, bicara dengan pelan dan jelas, serta mem-perindah terjemahannya bila terdengar kurang sopan. Seringkali ditemukan dirinya berada di rumah para pedagang, sadar akan tatapan penuh hina serta kecurigaan dari istri-istri dan anak perempuan mereka dan bahkan kadang di tempat-tempat yang lebih berkelas, terakhir bahkan di kediaman Lord Arai. Ia merasa kagum pada dirinya sendiri, satu hari berada di ruangan yang sama dengan Lord Arai Zenko, lalu Halaman 485 dari 485 berikutnya di penginapan semacam Umedaya. Nalurinya ternyata benar: kemampuannya berbahasa asing membuka jalan pada sebagian dari kekuasaan serta kebebasan mereka. Dan sebagian dari kekuasaan itu dia gunakan untuk memanfaatkan orang-orang itu: mereka membutuhkannya dan mulai meng-andalkan dirinya. Madaren pernah bertemu tabib Ishida beberapa kali, dan bertindak sebagai juru bahasa dalam perbincangan yang panjang; Ishida kadang membawa teks-teks dan mem-bacakannya untuk diterjemahkan karena Madaren tidak bisa membaca maupun menulis; Don Joao juga membacakan kitab suci untuknya dan mengenali potongan-poiongan kalimai dari doa dan pemberkatan di masa kecilnya. Malam itu Don Joao melihat Ishida lalu memanggilnya, berharap bisa berbincang, namun Ishida memohon pergi karena ada pasien yang membutuhkannya. Madaren menduga kalau pasiennya itu adalah kawan-nya dan memelihat laki-laki yang satunya lagi, memerhatikan tangannya yang cacat dan kerutan di matanya. Ia tidak langsung mengenalinya, namun jantungnya seperti berhenti berdetak kemudian berdebar-debar, seolah kulitnya mengenali laki-laki itu dan segera mengenalinya kalau mereka lahir dari ibu yang sama. Madaren nyaris tak bisa tidur, menemu-kan tubuh si orang asing di sebelahnya teramat sangat panas, dan menyelinap keluar sebelum matahari terbit, dan berjalan menyusuri tepi sungai di bawah pohon willow. Bulan melintasi langit dan kini menggantung di barat, membulat serta pucat. Ombak laut surut dan kepiting berlarian cepat di atas lumpur yang mengering, bayangan mereka tampak seperti tangan yang sedang menggenggam. Madarien tidak ingin mengatakan pada Don Joao kemana ia pergi: tidak ingin harus berpikir dalam bahasa laki-laki itu atau khawatir tentang laki-laki itu. Ia berjalan melewati jalanan sempit menuju rumah tempat ia dulu bekerja, membangun-kan pelayannya, mandi dan berpakaian di sana; lalu duduk tenang dan minum teh hingga mentari pagi bersinar terang. Selama berjalan ke Daifukuji, benak Madaren tersita oleh keragu-raguan: kemarin itu bukan Tomasu; dia salah lihat, memimpikan tentang semuanya; dia takkan datang; jelas sekali kalau kedudukannya amat tinggi, dia seperti pedagang meskipun jelas bukan pedagang yang berhasil-yang tak ingin punya hubungan apa-apa dengannya. Dia tidak datang menghampiri untuk menolong-nya; selama ini ternyata dia masih hidup dan tidak berusaha mencarinya. Madaren berjalan perlahan, melupakan aliran sungai yang tergesa-gesa di sekelilingnya ketika gelom-bang laut pasang menyapu. Daifukuji menghadap ke laut: gerbang merahnya bisa terlihat dari seberang ombak laut, menyambut para pelaut dan pedagang serta mengingatkan mereka untuk bersyukur pada Ebisu, dewa laut, agar melindungi mereka selama perjalanan. Madaren melihat-lihat ukiran dan area di kuil itu dengan perasaan tidak suka, karena ia telah percaya, seperti halnya Don Jolo, kalau benda-benda semacam itu dibenci Tuhan Rahasia dan sama seperti menyembah setan. Ia bertanya-tanya sendiri mengapa memilih tempat seperti ini untuk bertemu, takut kalau kakak-nya bukan lagi penganut kepercayaan, menyelipkan tangannya di balik jubahnya untuk menyentuh salib pemberian Don Joao, dan menyadari pasti inilah misinya: menye-lamatkan Tomasu. Madaren berjalan masuk gerbang, me-nunggu kakaknya, setengah tidak nyaman dengan lantunan doa dan genta dari dalam kuil, meskipun terpesona dan terbuai oleh keindahan tamannya. Bunga lili menghiasi tepian kolam, dan belukar azalea musim panas pertama bermekaran menjadi bunga berwarna merah tua. Sinar matahari terasa makin panas dan bayangan taman semakin menariknya masuk. Ia berjalan ke aula utama. Di sebelah kanannya berdiri beberapa pohon cedar tua, yang dililit tali jerami yang berkilauan, dan tepat di belakangnya ter-dapat kurungan berdinding putih di sekitar taman dengan pepohonan yang jauh lebih kecil, ia menduga itu pohon ceri walaupun bunganya sudah lama gugur. Kerumunan kecil sebagian besar rahib dengan kepala botak dan jubah berwarna tidak mencolok, berdiri di luar dinding, memandang ke atas. Madaren mengikuti arah pandangan mereka dan dan melihat apa yang sedang mereka perhatikan: awalnya ia mengira itu, patung ukiran, penggambaran Halaman 486 dari 486 semacam inkarnasi perwujudan atau iblis kemudian benda itu mengedipkan mata dengan bulu matanya yang panjang, mengepakkan telinganya yang datar, lalu menjilat hidungnya yang berwarna coklat muda kekuningan lembut dengan lidah abu-abu tuanya. Makhluk itu memalingkan kepala bertanduknya dan menatap ramah ke arah para pengagumnya. Ternyata itu makhluk hidup: tapi makhluk apa yang punya leher begitu panjang hingga bisa melihat ke balik dinding yang lebih tinggi dari manusia yang paling tinggi sekalipun? Itu adalah kirin. Selagi Madaren memandangi hewan yang luar biasa itu, kelelahan dan kebimbangan dalam benaknya membuatnya serasa ber-mimpi. Kemudian terlihat kesibukan dari gerbang utama kuil, dan didengarnya suara laki-laki berseru dengan penuh semangat, "Lord Otori sudah datang!" Madaren seolah tersentak dari mimpinya selagi berlutut lalu melihat penguasa Tiga Negara itu berjalan memasuki taman dan dikelilingi sebarisan ksatria. Laki-laki itu mengenakan jubah musim panas resmi berwarna krem dan emas, dengan topi hitam kecil, namun dilihatnya tangan cacat bersarung sutra, dan mengenali wajahnya, dan menyadari kalau orang itu adalah Tomasu, kakaknya.* TAKEO sadar kalau adiknya tengah berlulut dengan sikap rendah hati di bawah bayangan di bagian samping taman, tapi ia tidak memerhatikannya. Bila adiknya memang akan tetap di situ, maka Takeo akan bicara padanya berdua saja: bila dia pergi dan menghilang lagi dari hidupnya, apa pun yang dirasakannya entah kesedihan atau penye-salan, ia takkan mencarinya. Bakal lebih baik, mungkin juga lebih mudah, bila adiknya menghilang. Akan cukup mudah untuk mengaturnya: terbersit olehnya pikiran itu namun kemudian menyingkirkannya jauh-jauh. Takeo akan menangani adiknya dengan adil, seperti yang akan dilakukannya pada Zenko dan Kono: dengan perundingan, menurut hukum yang telah dibuatnya sendiri. Seakan Surga makin menunjukkan dukungannya, gerbang menuju taman yang dikelilingi dinding terbuka dan kirin muncul. Ishida mengendalikannya dengan seuntai tali terbuat dari sutra merah yang diikatkan pada untaian kalung mutiara. Tinggi kepala Ishida tidak sampai setinggi bagian paling atas punggung kirin, namun hewan itu mengikutinya dengan sikap percaya diri sekaligus berwibawa. Kulitnya berwarna merah bata pucat, terpecah menjadi corak bergaris bentuk berwarna krem berbentuk dan sebesar telapak tangan manusia. Hewan itu mengendus aroma air lalu merentangkan leher panjangnya ke arah kolam. Ishida membiarkannya mendekat, lalu hewan itu merentangkan kaki ke samping agar bisa menunduk untuk minum. Kerumunan kecil biarawan dan prajurit tertawa kegirangan karena tampak seolah hewan mengagumkan itu membungkuk hormat pada Lord Otori. Takeo pun gembira melihat kejadian itu. Ketika ia mendekat, hewan itu membiar-kannya mengelus kulitnya yang lembut dan bercorak indah itu. Hewan itu tampak tidakk terlalu takut, walaupun lebih suka tetap berada di dekat Ishida. "Hewan ini jantan atau betina?" tanyanya. "Kurasa, betina," jawab Ishida. "Hewan ini tidak memiliki alat kelamin jantan, dan lebih lembut dari yang bisa kuharapkan dari hewan jantan sebesar ini. Tapi dia masih sangat muda. Mungkin akan memperlihatkan beberapa perubahan saat tumbuh semakin besar, pada saat itulah kita bisa yakin." Halaman 487 dari 487 "Di mana kau menemukannya?" "Di selatan Tenjiku. Tapi dia berasal dari pulau lain, masih jauh lagi ke barat; para pelaut membicarakan tentang benua yang amat besar tempat hewan-hewan seperti ini merumput dalam jumlah besar bersama gajah darat dan sungai, singa emas raksasa dan burung berwarna merah muda. Orang-orangnya berukuran dua kali lebih besar daripada kita, berkulit sehitam warna pernis, dan mampu membengkokkan besi dengan tangan kosong." "Dan bagaimana kau bisa mendapatkan-nya? Tentunya hewan seperti ini tak ternilai harganya?" "Hewan ini ditawarkan padaku sebagai semacam alat pembayaran," sahut Ishida. "Aku berhasil mengobati seorang pangeran di daerah itu. Aku langsung berpikir tentang Lady Shigeko, dan betapa dia akan sangat menyukainya, maka aku terima tawaran ini dan mengatur agar hewan ini bisa menemani kami pulang." Takeo tersenyum memikirkan keahlian putrinya dengan kuda dan kasih sayangnya pada semua hewan. "Tidakkah sulit untuk mempertahankan agar dia tetap hidup? Apa makanannya?" "Untungnya perjalanan pulang tidak ber-ombak, dan kirin bersifat tenang serta mudah dihibur. Makanannya dedaunan dari pohon tempat asalnya, tapi ternyata se-nang juga menerima rumput, segar atau pun kering, serta dedaunan hijau yang lezat." "Bisakah dia berjalan sampai ke Hagi?" "Barangkali kita harus mengangkutnya dengan kapal. Hewan ini bisa berjalan bermil-mil jauhnya tanpa kelelahan, namun kurasa tidak bisa berjalan melewati pe-gunungan." Ketika selesai mengagumi kirin, Ishida membawa hewan itu kembali ke kandang, kemudian pergi bersama Takeo menuju kuil, tempat upacara singkat dilakukan, doa dipanjatkan bagi kesehatan kirin dan Lord Otori. Takeo menyalakan dupa dan lilin serta berlutut di depan patung dewa; dilaku-kannya semua praktik keagamaan yang diharapkan darinya dengan khidmat dan hormat; semua sekte dan kepercayaan diperbolehkan di Tiga Negara, selama tidak mengancam tatanan rnasyarakat. Ia sendiri memercayai tuhan manapun, walau diakui-nya keseluruhan manusia akan alasan spiritual bagi keberadaan mereka, dan tentu dirinya pun memiliki kebutuhan yang sama. Setelah melakukan upacara, yang ada penyembahan atas sang Pencerah dan Ebisu dewa laut, teh dibawa masuk dengan manisan osenbei. Takeo, Ishida dan Kepala Biara setempat bercerita dengan gembira dan menggubah puisi penuh dengan permainan kata-kata tentang kirin. Sesaat sebelum tengah hari, Takeo berdiri dan mengatakan bahwa ingin sendirian di taman sebentar, lalu berjalan menyusuri aula utama ke aula yang lebih kecil di belakangnya. Perempuan itu masih berlutut dengan sabar di tempat yang sama. Takeo memberi isyarat dengan gerakan tangan saat berjalan melewatinya, meminta agar perempuan itu mengikutinya. Bangunan kuil menghadap ke timur; sisi sebelah selatan bermandikan cahaya, namun di beranda. di bawah bayangan gelap dari atap yang melengkung, udara masih terasa dingin. Dua rahib muda yang sedang bertugas membersihkan patung dan menyapu lantai mengundurkan diri tanpa bicara. Takeo duduk di pinggiran beranda: hayunya yang telah termakan cuaca berwarna abu-abu ke-pcrakan dan masih hangat terkena cahaya matahari. Terdengar olehnya keraguan dalam langkah kaki Madaren di atas kerikil jalan setapak, terdengar pula deru napasnya yang cepat dan pendek. Burung gereja berkicau di taman dan merpati bergumam di pepohonan cedar. Madaren berlutut lagi, menyembunyikan wajahnya. "Tidak perlu takut," ujar Takeo. Halaman 488 dari 488 "Ini bukan ketakutan," sahut Madaren setelah beberapa saat. "Aku... tidak mengerti. Mungkin aku telah melakukan kesalahan besar. Tapi Lord Otori sekarang bicara berdua saja denganku, yang tak akan pernah terjadi kecuali dugaanku benar adanya." "Kita saling mengenali semalam," ujar Takeo. "Memang benar aku kakakmu. Tapi sudah bertahuntahun lamanya sejak terakhir kali ada orang yang memanggilku Tomasu." Madaren menatap langsung matanya; Takeo tidak membalas tatapannya, malah memalingkan wajah ke arah bayangan gelap rumpun pepohonan, dan dinding di ke-jauhan tempat kirin mengayunkan kepalanya di atas genteng bak mainan anak-anak. Ia sadar kalau ketenangannya tampak seperti ketidakacuhan bagi Madaren, dan juga tahu ada semacam amarah terpendam dalam diri adiknya. Nada suara Madaren nyaris terdengar seperti tuduhan. "Selama enam belas tahun kudengar balada dan cerita yang digubah tentang dirimu. Kau tampak seperti pahlawan yang jauh tak tergapai dan cuma legenda: bagai-mana bisa kau adalah Tomasu dari Mino? Apa yang terjadi padamu ketika aku dijual dari satu rumah bordil ke rumah bordil lainnya?" "Aku diselamatkan Lord Otori Shigeru: beliau mengangkatku menjadi pewarisnya dan menginginkan aku menikah dengan Shirakawa Kaede, pewaris Maruyama." Itu garis besar paling sederhana dari perjalanan luar penuh gejolak yang telah menggiringnya menjadi orang paling ber-kuasa di Tiga Negara. Madaren bicara dengan nada kecut, "Kulihat kau berdiri di hadapan patung emas. Dan aku tahu dari cerita-cerita bahwa kau pemah membunuh orang lain.. " Kepala Takeo bergerak sedikit untuk membenarkan kata-kata adiknya. Seraya ber-tanya-tanya apa yang diinginkan Madaren darinya, apa yang bisa ia lakukan untuk adiknya : apa saja, yang bisa memulihkan hidupnya yang telah terlanjur hancur. "Kurasa ibu dan kakak kita... " kata Takeo dengan sedih. "Keduanya sudah mati. Aku bahkan tidak tahu di mana jasad mereka." "Aku minta maaf atas semua penderitaan yang telah kau alami." Takeo menyadari bahkan saat ia bicara pun nada suaranya kaku dan terlalu dibuat-buat, ia tak punya cukup kata-kata untuk mengungkapkannya. Jarak di antara mereka sudah terbentang terlalu jauh. Tidak ada cara yang bisa mereka lakukan untuk saling mendekati. Bila mereka masih menganut kepercayaan yang sama mungkin mereka bisa memanjatkan doa bersama, namun kini kepercayaan masa kecil yang dulu menyatukan mereka justru menjadi penghalang yang tak bisa dilalui. Mengetahui itu membuat ia tertekan dan iba. "Jika kau butuh apa pun, kau bisa mendekati pejabat kota yang berwenang," tutur Takeo. "Akan kupastikan kau diurus dengan baik. Tapi aku tidak bisa mengumumkan tentang hubungan kekeluar-gaan kita, dan aku harus memintamu umuk tidak mengatakannya pada siapa pun." Takeo melihat kalau ia telah menyakiti adiknya, dan rasa iba muncul lagi, tapi juga tahu kalau ia tak bisa membiarkan adiknya mengambil tempat lebih banyak lagi dalam kehidupannya selain dengan cara seperti ini: berada dalam perlindungannya. "Tomasu," kata Madaren. "Kau adalah kakakku. Kita saling memiliki kewajiban. Kau satu-satunya keluargaku. Aku bibi dari anak-anakmu. Dan aku pun memiliki tugas spiritual terhadapmu. Aku peduli pada jiwamu. Aku tak bisa melihatmu masuk neraka!" Takeo bangkit lalu berjalan menjauh. "Tidak ada yang namanya neraka," sahutnya sambil sedikit memalingkan wajah. "Selain neraka yang diciptakan manusia di bumi. Jangan coba-coba mendekatiku lagi."* Halaman 489 dari 489 "Dan murid-murid pengikut Sang Pen-cerah melihat macan dan anak-anaknya yang sedang kelaparan," tutur Shigeko dengan suaranya yang khidmat, "dan tanpa memikir-kan nyawanya sendiri, mereka pergi ke tebing yang sangat curam lalu menghempaskan diri di bebatuan di bawahnya. Lalu macan-macan itu bisa memakan mereka." Sore itu terasa hangat di awal musim panas, dan ketiga gadis itu diperintahkan belajar di rumah sampai udara panas ber-kurang. Selama beberapa saat mereka berlatih menulis dengan rajin, lalu dengung meleng-king jangkrik dan udara yang terasa lembut membuat mereka mengantuk. Mereka sudah keluar sebelum matahari terbit, dan sedikit demi sedikit tubuh mereka menjadi lebih santai dari posisi formal saat duduk menulis. Shigeko dengan mudah terbujuk untuk membuka gulungan gambar hewan lalu membacakan ceritanya. Namun sepertinya cerita yang paling baik mesti memiliki moral cerita. Shigeko berkata dengan khidmat, "Itulah contoh yang mesti kita teladani; kita harus menyerahkan nyawa kita agar bermanfaat bagi seluruh makhluk yang berperasaan peka." Maya dan Miki saling bertukar pandang. Mereka amat menyayangi kakak mereka, namun belakangan ini Shigeko terlalu gemar menceramahi mereka. "Aku lebih suka jadi macannya," ujar Maya. "Lalu memakan para murid yang mati itu!" timpal adik kembarnya sepakat. "Harus ada orang yang menjadi makhluk yang berperasaan peka," bantah Maya ketika melihat Shigeko mengernyitkan dahi. Maya baru saja kembali setelah beberapa minggu tinggal di Kagemura, desa ter-sembunyi Muto, untuk berlatih dan meng-asah bakat. Selanjutnya giliran Miki. Si kembar jarang bersama; tanpa pernah sepenuhnya mengerti sebabnya, dia tahu kalau itu ada hubungannya dengan perasaan ibu mereka. Kaede tidak suka melihat mereka bersama. Wajah mereka yang serupa mem buat Kaede kesal. Sebaliknya, Shigeko selalu membela mereka, bahkan saat tak bisa mem-bedakan keduanya. Mereka tidak suka berpisah, tapi akhimya mulai terbiasa. Shizuka menenangkan mere-ka, mengatakan kalau itu akan membuat ikatan batin di antara mereka makin kuat. Dan ternyata memang demikian adanya. Jika Maya sakit, Miki pun sakit. Kadang mereka bertemu dalam mimpi; mereka nyaris tidak bisa melihat dengan jelas antara apa yang terjadi di dunia lain dan apa yang terjadi dunia nyata. Saat-saat terbaik adalah ketika ayah mereka datang ke desa rahasia Tribe, kadang membawa salah satu dari mereka dan meng-ajak yang satunya pulang. Selama beberapa hari bersama, mereka menunjukkan apa yang telah mereka pelajari dan kemampuan baru yang mulai muncul. Dan Takeo yang ketika di dunia Otori menjaga jarak dan bersikap formal, di dunia Muto berubah menjadi orang yang berbeda, guru seperti Kenji dan Taku, memperlakukan mereka dengan disiplin keras. Ketika mereka mandi bersama di mata air panas dan menghujaninya dengan cipratan, mereka menelusuri bekas luka di badan ayahnya dan tak lelah mendengarkan kisah di balik setiap bekas luka dmulai dengan pertarungan melawan Kotaro ketua Kikuta yang hingga ayah mereka kehilangan dua jari di tangan kanannya. Halaman 490 dari 490 Saat nama Kikuta disebut, si kembar tanpa sadar menyentuh ujung jari mereka pada lekukan yang melintang di telapak tangan mereka, menandai diri mereka seperti sang ayah, seperti Taku, sebagai Kikuta. Itu me-rupakan lambang jalur sempit yang mereka lalui di antara dunia. Mereka tahu kalau sang ibu tidak menyukai kemampuan Tribe yang mereka miliki, dan bahwa klas ksatria menganggap mereka penyihir: mereka belajar sejak dini apa yang bisa dibanggakan di desa Muto haruslah disembunyikan di kastil seperti Hagi atau Yamagata, tapi terkadang godaan untuk mengelabui guru-guru mereka, mem-permainkan kakak perempuan mereka atau menghukum orang yang lewat di depan mereka sulit dibendung. "Kau seperti aku ketika aku masih kecil," ujar Shizuka ketika Maya bersembunyi selama setengah hari tanpa bergerak di dalam keranjang bambu, atau ketika Miki memanjat kayu kaso selentur dan secepal kera liar, menghilang di balik atap yang terbuat dari ilalang. Shizuka jarang marah. "Nikmati saja," tuturnya. "Tidak ada yang lebih menyenangkan." "Kau beruntung Shizuka. Kau ada di sana saat Inuyama jatuh! Kau bertarung bersama Ayah!" "Sekarang Ayah mengatakan tak akan ada lagi perang; kita takkan menghadapi per-tarungan yang sebenamya." "Berdoa saja takkan ada perang lagi," ujar Shigeko. Si kembar mengerang. "Berdoalah seperti kakak kalian agar kalian tidak pernah mengenal perang yang sebenar-nya," Shizuka memperingatkan mereka. Maya kembali ke pokok pembicaraan tadi. "Jika tidak akan ada perang, mengapa Ayah dan Ibu memaksa kami belajar kemampuan bertarung?" tanyanya, karena ketiga gadis itu, layaknya anak kelas ksatria, belajar memanah, menunggang kuda serta menggunakan pedang, diajarkan oleh Shizuka dan Sugita Hiroshi atau ksatria besar lainnya di Tiga Negara. "Kata Lord Hiroshi siap perang adalah pertahanan terbaik melawannya," sahut Shigeko. "Lord Hiroshi," bisik Miki, sambil menyi-kut Maya. Kedua gadis kembar itu tertawa cekikikan. Wajah Shigeko bersemu merah. "Apa?" tanyanya. "Kau selalu mengatakan ucapan Lord Hiroshi, lalu wajahmu bersemu merah." "Aku tidak menyadari itu," kata Shigeko, menutupi rasa malu dengan berbicara dengan nada resmi. "Lagipula, itu tidak berarti apa-apa. Hiroshi adalah salah satu guru-yang sangat bijaksana. Sudah sewajarnya aku mempelajari peribahasa yang dipakainya." "Lord Miyoshi Gemba juga salah satu gurumu," ujar Miki. "Tapi kau jarang mengutip apa yang dikatakannya." "Dan Lord Miyoshi tidak membuat wajah-mu merah!" timpal Maya. "Kurasa kalian seharusnya bisa jauh lebih baik dalam menulis, adik-adikku. Jelas sekali kalian perlu banyak latihan. Ambil kuasnya!" Shigeko membuka satu gulungan lagi | lalu mulai mendiktekannya. Isinya adalah salah satu hikayat kuno Tiga Negara, penuh dengan istilah sulit dan kejadian yang sukar dimengerti. Shigeko harus mempelajari semua sejarah ini, begitu pula dengan si kembar. Shigeko berharap pelajaran itu bisa menghukum mereka karena menggodanya soal Hiroshi, dan berharap mencegah mereka membicarakan tentang topik itu lagi. Shigeko memutuskan untuk lebih berhati-hati, tidak membiarkan dirinya dengan bodohnya menyebut nama Hiroshi. Untungnya laki-laki itu sudah kembali ke Maruyama untuk mengawasi hasil panen dan persiapan upacara pengukuhan ia menjadi pewaris wilayah itu. Hiroshi sering menulis surat, karena dia pengawal senior dan orangtuanya berharap ia mengenal setiap detil wilayahnya. Surat-suratnya bersifat resmi, tapi Shigeko suka melihat tulisan tangannya, bergaya tulisan tangan ksatria, tebal dan dibentuk dengan baik. Surat-surat itu menyebut nama para tetua serta karakter mereka, dan tentang kuda. Hiroshi menceritakan dengan rinci setiap anak kuda Halaman 491 dari 491 yang baru lahir dan perkembangan kuda-kuda jantan yang pernah mereka jinakkan bersama. Kudakuda Maruyama sudah tumbuh satu tangan lebih tinggi dibandingkan dua puluh tahun lalu, ketika Hiroshi masih kecil. Shigeko merindukannya dan amat ingin berjumpa lagi dengannya: Hiroshi sudah seperti kakaknya, tinggal di kediaman Otori, dianggap sebagai putra dalam keluarga. Dia mengajari Shigeko menunggang kuda, me-manah serta bertarung dengan pedang: Hiroshi juga mengajarinya seni perang, strategi dan taktik, begitu pula dengan seni pemerintahan. Lebih dari segalanya, Shigeko berharap Hiroshi menjadi suaminya, tapi menduga kalau itu tidak mungkin. Hiroshi bisa menjadi penasihat yang paling berharga, bahkan teman yang paling baik, tapi tidak akan lebih. Ia pernah mendengar per-bincangan soal pernikahan dirinya karena kini usianya beranjak lima belas tahun. Ia tahu akan ada rencana pertunangan, per-nikahan yang akan memperkuat posisi keluarganya dan menopang hasrat ayahnya untuk kedamaian. Semua pikiran ini melintas di benaknya selagi membaca secara perlahan dan hati-hati dari gulungan. Tangan si kembar terasa sakit dan mata mereka terasa gatal saat Shigeko selesai membacanya. Tak satu pun dari keduanya berani berkomentar, dan Shigeko mengurangi ketegasannya. Shigeko memper baiki pekerjaan adik-adiknya dengan baik hati, cukup sering menyuruh mereka berlatih lagi menulis huruf yang salah guratannya. Ketika matahari mulai tenggelam dan udara terasa agak dingin, Shigeko menyarankan agar mereka berjalan-jalan sebelum latihan di sore hari. Si kembar, yang melemah dengan beratnya hukuman yang mereka dapatkan, menye-tujuinya dengan patuh. "Kita ke biara," seru Shigeko, membuat kedua adiknya bersorak kegirangan, karena biara itu dipersembahkan bagi dewa sungai dan kuda. "Bolehkah kita berjalan melewati pagar penangkap ikan?" tanya Maya dengan nada memohon. "Tentu saja tidak bisa," sahut Shigeko. "Tempat itu hanya boleh digunakan anak berandalan, bukan putri-putri Lord Otori. Kita akan berjalan menuju jembatan batu. memanggil Shizuka dan memintanya untuk ikut bersama kita. Dan kurasa kita sebaiknya membawa beberapa pengawal." "Kita tidak butuh pengawal." "Bolehkah kami membawa pedang?" tanya Maya dan Miki serempak. "Untuk berkunjung ke biara, di jantung Hagi? Kita tidak butuh pedang." "Ingat serangan di Inuyama!" Miki meng-ingatkan. "Seorang ksatria sebaiknya selalu siaga," ujar Maya lumayan mirip menirukan Hiroshi. "Mungkin kau perlu latihan menulis lagi," balas Shigeko, kelihatan seakan ingin duduk lagi. "Baiklah, mari kita pergi seperti yang kau katakan, kakak," sahut Miki cepat. "Pengawal, tidak ada pedang." Shigeko memikirkan selama beberapa saat tentang masalah tandu: apakah memaksa si kembar ditandu dalam kegelapan atau mem-biarkan mereka berjalan kaki. Tak satu satu pun dari keduanya ingin ditandu, tapi ia tahu kalau Ibunya tidak suka si kembar terlihat bersama di tempat umum. Di sisi lain, ini di Hagi. kampung halaman mereka, tidak seformal dan sekeras di Inuyama, dan kedua adiknya yang gelisah mungkin bisa tenang dan lelah setelah berjalan kaki. Shigeko pun ingin berjalan kaki, ingin melihat kehidupan Halaman 492 dari 492 kota yang penuh semangat, jalan-jalan sempitnya serta toko-toko kecil penuh ber-bagai hasil bumi dan kerajinan. Di belakang jalan utama lebar yang mengarah dari gerbang kastil menuju jembatan batu, terbentang dunia yang sangat menyenang-kan, tempat yang jarang bisa dikunjungi si kembar. Dua pengawal berjalan di depan mereka dan dua lagi di belakang; satu pelayan perempuan membawa keranjang bambu berisi botol sake serta sesaji lain, termasuk wortel untuk kuil kuda. Shizuka berjalan di samping Maya, dan Miki berdampingan dengan Shigeko. Mereka semua mengenakan sandal kayu serta jubah tipis musim panas. Shigeko memegang parasol, karena kulitnya seputih kulit ibunya dan takut terkena sinar matahari, tapi kulit si kembar kekuningan seperti ayahnya merasa tidak perlu melin-dungi kulit mereka. Gelombang menghempas ketika mereka tiba di jembatan batu, sungai berbau asin dan lumpur. Di jembatan yang pernah hancur dalam peristiwa gempa-yang dipercaya rakyat sebagai hukuman atas pengkhianatan Arai Daiichi-ada pahatan kalimat: Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Wasp adalah ketidakadilan dan ketidak-setiaan. "Lihat apa yang terjadi padanya!" ujar Maya dengan nada puas selagi mereka berdiri di depan batu itu. Mereka mempersembah-kan sesaji sake, berterima kasih pada dewa sungai karena melindungi Otori dan mem-peringati tukang batu yang dikubur hidup-hidup di dalam dinding itu bertahun-tahun silam. Tulang belulangnya ditemukan di sungai dan dikuburkan kembali selama pembangunan kembali jembatan. Shizuka sering menceritakan ini pada ketiga gadis itu, juga cerita tentang putri si tukang batu, Akane, dan terkadang mereka mengunjungi kuil di kawah gunung berapi tempat kematian tragis Akane diperingati dan arwahnya yang dipanggil kembali oleh para kekasih yang tidak bahagia, laki-laki maupun perempuan. "Shizuka pasti bersedih atas kematian Lord Arai," kata Shigeko pelan saat mereka meninggalkan jembatan, Sesaat si kembar berjalan berdampingan: para pejalan kaki berlutut ketika Shigeko lewat, tapi mema-lingkan wajah ketika si kembar lewat. "Aku bersedih atas cinta yang pernah ada di antara kami," sahut Shizuka. "Juga untuk kedua putraku, yang menyaksikan ayah mereka mati di depan mata mereka. Tapi Arai telah membuatku menjadi musuhnya, dan telah memberi perintah agar aku di-bunuh. Kematiannya tidak lebih dari akhir yang adil atas cara hidup yang dipilihnya." "Kau tahu banyak tentang masa-masa itu!" seru Shigeko. "Benar, barangkali lebih banyak dari siapa pun," aku Shizuka. "Semakin usiaku ber-tambah, semua yang terjadi di masa lalu menjadi lebih jelas di benakku. Selama ini Isihida dan aku mencatat semua ingatanku: ayah kalian yang memintanya." "Dan kau mengenal Lord Shigeru?" "Namamu, Shigeko, adalah nama perem-puan dari Shigeru. Ya, aku mengenalnya dekat. Kami saling menaruh kepercayaan satu sama lain selama bertahun-tahun, dan saling percaya dengan taruhan nyawa kami." "Beliau pasti orang yang baik." "Aku belum pernah bertemu orang seperti dia." "Apakah dia lebih baik ketimbang Ayah?" "Shigeko! Aku tidak bisa menilai ayahmu!" "Kenapa tidak? Ayah adalah sepupumu. Kau mengenalnya lebih baik ketimbang kebanyakan orang." "Takeo sangat mirip Shigeru: dia seorang laki-laki serta pemimpin yang hebat." "Tapi...?" "Semua orang memiliki kelemahan," tutur Shizuka. "Ayahmu berusaha mcnguasai ke-lemahannya, namun sifatnya terbagi dengan cara yang tidak terjadi pada Shigeru." Shigeko tiba-tiba merinding, meskipun udara masih terasa hangat. "Jangan teruskan lagi! Aku menyesal sudah bertanya." "Ada apa? Apakah kau mendapatkan firasat?" Halaman 493 dari 493 "Aku selalu mendapatkan firasat," sahut Shigeko pelan. "Aku tahu berapa banyak orang yang menginginkan kematian ayahku." Ia memberi isyarat pada si kembar yang tengah menunggu di gerbang kuil. "Keluarga kami terbelah dengan cara yang sama: kami adalah gambaran dari sifat ayah. Apa yang akan terjadi pada adik-adikku kelak? Di mana tempat mereka di dunia ini?" Shigeko bergidik lagi, dan berusaha mengubah topik pembicaraan. "Suamimu sudah kembali?" tanya Shigeko. "Mungkin pulang dalam beberapa hari ini; mungkin dia sudah di Hofu. Aku belum mendengar kabarnya." "Ayah sedang di Hofu! Mungkin mereka bertemu di sana. Mungkin mereka akan pulang bersama." Shigeko berbalik dan me-natap kembali ke arah teluk. "Besok kita akan mendaki bukit dan melihat apakah kapal mereka sudah terlihat." Mereka memasuki pintu kuil, lewat bagian bawah gerbang besar. Di lengkungan gerbang dipenuhi ukiran hewan dalam dongeng: houou, kirin dan shishi. Kuil itu dibalut hijau-nya tetumbuhan. Pepohonan willow besar berbaris di tepi sungai; di samping pe-pohonan tumbuh pohon oak dan cedar, unsur terakhir dari hutan jaman purba yang pernah menyelimuti tanah ini. Hiruk-pikuk kota memudar menjadi senyap, hanya ter-pecahkan oleh kicau burung. Arah cahaya tampak miring dari barat menerangi debu di sela-sela besarnya batang pohon dengan pancaran sinar keemasan. Seekor kuda putih di dalam istal berukiran indah meringkik kelaparan melihat mereka, dan si kembar pergi meinpersembahkan sesaji bagi hewan yang dianggap keramat itu. Seorang laki-laki tua muncul dari belakang aula utama. Dia adalah seorang biarawan, dan mengabdikan diri melayani dewa sungai sejak kecil setelah kakaknya tenggelam di pagar penangkap ikan. Namanya Hiroki. Putra ketiga Mori Yusuke, pawang kuda dari Klan Otori. Kakak laki-lakinya, Kiyoshige, dulu adalah teman dekat Lord Shigeru. Hiroki tersenyum sewaktu menghampiri mereka. Dia memiliki ikatan khusus dengan Shigeko melalui kecintaan mereka terhadap kuda. Hiroki mempertahankan tradisi keluarganya, merawat kuda Klan Otori setelah ayahnya pergi ke ujung dunia dalam rangka mencari kuda-kuda cepat dari tanah datar yang luas. Yusuke sendiri tidak pemah kembali, namun mengirimkan seekor kuda hitam jantan yang menjadi ayah dari Raku dan Shun, keduanya dijinakkan dan dilatih oleh Takeshi, adik Shigeru, selama berbulan-bulan sebelum kematiannya. "Selamat datang, Lady!" Layaknya banyak orang yang mengabaikan si kembar, seolah keberadaan mereka terlalu memalukan untuk diakui. Kedua gadis itu sedikit menarik din di bawah bayangan pepohonan, memerhati-kan si pendeta baik-baik dengan tatapan mata yang sukar dimengerti. Shigeko melihat kalau mereka marah. Terutama Miki yang mempunyai sifat pemarah, yang belum belajar cara mengendalikan amarahnya. Watak Maya lebih dingin, namun lebih sulit untuk diredam. Setelah beramah tamah dan Shigeko mempersembahkan sesaji, Hiroki menarik tali genta untuk membangkitkan arwah dan Shigeko memanjatkan doa, memandang diri-nya sebagai penghubung antara dunia fana dan dunia arwah bagi makhluk-makhtuk yang tidak bisa bicara sehingga tidak ada doa. Seekor anak kucing berlari terbirit-birit di sepanjang beranda, mengejar sehelai daun gugur. Hiroki menangkap kucing itu dengan kedua tangannya, mengelus-elus kepala dan telinganya. Kucing itu pun mendengkur dengan suara parau. Matanya besar dan ber-warna kuning kecoklatan, bola matanya me-mantulkan cerahnya cahaya matahari, bulu berwarna coklat muda pucat dengan bintik hitam dan coklat kemerahan. "Anda punya teman baru," seru Shigeko. "Benar, dia datang mencari tempat tinggal pada suatu malam saat hujan deras dan sejak saat itu dia tinggal di sini. Dia teman yang Halaman 494 dari 494 baik, kuda-kuda suka padanya, dan mem-bungkam tikus-tikus." Shigeko belum pemah melihat kucing setampan itu; warna bulunya yang kontras sungguh memukau. Dilihatnya Hiroki amat menyayangi hewan itu, dan merasa senang. Semua anggota keluarga Hiroki telah tiada: dia hidup dengan menyaksikan kekalahan Otori di Yaegahara hingga kehancuran kota saat gempa. Satu-satunya hal yang menarik baginya saat ini adalah melayani dewa sungai dan kasih sayangnya pada kuda. Si kucing membiarkan dirinya ditepuk-tepuk selama beberapa saat, kemudian meronta sampai Hiroki melepasnya. Kucing itu pergi tergesa-gesa dengan ekor tegak lurus. "Akan terjadi badai," ujar Hiroki, tertawa kecil. "Dia bisa merasakan cuaca di bulu-bulunya." Maya memungut sebatang ranting. Mem-bungkuk lalu menggores dedaunan dengan ranting itu. Kucing itu diam saja, tatapan matanya tajam. "Mari pergi melihat kuda," ajak Shigeko. "Ikutlah bersamaku, Shizuka." Miki berlari mengejar mereka, tapi Maya tetap membungkuk di bawah bayangan, membujuk si kucing untuk mendekat. Sementara pelayan menunggu dengan sabar di beranda. Salah satu sudut di ladang kecil dipagari bambu, dan seekor kuda jantan hitam di-kurung di dalamnya. Tanah tempat si kuda agak menanjak, rumputnya kering dan banyak bekas jejak kaki. Saat melihat mereka, kuda itu meringkik nyaring lalu bergerak mundur. Dua kuda yang lebih muda berseru menyahutinya. Mereka gelisah dan mudah gugup. Keduanya memiliki bekas luka gigitan baru di leher dan bagian sampingnya. Seorang anak laki-laki lengah mengisi ember air minum kuda hitam jantan itu. "Dia sengaja menendang ember itu," gerutu-nya. Di salah satu lengannya terlihat tanda bekas gigitan dan lebam. "Apakah dia menggigitmu?" tanya Shi-geko. Orang itu mengangguk. "Dia juga menendangku." Diperlihatkannya lebam ber-warna ungu gelap di betisnya. "Aku tidak tahu apa yang harus dilaku-kan," tutur Hiroki. "Dia selalu menyulitkan: sekarang malah menjadi berbahaya." "Dia tampan sekali," ujar Shigeko, menga-gumi kaki panjang dan punggungnya yang berotot, bentuk kepala yang sempuma dan mata yang besar. "Ya, dia memang tampan, juga tinggi: kuda tertinggi yang kami miliki. Tapi dia sangat keras kepala, aku tidak tahu apakah dia bisa dijinakkan, atau apakah kita mesti mengawinkannya." "Tampaknya dia sudah siap dikawinkan!" komentar Shizuka, dan mereka semua ter-tawa karena si kuda memperlihatkan semua gejala kuda jantan yang birahi. "Aku khawatir menaruhnya bersama kuda betina justru akan memperparah keadaan," tutur Hiroki. Shigeko mendekati si kuda hitam jantan. Bola mata kuda itu berputar dan telinganya menegakkan. "Hati-hati," Hiroki memperingatkan, dan saat itulah si kuda mencoba menggigit Shigeko. Bocah pengurus kuda memukulnya ketika Shigeko undur di luar jangkauan gigi si kuda. Diamatinya kuda itu selama beberapa saat tanpa bicara sepatah kata pun. "Dikurung pasti membuat keadaannya lebih buruk," ujarnya. "Pindahkan kuda yang lebih muda dan biarkan dia memiliki ladang ini sendirian. Bagaimana bila kau membawa sepasang kuda betina yang tua dan mandul- apakah mereka bisa menenangkannya dan mengajarinya sopan santun?" Halaman 495 dari 495 "Gagasan yang bagus; aku akan mencoba-nya," sahut si laki-laki tua, dan menyuruh bocah tadi menuntun dua kuda tadi ke padang rumput yang lebih jauh. "Kami akan membawa kuda betina dalam satu atau dua hari. Dia akan lebih menghargai teman bila kesepian!" Aku akan datang setiap hari dan melihat apakah kuda ini bisa dijinakkan," kata Shigeko, seraya berpikir akan menulis surat pada Hiroshi dan menanyakan sarannya. Mungkin Hiroshi akan datang dan mem-bantuku menjinakkannya.... Shigeko tersenyum pada diri sendiri se-waktu mereka kembali ke kuil. Maya tengah duduk di beranda di sebelah pelayan, matanya menatap ke bawah. Si kucing tergeletak lemas di atas tanah, semua keindahan dan semangat hidup kucing itu tidak terlihat lagi. Laki-laki tua itu menjerit, lalu bergegas menghampiri, kemudian tersandung, ke arah kucing itu. Diraihnya hewan itu lalu dipeluk-nya eraterat. Kucing itu bergerak tedikit, tapi tidak bangun. Shizuka langsung menghampiri Maya. "Apa yang kau lakukan?" Tidak ada," jawabnya. "Kucing itu menatapku, lalu tertidur." "Bangun, Mikkan," laki-laki tua itu memohon dengan sia-sia. "Bangunlah!" Shizuka menatap kucing itu dengan perasaan panik. Dengan usaha yang kentara mengendalikan reaksinya, dia berkata pelan, "Kucing itu takkan bangun. Kalaupun ter-bangun, tidak dalam waktu yang lama." "Ada apa?" tanya Shigeko. "Apa yang Maya lakukan pada kucing itu?" "Aku tidak melakukan apa-apa," kata Maya lagi, tapi dari tatapan matanya saat mendongak, Maya terlihat seperti ke-girangan. Dan ketika menatap Hiroki yang mulai menangis pelan, bibirnya berkerut dengan sinis. Ketika tersadar, Shigeko berkata dengan kesal, "Itu pasti salah satu kemampuan rahasia, kan? Sesuatu yang dipelajarinya sewaktu dia pergi? Kemampuan sihir yang mengerikan!" "Jangan bicarakan itu di sini," gumam Shizuka, karena para pelayan kuil berkumpul dan menatap dengan mulut menganga seraya memegangi jimat. "Kita harus pulang. Maya harus dihukum. Tapi mungkin sudah ter-lambat." "Terlambat untuk apa?' tanya Shigeko. "Nanti kuceritakan. Aku hanya mengerti sebagian tentang kemampuan Kikuta seperti ini. Kuharap ayahmu ada di sini." Shigeko bahkan lebih merindukan ayahnya pulang saat menghadapi kemarahan ibunya. Sorenya di hari yang sama: Shizuka mengajak si kembar pergi untuk menghukum Maya, dan mereka berdua diperintahkan tidur di kamar yang terpisah. Badai menderu di kejauhan, dan dari tempatnya berlutut, kepala tertunduk di hadapan ibunya, dapat Shigeko melihat cahaya samar di dinding berhiaskan motif emas menonjol saat kilatan halilintar tampak mengarah ke laut. Ramalan cuaca si kucing ternyata benar. Kaede berkata, "Seharusnya kau tidak ajak mereka ke sana! Kau tahu kalau Ibu tak ingin mereka terlihat berdua di depan umum." "Maaf, Ibu," bisik Shigeko. Ia tidak ter-biasa dengan kemarahan ibunya dan itu amat menyakitkan baginya. Tapi ia juga khawatir pada si kembar, dan merasa kalau ibunya bersikap tidak adil pada mereka. "Hari ini panas sekali; mereka sudah belajar dengan giat. Mereka perlu pergi keluar." "Mereka bisa bermain di taman sini," sahut Kaede. "Maya harus dikirim pergi." Halaman 496 dari 496 "Ini musim panas terakhir yang akan kita habiskan bersama di Hagi," Shigeko me-mohon. "Biarkan dia tinggal setidaknya sampai Ayah pulang." "Miki masih bisa diatur, tapi Maya sudah mulai tak terkendali," seru Kaede. "Dan tak ada hukuman yang bisa membuatnya jera. Berpisah dengan adiknya bisa menjadi cara terbaik mengendalikannya. Juga akan mem-buat kita lebih tenang selama musim panas!" "Ibu...?" Shigeko mulai bicara, namun tak mampu meneruskan kalimatnya. "Aku tahu kau pikir Ibu bersikap keras pada mereka," tutur Kaede setelah beberapa saat terdiam. Kaede mendekat agar bisa melihat wajah putrinya itu. Lalu dibelainya rambut Shigeko yang panjang dan halus. "Indahnya rambutmu! Seperti rambut Ibu dulu!" "Mereka berharap Ibu bisa menyayangi mereka," Shigeko berani angkat bicara, merasakan kalau amarah ibunya sudah reda. "Mereka merasa dibenci Ibu karena mereka b uk an anak l ak i-l ak i." "Ibu tidak membenci mereka," sahut Kaede. "Ibu malu dengan kehadiran mereka. Buruk sekali memiliki anak kembar, seperti mendapat kutukan. Ibu merasa seperti men-dapat semacam hukuman, peringatan dari Surga. Dan kejadian atas kucing ini mem-buat Ibu ketakutan. Seringkali Ibu berpikir sebaiknya mereka mati saat lahir, seperti kebanyakan anak kembar lainnya. Ayahmu tak ingin itu. Dia membiarkan mereka tetap hidup. Tapi kini Ibu bertanya pada diri sendiri: apa tujuannya? Mereka putri keluarga Otori; mereka tidak bisa pergi dan tinggal bersama Tribe. Tak lama lagi usia mereka akan cukup untuk dinikahkan-tapi siapa dari kalangan klas ksatria yang mau menikahi mereka? Siapa yang mau beristri penyihir? Jika kemampuan mereka ter-ungkap, para ksatria bahkan akan mem b unuh si k emb ar." Shigeko merasakan tubuh ibunya gemetar. "Ibu menyayangi mereka," bisik Kaede. "Namun terkadang mereka membuat Ibu sangat menderita dan ketakutan hingga Ibu berharap mereka mati saja. Dan Ibu selalu merindukan kehadiran anak lakilaki, dan tidak bisa berpura-pura bersikap sebaliknya. Masalah siapa yang akan menikah denganmu juga menyiksa Ibu. Dulu Ibu berpikr sungguh anugerah yang tak terkira bisa menikah dengannya. Namun Ibu juga sudah melihat kalau itu bukannya tanpa pengor-banan. Ibu bertindak bodoh dan egois dengan berbagai macam cara. Ibu menentang semua yang diajarkan sejak kecil, yang diharapkan dan disarankan untuk melak-sanakannya, dan mungkin harus menebusnya selama sisa hidup Ibu. Ibu tak ingin kau mengulangi kesalahan yang sama, terutama karena kami tidak punya anak laki-laki, maka memilih suamimu menjadi masalah politis." "Aku sering dengar Ayah bilang kalau Ayah bahagia kalau seorang gadis-aku- akan mewarisi Tiga Negara." "Begitulah yang selalu dikatakannya. Hanya untuk menghibur Ibu. Semua laki laki ingin anak laki-laki." Namun Ayah kelihatannya tidak begitu, pikir Shigeko. Tapi perkataan ibunya, nada penyesalan yang terkandung di dalamnya, serta keseriusan dalam nada suaranya, membekas di dalam hatinya.* Berita kematian Muto Kenji memerlukan waktu berminggu-minggu untuk sampai ke Inuyama. Kikuta ingin merahasiakannya selama mungkin sambil berusaha menyela-matkan para tawanan, tapi mereka juga ingin menyebarkan berita itu untuk menunjukkan pada Otori bahwa di luar Tiga Negara, dia tidak berdaya. Halaman 497 dari 497 Selama pemerintahan Takeo dan Kaede, jalan-jalan di seluruh Tiga Negara telah diperbaiki dan pesan-pesan dibawa dengan cepat antar kota-kota besar. Tapi di luar wilayah Timur, tempat Barisan Awan Tinggi membentuk penghalang alami, terbentang bermil-mil negeri tak bertuan sampai ke kota bebas Akashi, pelabuhan yang membentuk gerbang masuk ke ibukota Kaisar, Miyako. Desas-desus tentang kematian Muto Kenji terdengar di Akashi kira-kira di bulan keempat, dan dari sana kabar itu tersiar hingga ke Inumaya melalui pedagang yang sering meneruskan kabar berita dari wilayah Timur kepada Muto Taku. Walaupun sudah menduganya, Taku merasa sedih juga marah atas berita itu. Ia merasa seharusnya Kenji mati dengan damai di kampung halamannya sendiri, karena kematian seperti itu akan dianggap kelemahan di mata Kikuta dan hanya akan membuat mereka lebih bersemangat. Ia berdoa agar kematian Kenji terjadi dengan cepat dan bukannya tanpa makna. Taku merasa harus memberitahukan kabar itu pada Takeo, dan Sonoda juga Ai setuju kalau ia harus segera bewingkat ke Hofu, tempat Takeo pergi untuk beberapa alasan pemerintahan, sementara Kaede dan anak-anaknya sudah kembali ke Hagi selama musim panas. Keputusan atas nasib tawanan juga harus secara resmi dilaksanakan baik oleh Takeo maupun Kaede. Mungkin mereka akan dieksekusi sekarang, tapi harus dilakukan sesuai hukum agar tidak dianggap sebagai tindakan balas dendam. Taku sendiri mewarisi sifat sinis Kenji dan tidak enggan melakukan tindakan balas dendam, namun dia menghormati ketegasan Takeo pada keadilan-atau setidaknya memberi kesan adil. Kematian Kenji juga memengaruhi Tribe, karena dia sudah menjadi ketua lebih dari dua puluh tahun: seorang keluarga Muto harus dipilih untuk menggantikan keduduk-annya. Kakak Taku, Zenko, merupakan kerabat laki-laki terdekat karena Kenji hanya memiliki seorang putri yang sudah mati, Yuki, namun Zenko mengambil nama keluarga ayahnya dan tidak memiliki ke-mampuan Tribe. Apalagi kini dia berstatus sebagai ksatria berkedudukan tertinggi, pimpinan Klan Arai yang memimpin wilayah Kumamoto. Orang yang tersisa hanyalah Taku yang sudah jelas oinat berbakat dalam kemampuan menghilang serta menggunakan sosok kedua, dilatih oleh Kenji, dipercaya oleh Takeo. Satu alasan lagi untuk mengadakan per-jalanan saat ini yaitu untuk bertemu keluarga Tribe, untuk memastikan kesetiaan dan dukungan mereka serta membahas tentang siapa yang akan menjadi Ketua. Lagipula Taku merasa gelisah: ia sudah di Inuyama sepanjang musim dingin. Istrinya menyenangkan, anak-anak menghiburnya, tapi kehidupan rumah tangga membuatnya bosan; diucapkannya selamat tinggal pada keluarganya tanpa penyesalan, dan meskipun misinya membawa kabar menyedihkan, ia bersiap pergi keesokan harinya dengan lega bercampur penuh harapan, menunggang kuda pemberian Takeo kepadanya saat masih kecil: anak dari Raku, kuda dengan kulit abu-abu pucat, surai dan ekor sehitam arang- warna yang amat dihargai di Tiga Negara. Taku menamainya Ryume. Ryume sudah menjadi ayah dari banyak kuda jantan, dan kini sudah tua, namun ia tak pernah menyukai kuda seperti kuda yang satu ini, yang dijinakkannya sendiri serta tumbuh dewasa bersama dirinya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, hujan musim semi baru saja mulai turun, tapi berita itu tidak bisa ditunda lagi, tak ingin orang lain yang membawa berita ini. Taku berkuda dengan cepat meskipun di tengah cuaca buruk, seraya berharap bisa bertemu Takeo sebelum meninggalkan Hofu. Kedatangan kirin dan pertemuan dengan adik perempuannya mencegah Takeo untuk pergi secepatnya ke Hagi seperti yang diinginkannya. Keponakannya, Sunaomi dan Chikara bersiap-siap melakukan perjalanan, namun badai hebat| menunda keberangkatan mereka selama dua hari. Itulah sebabnya Takeo masih berada di Hofu ketika Muto Taku datang dari Inuyama ke rumah kakak-nya, meminta segera dipertemukan dengan Lord Otori. Sangat jelas bahwa Taku mem-bawa berita buruk. Ia tiba hampir malam, kelelahan dan tubuhnya yang kotor karena berjalan jauh, tapi tidak ingin mandi atau makan sebelum bicara dengan Takeo. Tidak ada rincian, hanya kenyataan keji bahwa Muto Kenji Halaman 498 dari 498 sudah tiada. Tak ada jenazah yang bisa ditangisi, tak ada batu nisan untuk menandai makamnya: cara kematian yang paling sulit untuk ditangisi, jauh dan tak terlihat. Kesedihan Takeo memuncak, semakin diperburuk oleh keputusasaannya. Namun ia merasa tak mampu menumpahkan perasaannya di rumah Zenko, dan tak mampu menahan Taku sepenuhnya sesuai dengan kehendaknya. Diputuskannya untuk pergi ke Hagi keesokan harinya, dan menunggang kuda dengan cepat. Keinginan utamanya adalah bertemu Kaede, agar istrinya itu bisa menghiburnya. Namun kekhawatirannya yang lain tak bisa dising-kirkan dan menunggu sementara ia meng-hadapi kesedihannya. Setidaknya ia harus membawa salah satu putra Zenko; Sunaomi yang akan dibawanya-bocah itu pasti bisa menunggang kuda dengan cepat-lalu mengirim adiknya bersama Ishida dan kirin dengan naik kapal begitu cuaca membaik. Taku bisa mengurusnya. Dan Kono? Mungkin Taku bisa tinggal di wilayah Barat untuk mengawasinya. Berapa lama lagi sampai ia bisa mendapat kabar dari Fumio? Berhasilkah dia menggagalkan penyelun-dupansenjata api? Dan jika tidak berhasil, berapa lama lagi waktu yang mereka butuhkan untuk menandingi jumlah per-senjataan miliknya? Kenangan tentang gurunya dan masa lalu menghujani dirinya. Ia berduka tidak hanya karena kehilangan Kenji, tapi juga ke-hilangan semua yang berhubungan dengan-nya. Kenji sahabat Shigeru: satu mata rantai lagi yang terputus. Lalu masalah tawanan di Inuyama yang harus dihukum mati, namun harus dilakukan sesuai hukum, dan ia atau salah satu anggota keluarganya harus hadir. Ia harus menulis surat pada suami Ai, Sonoda, mengirim perintah agar Ai menggantikan Kaede, se-suatu tugas yang akan menciutkan nyali adik iparnya yang berhati lembut itu. Takeo terjaga semalaman hanya ditemani kesedihan. Saat matahari terbit, ia memang-gil Minoru dan mendiktekan surat untuk Sonoda dan Ai, tapi sebelum membubuhkan cap, ia berbicara lagi dengan Taku. "Aku merasa enggan untuk memerintah-kan hukuman mati kedua pemuda-pemudi itu. Apakah ada cara lain?" "Mereka hendak membunuh keluargamu," sahut Taku. "Kau yang membuat aturan dan hukuman. Apa yang akan kau lakukan pada mereka? Memaafkan lalu membebaskan me-reka justru akan kelihatan seperti kelemahan; dan dipenjara dalam waktu lama lebih kejam ketimbang kematian dengan cara cepat." "Tapi apakah kematian mereka akan men-cegah serangan-serangan selanjutnya? Bukan-kah ini semakin membangkitkan amarah Kikuta pada diriku dan keluargaku?" "Dendam Akio padamu sudah mutlak sifatnya. Ia tak akan mundur selama kau masih hidup," sahut Taku, lalu menambah-kan, "Namun kematian akan menyingkirkan dua pembunuh lagi, dan cepat atau lambat mereka akan kehabisan orang yang mau dan mampu melakukannya. Kau harus hidup lebih lama daripada mereka." "Kau seperti Kenji," ujar Takeo. "Sama realistis dan pragmatisnya seperti Kenji. Kurasa kau yang akan mengambil alih kepemimpinan keluarga sekarang?" "Aku akan bicarakan dengan ibuku. Dan kakakku, tentu saja, demi formalitas. Zenko hanya memiliki sedikit kemampuan Tribe, dan mengambil nama ayah kami, tapi tetap saja dia lebih tua dariku." Takeo menaikkan alis sedikit. Ia lebih suka menyerahkan penanganan masalah pada Kenji dan Taku, memercayai Kenji sepenuh-nya. Ia merasa tak nyaman dengan pemikiran harus berbagi rahasia mereka dengan Zenko. "Kakakmu mengusulkan agar aku meng-angkat salah satu putranya," tutur Takeo, membiarkan nada terkejut terdengar dalam suaranya, yang diketahuinya tak akan luput dari perhatian Taku. "Sunaomi akan menemaniku ke Hagi. Aku akan berangkat Halaman 499 dari 499 sebentar lagi. Tapi ada banyak hal yang harus kita bicarakan terlebih dulu. Mari berjalan-jalan di taman." "Lord Otori," Minoru mengingatkannya. "Tidakkah Anda harus menyelesaikan surat-nya lebih dulu?" "Tidak, bawa saja bersama kita. Aku akan membicarakan masalah itu lebih jauh lagi dengan istriku sebelum aku memutuskan. Kita akan mengirimnya dari Hagi." Sinar matahari yang baru terbit tampak kelabu, pagi terasa lembap dan basah, dengan hujan yang mengancam akan turun. Per-jalanan itu akan basah dan tidak nyaman. Takeo sudah bisa memperkirakan bagai-mana rasa sakit pada luka lamanya akan memperburuk harihari selama menunggang kuda. Ia sadar kalau Zenko mungkin sedang mengawasinya, membenci kedekatannya dengan Taku, tahu kalau dirinya akan menaruh kepercayaan pada adiknya. Meng-ingat kalau Zenko juga keluarga Muto, serta ada hubungan saudara dengan Kikuta, mem-buatnya selalu siaga. Berharap benar adanya kalau Zenko tak memiliki kemampuan Tribe, Takeo menceritakan dengan pelan pada Taku secara singkat tentang pesan Lord Kono, begitu pula dengan masalah penyelundupan senjata. Taku menyerap semua penjelasan ini dalam diam; satu-satunya komentar darinya, "Kurasa, kepercayaanmu pada kakakku sudah terkikis." "Kakakmu telah memperbarui sumpah setianya padaku, tapi kita semua tahu sumpah setia tidak ada artinya bila ber-hadapan dengan ambisi akan kekuasaan. Kakakmu selalu menyalahkanku atas kematian ayahmu-dan kini sepertinya Kaisar dan kalangan istananya pun ber-anggapan sama. Aku tidak memercayai kakakmu maupun istrinya, tapi selama kedua putra mereka di tanganku, kurasa ambisi mereka masih bisa dibendung. Ambisi mereka harus dibendung: alternatif lainnya adalah akan terjadi perang saudara lagi atau aku harus memerintahkan kakakmu bunuh diri. Aku akan menghindari ini selama mungkin. Tapi aku harus memintamu menutup mulut lebih rapat dari biasanya, dan tidak mengungkap apa pun yang bisa menguntungkan dirinya." Kebiasaan Taku dalam ekspresi sinisme yang senang, menjadi lebih gelap lagi. "Aku yang akan membunuhnya bila dia mengkhianatimu," sahutnya. "Jangan!" sahut Takeo cepat. "Jangan sekali-kali membunuh saudara kandung. Masa-masa pertumpahan darah antar keluarga telah berakhir. Kakakmu, seperti juga semua orang- termasuk dirimu sendiri, Taku-harus dibatasi Hukum." Ia berhenti sesaat, kemudian berkata pelan, "Tapi katakan: apakah Kenji pernah mengatakan ramalan tentang diriku, bahwa aku aman dari kematian, kecuali di tangan putraku sendiri?" "Ya pernah, setelah salah satu percobaan pembunuhan padamu, dia berkomentar mungkin ramalan itu benar adanya-tak biasanya paman percaya pada ramalan dan pertanda. Saat itu paman menceritakan apa yang telah dikatakan tentang dirimu. Paman menceritakan itu sebagian untuk menjelas-kan ketidaktakutanmu, dan mengapa ancaman serangan tidak melumpuhkan diri-mu atau membuatmu bertindak kejam, seperti yang akan dilakukan sebagian besar orang." "Aku juga tidak mudah percaya," sahut Takeo, sambil tersenyum penuh penyesalan. "Kadang aku percaya kebenaran kata-kata itu, kadang tidak. Ramalan itu membuat aku percaya karena telah memberiku waktu untuk meraih segala yang kuinginkan tanpa ketakutan. Bagaimana pun juga, anak itu kini berusia enam belas tahun: cukup usia, dalam kalangan Tribe, untuk membunuh. Maka kini aku merasa terjebak: dapatkah aku berhenti percaya ketika ramalan itu tidak lagi sesuai dengan keadaanku?" "Bakal cukup mudah untuk menyingkir-kan bocah itu," Taku menawarkan. "Taku, kau tidak belajar apa-apa dari semua jerih payahku! Masa-masa pem-bunuhan rahasia sudah berakhir. Aku tak mampu mencabut nyawa kakakmu ketika pisauku di lehernya saat sengitnya pertempuran. Aku tak akan memerintahkan untuk membunuh putraku sendiri." Setelah beberapa saat Takeo melanjutkan, "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?" Halaman 500 dari 500 "Saat Kenji menceritakan hal ini padaku, tabib Ishida ada di sana. Dia sedang meng-obati luka dan mencoba meredakan demam-mu. Kenji mengatakan itu untuk meya-kinkan Ishida bahwa kau takkan mati, karena tabib itu hampir menyerah." "Zenko tidak tahu?" "Dia tahu keberadaan putramu-dia di desa Muto ketika berita kematian Yuki datang. Semua orang terus membicarakannya selama berminggu-minggu. Tapi kurasa Kenji tidak menceritakan soal ramalan itu pada orang lain." "Maka biarkan ramalan itu tetap menjadi rahasia." Taku mengangguk. "Aku akan tinggal di sini bersama mereka, seperti yang kau sarankan," ujarnya. "Awasi dengan baik, pastikan kalau Chikara berangkat bersama Ishida, dan mungkin cari tahu lebih banyak lagi tentang niat orangtuanya yang sebenarnya." Sewaktu mereka berpisah, Taku berkata, "Satu hal lagi. Bila kau mengangkat Sunaomi sebagai anak, dan dia menjadi putramu.... " "Saat itu aku akan memilih untuk tidak percaya!" sahut Takeo pura-pura bicara dengan nada ringan yang justru tidak dirasa-kannya." * Takeo berangkat kira-kira pada Waktu Ular* di mana hujan belum turun, namun menjelang malam hujan turun dengan deras. Sunaomi diam saja, bersemangat untuk ber-sikap dengan benar dan berani. namun jelas terlihat kalau dia khawatir meninggalkan orangtua dan keluarganya. Dua pengawal Zenko ikut untuk mengurusnya. Sementara Takeo didampingi Jun dan Shin, dua puluh prajurit serta Minoru. Di malam pertama mereka menginap di desa kecil, tempat beberapa penginapan dibangun selama masa kemakmuran negara ini. Desa ini acapkali menjadi tempat transit para pedagang yang melakukan perjalanan antara Hofu dan Hagi. Jalanan terawat dengan baik, dilapisi batu kerikil atau diratakan setiap jengkalnya; setiap kota kecil dijaga sehingga perjalanan menjadi aman dan cepat. Meskipun hujan, mereka sampai di sungai pada sore di hari ketiga, dan bertemu Miyoshi Kahei yang sudah diberitahu kurir bahwa Lord Otori dalam perjalanan ke utara. Atas kesetiaannya pada Takeo, Kahei dianugerahi kota Yamagata dan daerah-daerah yang mengelilinginya, hutan lebat yang membentuk jantung Negara Tengah serta tanah pertanian yang kaya di kedua sisi sungai. Yamagata dulu diserahkan pada Tohan setelah kekalahan Otori di Yaega-hara. Keluarga Miyoshi merupakan salah satu keluarga terhebat dalam Klan Otori, dan Kahei merupakan pemimpin yang disukai banyak orang. Dia juga pemimpin yang ahli strategi dan taktik sehingga, pikir Takeo, Kahei pasti menyesali tahun-tahun yang penuh kedamaian dan merindukan konflik baru untuk menguji keabsahan teori-teori-nya serta kekuatan dan ketrampilan pasukan-nya. Adiknya, Gemba. lebih bersimpati pada keinginan Takeo untuk mengakhiri ke-kerasan, dan menjadi murid Kubo Makoto dan pengikut Ajaran Houou. "Kau akan ke Terayama?" Kahei bertanya setelah mereka saling memberi salam dan menunggang kuda berdampingan ke utara, menuju ke kota. "Aku belum memutuskan," jawab Takeo. "Bukannya aku tidak menginginkannya, tapi aku tak ingin tertunda sampai di Hagi." "Apa sebaiknya kukirim kabar ke biara agar mereka datang ke kastil?'" Halaman 501 dari 501 Takeo melihat tidak ada lagi cara meng-hindar tanpa menyinggung perasaan sahabat lamanya ini. Takeo pikir tidak ada salahnya kalau Sunaomi berkunjung ke tempat suci Klan Otori, ziarah ke makam Shigeru, Takeshi dan Ichiro, serta bertemu Makoto dan para ksatria lain dengan kematangan spiritual yang menjadikan biara itu pusat kegiatan serta rumah mereka. Sunaomi tampak pandai sekaligus sensitif: Ajaran Houou mungkin bisa menjadi ajaran yang tepat baginya, seperti yang telah terbukti pada putrinya, Shigeko. Ia merasakan per-cikan ketertarikan yang tak terduga: betapa indahnya memiliki seorang putra untuk dibesarkan dan dididik dengan ajaran ini; timbulnya kekuatan emosi ini mengejutkan dirinya. Segala iiamnya sesuatunya diatur untuk pergi pagi-pagi keesokan harinya. Minoru tinggal di Yamagata untuk meng-awasi rincian administratif dan menyiapkan bukti catatan yang akan diperlukan untuk pengadilan nanti. Hujan berubah menjadi kabut: wajah bumi terselubung awan kelabu; di atas pegunungan langit tampak bermain, dan balutan awan seputih mutiara tampak bak umbul-umbul di lereng. Air hujan mem-bentuk torehan garis pada batang pepohonan cedar, meneteskan embun. Langkah kuda diredam oleh tanah yang basah. Mereka berkuda tanpa bicara; nyeri yang dirasakan Takeo ternyata tidak separah dugaannya, dan benaknya penuh dengan kenangan akan kunjungannya yang pertama ke biara ini beserta orang-orang yang menunggang kuda bersamanya bertahun-tahun lalu. Orang yang paling diingatnya, terutama Muto Kenji, nama paling baru yang dituliskan di buku besar nama orang-orang yang telah tiada. Kenji yang dalam perjalanan itu berpura-pura menjadi kakek-kakek yang bodoh, gemar minum sake dan lukisan. Aku menya-yangimu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Takeo merasakan kesendirian yang menyakit-kan, karena kematian Kenji meninggalkan kekosongan besar dalam hidupnya yang tak akan bisa terisi lagi, dan sekali lagi ia merasa rapuh, serapuh yang pernah dirasakannya setelah bertarung dengan Kikuta Kotaro yang telah membuat tangannya cacat. Kenji mengajarinya cara mempertahankan diri dengan menggunakan tangan kiri, men-dukung dan memberi nasehat di masa-masa awal berkuasa di Tiga Negara, memecah Tribe dan membawa empat dari lima keluarga di bawah kekuasaannya, semua keluarga kecuali Kikuta, dan mempertahan-kan jaringan mata-mata yang menjaga Takeo dan negara agar tetap aman. Pikirannya lalu melayang ke satu-satunya keturunan Kenji yang masih hidup, cucunya, yang ditahan Kikuta. Putraku, pikirnya dengan penyesalan, kerinduan serta kemarahan. Dia tak pernah mengenal ayah maupun kakeknya. Dia tak-kan memanjatkan doa yang dibutuhkan bagi nenek moyangnya. Tak ada orang lain lagi yang bisa menghormati kenangan akan Kenji. Bagaimana kalau aku mencoba men-dapatkan anak itu kembali? Tapi itu berarti mengungkap keberadaan anak itu pada istri serta ketiga putrinya, pada seluruh negara. Rahasia itu telah tersembunyi sekian lama hingga Takeo tidak tahu bagai-mana mengutarakannya. Andai Kikuta mau berunding agar bisa diberi semacam hak khusus. Kenji telah menduga kalau mereka mungkin mau; dia memilih untuk mendekati Akio, dan kini dia telah tiada, dan dua pemuda lagi akan kehilangan nyawa sebagai hasilnya. Seperti Taku, Takeo ingin tahu berapa banyak lagi pembunuh yang Kikuta miliki, tapi tidak seperti Taku, ia tidak bersemangat bila jumlahnya makin ber-kurang. Jalan setapak itu sempit sehingga mereka dalam kelompok kecil-Sunaomi dan kedua pengawalnya, kedua pengawal Takeo serta tiga ksatria Otori lainnya, ditambah dua anak buah Kahei- berkuda dalam satu barisan. Tapi setelah mereka meninggalkan kuda di tempat penginapan di kaki gunung suci, Takeo memanggil Sunaomi agar berjalan bersamanya, menceritakan padanya sedikit tentang sejarah biara, tentang pahlawan-pahlawan Otori yang dimakamkan di sana, tentang houou, burung suci yang bersarang di hutan kecil di belakang biara, dan ksatria yang mengabdikan dirinya pada Ajaran Houou. "Kami akan mengirimmu kemari bila kau sudah lebih besar; putriku datang ke sini setiap musim dingin, dan sudah melaku-kannya sejak usia sembilan tahun." Halaman 502 dari 502 "Aku akan melakukan apa saja yang paman inginkan," sahut bocah itu. "Aku berharap bisa melihat burung houou dengan mata kepalaku sendiri!" "Kita akan bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke hutan kecil itu sebelum kembali ke Yamagata. Hampir dipastikan kau bisa melihat burung itu karena sekarang jumlah-nya banyak." "Chikara melakukan perjalanan bersama kirin," seru Sunaomi, "dan aku ber-kesempatan melihat houou. Itu adil. Tapi. Paman, apa yang harus dipelajari untuk mengikuti Ajaran Houou?" "Orangorang yang akan kita temui yang akan memberitahukan: biarawan seperti Kubo Makoto; ksatria seperti Miyoshi Gemba. Ajaran utamanya yaitu tidak meng-inginkan kekerasan." Sunaomi tampak kecewa. "Jadi aku tidak akan belajar memanah dan berpedang? Itu yang ayah ajarkan pada kami, dan ayah ingin kami mahir dalam keduanya." "Kau akan melanjutkan pelatihan bersama putra-putra ksatria di Hagi, atau di Inuyama saat kita sudah sampai. Tapi Ajaran Houou sangat menuntut pengendalian diri, dan juga kekuatan fisik serta mental. Mungkin kau tidak cocok dengan ajaran ini." Takeo melihat cahaya berkilap di mata bocah itu. "Kuharap diriku cocok dengan ajaran ini," sahut Sunaomi, setengah ber-teriak. "Putri sulungku akan menceritakan lebih banyak lagi tentang ajaran ini begitu kita tiba di Hagi." Takeo hampir tidak bisa mengucapkan nama kota itu, begitu besar keinginannya untuk berada di sana dan bersama Kaede. Tapi ia berusaha menyembunyikan perasaan-nya dengan cara yang sama seperti yang dilakukannya seharian berusaha menyem-bunyikan rasa nyeri dan penderitaannya. Di gerbang biara mereka disambut dengan kegembiraan, dan seorang biarawan diminta untuk memberitahukan Kepala Biara, Matsuda Shingen, dan Makoto tentang kedatangan mereka. Mereka dikawal menuju griya tamu. Meninggalkan Sunaomi dan anak buahnya di sana, Takeo berjalan melewati taman, melewati kolam ikan tempat ikan air tawar merah dan keemasan ber-desakan dan mencipakkan air, menuju hutan kecil suci di belakang biara, menyusuri tanjakan terjal jalan pegunungan, tempat para bangsawan Otori dimakamkan. Kabut lebih tebal menyelimuti tentera abu-abu dan batu nisan yang dipersuram oleh embun dan bintik-bintik lumut hijau dan putih. Lumut yang berwarna hijau tua menutupi bagian dasarnya. Ada seutas tali rami baru berkilauan di sekeliling makam Shigeru, dan sekerumunan orang berdiri menundukkan kepala di depan makam, berdoa bagi laki-laki yang telah menjadi pahlawan dan perwujudan dewa, kekuatan Negara Tengah dan Klan Otori. Sebagian besar dari mereka adalah petani, pikir Takeo, mungkin ada satu atau dua pedagang dari Yamagata yang turut serta. Ketika melihat ia mendekat, mereka langsung mengenalinya dari lencana di jubahnya, dari tangan yang terbungkus sarung tangan hitam. Mereka menjatuhkan diri ke tanah, namun Takeo memberi salam lalu menyuruh mereka berdiri, kemudian meminta meninggalkan dirinya sendiri di dekat makam. Takeo berlutut, menatap sesaji yang ada di sana, segenggam penuh bunga warna merah tua, kue mochi dan sake. Masa lalu muncul di sekelilingnya, dengan semua kenangan menyakitkan. Ia berhutang nyawa pada Shigeru; dan telah menjalani hidupnya sesuai dengan tujuan sang men-diang. Wajahnya basah karena kabut dan air mata. Terasa ada gerakan di belakangnya, dan Takeo berbalik melihat Makoto berjalan menghampiri sambil membawa lentera di satu tangan dan tempat dupa kecil di tangan yang satunya lagi. Makoto berlutut lalu meletakkan kedua benda itu di depan makam. Asap ketabu naik perlahan, berat, bercampur kabut, memenuhi udara dengan aromanya. Lentera menyala dengan tenang, menerangi suramnya hari ini. Dalam waktu lama mereka berdua tidak bicara sepatah kata pun. Kemudian genta berdentang dari pelataran biara, dan Makoto berkata, "Mari masuk dan makan. Kau pasti lapar. Senang sekali bertemu denganmu." Halaman 503 dari 503 Mereka berdua bangkit dan saling mengamati. Mereka pertama kali bertemu tepat di tempat ini, tujuh belas lahun lalu, sempat timbul rasa saling menyukai di mereka berdua, dan untuk sesaat kasih sayang di antara mereka begitu kuatnya bak sepasang kekasih. Makoto pernah bertempur bersama Takeo di Asagawa dan Kusahara dan selama bertahun-tahun menjadi teman ter-dekatnya. Karena sudah begitu mengenal Takeo, Makoto merasakan bila sahabatnya itu sedang menghadapi masalah, maka Makoto bertanya, "Apa yang terjadi?" "Aku akan menceritakannya dengan cepat. Muto telah tiada. Dia pergi untuk berunding dengan keluarga Kikuta dan tidak kembali. Aku akan ke Hagi untuk memberitahukan kabar ini pada keluargaku. Kami akan ke Yamagata besok." "Aku turut berduka atas kehilangan ini. Kenji teman yang setia. Tentu saja kau ingin bersama Lady Otori di saat seperti ini. Tapi haruskah kau pergi begitu cepat? Maaf, tapi kau tampak lelah. Tinggallah selama beberapa hari di sini untuk memulihkan kekuatanmu." Takeo tersenyum, tergoda oleh ajakan itu, merasa iri pada Makoto dengan penampilan-nya yang sempurna secara fisik dan spiritual-nya. Makoto saat ini berusia tiga puluhan, tanpa kerutan di wajahnya yang tenang; sinar matanya penuh kehangatan dan kegembira-an. Seluruh sikapnya memancarkan ketenangan dan pengendalian diri. Takeo yakin kalau teman lamanya yang satu lagi, Miyoshi Gemba pasti kelihatan sama, layaknya para pengikut ajaran ini. Takeo me-rasakan ada sedikit penyesalan karena jalan hidup yang memanggilnya untuk dijalani sangat berbeda. Seperti yang selalu dilakukannya saat mengunjungi Terayama, ia berangan-angan mengundurkan di sini, mengabdikan diri dengan melukis dan merancang taman seperti seniman besar Sesshu; ia akan menyumbangkan Jato- pedang yang selalu ia bawa meskipun tak lagi digunakan selama bertahun-tahun-lalu berhenti menjalani hidup sebagai ksatria dan penguasa. Bersumpah untuk tidak mem-bunuh lagi, melepaskan diri dari kekuasaan atas hidup dan mati setiap orang di negara ini, membebaskan diri dari beban yang berat dan menyakitkan di balik kekuatan ini. Suara-suara biara yang tidak asing lagi menyelimuti dirinya. Dengan sadar dibuka-nya gerbang pendengarannya dan membiar-kan suara-suara itu menyirami dirinya, percikan air terjun di kejauhan, gumaman doa dari aula utama, suara Sunaomi dari griya tamu, desingan layang-layang dari puncak pepohonan. Dua burung gereja hing gap di ranting, bulu warna abu-abu mereka tampak jelas dengan sinar agak redup serta gelapnya warna dedaunan. Dibayangkannya bagaimana ia bisa melukis mereka. Namun tak ada orang lain yang bisa mengambil alih perannya: mustahil bisa menjauh dari semua itu. "Aku baik-baik saja," ujarnya. "Aku minum terlalu banyak, tapi sake meredakan rasa sakitku. Ishida memberiku minuman pengurang rasa sakit, tapi aku sudah kebal dengannya-aku jarang-jarang meminum-nya. Kami akan menginap semalam di sini: aku ingin putra Arai melihat biara ini dan bertemu denganmu. Dia akan tinggal ber-sama keluargaku. Mungkin aku akan mengirimnya kemari dalam satu atau dua tahun lagi." Dahi Makoto berkerut. "Zenko sedang buat masalah?" "Lebih dari biasanya. Dan ada perkem-bangan di wilayah Timur yang harus kuceritakan padamu. Aku harus merencana-kan jawabanku dengan hati-hati. Bahkan mungkin aku harus pergi ke Miyako. Kita akan bicarakan hal iiu nanti. Bagaimana kabar Lord Matsuda? Aku juga berharap bisa mendapatkan saran darinya." "Beliau masih bersama kami," sahut Makoto. "Jarang makan, bahkan sepertinya tidak pernah tidur. Tampaknya beliau sudah separuh berada di dunia lain. Tapi pikiran-nya masih tetap jernih, bahkan mungkin lebih jernih, seperti danau di pegunungan." Halaman 504 dari 504 "Kuharap pikiranku ada di sini," ujar Takeo, selagi mereka berjalan kembali ke biara. "Tapi pikiran lebih menyerupai salah satu kolam ikan itu: penuh gagasan dan masalah juga sampah di sekelilingnya, masing-masing berusaha menarik perhatian-ku." "Kau seharusnya mencoba menenangkan pikiran setiap harinya," Makoto mengamati. "Satu-satu kemampuan meditasi yang kumiliki adalah kemampuan Tribe-dan tujuannya agak berbeda!" "Tapi bila kuamati kemampuan itu begitu memang ada dalam dirimu dan anggota Tribe lainnya, sangat berbeda dengan kami yang harus melalui disiplin diri dan pengenalan diri." Takeo tidak setuju: ia belum pernah melihat Makoto atau murid-muridnya meng-gunakan kemampuan menghilang, atau menggunakan sosok kedua. Dirasakannya keraguan Makoto, dan menyesalinya. "Aku tak punya waktu bermeditasi, lagi-pula aku hanya mendapat sedikit pelatihan atau pendidikan tentang ajaran itu. Dan aku tidak tahu kalau itu bisa membantu. Aku terlibat dalam pemerintahan... paling tidak, saat ini, jika tidak bisa disebut peperangan." Makoto tersenyum. "Kami di sini men-doakanmu setiap waktu." "Kukira itu bisa membuat perbedaan! Mungkin doa kalian yang telah memper-tahankan kedamaian selama hampir lima belas tahun." "Aku yakin begitu," sahut Makoto tenang. "Bukan hanya doa yang hampa atau lantunan pujian tanpa makna, tapi keseimbangan spiritual yang kami pertahankan di sini. Kupakai kata "mempertahankan" untuk me-nunjukkan otot dan kekuatan yang dibutuh-kan; kekuatan pemanah untuk mem-bengkokkan busur atau balok di menara lonceng untuk menahan berat lonceng." "Aku percaya. Aku melihat perbedaan dalam diri para ksatria yang mengikuti ajaranmu: disiplin dan welas asih mereka. Tapi bagaimana ini bisa membantuku menghadapi Kaisar dan jenderal barunya, yang akan memerintahkan aku mengasing-kan diri?" "Saat kau ceritakan semuanya nanti, kami akan berikan saran untukmu," Makoto ber-janji. "Kita makan dulu, lalu kau ber-istirahat." Setelah selesai makan siang sederhana yang terdiri dari sayuran, sedikit nasi, dan sop, hujan mulai turun dengan derasnya. Cahaya mulai meredup, kehijauan, dan tiba-tiba keinginan untuk berbaring tak tertahankan lagi. Makoto mengajak Sunaomi bertemu dengan beberapa murid yang masih muda; Jun dan Shin duduk di luar, minum teh dan berbincang-bincang dengan suara pelan. Takeo tertidur, rasa sakitnya berkurang seolah luruh dengan bunyi rintik hujan bak gendang bertalutalu di aiap. Ia tidak ber-mimpi, dan terbangun dengan pikiran yang lebih jernih. Lalu mandi di mata air panas, menge-nang ketika ia berendam di kolam yang sama saat salju turun sewaktu melarikan diri ke Terayama bertahun-tahun lalu. Setelah selesai berpakaian, Takeo melangkah ke beranda tepat saat Makoto dan Sunaomi kembali. Takeo menyadari kalau bocah itu ter-sentuh oleh sesuatu. Wajahnya bersinar dan matanya berkilauan. "Lord Miyoshi menceritakan bagaimana dia hidup di pegunungan sendirian selama lima tahun. Beruang memberinya makan, dan pada malam-malam yang dingin mem-beku meringkuk memeluknya agar tetap hangat!" "Gemba ada di sini?" tanya Takeo pada Makoto. "Dia kembali saat kau tidur. Dia sudah tahu kau ada di sini." "Bagaimana Lord Miyoshi bisa tahu?" tanya Sunaomi. "Lord Miyoshi tahu hal-hal semacam ini," sahut Makoto sambil tertawa. Halaman 505 dari 505 "Apakah beruang-beruang itu yang mem beri tahunya?" "Kemungkinan begitu! Lord Otori, mari kita menemui Kepala Biara." Meninggalkan Sunaomi bersama kedua pengawal pribadinya, Takeo berjalan bersama Makoto melewati aula tempat makan di biara, tempat rahib-rahib muda mem bereskan mangkuk bekas makan malam, menyeberangi sungai kecil yang dialihkan airnya agar mengalir melewati dapur, dan ke pelataran di depan aula utama. Di dalam aula utama ada ratusan lentera dan lilin yang menyinari patung emas Sang Pencerah, dan Takeo mengenal sosok tanpa suara yang sedang duduk bermeditasi di dalamnya. Mereka mengikuti jalan setapak terbuat dari papan menyeberangi satu cabang lagi aliran sungai kecil menuju aula tempat lukisan Sesshu, dan menghadap ke taman. Hujan telah reda, malam telah menjelang dan be-batuan di taman tampak seperti bayangan hitam, nyaris tak terlihat. Harum lembut bunga serta tanah yang basah merebak ke dalam aula. Bunyi air terjun kedengaran lebih keras di sini. Di ujung cabang utama sungai kecil, yang mengalir di sepanjang taman dan menuruni gunung, berdiri griya tamu perempuan tempat Takeo dan Kaede menghabiskan malam pertama pernikahan mereka. Tempat itu kini kosong; tak ada cahaya yang bersinar dari dalamnya. Matsuda sudah berada di aula, bersandar pada bantalan tebal yang disangga dua rahib tanpa suara dan tidak bergerak. Matsuda sudah tua saat pertama kali Takeo bertemu dengannya; kini sepertinya dia telah melewati jauh dari batasan usia yang mengekang, bahkan batasan kehidupan, dan telah me-masuki dunia jiwa yang suci. Takeo berlutut lalu membungkuk sampai ke lantai di hadapannya. Matsuda adalah satu-satunya orang di Tiga Negara yang paling dihormatinya. "Mendekatlah," ujar Matsuda. "Biar ku-lihat dirimu. Biar kusentuh dirimu." Kasih sayang dalam nada suaranya mem-buat Takeo terharu. Dirasakannya air mata mengambang ketika laki-laki tua itu men-condongkan badan ke depan lalu menepuk-kan tangan. Mata Matsuda mencari-cari wajah Takeo; merasa malu akan air mata yang sebentar lagi tumpah, Takeo tidak membalas tatapannya malah melihat ke belakang, ke lukisan-lukisan Sesshu indah. Waktu tidaklah bergerak bagi lukisan-lukisan itu, pikirnya. Kuda, bangau-mereka masih seperti dulu, sedangkan begitu banyak orang yang pernah melihat mereka kini telah tiada, terbang jauh bak burung gereja. Satu satu kasa yang kosong, menurut legenda, lukisan burung-burung itu begitu hidup hingga akhimya terbang. "Jadi Kaisar merasa khawatir dengan diri-mu," ujar Matsuda. "Putra Fujiwara, Kono, datang berpura-pura mengunjungi tanah milik ayahnya, tapi sebenarnya dia memberitahuku bahwa aku telah membuat Kaisar merasa tidak senang- bahkan dianggap penjahat; aku diminta untuk mengundurkan diri dan mengasingkan diri." "Aku tidak kaget kalau Kaisar bingung dan takut padamu," Matsuda tertawa kecil. "Aku hanya terkejut mengapa begitu lama baru mereka mengancammu." "Kurasa ada dua alasan; pertama Kaisar memiliki jenderal baru yang telah menakluk-kan wilayah Timur dan sekarang pasti meng-anggap dirinya cukup kuat untuk meman-cing kita. Alasan yang lainnya adalah Arai Zenko telah berhubungan dengan Kono. Aku mencurigai Zenko menganggap dirinya sebagai penerusku." Takeo merasakan amarahnya meletup lagi, dan segera menyadari kalau Matsuda dan Makoto melihatnya. Di saat bersamaan, diperhatikannya ada satu orang lain berada di dalam aula, duduk di bawah bayangan di belakang Matsuda. Orang ini mencondong-kan badan ke depan sekarang, dan Takeo sadar kalau orang itu adalah Miyoshi Gemba. Usia mereka hampir sebaya, tapi seperti hal-nya Makoto, Gemba Halaman 506 dari 506 nampak tidak berubah seiring dengan berjalannya waktu. Gemba memandangnya dengan tatapan lembut, santai namun penuh kekuatan-hampir seperti beruang. Sesuatu terjadi pada lentera. Cahayanya berkedip-kedip dan seberkas cahaya terang melompat di depan mata Takeo. Sesaat melayang-layang, kemudian melesat bak bintang jatuh ke arah taman yang gelap. Terdengar olehnya desisan cahaya tadi saat hujan memadamkannya. Di saat yang sama amarahnya lenyap. "Gemba," ujar Takeo. "Aku senang ber-temu denganmu! Tapi apakah kau meng-habiskan waktu dengan belajar tipuan sulap di sini?" "Kaisar dan istananya sangat percaya takhayul," sahut Gemba. "Mereka punya banyak peramal, ahli nujum dan penyihir. Bila aku menemanimu, kau mungkin bisa yakin kalau kami mampu menandingi tipuan mereka." "Jadi aku harus pergi ke Miyako?" "Ya," sahut Matsuda. "Kau harus hadapi mereka sendiri. Kau akan mendapatkan dukungan Kaisar." "Aku akan membutuhkan lebih dari sekadar tipuan Gemba untuk membujuknya. Kaisar sedang membangun kekuatan untuk melawanku. Aku takut kalau satu-satunya jawaban yang masuk akal yaitu dengan kekerasan." "Sebentar lagi akan ada pertandingan ber-taraf kecil di Miyako," ujar Gemba. "Itu sebabnya aku harus ikut bersamamu. Putri-mu juga harus ikut." "Shigeko? Tidak, terlalu berbahaya." "Kaisar harus bertemu dengannya dan memberi restu serta persetujuan kepadanya bila dia memang akan menjadi penerusmu- seperti yang seharusnya." Seperti Gemba, Matsuda mengeluarkan kata-kata ini dengan penuh keyakinan. "Kita tidak perlu membahas hal ini?" tanya Takeo. "Kita tidak perlu mempenimbangkan pilihan Iain, dan mencapai kesimpulan yang bijaksana?" "Kita bisa membahasnya bila kau mau," sahut Matsuda. "Tapi aku sudah sampai pada usia dimana perbincangan membuatku lelah. Aku bisa lihat titik akhir yang akan dicapai. Maka langsung saja ke bagian akhirnya." "Aku juga harus meminta pendapat dan saran istriku," ujar Takeo. "Begitu pula hal-nya dengan para pengawal senior, dan jenderalku, Kahei." "Kahei akan selalu memilih perang," kata Gemba. "Begitulah sifatnya. Tapi kau harus menghindari bentrokan senjata secara ter-buka, terutama bila prajurit dari wilayah Timur mempunyai senjata api." Kulit kepala dan leher Takeo terasa seperti dihujam perasaan gelisah. "Kau yakin?" "Tidak, aku hanya menduga kalau tak lama lagi mereka akan memilikinya." "Sekali lagi, ini ulah Zenko yang meng-khianatiku." "Takeo, sahabatku, bila kau memperkenal-kan penemuan baru, baik itu senjata atau apa saja, jika memang efektif, rahasianya akan dicuri. Begitulah sifat manusia." "Jadi seharusnya tidak kubiarkan pengem-bangan senjata api?" Satu hal yang kerap disesalinya. "Begitu benda itu diperkenalkan padamu, tak dapat dihindari kalau kau akan mengembangkannya dalam pencarianmu akan kekuatan dan kekuasan. Sama tidak ter-hindarkannya ketika musuh-musuhmu menggunakannya dalam usaha untuk men-jatuhkan dirimu." "Maka aku harus memiliki senjata api yang lebih banyak dan lebih baik dibanding-kan mereka! Aku harus serang mereka lebih dulu, mengejutkan mereka, sebelum mereka sempat mempersenjatai diri." "Itu bisa menjadi strategi yang baik," kata Matsuda mengamati. Halaman 507 dari 507 "Tentu saja, adikku, Kahei, akan mem-berimu saran seperti itu," timpal Gemba. "Makoto," kata Takeo. "Kau diam saja. Bagaimana pendapatmu?" "Kau tahu aku tidak bisa menyarankanmu memulai perang." "Jadi kau takkan memberi saran? Kau akan duduk di sini dan melantunkan doa serta memainkan tipuanmu dengan api, sementara semua yang sudah kuraih hancur berantakan?" Bisa didengarnya nada suaranya sendiri lalu ia diam seribu bahasa, setengah merasa malu atas kekesalannya dan setengah takut Gemba akan menggunakan api untuk membuang amarahnya. Kali ini tak ada unjuk kebolehan tipuan, namun kesunyian yang makin dalam meng-hasilkan efek yang sama kuatnya. Takeo me-rasakan kombinasi antara ketenangan dun kejernihan dari pikiran ketiga orang itu dan tahu kalau mereka mendukungnya, namun berusaha mencegahnya agar tidak bertindak gegabah ataupun berbahaya. Banyak orang di sekitarnya yang hanya bisa memuji dan tunduk padanya. Sedangkan orang-orang ini tidak melakukan itu, dan Takeo lebih memercayai mereka. "Bila aku harus ke Miyako, haruskah aku pergi secepatnya? Saat musim gugur, saat cuaca membaik?" "Tahun depan, mungkin, saat salju sudah mencair," tutur Matsuda. "Jangan terburu-buru." "Itu memberi mereka waktu untuk mem-bangun kekuatan militer!" "Itu juga memberimu waktu untuk menyiapkan diri," sahut Makoto. "Kurasa kau harus pergi dengan kemewahan yang tiada tara, membawa hadiah-hadiah yang paling indah." "Juga memberi waktu pada putrimu untuk menyiapkan dirinya," tutur Gemba. "Tahun ini Shigeko berusia lima betas tahun," ujar Takeo. "Dia sudah cukup dewasa untuk ditunangkan." Pikiran itu mengganggunya: baginya Shigeko masih anak-anak. Siapa orang yang pantas menjadi jodohnya? "Itu juga menjadi nilai lebih di pihakmu," gumam Makoto. "Sementara ini dia harus menyempurna-kan keahlian berkuda, dan memanah," seru Gemba. "Dia takkan sempat menunjukkan semua keahliannya di ibukota," kata Takeo. "Kita lihat saja nanti," sahut Gemba, dan tersenyum dengan ekspresi penuh teka-teki. "Jangan khawatir," imbuhnya, seolah memerhatikan rasa kesal Takeo. "Aku akan ikut denganmu, dan takkan ada yang akan menyakitinya." Kemudian dia berkata dengan nada bijaksana: "Putri-putri yang layak mendapat-kan perhatianmu lebih dari putra-putra yang tidak kau miliki." Kata-kata itu terasa bagaikan hujaman kritikan tajam dan menyengat, karena ia mengagumi kenyataan bahwa dirnya men-jalani semua pendidikan dan pelatihan bagi anak laki-laki: Shigeko dengan cara ksatria, si kembar dengan ketrampilan Tribe. Takeo mengatupkan bibir lalu membungkuk hormat di hadapan Matsuda. Orang itu memberi isyarat untuk mendekat dan merangkulkan tangannya yang lemah pada Takeo. Ia tidak bicara sepatah ia pun, tapi tiba-tiba ia sadar kalau Matsuda sedang mengucapkan selamat tinggal, kalau ini adalah pertemuan mereka yang terakhir. Takeo mundur sedikit agar bisa menatap dalam-dalam mata sang pendeta tua. Matsuda adalah satu-satunya orang yang bisa kutatap langsung wajahnya, pikirnya. Satu-satunya orang yang tidak jatuh dalam sihir tidur Kikuta. Seolah bisa membaca pikirannya, Matsuda berkata, "Aku tidak meninggalkan siapa-siapa selain dua penerus yang berharga-tak ter-nilai harganya. Jangan membuang waktumu dengan menyesali kepergianku. Kau sudah tahu apa yang perlu kau ketahui. Berusahalah mengingatnya." Halaman 508 dari 508 Nada suaranya mengandung gabungan antara kasih sayang dan amarah yang sering digunakannya saat mengajari Takeo cara menggunakan pedang. Sekali lagi Takeo harus mengedipkan mata agar air matanya tidak jatuh. Sewaktu Makoto menemaninya ke griya tamu, sang biarawan berkata, "Kau ingat saat pergi seorang diri ke sarang perompak di Oshima? Miyako tidak mungkin lebih ber-bahaya dari tempat itu!" "Kala itu aku masih muda dan tanpa rasa takut. Aku tak percaya ada orang yang bisa membunuhku. Kini aku sudah tua, cacat, dan rasa takutku jauh lebih banyak bukan hanya takut kehilangan nyawaku sendiri, tapi juga nyawa anak-anakku, dan istriku, juga negara dan rakyatku, bila aku mati, mereka tanpa perlindungan." "Itu sebabnya yang terbaik yaitu dengan menunda jawabanmu: kirimkan pesan yang penuh pujian, hadiah dan janji-janji. Kau selalu bertindak tanpa berpikir: semua yang kau lakukan dilakukan dengan tergesa-gesa. " "Itu karena aku sadar kalau aku tak akan hidup lama. Hanya ada sedikit waktu untuk meraih apa yang ingin kuraih." pikir panjang, dan bermimpi berada di Yamagata, di malam ia memanjat ke kastil lalu mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Dalam mimpinya, ia bergerak lagi dengan kesabaran tanpa batas Tribe, melewati malam yang terasa tanpa akhir. Kenji mengajarinya cara membuat waktu bergerak lambat atau mempercepatnya sesuai keinginan. Dilihat dalam mimpinya bagai-mana dunia berubah sesuai dengan harapan-nya, dan terbangun dengan perasaan kalau semacam misteri baru saja terangkat dari dalam dirinya, tapi juga dengan semacam kebahagiaan tiada tara, dan dengan anehnya ia terbebas dari rasa sakit. Saat itu hari hampir terang. Tak terdengar rintik hujan, hanya kicau burung dan tetesan sisa air hujan dari tepi atap. Sunaomi duduk di atas matras sambil menatapnya. "Paman? Paman sudah bangun? Bisakah kita pergi dan melihat burung houou?" Para pengawal Arai tetap berjaga semalaman di luar, walaupun Takeo sudah meyakinkan mereka kalau Sunaomi lak dalam bahaya. Kini mereka berdiri setengah melompat, membantu tuan muda mereka memakai sandal, lalu mengikuti sewaktu Takeo membimbingnya berjalan ke gerbang utama. Palang gerbang sudah dibuka sejak matahari terbit dan sudah ditinggalkan penjaganya untuk sarapan. Setelah melewati gerbang itu, mereka berbelok ke kanan dan mengambil jalan sempit menuju dinding sebelah luar dari dataran biara dan berjalan naik ke lereng gunung yang curam. Tanahnya keras dan berbatu, kerap terasa licin karena hujan. Setelah beberapa saat, salah seorang pengawal menggendong Sunaomi. Langit tampak cerah, biru pucat, matahari baru saja terbit di timur pegunungan. Jalannya menanjak dan menuju hutan pohon beech dan pohon ek. Hamparan bunga liar musim panas menyelimuti per-mukaan tanah, dan burung melantunkan nyanyian dengan saling bersahutan. Nanti udara akan terasa panas, tapi kini udara terasa sempurna, didinginkan hujan, dan tenang. Takeo bisa mendengar gemerisik de-daunan dan kepakan sayap yang menunjuk-kan keberadaan burung houou di dalam hutan di depan sana. Di sini, di antara pepohonan berdaun lebar, terdapat sebuah rumput ilalang tinggi yang menjadi tempat yang paling disukai burung-burung itu untuk bersarang dan bertelur, walaupun kabarnya mereka makan daun bambu. Kini jalannya lebih mudah dilewati, Sunaomi meminta agar diturunkan, dan yang membuat Takeo terkejut, anak itu memerintahkan kedua orang itu menunggu di sini sementara dia berjalan ke depan ber-sama Lord Otori. Halaman 509 dari 509 Sewaktu mereka sudah berada di luar jangkauan pendengaran kedua pengawal itu, Sunaomi berkata dengan nada penuh rahasia pada Takeo, "Aku pikir Tanaka dan Suzuki tidak perlu melihat burung houou. Mungkin saja mereka ingin memburu atau mencuri telurnya. Aku pemah mendengar kalau telur burung houou bernilai tinggi." "Mungkin nalurimu benar," sahut Takeo. "Mereka tidak seperti Lord Gemba dan Lord Makoto," ujar Sunaomi. "Aku tidak tahu cara mengungkapkannya. Kedua pengawal itu bisa melihat, tapi takkan mengerti." "Kau mengutarakannya dengan sangat baik," sahut Takeo sambil tersenyum. Kicau penuh semangat terdengar dari atas kepala mereka, diikuti oleh jeritan parau sebagai jawabannya. "Itu mereka," bisik Takeo, seperti biasa rasa kagum pada burung suci itu bangkit dalam dirinya. Seruan mereka seperti juga kehadiran mereka, indah serta aneh, anggun juga canggung. Burungburung itu memang memberi semangat sekaligus agak lucu. Ia takkan terbiasa dengan kehadiran mereka. Sunaomi mendongak, wajahnya tampak terpesona. Lalu seekor burung melesat keluar dari balik rimbunnya dedaunan dan me-ngepakkan sayap ke pohon berikumya. "Itu burung jantan," tutur Takeo. "Dan ini dia yang betina." Sunaomi tertawa gembira sewaktu burung kedua terbang menukik melintasi padang rumput, ekornya panjang dan halus, matanya cemerlang bak kilauan emas. Bulunya berwarna-warni, dan saat mendarat di dahan, selembar melayang jatuh. Kedua burung itu memalingkan kepala saling berpandagan, berseru lagi, masing-masing dengan suara yang khas melihat sebentar tapi dengan tatapan tajam ke arah kro, kemudian terbang menjauh ke dalam hutan. "Ah!" Sunaomi menahan napas lalu mengejar mereka, menatap ke atas tanpa memerhatikan jalan hingga dia jatuh di atas rumput. Ketika berdiri, bulu itu berada di tangannya. "Lihat, Paman!" Takeo menghampiri bocah itu kemudian mengambil bulu itu. Matsuda pemah mem-perlihatkan bulu burung houou, bersayap putih. dengan ujung bulu warna merah. Bulu itu berasal dari burung yang pernah dilihat Shigeru ketika masih kecil, dan sejak saat itu diawetkan di biara. Bulu yang ini berwarna kuning keemasan gelap, selain dari batang bulunya yang berwarna putih bersih. "Simpanlah," katanya pada Sunaomi. "Bulu itu akan mengingatkanmu pada hari ini, dan anugerah yang kau peroleh. Inilah sebabnya kami selalu mencari kedamaian, agar burung houou tidak meninggalkan Tiga Negara." "Aku akan berikan bulu ini ke biara," sahut Sunaomi, "sebagai sumpah bahwa kelak aku akan kembali dan belajar pada Lord Gemba." Anak ini baik hati, pikir Takeo. Aku akan membesarkannya sebagai putraku.* Setelah kepergian Takeo dan Sunaomi, Taku duduk d beranda sambil menatap taman yang basah kuyup tersiram hujan, memikir-kan semua ucapan sepupu ibunya itu. Masalah itu mengganggunya lebih dari yang ia duga, karena hal itu dapat menjerumuskan ia dalam konflik ter buka dengan kakaknya, sesuatu yang ia berharap bisa dihindari. Betapa bodohnya Zenko, pikirnya, dan sedari dulu dia selalu begitu. Sama seperti ayah! Halaman 510 dari 510 Di usia sepuluh tahun, sebelum gempa mengguncang kota, ia menyaksikan ayahnya mengkhianati Takeo. Zenko menyalahkan Takeo atas kematian Arai, namun Taku me-nafsirkan seluruh adegan itu dengan cara yang berbeda. Ia tahu kalau ayahnya me-merintahkan untuk membunuh ibunya: ia tak bisa melupakan atau memaafkan niat ayahnya untuk ia dan kakaknya. Taku mengira Takeo akan membunuh Zenko- seringkali setelah kejadian itu ia bermimpi kalau Takeo memang membunuhnya-dan tidak pernah bisa memahami kebencian Zenko terhadap Takeo karena membiarkan-nya tetap hidup. Sejak kecil Taku memuja Takeo sebagai pahlawan, dan sebagai laki-laki dewasa, ia menghormati dan mengagumi Takeo. Ter-lebih lagi, keluarga Muto telah bersumpah pada keluarga Otori: ia tak akan melanggar sumpah itu. Bila tidak terikat oleh kewajiban pcnghormatan dan kesetiaan, ia pasti akan sama bodohnya dengan Zenko: kedudukan di Tiga Negara adalah segala yang diingin-kanya, memberinya kekuasaan dan status serta memungkinkan dirinya mengambil banyak keuntungan dari semua bakatnya. Takeo juga mengajarinya semua hal yang pernah dia pelajari dari Kikuta. Taku tersenyum pada dirinya sendiri, mengenang seringkali tertidur terkena ilmu tidur Kikuta sampai akhimya bisa menghindarinya- bahkan sampai ia pun mampu melakukan-nya. Ada ikatan kuat antara mereka berdua; mereka mirip dalam banyak hal, dan keduanya memahami konflik akibat darah campuran. Namun, seorang kakak tetap saja kakak, dan Taku dibesarkan untuk menghormati hierarki Tribe. Ia mungkin siap membunuh Zenko, seperti yang diucapkan pada Takeo, tapi takkan menghina kakaknya dengan mengabaikan haknya untuk mengajukan pendapat siapa yang akan menjadi kepemim-pinan keluarga Muto. Taku memutuskan akan mengusulkan ibunya, Shizuka, keponakan Kenji. Usulan ini mungkin bisa diterima semua pihak. Suami ibunya, tabib Ishida, akan mem-bawa anak Zenko yang satu lagi ke Hagi. Ia bisa membawa surat atau pesan lisan kepada Shizuka. Ishida, menurut Taku, cukup bisa dipercaya. Kelemahan utama laki-laki itu terletak pada keluguannya, seolah dia sulit memahami kekejian yang mungkin terpendam dalam sifat manusia. Terlepas dari keberanian yang dibutuhkan untuk bisa pergi jauh dalam penjelajahannya, secara fisik, Ishida bukan seorang pemberani, dan tidak suka bertarung. Taku sendiri akan tetap berada di dekat Zenko dan Kono, bahkan mungkin melaku-kan perjalanan bersama Kono ke wilayah Barat, tempat ia akan mengatur pertemuan dengan Sugita Hiroshi, teman lamanya. Penting bagi Kono mendapat gambaran Tiga Negara yang sebenarnya untuk dibawa pulang ke ibukota, menjelaskannya kepada Kaisar bahwa Lord Otori didukung penuh di Maruyama dan Inuyama, sedangkan Zenko berdiri sendiri. Cukup puas dengan keputusan ini, Taku pergi ke istal untuk melihat keadaan si kuda tua, Ryume, yang sudah pulih dari kelelahan karena perjalanan jauh. la senang dengan apa yang ditemukannya di sana: apa pun kesa-lahan kakaknya, pengetahuan dan kepeduli-annya pada kuda tak ada tandingannya. Ryume sudah dibersihkan: surai dan ekornya dibersihkan dari lumpur dan tak lagi kusut; kuda itu diberi makan cukup dan kelihatan senang. Meskipun sudah tua, Ryume masih tetap kuda yang baik, dan perawat kuda mengaguminya secara terang-terangan, bah-kan memperlakukan Taku dengan rasa hor-mat yang lebih besar lagi. Taku masih mengelus-elus dan memberi-nya makan wortel sewaktu Zenko datang ke area istal. Mereka saling menyapa dengan penuh kehangatan, karena masih ada sisa-sisa kasih sayang di antara mereka, ikatan dari masa kanak-kanak yang sejauh ini bisa mencegah keretakan hubungan mereka. "Kau masih memiliki anak Raku," ujar Zenko, mengulurkan tangan dan meng-gosok-gosok alis si kuda. Taku ingat pada rasa iri Zenko ketika mereka kembali ke Hagi pada musim semi bersama dua kuda jantan yang tampan, satu milik Hiroshi dan satu lagi miliknya, indikasi jelas kasih sayang Takeo pada mereka berdua, hanya semakin menekankan sikap dinginnya terhadap Zenko. Halaman 511 dari 511 "Akan kuberikan kuda ini untukmu," ujarnya tanpa rpikir panjang. "Dia belum terlalu tua untuk dikawinkan dan mendapat-kan anak." Selain anak-anaknya, Taku tidak bisa menawarkan sesuatu yang lebih berharga lagi. Ia berharap kemurahan hatinya bisa melembutkan perasaan Zenko terhadapnya. "Terima kasih, tapi aku takkan menerima-nya," sahut Zenko. "Ryume adalah hadiah dari Lord Otori, lagipula kurasa dia sudah terlalu tua untuk punya anak." "Seperti Lord Otori," komentarnya se-waktu mereka kembali ke kediaman, "yang harus memiliki putra dari laki-laki yang lebih muda." Taku sadar kalau perkataan ini semestinya hanyalah lelucon, tapi ada nada sinis di dalamnya. Kakakku mengartikan segala se-suatunya sebagai penghinaan, pikirnya. "Sungguh kehormatan bagimu dan istri-mu," katanya dengan ringan, tapi wajah Zenko tampak murung. "Benarkah suatu kehormatan, atau kini mereka menjadi tawanan?" tanyanya. "Itu tergantung padamu," sahut Taku. Zenko menanggapi dengan jawaban yang tidak tegas lalu mengalihkan topik pem-bicaraan. "Bukankah kau harus pergi ke rumah keluarga Muto untuk upacara pemakaman?" tanya Zenko sewaktu mereka duduk di datam. "Lord Takeo ingin mengadakan upacara di Hagi. Ibu ada di sana, dan karena tak ada jenazah yang bisa makamkan.... " "Tidak ada jenazah? Jadi Kenji mati di mana? Dan bagaimana kita tahu kalau dia memang sudah mati? Ini bukan pertama kalinya dia menghilang demi kepentingan-nya sendiri?" "Aku yakin Paman sudah tiada." Taku melihat kakaknya sekilas lalu melanjutkan perkataannya, "Paman sakit parah: mungkin meninggal akibat sakit paru-paru, tapi misi yang sedang dilaksanakannya luar biasa ber-bahaya, dan telah mengatur untuk kembali secepatnya ke Inuyama jika berhasil. Aku katakan ini padamu dengan penuh ke-yakinan. Kabar resminya adalah: Paman meninggal karena sakit paru-paru." "Bukan mati di tangan Kikuta?" ujar Zenko setelah terdiam lama. "Mengapa kau berpikir begitu?" "Aku mungkin saja memakai nama Ayah, adikku, tapi itu tak mengubah kenyataan kalau aku sama sepertimu, keluarga Tribe. Aku punya orang dalam di kalangan Muto- dan di kalangan Kikuta. Semua orang tahu kalau putra Akio adalah cucu Kenji. Pasti Kenji sangat ingin bertemu dengannya- Kenji sudah tua, kesehatannya memburuk. Akio, kabarnya, tidak pernah memaafkannya dan juga Takeo atas kematian Kotaro. Aku hanya menarik kesimpulan dari fakta yang ada. Aku harus melakukannya karena Takeo tak memercayaiku seperti dia memercayai-mu." Taku merasakan kebencian dalam suara kakaknya, tapi yang mengkhawatirkannya dibandingkan komentamya bahwa dia me miliki orang dalam di kalangan Kikuta. Benarkah itu, atau Zenko hanya membual? Taku menanti dalam diam, melihat apa lagi yang akan Zenko ungkapkan. "Tentu saja ada desas-desus di desa Muto mengenai anak itu," lanjut Zenko. "Bahwa Takeo adalah ayahnya, bukan Akio." Zenko berkata dengan santai, tapi Taku tahu betul minat mendalam di balik kata-kata itu. "Hanya Muto Yuki yang tahu pasti," sahut Taku. "Dan dia meninggal tak lama setelah anak itu lahir." "Ya, aku ingat," kata Zenko. "Baiklah, siapa pun ayahnya, anak itu adalah cucu Kenji, dan keluarga Muto memiliki kepen-tingan padanya. Bila aku menjadi Ketua, aku akan menghubungi Kikuta berkaitan dengan anak itu." Halaman 512 dari 512 "Mungkin sebaiknya kita biarkan saja pertanyaan tentang siapa yang akan menjadi penerus Kenji sampai kita membicarakannya dengan ibu," sahut Taku sopan. "Aku ngak terkejut bila harus mengingatkanmu bahwa Ketua keluarga biasanya memiliki kemampu-an tinggi." Kemarahan Zenko mulai meluap, matanya menyipit. "Aku memiliki banyak kemampu an Tribe, adikku. Kemampuan-kemampuan itu mungkin tidak semenyolok kemampuan yang kau miliki, tapi sangat efektif l! Taku agak menunduk-dengan tidak tulus-agar kelihatan patuh, lalu mereka ber-ganti topik pembicaraan yang lebih aman. Tak lama kemudian Lord Kono datang bergabung; menyantap makan siang bersama kemudian pergi bersama Hana dan kedua putranya untuk melihat kirin. Setelah itu tabib Ishida diundang ke kediaman agar bisa lebih akrab dengan Chikara sebelum meng-ajaknya pergi ke Hagi. Ishida tampak sangat gugup bertemu Kono, dan bahkan lebih tegang lagi sewaktu sang bangsawan bertanya tentang waktu yang pernah dilewatkannya di kediaman Lord Fujiwara. Ishida menerima undangan itu dengan enggan, dan datang agak terlambat saat makan malam, dalam keadaan agak mabuk. Taku sendiri merasa tegang, gelisah me-mikirkan pembicaraannya dengan Zenko dan sadar akan semua perasaan terpendam di ruangan itu selama mereka makan. Sesuai kebiasaannya, Taku tidak memperlihatkan-nya, ia berbincang ringan dengan Kono, memuji Hana atas hidangannya dan kedua putranya serta berusaha menarik Ishida ke topik pembicaraan yang tidak menyinggung, seperti adat istiadat orang-orang nomaden atau siklus hidup ikan paus. Hubungan Taku dengan kakak iparnya agak menyakitkan hati. Taku tidak terlalu suka ataupun percaya pada Hana tapi perempuan itu punya kecerdasan dan semangat yang tak pernah berhenti dikaguminya-dan tak ada laki-laki yang tidak terpesona oleh kecantikannya. Kini Taku ingat bagaimana mereka semua terpesona olehnya saat masih anak-anak-dia, Zenko dan Hiroshi. Mereka semua mem-buntutinya ke mana pun Hana pergi bak anjing dengan lidah terjulur keluar, dan saling bersaing untuk merebut perhatian gadis itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau ayah Kono lebih suka berhubungan dengan laki-laki ketimbang perempuan, tapi Taku tak melihat apa pun yang menunjukkan ke-miripan sifat Kono dengan ayahnya. Taku seperti melihat ketertarikan yang cukup alami di balik perhatian Kono pada Hana. Mustahil bila tidak berhasrat pada Hana, pikirnya. dan pikirannya melayang mem bayangkan bagaimana rasanya terbangun dalam kegelapan dengan perempuan itu di sisinya. Hampir saja ia iri pada Zenko. "Tabib Ishidalah yang merawat ayah Anda," komentar Hana pada Kono. "Dan sekarang dia merawat kesehatan Lord Otori." Taku mendengar nada mendua hati sekaligus kedengkian dalam suaranya, dan hasratnya berubah menjadi rasa tidak suka. Ia bersyukur telah pulih dari perasaan tergila-gila pada perempuan itu-dan tidak pernah merasakannya lagi. Ia langsung berpikir tentang istrinya sendiri, yang ia tahu bisa dipercaya dan dirindukannya. Musim panas kali ini akan berlangsung lama, dan melelah-kan. "Dengan keberhasilan yang gemilang," sambung Zenko, "Tabib Ishida sudah sangat sering menyelamatkan Lord Otori dari kematian." "Ayahku selalu menghargai kemampuan Anda," ujar Kono pada Ishida. "Anda terialu berlebihan menyanjungku. Kemampuanku biasa saja." Taku mengira Ishida takkan berkomentar lebih banyak lagi tentang masalah ini, namun setelah menenggak habis sake sekali lagi, si tabib melanjutkan perkataannya, "Tentu saja kasus Lord Otori cukup mengagumkan, dari sudut pandang seorang laki-laki seperti diriku yang tertarik pada bagaimana cara manusia berpikir." Dia berhemi sejenak, kemudian membungkuk dan berkata dengan nada penuh rahasia. "Lord Otori percaya tak ada yang bisa membunuh dirinya-dia telah membuat dirinya kekal." Halaman 513 dari 513 "Bcnarkah?" gumam Kono. "Kedengaran-nya terlalu pongah. Apakah itu semacam takhayul?" "Kurang lebih begitu. Dan sangat berguna. Ada semacam ramalan-Taku, kau ada di sana ketika pamanmu yang malang-" "Aku tidak ingat," sahut Taku cepat. "Chikara, bagaimana perasaanmu tentang perjalanan lewat laut bersama kirin?" Chikara menelan ludah saat diajak bicara pamannya, dan belum sempat dia menyahut, Zenko lalu bertanya, "Ramalan apa?" "Bahwa Lord Otori hanya bisa mati di tangan putranya." Ishida minum lagi. "Mengapa aku membicarakan hal itu? Oh ya, efek dari kuatnya kepercayaan itu berimbas pada tubuhnya. Dia percaya tidak bisa di-bunuh, dan tubuhnya bereaksi dengan sembuh dengan sendirinya." "Mengagumkan," sahut Kono dengan sikap halus. "Lord Otori memang berhasil luput dari banyak serangan atas dirinya. Pernahkah kau tahu kasus-kasus serupa?" "Tentu aku tahu," sahut Ishida. "Dalam perjalanan ke Tenjiku, di sana ada orang-orang suci yang bisa berjalan di atas api tanpa terbakar, serta berbaring di atas ranjang berpaku tanpa melukai kulit mereka." "Kau tahu hal ini, adikku?" tanya Zenko pelan, sementara Kono mendesak Ishida menceritakan lebih banyak banyak lagi ten- tang perjalanan-perjalanannya. "Itu tidak lebih dari kepercayaan takhayul," sahut Taku ringan, dalam hati berharap segala siksaan neraka menimpa si tabib yang sedang mabuk. "Keluarga Otori merupakan sasaran desas-desus." "Kakakku, Kaede, pernah menjadi sasaran desas-desus semacam itu," timpal Hana. "Dia seharusnya membawa kematian pada laki-laki manapun yang menginginkan dirinya, tapi Lord Takeo terhindar dari bahaya itu. Syukur dipanjatkan pada Surga," imbuhnya, seraya melirik ke arah Taku. Tawa yang mengikuti kata-kata Hana selanjutnya terdengar agak kurang nyaman, karena lebih dari satu orang yang hadir di sana mengingat kalau Lord Fujiwara me-nikahi lain Kaede secara paksa hingga bangsawan itu mati. "Tapi semua orang tahu tentang Lima Pertempuran," lanjut Zenko. "Dan gempa bumi-'Bumi menghantarkan apa yang diinginkan Surga.'" Dilihatnya wajah Kono yang penuh tanda tanya lalu menjelaskan, "Ada ramalan seorang perempuan suci, yang dipastikan oleh kemenangan Takeo dalam perang. Gempa bumi itu di percaya sebagai pertanda dari Surga, yang berpihak kepada-nya." "Ya, begitulah yang aku dengar," sahut Kono, dengan nada mengejek. "Alangkah enaknya bagi sebuah kemenangan memiliki ramalan yang berguna." Dia minum lalu bicara dengan lebih serius, "Di ibukota gempa bumi biasanya dianggap sebagai hukuman atas tindak kejahatan, bukan anugerah." Taku tidak tahu apakah harus bicara dan memberi tahu Kono di mana kesetiaannya berpihak, atau diam saja dan kelihatan men-dukung kakaknya. Ishida menyelamatkannya yang bicara dengan perasaan yang meluap-luap. "Gempa itu menyelamatkan nyawaku. Dan nyawa istriku. Menurutku, kejahatan telah mendapatkan balasannya." Air matanya mengambang, lalu diseka dengan lengan baju. "Maaf, aku tak ber-maksud menghina kenangan tentang kedua ayah kalian." Lalu dia berpaling ke arah Hana. "Aku harus beristirahat. Aku lelah sekali. Kuharap kalian memaafkan orang tua ini." "Tentu saja, Ayah," ujar Hana, bicara padanya dengan sopan, karena Ishida adalah ayah tiri suaminya. "Chikara, antar kakek ke kamar dan minta pelayan membantunya." "Aku khawatir dia sudah terlalu banyak minum," Hana minta maaf pada Kono setelah Chikara membantu si tabib berdiri dan pergi. Halaman 514 dari 514 "Ishida, laki-laki yang menarik. Aku menyesal dia harus pergi ke Hagi. Kuharap bisa berbincang banyak dengannya. Kurasa dia lebih mengenal ayahku ketimbang orang lain yang masih hidup." Dan beruntung dia tidak mati seperti ayahnya, pikir Taku. "Ramalan yang menarik bukan?" tanya Kono. "Kurasa, Lord Otori tidak memiliki putra." "Beliau memiliki tiga putri," sahut Taku. Zenko tertawa, ledakan tawa yang me-ngandung konspirasi jahat. "Secara resmi," tambahnya. "Ada lagi desas-desus tentang Takeo... tapi aku harus bertindak bijak!" Kono menaikkan alisnya. "Wah, wah!" komentarnya. Paman, apa yang harus kulakukan tanpa dirimu? pikir Taku.* Miyoshi Kahei menemani Takeo ke Hagi bersama putra sulungnya, Katsumori. Hagi adalah kota kelahirannya, dan gembira bisa bertemu dengan sanak saudaranya. Sebaliknya, Takeo tahu kalau ia membutuhkan saran Kahei tentang cara terbaik menghadapi ancaman yang makin besar dari ibukota, Miyako. Dari Kaisar dan jenderalnya, bagai-mana ia menghabiskan musim dingin untuk mengadakan persiapan. Sulit memikirkan tentang musim dingin saat ini, di akhir musim hujan plum*, di mana hawa panas masih lerjadi. Kecemasan lain yang harus dipikirkan sebelum perang adalah panen, wabah penyakit menular, dan penyakit akibat cuaca panas, penyimpanan cadangan air untuk berjaga-jaga kalau terjadi kekeringan di akhir musim panas. Tapi * Hujan plum adalah hujan yang terjadi saat musim buah plum (Juni-Juli). Fenomena cuaca ini melanda pantai timur Cina, melintasi Taiwan lalu ke timur sampai ke selatan pasifik Jepang. Dalam bahasa Jepang discbut meiyu dan baiu. [pent.] semua masalah ini tak lagi terasa mendesak sewaktu memikirkan kalau tak lama lagi ia akan bertemu Kaede dan ketiga putrinya. Mereka berkuda menyeberangi jembatan batu di senja hari bermandikan rintik hujan disertai cahaya matahari. Takeo sadar pakai-annya terasa lembap: begitu sering pakaian-nya basah kuyup sampai menempel di kulit selama perjalanan hingga nyaris tidak ingat bagaimana rasanya kering. Bahkan tempat penginapannya pun terasa lembap, berbau lembap dan jamur. Di atas laut, langit cerah biru berubah kuning di bagian barat saat matahari ter-benam. Pegunungan di belakangnya tertutup awan tebal, dan guntur bergemuruh sehingga kuda-kuda terkejut dalam kelelahan. Kuda tunggangannya udaklah istimewa; ia merindukan kuda lamanya, Shun, dan bertanya-tanya apakah bisa menemukan kuda seperti itu. Ia akan bicara pada Mori Hiroki tentang kuda, dan juga pada Shigeko. Bila mereka harus berperang, maka akan dibutuh-kan lebih banyak kuda... tapi ia tidak ingin berperang. Miyoshi bersaudara meninggalkannya di depan gerbang. Turun dari kuda di dinding luar utama kastil: kuda-kuda diiuntun pergi, dan hanya mengajak Sunaomi, Takeo ber-jalan melewati taman. Kabar sudah tersiar lebih dulu ke kastil. Kaede menantinya di beranda panjang yang Halaman 515 dari 515 mengelilingi ke-diaman. Suara laut memenuhi udara, dan seruan burung dara terdengar dari atap rumah. Wajah Kaede bersinar gembira. "Kami tak menduga kau kembali begitu cepat! Kau berkuda dalam cuaca yang begitu buruk! Kau pasti kelelahan. Dan basah kuyup." Indahnya hardikan sayang istrinya mem-bangkitkan perasaan begitu kuat dalam diri Takeo hingga sesaat ingin berdiri di sana untuk selamanya. Lalu perasaan itu berganti dengan hasrat untuk memeluknya, melarut-kan diri dalam dekapannya. Namun kabar pertama harus segera disampaikan, pada Kaede, pada Shizuka. Shigeko berlari menghampiri dari dalam kediaman. "Ayah!" pekiknya, lalu berlutut untuk melepaskan sandal lakeo. Kemudian dia melihat Sunaomi yang tengah berdiri malu-malu di belakang. "Benarkah ini sepupu kami?" tanyanya. "Ya, Sunaomi akan tinggal bersama kita selama beberapa waktu." "Sunaomi!" seru Kaede. "Tapi kenapa? Apakah ibunya baik-baik saja? Apakah ada sesuatu terjadi pada Hana?" Takeo melihat kecemasan Kaede dan ber-tanya-tanya seberapa banyak yang dapat ia ceritakan tentang kecurigaannya. "Hana baik-baik saja," sahut Takeo. "Nanti kuceritakan alasan kunjungan Sunaomi." "Tentu saja. Ayo masuk. Kau harus segera mandi, dan mengganti pakaian yang kering. Lord Takeo, kau pikir masih berusia delapan betas tahun? Kau sama sekali tak memikirkan kesehatanmu!" "Shizuka ada di sini?" tanyanya saat Kaede membimbingnya di beranda menuju bela-kang kediaman, tempat sebuah kolam dibuat di sekeliling mata air panas. "Ya, apa yang terjadi?" Kaede mendongak sekilas ke wajah Takeo lalu berkata, "Shi-geko, katakan pada Shizuka untuk segera me-nemui kami. Minta pelayan untuk mem-bawakan pakaian untuk ayahmu." Wajah Shigeko tampak serius selagi mem-bungkuk normal lalu meninggalkan mereka. Takeo bisa mendengar langkah ringan putri nya di lantai papan; terdengar olehnya Shigeko bicara pada kedua adiknya. "Ya, ayah sudah pulang. Tapi kalian belum boleh menemuinya. Ayo ikut aku. Kita harus me-nemukan Shizuka." Mereka hanya berdua. Sinar matahari keluar dari sela-sela bunga-bunga dan semak-semak. Di sekeliling kolam dan sungai, bunga iris tampak berkilauan. Langit dan laut berbaur menjadi satu dalam kabut senja. Satu demi satu api dan lentera di sekitar teluk mulai dinyalakan dalam kegelapan. Kaede tidak bicara sepatah kata pun sewaktu melepaskan pakaian Takeo. "Muto Kenji sudah tiada," kata Takeo. Kaede mengambil air dari kolam dengan ember bambu dan mulai memandikan suaminya. Takeo melihat air mata meng-genang di mata istrinya lalu mulai berlinang di pipinya. Sentuhannya menenangkan. Tiap jengkal tubuhnya terasa sakit. Takeo ingin Kaede melingkarkan tangan lalu memeluk-nya, tapi ia harus bicara dulu pada Shizuka. Kaede berkata, "Suatu kehilangan yang menyakitkan. Bagaimana kejadiannya? Apa-kah dia meninggal karena sakit?" Takeo mendengar dirinya berkata, "Se pertinya begitu. Dia mengadakan perjalanan sampai keluar perbatasan. Tak ada kabar yang jelas. Taku mengabarkan hal ini padaku di Hofu." Ia tidak berlama-lama di dalam air panas seperti yang ia inginkan, dan segera keluar dan berpakaian secepatnya. "Aku harus bicara berdua dengan Shizuka." Halaman 516 dari 516 "Tentunya tak ada yang kau rahasiakan padaku?" "Hanya masalah Tribe," sahutnya. "Kenji adalah Ketua Muto. Shizuka harus memilih penggantinya. Hal ini tak bisa dibicarakan dengan orang luar." Dilihatnya kalau Kaede tidak senang, kalau istrinya masih ingin bersamanya. "Ada banyak hal lain yang perlu kita bicarakan," tutur Takeo untuk meredam kemarahan Kaede. "Saat kita hanya berdua, aku akan menceritakan tentang Sunaomi, dan kunjungan putra Lord Fujiwara... " "Baiklah, Lord Takeo. Akan kusiapkan makan untukmu," sahut Kaede lalu mening-galkannya. Ketika Takeo kembali ke ruang utama, Shizuka sudah ada di sana. Takeo langsung bicara tanpa salam lebih dulu. "Kau tentu sudah bisa menduga kenapa aku di sini. Aku pulang membawa kabar bahwa pamanmu telah tiada. Taku datang ke Hofu untuk mengabarkannya, dan kukira kau harus segera tahu." "Kabar seperti itu tidak pernah disambut baik," sahut Shizuka dengan nada resmi, "tapi bukannya tidak diharapkan. Terima kasih, sepupu, atas keprihatinanmu, atas sikapmu menghormati pamanku." "Kurasa kau sudah tahu seberapa besar arti Kenji bagiku. Tak ada jenazah, tapi kita akan menghormatinya dengan mengadakan upa-cara di sini atau di Yamagata, di mana pun menurutmu yang paling sesuai." "Kukira kemungkinan paman meninggal di Inuyama," sahutnya perlahan. "Paman tinggal di sana, kan?" Tak seorang pun tahu misi yang dilakukan Kenji kecuali ia dan Taku. Kini Takeo menyesal mengapa tidak memberitahu Shizuka sebelumnya. "Mendekatlah," kata-nya. "Aku harus ceritakan semua yang aku tahu karena hal itu memengaruhi Tribe." Belum sempat Shizuka bergerak men-dekat, seorang pelayan datang membawa teh. Shizuka menuangkannya untuk Takeo. Selagi Takeo minum, Shizuka bangkit, me-lihat ke sekeliling ruangan dengan cepat, membuka pintu lemari, kemudian melang-kah ke beranda dan mengintip di bawahnya. Dia kembali dan duduk di hadapan Takeo, lutut mereka saling berhadapan. "Apakah kau dengar ada orang di dekat sini?" Takeo memasang telinga, "Tidak, tidak ada orang lain." "Kedua putrimu mulai mahir menguping, dan bisa bersembunyi di tempat yang paling sempit sekalipun." "Terima kasih. Aku tak ingin putriku atau istriku mendengar pembicaraan kita. Kukata-kan pada Kaede kalau Kenji meninggal karena penyakit; kalau Kenji mencari obat sampai keluar perbatasan wilayah Timur." "Dan yang sebenarnya?" "Kenji pergi berunding dengan Kikuta. Setelah peristiwa di Inuyama, kami pikir bisa memanfaatkan anak-anak Gosaburo untuk menekan mereka agar mau berdamai." Takeo menghela napas, lalu melanjutkan bicara. "Kenji ingin bertemu anak Yuki, cucunya. Taku hanya tahu kalau Yuki meninggal di desa Kikuta tempat Akio dan anak itu bersembunyi selama beberapa tahun ini." "Takeo, kau harus ceritakan semua ini pada Kaede... " Tidak dibiarkannya Shizuka melanjutkan kata-katanya. "Ini kuceritakan karena me-nyangkut masalah keluarga Muto yang kini menjadikanmu anggota yang dituakan. Kaede atau orang lain di luar Tribe tidak perlu tahu." "Lebih baik dia mendengar tentang anak-mu itu dari mulutmu ketimbang dari orang lain," sahut Shizuka. Halaman 517 dari 517 "Aku sudah menyimpannya rapat-rapat begitu lama hingga tak tahu bagaimana memberitahukannya. Semua tudah berlalu: anak itu putra Akio; putriku adalah pewaris-ku. Untuk saat ini, ada pertanyaan mengenai keluarga Muto dan Tribe. Kenji dan Taku bekerjasama dengan baik: ilmu dan ketrampilan yang Kenji miliki tak ada bandingnya. Taku memiliki kemampuan yang hebat, tapi kurasa kau sependapat kalau ada semacam kegoyahan dalam dirinya: aku ragu apakah dia cukup dewasa untuk me-mimpin Tribe. Zenko adalah putra sulung-mu, dan pewaris langsung Kenji, dan aku tak ingin menghina atau mengganggunya, atau memberinya dalih untuk..." Takeo berhenti bicara. "Untuk apa?" Shizuka menyela. "Baiklah, kurasa kau tahu betapa mirip sifat putramu dengan ayahnya. Aku khawatir dengan niatnya. Aku tidak bermaksud mem-biarkannya mengembalikan kita dalam perang saudara lagi." Takeo bicara dengan nada serius, lalu tersenyum dan meneruskan dengan nada lebih ringan. "Maka aku meng-atur agar kedua putranya menghabiskan waktu bersama kita. Kurasa kau ingin ber-temu cucumu." "Aku sudah bertemu Sunaomi," tutur Shizuka. "Tentu saja ini sangat menyenang-kan. Apakah Chikara juga akan datang?" "Suamimu akan membawanya dengan kapal, bersama makhluk luar biasa yang dia disebut kirin," sahut Takeo. "Ah, Ishida sudah kembali; aku senang mendengarnya. Kukatakan yang sebenarnya, Takeo, aku sudah senang dengan hidupku yang tenang, mendampingi Kaede dan anak-anakmu, istri dari tabibmu. ..tapi rasanya kau hendak membuat tuntutan lain padaku." "Kau masih cepat tanggap seperti biasa," sahut Takeo. "ingin kau menjadi pemimpin Muto. Taku akan bekerjasama denganmu seperti yang dia lakukan bersama Kenji, dan Zenko tentu akan tunduk padamu." "Pemimpin keluarga disebut Ketua," Shizuka mengingatkan. "Dan belum pernah ada Ketua perempuan!" tambahnya. "Kau bisa menyebutnya apa saja. Itu akan menjadi contoh yang baik. Aku hendak memperkenalkannya ke wilayah lokal juga: kita akan memulai dengan Negara Tengah lalu kita sebarkan ke luar. Sudah banyak area di mana perempuan dengan kebaikan dan kemampuan dapat menggantikan posisi suaminya. Mereka akan diakui dan diberi wewenang yang sama seperti laki-laki." "Jadi kau akan memperkuat negara ini dari akar, dan para ksatria akan mendukung putrimu?" "Bila Shigeko menjadi satu-satunya penguasa perempuan, dia juga harus bersikap layaknya laki-laki. Bila perempuan lain berada di puncak kekuasaan, kita mungkin bisa melihat perubahan mengalir ke seluruh Tiga Negara." "Kau masih saja senang berkhayal, sepupuku!" sahut Shizuka seraya tersenyum, terlepas dari penderitaan yang ditanggung nya. "Kau mau melakukannya, kan?" "Baiklah, sebagian karena pamanku pernah mengisyaratkan bahwa hal ini juga keinginannya. Dan setidaknya sampai Taku mantap dan Zenko sadar. Kurasa dia akan sadar, Takeo, dan terima kasih atas tindakan-mu yang berhati-hati padanya. Namun apa pun hasilnya nanti, keluarga Muto akan tetap setia padamu dan keluargamu." Shizuka membungkuk hormat dengan sikap resmi. "Aku bersumpah padamu sekarang, Lord Otori, sebagai pemimpim mereka." "Aku tahu apa yang telah kau lakukan untuk Lord Shigeru dan keluarga Otori. Aku berhutang banyak padamu," ujar Takeo dengan penuh perasaan. "Aku senang kita bisa bicara berdua," imbuh Shizuka, "karena kita harus mem-bicarakan tentang si kembar. Aku berharap bisa bertanya pada pamanku mengenai se-suatu yang baru saja terjadi, tapi mungkin kau tahu cara mengatasinya." Halaman 518 dari 518 Diceritakannya pada Takeo mengenai peristiwa yang terjadi pada kucing, bagai-mana kucing itu tertidur dan tak pernah bangun lagi. "Aku tahu Maya memiliki kemampuan ini," tutur Shizuka, "karena dia pemah mem-perlihatkan tandatandanya selama musim semi. Satu atau dua kali aku bahkan pusing ketika dia menatapku. Tapi tak seorang pun dari keluarga Muto tahu tentang sihir tidur Kikuta, meskipun banyak takhayul yang ber-kaitan dengan hal itu." "Kemampuan itu seperti obat yang sangat mujarab," sahut Takeo. "Sedikit akan menguntungkan, tapi jika terlalu banyak justru bisa menyebabkan kematian. Orang membuat diri mereka terbuka pada kemam-puan itu karena kelemahan diri mereka sendiri, karena kurangnya pengendalian diri mereka. Aku diajarkan untuk mengendali-kannya di Matsue-dan di sana aku belajar bahwa Kikuta tak pernah menatap langsung anak-anak mereka karena seorang anak tidak dapat melawan tatapan itu. Kurasa seekor kucing kecil sama lemahnya. Aku belum pernah mencobanya pada kucing, hanya pada anjing-dan aku sudah mahir melakukan-nya." "Kau belum pernah mendengar per-pindahan antara orang yang sudah mati dengan orang yang membuat mereka tertidur?" Pertanyaan itu membuat bulu kuduk Takeo berdiri. Hujan mulai turun lagi, dan kini gemuruhnya semakin keras di atap. "Biasanya bukan sihir tidur yang mampu membunuh," tuturnya dengan hati-hati. "Digunakan hanya untuk melemahkan: kematian pasti disebabkan oleh hal lain." "Itu yang mereka ajarkan padamu?" "Mengapa kau menanyakan hal ini?" "Aku mencemaskan Maya. Dia menunjuk-kan tanda-tanda kerasukan. Ini pernah ter-jadi di keluarga Muto, kau tahu; Kenji dijuluki Si Rubah saat masih muda: kabarnya dia pernah kerasukan roh rubah- bahkan menikah dengan seekor rubah-tapi selain pamanku, aku tidak tahu ada perubahan bentuk yang pernah terjadi. Hampir seolah Maya yang menarik roh kucing itu masuk ke dalam dirinya. Semua anak suka bertingkah seperti hewan, tapi seharusnya mereka lebih manusiawi ketika mulai dewasa; Maya justru sebaliknya. Aku tidak membicarakan hal ini pada Kaede; Shigeko sudah curiga ada yang tidak beres. Aku senang kau sudah kembali." Takeo mengangguk, merasa gelisah dengan kabar ini. "Cucu-cucumu tidak me nunjukkan tanda-tanda ketrampilan Tribe," komentarnya. "idak, dan aku cukup lega. Biarlah mereka menjadi putra Zenko, ksatria. Kenji mengatakan bahwa kemampuan itu akan menghilang dalam dua generasi. Mungkin, dalam diri si kembar kita menyaksikan pancaran sinar yang terakhir sebelum lentera-nya padam." Pancaran sinar yang terakhir ini bisa mem-buat bayangan-bayangan aneh, pikir Takeo. Tak seorang pun mengganggu selama mereka berbincang-bincang: setengah sadar ia seperti mendengar ada tarikan napas, bunyi sambungan papan yang bergerak, langkah ringan yang menandakan ada yang menguping. Tapi saat memerhatikan lagi, yang terdengar hanyalah siraman air hujan, halilintar di kejauhan, dan hempasan ombak. Namun ketika mereka selesai, dan Takeo berjalan ke kamar Kaede di koridor yang mengkilap, ia mendengar suara luar biasa di depannya, semacam raungan dan geraman, setengah manusia dan setengah hewan. Kemudian terdengar suara memekik ke takutan, dan derap langkah kaki. Takeo ber-belok di sudut dan Sunaomi menabrak-nya. "Paman! Maaf!" Bocah itu tertawa cekikikan kegirangan. "Macan itu ingin me-nangkapku!" Halaman 519 dari 519 Awalnya Takeo melihat bayangan di kertas kasa. Sesaat terlihat jelas olehnya sosok tubuh manusia, dan satu sosok lagi di belakangnya dengan telinga rata, kuku yang siap mencakar dan kibaskan ekor. Lalu si kembar datang berlarian dari sudut, dan mereka berdua hanyalah anak perempuan biasa, bahkan saat sedang menggeram. Mereka langsung ber-henti mematung ketika melihat ayahnya. "Ayah!" "Itu dia macannya!" jerit Sunaomi. Miki melihat wajah ayahnya, menarik lengan baju Maya lalu berkata, "Kami cuma main-main." "Kalian sudah terlalu besar untuk per-mainan seperti itu," ujarnya, menyembunyi-kan kekhawatirannya. "Bukan begini caranya menyambut ayah kalian. Ayah berharap me-nemukan kalian tumbuh menjadi perempuan muda." Seperti biasa, rasa tidak senang sang ayah menciutkan nyali mereka. "Maaf," kata Miki. "Maafkan kami, Ayah," ujar Maya me-mohon, tanpa sedikit pun sisa geraman macan dalam suaranya. "Ini salahku juga," imbuh Sunaomi. "Semestinya aku sudah tahu. Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan." "Ayah tampaknya perlu bicara serius dengan kalian berdua. Di mana ibu kalian?" "Ibu sedang menunggu Ayah. Kata ibu mungkin kami boleh makan bersama Ayah," bisik Miki. "Baiklah, Ayah kira kita harus menyambut kedatangan Sunaomi. Kalian boleh makan bersama kami. Tapi tidak ada lagi permainan berubah menjadi macan!" "Tapi manusia seharusnya mengumpan-kan diri mereka pada macan," ujar Maya selagi mereka berjalan di sampingnya. "Shigeko yang menceritakan itu pada kami." Maya tidak bisa menahan untuk berbisik pada Sunaomi, "Dan yang paling disukai macan adalah anak laki-laki." Merasa jera atas teguran pamannya, Sunaomi tidak menyahut. Takeo bermaksud untuk berbicara dengan si kembar malam ini, tapi seusai makan malam, ia merasa kelelahan dan keinginan berdua saja dengan Kaede. Kedua putri kembarnya bersikap sempurna selama makan malam, bersikap baik pada sepupu mereka, dan sopan pada orangtua dan kakak sulung mereka. Saat ini Takeo menatap Kaede di bawah keremangan cahaya lentera, tampak lekuk tulang pipi dan siluet istrinya. Jubah tidur membungkus tubuh Kaede yang duduk bersila di matras, tubuh rampingnya tampak putih samar-samar dengan selimut sutra. Takeo berbaring dengan kepala di pangkuan Kaede, merasakan panas tubuh istrinya, mengenang dulu ia sering berbaring seperti ini pada ibunya saat kecil. Rambutnya dibelai lembut oleh Kaede sampai ke leher, me-lemaskan syarafnya yang tegang. Mereka hanyut dalam perasaan cinta, tak lama setelah hanya berdua, nyaris tanpa kata-kata, mencari kedekatan serta meleburkan diri dalam kesatuan, senantiasa begitu akrab. Mereka berbagi kesedihan atas kematian Kenji tanpa suara, atau perasaan terasing dari rahasia Takeo tentang Tribe atau pun kekhawatiran tentang putri mereka. Semua kecemasan ini kian membakar keintiman tanpa kata-kata dari hasrat mereka dan seperti biasa, ketika hasrat mereda, bak mukjizat, pemulihan pun terjadi: sikap dingin Kaede menguap; kesedihan Takeo seperti bisa dilalui. Banyak hal yang mesti dibicarakan. Pertama tentang kecurigaan terhadap Zenko dan alasan ia membawa kedua putra Arai ke rumah mereka. Halaman 520 dari 520 "Tentu kau takkan mengangkat mereka secara sah menurut hukum, kan?" seru Kaede. "Bagaimana jika aku melakukannya?" "Aku menganggap Sunaomi seperti anak kandungku-tapi Shigeko akan tetap menjadi pewarismu?" "Ada banyak kemungkinan: bahkan pernikahan, saat dia cukup dewasa. Aku tak ingin melakukannya dengan tergesa-gesa. Semakin lama kita menunda keputusan, semakin besar kemungkinan Zenko tersadar dan tenang. Tapi aku khawatir dia didukung Kaisar dan para pendukungnya di wilayah Timur. Kita harus berterima kasih pada penculikmu untuk hal itu!" Diceritakannya tentang penemuannya dengan Lord Kono. "Mereka mencap diriku sebagai penjahat. Karena Fujiwara adalah kerabat Kaisar sehingga dia terbebas dari kejahatannya!" "Kuatnya tekadmu soal sistem keadilan mungkin telah membuat mereka ketakutan," kata Kaede. "Karena hingga saat ini tak seorang pun berani mencela atau meng-hukum orang seperti Fujiwara. Aku tahu dia bisa saja membunuhku tanpa berpikir panjang. Tak seorang pun berani menolak perintahnya, tidak ada yang berpikir kalau apa yang dilakukannya salah. Perasaan laki-laki tidak lebih berharga dari sebuah lukisan atau jambangan berharga-karena dia bisa membunuh perempuan dengan entengnya seolah hanya menghancurkan salah satu hartanya-aku nyaris tidak bisa mengung-kapkan dengan kata-kata betapa sikapnya melemahkan keinginanku dan membuat tubuhku serasa lumpuh. Kini pembunuhan atas perempuan di Tiga Negara akan dihukum sama seperti pembunuhan terhadap laki-laki, dan tidak ada orang yang bisa lolos dari keadilan hanya karena derajat mereka. Keluarga-keluarga ksatria kita lelah me nerimanya, namun di luar perbatasan kita, baik itu ksatria maupun bangsawan akan menganggap hukum sebagai penghinaan. "Kau mengingatkan betapa banyak hal yang dipertaruhkan. Aku takkan mengun-durkan diri seperti permintaan Kaisar, tapi aku juga tak ingin terjadi peperangan. Namun bila kita memang harus berperang di wilayah Timur, maka makin cepat makin baik." Takeo menceritakan tentang senjata api, dan misi Fumio. Tentu saja Kahei berpikir kita harus segera bersiap: kita punya waktu untuk membangun kekuatan sebelum musim dingin. Tapi di Terayama semua Guru Besar menentangnya. Mereka mengata-kan kalau aku harus pergi ke ibukota musim semi depan bersama Shigeko, dan semua masalah akan terpecahkan." Takeo mengernyitkan dahi. Kaede meng-gosokkan jari di dahi Takeo, menghaluskan garis-garis kerutannya. "Gemba memiliki serangkaian tipuan baru," ujarnya. "Tapi kukira akan mem-butuhkan lebih dari sekadar itu untuk meredam nafsu kekuasaan jenderal Kaisar, Saga Hideki, Si Pemburu Anjing."** Keesokan harinya dilakukan persiapkan upacara pemakaman Kenji, dan mendiktekan surat-surat. Minoru dibuat sibuk seharian, menulis surat untuk Zenko dan Hana bahwa Sunaomi tiba dengan selamat; surat kepada Sugita Hiroshi, memintanya datang ke Hagi secepat mungkin; surat kepada Terada Fumifusa, mengabarkan tentang kepulangan Takeo dan keberadaan putranya, Fumio, dan terakhir surat kepada Sonoda Mitsuru di Inuyama, memberitahukan bahwa belum ada Keputusan mengenai nasib kedua sandera; masalah ini akan dibicarakan pada per-temuan mendatang. Kaede memberitahukan pada Takeo dan Minoru tentang semua masalah terbaru yang berkaitan dengan kota Hagi dan penduduk-nya. Minoru mencatat dengan hati-hati ten- tang Keputusan yang akan diambil. Di pengujung hari yang panjang, panas serta melelahkan, Takeo pergi mandi, dan me Halaman 521 dari 521 ngirim perintah agar putri kembarnya datang menghadapnya ke sana. Mereka menyelinap masuk ke air beruap dengan tubuh telanjang: badan mereka tak lagi seperti badan anak-anak, rambut mereka panjang dan tebal. Sikap mereka lebih tenang dari biasanya, jelas masih belum yakin apa-kah Takeo sudah memaafkan tingkah mereka pada hari sebelumnya. "Kalian kelihatan lelah," kata Takeo. "Ayah berharap kalian bekerja keras hari ini." "Shizuka galak sekali hari ini," Miki meng-hela napas. "Dia bilang kami perlu lebih disiplin." "Dan Shigeko memaksa kami menulis begitu banyak," keluh Maya. "Jika aku tidak punya jari seperti Ayah, apakah Lord Minoru akan menulis untukku?" "Ayah dulu belajar menulis, maka kalian pun begitu," sahutnya. "Dan menulis jauh lebih sulit bagi Ayah karena usia Ayah sudah lebih tua. Makin muda, makin mudah belajar. Bersyukurlah kalian memiliki guru yang sangat baik!" Nada suaranya terdengar tegas. Miki memegang-megang bekas luka ayahnya yang melintang dari leher samping ke dada. Takeo bicara dengan suara lebih lembut. "Banyak hal dituntut dari kalian. Kalian harus belajar cara ksatria, begitu pula dengan semua rahasia Tribe. Ayah tahu itu tidak mudah. Kalian memiliki banyak bakat: kalian harus hati-hati menggunakannya." Miki berkata, "Karena kejadian pada kucing itu?" "Coba ceritakan," sahut Takeo. Si kembar saling bertukar pandang tanpa bicara. Takeo berkata, "Kalian adalah darah daging Ayah. Kalian ditandai, seperti juga Ayah, sebagai Kikuta. Tidak ada yang tidak bisa kalian ceritakan pada Ayah. Maya, apa yang terjadi pada kucing itu?" "Aku tak bermaksud menyakiti," Maya mulai bicara. "Jangan bohong," Takeo memperingatkan. Maya meneruskan, "Aku ingin melihat apa yang akan terjadi." Suaranya kedengaran serius; menatap lurus pada Takeo. Kelak Maya ingin menantang tatapan ayahnya. "Aku marah sekali dengan Mori Hiroki." "Hiroki menatap kami," Miki menjelas-kan. "Semua begitu. Seolah kami ini setan." "Dia menyukai Shigeko dan tidak menyukai kami," tutur Maya. "Sama seperti semua orang," ujar Miki, dan seolah diamnya Takeo melepaskan ses-uatu dalam dirinya, Miki menangis. "Kami dibenci karena kami kembar!" Si kembar jarang menangis. Satu lagi sifat yang membuat mereka nampak tidak wajar. Maya juga menangis. "Ibu juga membenci kami karena ibu menginginkan anak laki-laki, dan bukannya dua anak perempuan!" "Chiyo yang bilang pada kami," Miki menelan ludah. Takeo merasa hatinya remuk redam karena kesedihan. Memang mudah menya-yangi putri sulungnya, tapi ia lebih menya-yangi si kembar karena mereka tidak mudah disayangi, dan juga merasa iba pada mereka. "Kalian sangat berharga bagi ayah," sahut-nya. "Ayah merasa gembira karena kalian kembar dan kalian anak perempuan. Ayah lebih senang anak perempuan ketimbang semua anak laki-laki di dunia ini." "Saat Ayah ada di sini, kami merasa aman. dan kami tak ingin melakukan hal-hal yang buruk. Tapi Ayah sering pergi jauh." "Ayah ingin mengajak kalian-tapi tidak Halaman 522 dari 522 selalu bisa. Kalian harus bersikap baik bahkan saat Ayah tidak ada di sini." "Orang-orang seharusnya tidak boleh menatap kami," ujar Maya. "Maya, mulai saat ini kau yang harus berhati-hati saat menatap. Kau sudah tahu ceritanya- Ayah sudah sering ceritakan padamu-tentang pertemuan Ayah dengan raksasa Jin-emon?" tanya Takeo. "Ya," sahut mereka serempak dengan penuh semangat. "Ayah menatap matanya dan dia tertidur. Itulah sihir tidur Kikuta yang berguna untuk melumpuhkan musuh. Itulah yang kau laku-kan pada kucing itu, Maya. Tapi Jin-emon bertubuh besar, setinggi gerbang kastil serta lebih berat dari banteng. Kucing bertubuh kecil, dan masih muda, dan sihir tidur itu membunuhnya." "Kucing itu tidak benar-benar mati," tutur Maya, bergerak mendekati lalu bergelayut di lengan kiri ayahnya. "Kucing itu men-datangiku." Takeo berusaha tak menunjukkan ke-kagetannya, tak ingin membungkam putri-nya. "Kucing itu datang tinggal bersamaku," ujar Maya. "Kucing itu tidak keberatan. Karena sebelumnya kucing itu tidak bisa bicara, kini dia bisa bicara. Dan aku pun tidak keberatan. Aku suka kucing itu. Aku suka menjadi kucing." 'Tapi Jin-emon tidak mendatangi Ayah, kan?" tanya Miki. Bagi mereka hal ini tidak lebih aneh dibandingkan dengan kemampu-an menghilang, atau sosok kedua, dan mungkin tidak lebih berbahaya. "Tidak, karena akhirnya Ayah menggorok tenggorokannya dengan Jato. Dia mati karena digorok, bukan karena sihir tidur itu." "Apa Ayah marah dengan kejadian kucing itu?" tanya Maya. Takeo tahu kalau mereka percaya padanya, dan ia tak ingin kehilangan kepercayaan itu, juga sadar kalau mereka bersifat pemalu layaknya hewan liar yang dapat kabur dalam sekejap. Terkenang masamasa penuh pen-deritaan selama bersama Kikuta. kekejaman dalam pelatihannya. "Tidak. Ayah tidak marah," sahut Takeo dengan tenang. "Shizuka marah sekali," gumam Miki. "Tapi Ayah harus tahu semuanya agar bisa melindungi kalian, dan menghentikan kalian agar tak menyakiti orang lain. Ayah adalah orangtua dan juga senior kalian dalam keluarga Kikuta. Kalian berhutang kepatuhan pada Ayah dalam kedua hal itu." "Kejadiannya begini," tutur Maya. "Aku marah pada Mori Hiroki. Kulihat betapa sayangnya dia pada kucing itu. Aku ingin dia membayar perbuatannya karena tidak mau menatap kami. Dan kucing itu manis sekali. Aku ingin bermain dengannya. Maka kutatap matanya, dan aku tidak bisa berhenti menatapnya. Kucing itu lucu, dan aku ingin menyakiti Hiroki, dan aku tak bisa meng-hentikannya." Maya berhenti, menatap tak berdaya ke arah Takeo. "Teruskan," ujarnya. "Aku menariknya masuk. Dari tatapan matanya, melalui tatapan mataku. Kucing melompat masuk ke dalam diriku. Kucing itu melolong dan mengeong. Tapi aku tidak bisa berhenti menatapnya. Kemudian kucing itu mati. Tapi dia masih hidup." "Lalu?" "Lalu Mori Hiroki sedih, dan itu mem-buatku senang." Maya menghela napas panjang, seolah habis susah mengingat pelajaran yang telah dihapalkannya. "Hanya itu. Ayah, sungguh." Takeo menyentuh pipi Maya. "Kau telah berkata jujur. Tapi kau tahu betapa mem-bingungkan perasaanmu. Pikiranmu tidak jernih, yang justru harus sebaliknya saat menggunakan kemampuan Tribe itu. Saat menatap mata orang lain, kalian akan melihat kelemahan mereka. Itulah yang membuat mereka rapuh pada tatapan kalian." Halaman 523 dari 523 "Apa yang akan terjadi padaku?" tanya Maya. "Ayah tidak tahu. Kita harus mengamati-mu untuk mencari tahu. Tindakanmu salah; kau membuat kesalahan. Kau akan harus menanggung akibatnya. Tapi kau harus ber-janji pada Ayah untuk tidak menggunakan sihir tidur Kikuta pada orang lain sampai Ayah ijinkan." "Mestinya Kenji tahu," ujar Miki, dan mulai menangis lagi. "Dia menceritakan tentang roh-roh hewan dan cara Tribe memanfaatkannya." "Kuharap dia belum mati," kata Maya di sela-sela isak tangisnya yang baru meledak lagi. Dan Takeo merasakan matanya pun menghangat, menangisi kepergian gurunya, dan kedua putri kembarnya yang belum bisa dilindunginya dari kerasukan yang akibatnya pun belum bisa diperkirakannya. Kedua putrinya berada di dekatnya, tubuh mereka begitu mirip dengan tekstur dan warna kulit dirinya. "Kami tidak harus menikah dengan Sunaomi, kan?" tanya Maya, kini lebih tenang. "Mengapa? Siapa yang mengatakan kalian harus menikah dengannya?" "Sunaomi mengatakan pada kami kalau dia ditunangkan dengan salah satu dari kami!" "Hanya kalau dia benar-benar nakal," sahut Takeo. "Sebagai hukuman!" "Aku tak ingin ditunangkan dengan siapa pun," ujar Miki. "Kelak kau pasti berubah pikiran," Takeo menggoda. "Aku ingin menikah dengan Miki," kata Maya, sambil tertawa cekikikan. "Kita berdua menikah saja," sahut Miki sepakat. "Lalu kalian takkan punya anak. Kalian membutuhkan laki-laki untuk bisa punya anak." "Aku tak ingin punya anak," sahut Miki. "Aku benci anak-anak," sahut Maya setuju. "Terutama Sunaomi! Ayah tidak akan mengangkat Sunaomi sebagai anak, kan?" "Ayah tak membutuhkan anak laki-laki," sahut Takeo. Pemakaman Kenji dilaksanakan keesokan harinya, dan batu nisan didirikan untuknya di kuil Hachiman di sebelah Tokoji, yang tak lama kemudian menjadi tempat ziarah bagi keluarga Muto dan anggota Tribe yang lain. Kenji telah berpulang ke alam baka, seperti juga Shigeru, juga Jo-An. Kini mereka bertiga menginspirasi dan melindungi orang yang masih hidup di dunia fana ini.* Musim hujan plum sudah selesai dan hawa panas musim panas dimulai. Shigeko bangun sebelum matahari terbit dan pergi ke kuil di tepi sungai untuk menghabiskan waktu ber-sama si kuda hitam jantan saat udara masih dingin. Dua kuda betina tua menggigit dan menendang, mengajarinya sopan santun; sedangkan kuda jantan mulai bisa menerima kehadiran Shigeko, meringkik saat melihat-nya dan menunjukkan tanda sayang. Halaman 524 dari 524 "Dia tidak pernah melakukannya pada siapa pun," komentar Mori Hiroki, memer-hatikan kuda jantan itu menggesek-gesekkan kepalanya di bahu Shigeko. "Aku ingin berikan untuk ayahku," sahut Shigeko. "Ayah tak memiliki kuda yang disukai sejak Shun mati." "Kuda ini sudah siap dijinakkan." ujar Hiroki. "Tapi Anda jangan mencobanya dulu, yang pasti jangan seorang diri. Aku sudah terlalu tua dan lamban, sedangkan ayah Anda terlalu sibuk." "Tapi harus aku lakukan," bantah Shigeko. "Kuda ini mulai menyayangiku." Lalu pikiran itu terbersit di benaknya, Hiroshi akan datang ke Hagi Kami bisa menjinakkan kuda ini bersama-sama. Dan Ayah bisa menungganginya saat kami me-lakukan perjalanan ke Miyako. Dinamainya kuda itu Tenba karena ada sesuatu bersifat surgawi pada kuda itu, dan sewaktu berderap mengelilingi padang rumput, kuda itu tampak seolah terbang. Hari-hari yang panas berlalu. Anak-anak berenang di laut dan melanjutkan pelajaran dan pelatihan dengan gembira karena sang ayah sudah pulang. Meskipun urusan pemerintahan membuatnya sibuk, Takeo selalu menyempatkan waktu bersama mereka, pada malam-malam yang hangat ketika langit hitam kelam dan bintang-bintang terlihat membesar, serta hembusan lembut angin dari laut membuat kediaman terasa dingin. Bagi Shigeko, peristiwa besar selanjutnya di musim panas adalah kedatangan Sugita Hiroshi dari Maruyama. Hiroshi tinggal bersama keluarga Otori sampai usia dua puluh tahun lalu pindah ke Maruyama, tempat dia menjalankan pemerintahan wilayah milik ibu Shigeko dan suatu kelak akan menjadi miliknya. Kedatangannya terasa seperti kembalinya kakak lakilaki bagi ketiga gadis itu. Setiap kali menerima surat, Shigeko berharap membaca kalau Hiroshi sudah menikah, karena usianya sudah dua puluh enam tahun dan belum beristri. Hal ini tak bisa dijelaskan, tapi dia hanya setengah mengakui kalau dia lega saat Hiroshi berkuda ke Hagi seorang diri, dan tidak menyebut istri atau tunangan yang ditinggalkan di Maruyama. Menunggu hingga bisa bicara berdua pada Shizuka, Shigeko membuka topik pembicaraan dengan santai. "Shizuka, berapa usia kedua putramu saat mereka menikah?" "Zenko delapan belas tahun, dan Taku tujuh belas tahun," jawab Shizuka. "Tidak terlalu muda." "Dan usia Taku dan Sugita sebaya, kan?" "Ya, dan mereka lahir di tahun yang sama-bibimu Hana juga lahir di tahun itu." Shizuka tertawa. "Kukira ketiganya berharap bisa menikahi Hana. Terutama Hiroshi yang selalu mendambakan menjadi suami Hana: dia amat mengagumi ibumu dan meng-anggap Hana mirip dengannya. Taku ber-hasil mengatasi patah hatinya, tapi sudah menjadi rahasia umum kalau Hiroshi tak dapat menghapus kekecewaannya, dan itulah alasannya dia tidak menikah." "Sungguh aneh," ujar Shigeko, setengah ingin meneruskan pembicaraan, dan setengah tercengang dengan rasa sakit di hatinya. Hiroshi jatuh cinta pada Hana sehingga tak mau menikah lagi? "Bila ada unsur persekutuan pada diri mereka, sudah pasti ayahmu akan menikah-kan mereka," tutur Shizuka. "Tapi posisi Hiroshi itu unik. Kedudukannya kurang tinggi. Kedekatannya pada keluargamu hampir seperti anak laki-laki di keluarga ini, namun dia tak punya tanah warisannya sendiri. Dia akan menyerahkan Maruyama padamu tahun ini." "Kuharap dia akan terus mengabdi padaku di sana," kata Shigeko. "Tapi aku terpaksa harus mencarikan istri untuknya! Apakah dia memiliki perempuan simpanan?" "Kurasa ada," sahut Shizuka. "Kebanyakan laki-laki memiliki perempuan simpanan!" "Ayahku tidak," sahut Shigeko. Halaman 525 dari 525 "Memang tidak, begitu pula Lord Shigeru." Tatapan mata Shizuka menerawang jauh. "Ingin tahu mengapa mereka sangat ber-beda dengan laki-laki lain." "Mungkin perempuan lain tidak menarik perhatian mereka. Dan kurasa mereka tak ingin membuat orang yang mereka sayangi tersiksa rasa cemburu." "Cemburu adalah perasaan yang menakut-kan." 'Tapi untungnya kau masih terlalu muda untuk mempunyai perasaan semacam itu," sahut Shizuka. "Dan ayahmu akan memilih jodohmu dengan bijaksana. Bahkan ayahmu memilih dengan sangat teliti, aku ingin tahu apakah dia bisa menemukan orang yang cukup baik." "Tak menikah pun aku sudah bahagia," seru Shigeko, tapi ia tahu kalau ini tidak sepenuhnya benar. Sejak mulai beranjak dewasa ditemukan ia gelisah dengan keinginan disentuh laki-laki. "Sayang sekali para gadis tidak dibolehkan memiliki kekasih layaknya anak laki-laki," katanya. "Mereka harus sedikit lebih bijaksana," sahut Shizuka, tertawa. "Apakah ada orang yang kau sukai, Shigeko? Kau sudah lebih dewasa dari yang kukira?" "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu seperti apa: hal-hal yang dilakukan laki-laki dan perempuan bersama, pernikahan, cinta." Shigeko mengamati Hiroshi malam itu saat makan malam. Dia tidak mirip orang yang dimabuk cinta. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, kira-kira setinggi ayahnya tapi lebih tegap dan dengan wajah lebih gemuk. Bentuk matanya panjang dan ekspresinya hidup, rambutnya tebal dan hitam pekat. Tampak suasana hatinya sangat baik, penuh optimisme tentang panen yang akan datang dan dengan bersemangat menceritakan hasil teknik inovasi dalam melatih kuda dan manusia; menggoda si kembar dan memuji Kaede, berkelakar dengan Takeo dan meng-ingatkannya tentang mundurnya pasukan saat badai topan dan pertempuran merebut Hagi. Satu atau dua kali Shigeko merasa kalau laki-laki itu menatapnya, tapi saat ia melihat ke arahnya, Hiroshi selalu me-mandang ke arah lain, dan hanya bicara langsung pada Shigeko satu atau dua kali, itu pun dengan sikap formal. Saat itu wajah Hiroshi tak bersemangat, ekspresinya tenang, malah hampir tak bersahabat. Mengingatkan Shigeko pada wajah guru-gurunya di biara saat bermeditasi; dan ingat kalau, seperti dirinya, Hiroshi dilatih dengan Ajaran Houou. Hal itu agak menenangkannya: mereka selalu menjadi teman seperjuangan, meskipun hubungan mereka tak bisa lebih dari itu; Hiroshi selalu memahami dan mendukungnya. Tepat sebelum beristirahat, Hiroshi ber-tanya padanya tentang kuda muda itu karena Shigeko pernah menyuratinya tentang masalah itu. "Datanglah ke kuil besok pagi dan kau bisa lihat sendiri," sahut Shigeko. Sesaat Hiroshi ragu-ragu, kemudian ber-kata, "Dengan senang hati. Ijinkan aku mengawalmu." Nada suaranya terdengar dingin, dan kata-katanya resmi. Mereka berjalan berdampingan menyebe-rangi jembatan batu, seperti yang sering mereka lakukan ketika Shigeko masih kecil. Udara terasa tenang, cahaya cerah dan keemasan, saat matahari terbit di atas pegunungan dan mengubah permukaan tenang sungai menjadi cermin yang berkilauan memantulkan dunia yang tampak lebih nyata ketimbang dunia yang mereka lalui. Biasanya dua penjaga kastil mendampingi Shigeko, tapi hari ini Hiroshi menyuruh mereka pergi. Dia berpakaian untuk menunggang kuda, mengenakan celana panjang dan pembalut kaki, dan pedang di sabuknya. Shigeko mengenakan pakaian yang hampir serupa, rambutnya diikat ke belakang dengan tali, dan hanya bersenjatakan tongkat pendek yang disembunyikan. Shigeko men-ceritakan tentang kuda itu, dan sikap kaku Hiroshi perlahan luruh, dan berani berdebat dengan Shigeko seperti yang sering dilaku-kannya lima tahun silam. Sebaliknya, per-debatan ini bagi Shigeko sama mengecewa-kannya dengan sikap resmi laki-laki itu. Dia hanya menganggapku sebagai adik, sama seperti pada si kembar. Halaman 526 dari 526 Matahari pagi menyinari kuil tua: Hiroki sudah siap dan Hiroshi menyambutnya dengan gembira karena dia menghabiskan masa kecilnya dengan orang tua itu, belajar ketrampilan menjinakkan dan mengembang-biakkan kuda. Tenba mendengar suara Shigeko dan meringkik. Ketika mereka menghampirinya, kuda itu berderap ke arah Shigeko, tapi telinganya berdiri tegak dan memutar bola matanya saat melihat Hiroki. "Kuda ini menakutkan sekaligus tampan," seru Hiroshi. "Jika bisa dijinakkan, dia bisa menjadi kuda perang yang luar biasa." "Aku ingin menghadiahkannya kepada Ayah," ujar Shigeko. "Tapi aku tak ingin ayah membawanya ke kancah pertempuran! Sekarang kita dalam kedamaian, kan?" "Ada awan badai di kaki langit," ujar Hiroshi. "Itu sebabnya aku dipanggil." Tadinya aku berharap kau datang untuk melihat kuda milikku!" kata Shigeko, memberanikan diri menggoda. "Bukan hanya melihat kudamu," sahutnya pelan. Shigeko terkejut sewaktu melihat sekilas ke arah Hiroshi, wajah laki-laki itu agak memerah hingga ke lehernya. Setelah beberapa saat, Shigeko bicara dengan sikap canggung, "Kuharap kau ada waktu untuk membantuku menjinakkannya. Aku tak ingin orang lain yang melakukan-nya-kuda ini percaya padaku, dan kepercayaan itu tak boleh dihancurkan, jadi aku harus ada di sini terus." "Nantinya kuda ini juga akan percaya padaku," sahut Hiroshi. "Aku akan ke sini kapan saja ayahmu tak membutuhkan diriku. Kita akan menjinakkannya bersama-sama, dengan cara yang pernah diajarkan pada kita." Ajaran Houou merupakan ajaran tentang unsur-unsur laki-laki dan perempuan: kekuatan yang lembut, welas asih yang kuat, kegelapan dan cahaya, bayangan dan matahari, yang tersembunyi serta yang terungkap. Kelembutan saja tak bisa menjinakkan kuda seperti ini. Dibutuhkan juga kekuatan serta ketegasan seorang laki-laki. Mereka memulainya pagi itu, sebelum hawa panas semakin kuat, membiasakan si kuda dengan sentuhan Hiroshi, di kepala, sekitar telinga, pinggul bagian samping dan di bagian bawah perutnya. Kemudian mereka menempatkan pita halus di sepanjang punggung hingga ke leher, terakhir mengikat dengan longgar satu pita lagi di hidung dan kepalanya-tali kekang pertamanya. Tenba berkeringat dan kulitnya menggigil, namun patuh pada cara mereka menanganinya. Mori Hiroki mengamati mereka dengan sikap setuju, dan setelah itu, ketika kuda jantan itu dihadiahi wortel dan Shigeko serta Hiroshi disajikan teh dingin, dia berkata, "Wilayah lain di Tiga Negara dan di luarnya, kuda-kuda dijinakkan dengan paksaan, seringkah dengan kekerasan. Hewan-hewan dipukul agar patuh. Namun ayahku selalu percaya pada pendekatan yang lembut." "Itu sebabnya mengapa kuda-kuda Otori termashur," tutur Hiroshi. "Mereka jauh lebih patuh dibandingkan kuda-kuda lain, lebih bisa diandalkan dalam pertempuran, dan dengan stamina yang lebih kuat, karena mereka tidak membuang tenaga melawan si penunggangnya dan berusaha berlari dengan cepat! Aku selalu menggunakan metode yang kupelajari darimu." Wajah Shigeko bersinar. "Kita akan ber-hasil menjinakkannya, kan?" "Aku tak meragukan hal itu," sahut Hiroshi, membalas senyuman Shigeko dengan sikap hangat.* Halaman 527 dari 527 Takeo mengetahui kerjasama putrinya dengan Sugita Hiroshi dalam menjinakkan si kuda jantan hitam-meskipun tidak mengetahui kalau kuda itu akan dihadiahkan padanya-karena dia mengetahui hampir segalanya, tidak hanya di Hagi tapi di seluruh Tiga Negara. Kurir pergi atau berkuda menyampaikan pesan antarkota, dan burung-burung dara digunakan untuk mengirim kabar darurat dari kapal di laut. Takeo mengira Hiroshi sudah seperti kakak bagi putrinya; terkadang mengkhawatirkan masa depan dan statusnya yang masih melajang, dan memikirkan pasangan yang cocok dan berguna bagi pemuda yang telah mengabdi dengan setia padanya sejak masih kecil. Pemah terdengar olehnya desas-desus kalau Hiroshi tergila-gila pada Hana; ia tidak percaya begitu saja, mengenal karakter Hiroshi yang kuat dan kecerdasannya- namun Hiroshi menghindari semua calon yang diajukan. Akhirnya ia memutuskan untuk memperbarui usahanya mencarikan istri bagi Hiroshi dari keluarga ksatria di Hagi. Di satu senja yang panas pada bulan ketujuh, tak lama setelah Festival Tanabata, Takeo, Kaede, Shigeko dan Hiroshi pergi melintasi teluk menuju kediaman Terada Fumifusa. Ayah dari sahabatnya, Fumio, mantan kepala perompak yang kini memelihara dan mengawasi armada kapal perang maupun kapal dagang sehingga Tiga Negara termashur dalam perdagangan dan keamanan dari serangan lewat laut. Kini Terada berusia kira-kira lima puluh tahun, namun hanya menunjukkan sedikit ke-lemahan karena usia. Takeo sangat meng-hargai ketajaman otak, keberanian dan pengetahuan Terada. Terada tidak memedulikan harta benda indah yang diperolehnya saat menjadi perompak- dendamnya pada pemimpin Klan Otori menjadi penggerak kekuatannya, dan kejatuhan para paman Shigeru adalah keinginan terbesarnya. Setelah pertempuran merebut Hagi dan gempa bumi, dia mem-bangun kembali rumah lamanya yang dirancang oleh putra dan menantunya, Eriko, sepupu keluarga Endo. Eriko menyukai lukisan, taman dan benda-benda yang indah: dia menulis puisi dengan goresan kuas yang indah, dan membuat kediaman itu tampak mewah dan memesona dilihat dari kastil. Bangunan itu berada di dekat kawah gunung berapi, tempat cuaca yang tidak biasa membuatnya dapat menanam tanaman eksotis yang dibawa Fumio, dan tanaman obat yang dibawa Tabib Ishida. Sifatnya yang artistik membuatnya menjadi teman yang disenangi Takeo dan Kaede. Putri sulung Terada akrab dengan Shigeko karena mereka seumur. Paviliun kecil dibangun di atas sungai kecil di taman, dan bunyi tenang air yang mengalir memenuhi udara. Kolam dipenuhi warna ungu muda dan bunga teratai putih kekuningan, dinaungi pepohonan aneh dari Kepulauan Selatan yang mirip kipas. Udara terasa harum oleh aroma adas manis dan jahe. Semua tamu mengenakan jubah musim panas berwarna cerah, menyaingi warna-warni kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga. Burung tekukur menyerukan nyanyiannya yang memecah kesunyian, dan jangkrik berderik tiada henti. Eriko memperkenalkan permainan lama di mana para tamu harus menggubah puisi, lalu mengapungkannya di atas nampan kayu kecil untuk dibaca pengunjung di paviliun sebelahnya. Kaede mahir dalam membuat puisi semacam ini, dengan pengetahuan luasnya tentang kiasan klasik dan kemam-puan berpikir cepat, namun Eriko hampir menandinginya. Mereka bersaing penuh persahabatan. Cangkir-cangkir sake juga diapungkan di permukaan air yang mengalir pelan, dan sesekali satu atau dua tamu mengambilnya lalu diberikan kepada temannya. Irama kata-kata dan tawa berbaur dengan suara air, serangga serta burung membuat diri Takeo merasakan kebahagiaan murni yang jarang dirasakannya, menghilangkan kecemasannya serta meringankan kesedihannya. Halaman 528 dari 528 Takeo tengah mengamati Hiroshi yang duduk bersama Shigeko dan putri Eriko, Kaori, di paviliun sebelah. Usia Kaori cukup dewasa untuk dinikahkan: mungkin dia bisa menjadi pasangan yang cocok bagi Hiroshi; nanti akan dibicarakannya dengan Kaede. Kaori mirip ayahnya: tubuh berisi serta sehat. Kaori dan Shigeko tengah tertawa melihat usaha Hiroshi. Namun di sela-sela tawa dan semua suara lain di senja yang damai ini, ada suara lain, mungkin kepakan sayap burung. Ia men-dongak menatap langit dan melihat sekawanan kecil bintik jauh di arah tenggara. Sewaktu kawanan itu mendekat, semakin jelas terlihat kalau itu adalah kawanan burung dara yang kembali ke kediaman Terada, tempat mereka menetas. Burung-burung selalu kembali kemana pun semua kapal Terada yang membawanya, tapi arah datangnya kawanan ini membuat ia gelisah karena di tenggara terbentang kota bebas Akashi.... Burung-burung dara melayang di atas kepala menuju kandang. Semua orang mendongak ke atas mengamati. Kemudian pesta itu ditutup dengan perasaan gembira, tapi Takeo kini sadar akan panasnya cuaca sore ini, dari peluh di ketiaknya, derik kasar suara jangkrik. Seorang pelayan keluar dari rumah, ber-lutut di belakang Lord Terada lalu berbisik padanya. Terada melihat ke arah Takeo dan membuat isyarat dengan kepala. Mereka berdua berdiri bersamaan, meminta maaf pada para tamu, lalu pergi bersama si pelayan itu ke dalam rumah. Begitu sampai di beranda, Terada berkata, "Pesan dari putra-ku." Diambilnya lembaran kertas yang dilipat, terbuat dari sutra, lebih ringan dari bulu. "Gagal. Senjata sudah di tangan Saga. Segera kembali." Takeo melihat dari bayangan beranda ke arah pemandangan yang indah di taman. Didengarnya suara Kaede saat membaca, mendengar suara yang menyambut keang-gunan dan kepandaiannya. "Kita harus persiapkan dewan p-eperangan," ujarnya. "Kita akan bertemu besok dan me-mutuskan apa yang dilakukan." Dewan terdiri dari Terada, ayah dan anak, Miyoshi Kahei, Sugita Hiroshi, Muto Shizuka, Takeo, Kaede dan Shigeko. Takeo menceritakan tentang pertemuannya dengan Kono, tuntutan Kaisar, jenderal baru dan senjata yang diselundupkan. Miyoshi Kahei ingin bertindak cepat: membangun kekuatan militer selama musim panas, kematian Arai Zenko dan Lord Kono lalu diikuti dengan pemusatan pasukan di perbatasan wilayah Timur yang bisa tiba lebih dulu di ibukota saat musim semi, mengalahkan si Pemburu Anjing dan membujuk Kaisar untuk mem-pertimbangkan lagi tentang ancaman serta penghinaan atas Otori. "Kapalmu juga bisa memblokade Akashi," tuturnya pada Terada. "Pelabuhan itu harus dalam kendali kita untuk mencegah ancaman Arai." Kemudian teringat kalau Zenko adalah putra Shizuka, dan dia pun meminta maaf. "Tapi aku tak menarik kembali saranku," ujarnya pada Takeo. "Sementara Zenko me-rongrong di Barat, kau tak mungkin meng-hadapi ancaman dari wilayah Timur." "Putra Zenko ada di tangan kita," tutur Kaede. "Kami rasa ini dapat membuatnya patuh." "Dia tak bisa dianggap sebagai sandera," sahut Kahei. "Inti dari adanya sandera yaitu siap mencabut nyawa mereka. Aku tak ber-maksud menghinamu, Takeo, tapi aku tak percaya kau tega memerintahkan untuk membunuh anak-anak. Orangtuanya tahu kalau putranya aman bersamamu layaknya berada di tangan ibunya sendiri!" "Zenko sudah bersumpah sekali lagi bahwa dia akan tetap setia padaku." tutur Takeo. "Aku tak bisa menyerangnya sebelum dia menyerang. Aku lebih memilih untuk memercayainya, dengan harapan Halaman 529 dari 529 dia layak mendapatkannya. Dan kita harus berusaha untuk mempertahankan kedamaian melalui perundingan. Aku tak akan membawa perang saudara di Tiga Negara." Kahei menggelengkan kepala, wajahnya suram. "Kakakmu, Gemba, dan yang lainnya di Terayama menganjurkan untuk menenang-kan Kaisar dengan berkunjung ke Miyako tahun depan." "Saat itulah Saga Hideki akan memper-senjatai pasukannya dengan senjata api. Setidaknya biarkan kami mendekati Akashi dan mencegahnya memperdagangkan bubuk mesiu. Karena kalau tidak, kau akan lang-sung menuju ke kematian!" "Aku mendukung tindakan yang tegas," ujar Terada. "Aku setuju dengan Miyoshi. Semua pedagang di Akashi sudah lupa daratan. Mereka telah menghina. Kita akan beri mereka pelajaran." Terada tampak merindukan masa ketika kapal-kapal milik-nya mengendalikan semua perdagangan di sepanjang garis pantai utara dan barat. "Tindakan semacam itu akan membuat geram pedagang kita sendiri," tutur Shizuka. "Dan kita mengandalkan mereka untuk mendapat persediaan, bubuk mesiu dan bijih besi. Bakal sulit bertempur tanpa dukungan itu." "Klas pedagang mulai semakin kuat hingga menjadi berbahaya," gerutu Terada. Takeo tahu kalau itu sudah lama dikeluhkan Terada, Miyoshi, Kahei dan banyak ksatria lainnya, yang membenci para pedagang yang semakin kaya raya dan makmur. "Bila tidak menyerang sekarang, kelak akan terlambat," ujar Kahei. "Itu saranku." "Bagaimana denganmu?" Takeo bertanya pada Hiroshi yang hingga saat ini belum bicara. "Aku memahami pandangan Lord Miyoshi," kata Hiroshi. "Beliau punya alasan. Menurut seni perang memang itu yang terbaik. Tapi aku harus tunduk pada kearifan para Guru Ajaran Houou. Kirimkan pesan pada Kaisar bahwa Anda akan datang berkunjung. Ini akan meredam rencana serangan apa pun di pihaknya. Aku menganjurkan, seperti Kahei, memperkuat pasukan di wilayah Timur, menyiapkan serangan tapi tidak menyolok. Kita harus membangun kekuatan prajurit pejalan kaki yang membawa senjata api, dan melatih mereka untuk menghadapi prajurit yang hampir sama kekuatannya karena sudah pasti tahun depan Saga telah memiliki senjata dalam jumlah besar. Hal itu tak bisa kita cegah. Sementara untuk adik ipar Anda, kurasa ikatan keluarga akan menjadi lebih kuat ketimbang dendam apa pun yang dipendamnya pada diri Anda, atau ambisi apa pun untuk menyingkirkan Anda. Sekali lagi aku menganjurkan agar jangan tergesa-gesa, dan jangan bertindak terburu-buru." Hiroshi memang ahli strategi yang handal, pikir Takeo. Bahkan sejak dia masih kecil! Takeo berpaling ke arah putrinya, "Shigeko?" "Aku sependapat dengan Lord Hiroshi," sahut Shigeko. "Jika aku ikut dengan Ayah ke Miyako, kurasa Ajaran Houou akan menang, bahkan untuk menghadapi Kaisar."* Selama di Hagi, Takeo sering bertemu Shizuka yang tinggal di kastil untuk menemani Kaede atau putri-putri-nya. Tidak ada pertemuan resmi, maupun pengumuman atas penunjukkan Shizuka sebagai ketua Tribe. Beberapa hari setelah pertemuan dewan perang, di pagi hari Festival Tanabata, seolah kebetulan, mereka berjumpa saat Takeo hendak ke kastil. Minoru yang selalu meng-ikuti dengan membawa peralatan menulis, menyingkir agar mereka bisa bicara berdua saja. Halaman 530 dari 530 "Aku dapat pesan dari Taku," ujar Shizuka pelan. "Tadi malam. Ishida dan Chikara meninggalkan Hofu saat bulan purnama terakhir. Cuaca sedang cerah: mestinya mereka datang tidak lama lagi." "Itu kabar baik," sahutnya. "Kau pasti menantikan kepulangan suamimu." Lalu Takeo berkata, karena tak ada alasan mengapa kabar ini harus dirahasiakan, "Apa lagi?" "Ternyata Zenko memberi ijin orang asing ikut bersama mereka. Dua dari mereka berada di kapal, bersama penerjemah mereka-perempuan itu." Takeo mengernyitkan dahi. "Apa tujuan mereka?" "Taku tidak mengatakannya. Tapi me-nurutnya kau harus diberitahu." "Menyebalkan," sahut Takeo. "Kita ter-paksa menerima mereka dengan segala macam upacara dan kemegahan, serta ber-pura-pura terkesan atas hadiah tidak berharga mereka. "Aku tidak ingin mereka merasa bebas pergi ke mana saja sesuka hati. Aku lebih suka mengurung mereka di satu tempat: Hofu tempat yang sangat bagus untuk itu. Carikan tempat yang tidak nyaman untuk mereka tinggal, dan awasi terus mereka. Adakah orang lain yang bisa bicara bahasa mereka?" Shizuka menggelengkan kepala. "Baiklah, seseorang harus mempelajari secepatnya. Penerjemah mereka harus meng-ajari kita saat dia di sini." Takeo berpikir cepat. Ia tak ingin bertemu Madaren; ia merasa tidak nyaman atas kemunculan adiknya. Takut pada kesulitan yang pasti muncul dengan kehadiran adiknya itu, tapi bila ia harus menggunakan jasa penerjemah, maka sebaiknya memang adiknya-orang yang memiliki hubungan dengannya. Takeo memikirkan Kaede yang mampu belajar dengan cepat, yang menguasai bahasa Shin dan Tenjiku agar bisa membaca karya klasik, sastra dan kitab suci. Ia akan minta Kaede mempelajari bahasa orang asing dari Madaren, dan akan menceritakan bahwa si penerjemah itu adalah adiknya... pikiran kalau ia akan mengurangi satu rahasia lagi dari istrinya, anehnya justru membuatnya bahagia. "Cari gadis pandai yang bisa menjadi pelayan mereka," pintanya pada Shizuka. "Biarkan gadis itu berusaha sekuat tenaga memahami apa yang mereka katakan. Dan kita akan mengatur agar pelajaran diadakan di sini." "Kau bermaksud untuk belajar, sepupu?" "Aku meragukan kemampuanku," sahut Takeo. "Tapi aku yakin Kaede pasti mampu. Kau juga." "Aku sudah terlalu tua," sahut Shizuka seraya tertawa. "'Tapi, Ishida cukup ber-minat, dan sudah menyusun daftar istilah ilmiah dan medis." "Bagus. Biarkan dia melanjutkan pekerja-an ini bersama mereka. Semakin banyak yang bisa kita pelajari, semakin baik. Dan lihat apa kau bisa cari tahu lebih banyak lagi dari suamimu tentang tujuan mereka yang sebenarnya, dan kedekatan mereka dengan Zenko." "Taku baik-baik saja?" Takeo menyuara-kan pikiran yang muncul kemudian. "Sepertinya begitu. Menurutku, hanya sedikit frustrasi terjebak di wilayah Barat. Dia baru akan berangkat bersama Lord Kono untuk menginspeksi harta kekayaan, dan ber-maksud melanjutkan dari sana ke Maruyama." "Begitu? Maka Hiroshi sebaiknya ada di sana untuk bertemu mereka," ujar Takeo. "Dia bisa menumpang kapal yang sama, dan mengabari keputusan kita pada Taku." Kapalnya terlihat di laut dua hari kemudian. Shigeko mendengar lonceng dari bukit di Halaman 531 dari 531 atas kastil berdentang sewaktu dia dan Hiroshi menjinakkan si kuda jantan. Tenba menerima sedikit dan membiarkan Shigeko menuntunnya dengan tali kekang halus, tapi mereka belum mencoba menaruh pelana, atau beban apa pun di punggungnya selain kain berlapis yang masih membuatnya ber-gerak mundur dan menendang. "Ada kapal datang," kata Shigeko, ber-usaha melihat tapi sia-sia menentang silaunya matahari pagi. "Kuharap itu kapal tabib Ishida." "Kalau benar itu kapalnya, berarti aku harus segera kembali ke Maruyama," ujar Hiroshi. "Secepat itu!" Shigeko tidak bisa menahan seruannya, kemudian merasa malu, "Ayah bilang tabib Ishida membawa hadiah istimewa untukku tanpa mengatakan apa hadiahnya." Aku kedenga ran seperti anak kecil, pikirnya, kesal pada dirinya sendiri. "Aku dengar dia membicarakan itu," sahut Hiroshi, dia memperlakukan aku seperti anak kecil, pikir Shigeko. "Kau tahu apa hadiahnya?" "Itu rahasia!" sahut Hiroshi menggoda. "Aku tak boleh membocorkan rahasia Lord Otori." "Mengapa ayah hanya mengatakannya padamu, tidak kepadaku?" "Ayahmu tidak mengatakannya," sahut Hiroshi dengan suara lebih lembut. "Hanya saja dia mengharapkan cuaca cerah dan per-jalanan yang tenang untuk hadiah itu." "Pasti hewan," seru Shigeko dengan gembira. "Kuda! Atau mungkin anak singa! Beberapa hari ini cuaca cerah. Aku gembira bila cuaca cerah saat Festival Tanabata." Shigeko ingat keindahan malam tanpa bulan yang tenang, percikan sinar bintang, satu malam selama tahun ketika seorang Puteri dan kekasihnya bisa bertemu menyeberangi jembatan ajaib yang dibangun burung magpies. "Saat masih kecil aku suka sekali Festival Tanabata." tutur Hiroshi. "Tapi kini hal itu membuatku sedih. Karena tak ada yang namanya pasangan pengantin impian, tidak dalam kehidupan nyata." Dia membicarakan tentang dirinya sendiri dan Hana, pikir Shigeko. Dia sudah menderita begitu lama. Dia harus menikah. Dia akan melupakan Hana jika dia memiliki istri dan anak. Namun Shigeko tak bisa memaksa dirinya untuk menyarankan agar Hiroshi menikah. "Dulu aku suka membayangkan Putri Bintang dengan wajah ibumu," tuturnya. Tapi mungkin putri itu mirip denganmu, menjinakkan kuda-kuda di surga." Tenba, yang berjalan di antara mereka berdua, mendadak ketakutan dan melompat mundur saat seekor burung merpati terbang dari atap kuil sehingga menarik pita yang dipegang Shigeko. Secepatnya Shigeko me-nenangkannya, tapi Tenba masih bertingkah tidak karuan, dan melompat lalu terjatuh, menerjang tubuh Shigeko dengan bahu. Shigeko hampir terjatuh, tapi entah bagaimana Hiroshi berhasil menjatuhkan tubuhnya di antara Shigeko dan kuda itu, dan sesaat Shigeko menyadari kekuatan pemuda itu, dan hasratnya begitu kuat- hingga mengejutkan dirinya sendiri- untuk dipeluk pemuda itu. Kuda itu berlari dengan langkah panjang, tali kekangnya berayun-ayun. Hiroshi bertanya, "Kau tidak apa-apa? Kuda itu tidak menginjakmu, kan?" Shigeko menggelengkan kepala, tiba-tiba perasaannya bergejolak. Mereka berdiri berdekatan, tidak bersentuhan. Shigeko menemukan lagi suaranya. "Kukira sudah cukup untuk hari ini. Kita buat Tenba berjalan pelan lagi. Lalu aku harus pulang untuk bersiap menerima hadiah. Ayah pasti ingin mengadakan upacara untuk itu." "Tentu, Lady Shigeko," sahut Hiroshi, sekali lagi bersikap dingin dan formal. Kuda jantan itu membiarkannya mendekat, dan Hiroshi menuntunnya mengembalikan kepada Shigeko. Angin sepoiHarjono Siswanto Story Collection Halaman 532 dari 532 sepoi ber-hembus pelan dan merpati terbang melayang di atas kepala, namun kuda muda itu ber-jalan tenang di antara mereka berdua dengan kepala tertunduk. Tak satu pun dari kedua-nya bicara. Di galangan kapal, kesibukan biasa di pagi hari menjadi hening. Nelayan berhenti membongkar muatan hasil tangkapan malam hari berupa ikan sarden perak dan mackarel sisik biru. Pedagang berhenti memuat berkarung-karung garam, beras dan sutra ke kapal bertiang lebar, dan orang-orang berkumpul di jalanan berkerikil, menyambut kapal dari Hofu dengan muatan anehnya. Shigeko kembali ke kediaman lalu berganti pakaian yang lebih sesuai untuk menyambut hadiah untuknya. Untungnya jarak antara gerbang kastil ke tangga pelabuhan dekat dan bisa dilalui dengan berjalan kaki. Dia berjalan sepanjang pantai, melewati rumah kecil di bawah pohon pinus tempat Akane, pelacur kelas tinggi yang pemah menghibur Lord Shigeru, aroma semak wangi yang ditanamnya masih tercium di udara. Shizuka telah menunggu, tapi ibunya tetap tinggal di rumah, mengatakan kalau merasa kurang sehat. Takeo sudah pergi lebih dulu bersama Sunaomi. Sewaktu Shizuka dan Shigeko bergabung dengan Takeo, bisa dilihat susana hati ayahnya sedang gembira: tak hentinya melihat ke arah Shigeko yang ada di sampingnya dan tersenyum. Shigeko ber-harap reaksinya tidak mengecewakan ayahnya, dan memutuskan untuk berpura-pura senang menerima hadiah itu. Namun, ketika kapal mendekati dermaga, dan hewan aneh itu bisa terlihat jelas- lehernya yang panjang-kekaguman Shigeko sebesar dan setulus kerumunan orang yang menonton. Ia begitu gembira ketika tabib Ishida menuntun hewan itu dengan berhati-hati menuruni tangga kapal dan menyerah kan kepadanya. Shigeko terpesona oleh kelembutan dan pola aneh kulit hewan itu, oleh bola mata yang gelap dan tatapannya yang lembut, dihiasi bulu mata panjang dan tebal, oleh gayanya yang anggun serta pem-bawaan diri yang tenang selagi mengamati lingkungan asing di hadapannya. Takeo tertawa gembira karena kirin dalam keadaan sehat dan juga karena reaksi Shigeko. Shizuka menyambut suaminya dengan kasih sayang yang tidak diperlihat-kan, dan si bocah, Chikara, tercengang dengan sambutan serta kerumunan, mengenali wajah kakaknya dan berusaha menahan tangis. "Jangan berkecil hati," tabib Ishida menegurnya. "Beri salam pada paman dan sepupumu dengan baik. Sunaomi, bantu adikmu." "Lord Otori," Chikara berhasil bicara, membungkuk dalam-dalam. "Lady..." "Shigeko," ia menyela perkataan Chikara. "Selamat datang di Hagi!" Ishida berkata pada Takeo, "Kami membawa penumpang lain, mungkin kurang disambut baik." "Ya, aku sudah dikabari Taku. Istrimu akan menunjukkan tempat mereka meng-inap. Nanti akan kuceritakan rencana kita untuk mereka. Kuharap aku dapat mem-bujukmu untuk menghibur mereka semen-tara waktu." Orang-orang asing itu-ada dua orang, baru pertama kali datang ke Hagi-muncul di tangga kapal, membuat orang tak kalah terperangahnya ketimbang melihat kirin. Kedua orang itu mengenakan celana panjang dan sepatu bot dari kulit; emas berkilauan di leher dan dada mereka. Satu orang berwajah agak hitam yang dipenuhi janggut berwarna gelap; yang satunya lagi berkulit lebih pucat dengan rambut dan jenggot berwarna karat pucat. Warna mata orang ini juga pucat, sehijau teh hijau; warna rambut dan mata seperti ini membuat orang merinding, dan Shigeko mendengar bisik-bisik, "Itukah raksasa?" "Hantu." "Goblin." Mereka diikuti seorang perempuan pendek yang tampak memberitahukan tata cara yang sopan. Setelah dibisiki perempuan muda itu, kedua orang asing membungkuk dengan cara yang kaku, cenderung berlagak, lalu bicara dengan bahasa mereka yang kasar. Halaman 533 dari 533 Takeo membalas dengan isyarat kecil dengan kepala. Ia tak lagi tertawa: tampak tegas, gagah dengan jubah resminya, berhias bordiran burung bangau, serta tutup kepala warna hitam pekat. Orang-orang asing itu mungkin lebih tinggi dan lebih besar, tapi di mata Shigeko, Ayahnya jauh lebih gagah. Perempuan itu menyembah, dan ayahnya dengan begitu ramah, pikir Shigeko, mem-beri isyarat agar perempuan itu boleh berdiri dan berbicara kepadanya. Meskipun Shigeko memegang tali sutra yang mengikat leher kirin, dan perhatiannya tertuju pada makhluk mengagumkan ini, tapi ia mendengar ayahnya bicara beberapa patah kata pada orang asing itu. Ketika perempuan itu menerjemahkan, lalu menyampaikan jawaban orang asing itu, Shigeko seperti mendengar sesuatu yang tidak biasa dalam suaranya. Dilihatnya kalau perempuan itu terpaku menatap wajah Takeo. Dia mengenal Ayah, pikir Shigeko. Dia berani menatap langsung wajah Ayah. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu, semacam ekspresi akrab yang mendekati sikap tidak sopan, yang membuat Shigeko gelisah dan bersikap waspada. Kerumunan yang ada di dermaga dihadapkan pada keputusan yang sulit, apakah mengikuti kirin yang luar biasa, yang dituntun Ishida dan Shigeko menuju kuil, tempat hewan itu akan diperlihatkan pada Mori Hiroki dan dipersembahkan pada dewa sungai; atau mengikuti orang asing yang sama luar biasanya, yang dengan sebarisan pelayan yang didampingi Shizuka membawa sejumlah besar kotak dan bal menuju ke perahu kecil yang akan membawa mereka menyeberangi sungai ke tempat penginapan di sepanjang bangunan biara tua Tokoji. Beruntung Hagi berpenduduk banyak, dan ketika kerumunan mulai terbagi untuk setiap arak-arakan terdiri dari kerumunan yang cukup besar. Orang-orang asing itu merasa hal ini lebih menjengkelkan diban-dingkan kirin yang menunjukkan ekspresi kesal karena terus menjadi tontonan. Mereka bahkan akan lebih kesal lagi dengan jauhnya jarak tempat penginapan dari kastil dan penjaga serta berbagai larangan yang diberlakukan pada mereka demi melindungi mereka. Kirin berjalan seperti yang sedari tadi dilakukannya, dengan langkah lambat dan hati-hati yang anggun. "Aku langsung jatuh hati padanya," ujar Shigeko pada ayahnya selagi mereka men-dekati biara. "Bagaimana aku harus berterima kasih kepada Ayah?" "Kau harus berterima kasih pada tabib Ishida," sahut Takeo. "Ini adalah hadiah darinya untuk kita: hadiah yang berharga karena dia sendiri juga sudah jatuh hati padanya seperti halnya dirimu, dan sudah mengenalnya cukup lama. Dia akan tunjuk-kan cara merawatnya." "Sungguh indah memiliki sesuatu seperti itu di Hagi," seru Mori Hiroki saat melihat-nya. "Betapa diberkatinya Tiga Negara!" Dan Shigeko juga berpikir begitu. Bahkan Tenba tampak terpikat oleh kirin, berlari ke pagar bambu untuk memeriksa dan menyentuhkan hidung perlahan padanya. Satu-satunya hal yang Shigeko sedihkan yaitu Hiroshi akan segera pergi. Tapi saat teringat kejadian tadi pagi, berpikir mungkin memang sebaiknya laki-laki itu pulang.* Sewaktu kembali ke kediaman setelah menyambut kirin, Takeo langsung bergegas menemui Kaede. Istrinya tampak duduk di beranda di sisi utara kediaman, sedang bicara dengan Taro, putra sulung si tukang kayu, Shiro. Dia dan ayahnya kembali ke Hagi untuk membangun kembali kota itu setelah gempa. Halaman 534 dari 534 Takeo memberi salam dengan ceria, dan Taro menjawab tanpa sungkan karena masa lalu mengikat hubungan mereka dalam jalinan persahabatan. "Sudah lama aku hendak menciptakan figur Dewi Welas Asih," tutur Taro, seraya menatap kedua tangannya seolah berharap tangan itu bisa memberi jawaban. "Lady Otori punya usulan." "Kau tahu rumah di dekat tepi pantai," kata Kaede. "Rumah itu sudah kosong selama bertahun-tahun, sejak Akane mening-gal. Orang bilang kalau rumah itu berhantu, dan Akane menggunakan mantra untuk me mikat Lord Shigeru tapi akhirnya dia sendiri yang terjebak dalam ilmu hitamnya. Para pelaut mengatakan kalau arwah Akane menyalakan lampu di bebatuan, memberi sinyal palsu ke kapal karena dia membenci semua pria. Kita runtuhkan saja rumahnya lalu menyucikan tamannya. Taro dan adik-nya bisa membangun kuil baru untuk dewa Kannon, dan patung yang melambangkannya akan memberkati pesisir dan teluk." "Chiyo menceritakan tentang kisah Akane ketika aku masih kecil," sahut Takeo. "Tapi Shigeru tak pernah menceritakannya, begitu pula tentang istrinya." "Mungkin arwah kedua wanita yang telah berpulang itu pada akhirnya bisa beristirahat dengan tenang," kata Taro. "Aku mem-bayangkan bangunan kecil-kita tak perlu menebang pohon-pohon pinus tapi akan membangun di sela-sela pepohonan itu. Kukira dengan atap rangkap dua, dengan lekukan tajam seperti ini, dan sambungan siku yang saling mengunci untuk menyang-ganya." Diperlihatkannya pada Takeo sketsa yang telah dibuatnya untuk bangunan itu. "Atap yang lebih rendah menyeimbangkan atap di atasnya, memberi kesan tampilan yang kuat serta lembut. Kuharap bisa memberi peng-hormatan yang sama kepada Yang Diberkati. Kuharap tadinya bisa menunjukkan sketsa sang Dewi, tapi figurnya tetap tersembunyi di balik kayu hingga tanganku menemukan-nya." "Kau akan memahat dari satu pohon?" tanya Takeo. "Ya, saat ini aku sedang memilih pohon yang tepat." Mereka membicarakan tentang berbagai jenis pohon, usia kayu dan semacamnya. Kemudian Taro meninggalkan mereka ber-dua. "Rencana yang bagus," ujar Takeo pada Kaede sewaktu mereka tinggal berdua. "Aku menyukai rencana itu." "Rasanya aku punya alasan khusus untuk bersyukur pada sang dewi," kata Kaede pelan. "Rasa mual tadi pagi, yang pulih dengan cepat.... " "Istriku sayang," gumamnya, dan karena mereka hanya berdua, Takeo memeluknya. "Aku malu," kata Kaede, seraya tertawa kecil. "Aku sepertinya terlalu tua untuk hamil! Shigeko sudah menjadi wanita. Namun aku juga bahagia. Kukira aku tak bisa hamil lagi, mengira kesempatan kita memiliki anak lakilaki sudah sirna." "Aku sudah sering bilang padamu, aku bahagia dengan ketiga putri kita," ujarnya. "Bila nanti kita tambah satu anak perempuan lagi, aku akan gembira." "Aku tidak ingin mengatakannya," bisik Kaede. "Tapi aku yakin yang satu ini laki-laki." Takeo mendekap istrinya, berpikir tentang mukjizat dari makhluk baru yang tumbuh dalam tubuh istrinya. Mereka tak bicara selama beberapa waktu, bernapas dalam kedekatan. Kemudian langkah kaki pelayan di lantai papan beranda menarik mereka kembali ke dunia nyata. "Apakah kirin tiba dengan selamat?" tanya Kaede, karena Takeo sudah mengungkapkan hadiah kejutan itu pada istrinya. Halaman 535 dari 535 "Ya, kemunculannya sangat kuharapkan. Shigeko langsung jatuh hati padanya. Seluruh penduduk diam dalam kekaguman." "Bisa membuat orang Otori terkagum-kagum adalah prestasi yang sangat baik!" sahut Kaede. "Kuharap mereka sudah meng-gubah nyanyian tentang hewan itu. Aku akan pergi melihatnya sendiri nanti." "Kau tak boleh berpanas-panasan," kata Takeo cepat. "Kau jangan terlalu lelah. Ishida harus menengokmu, dan kau harus melaku-kan semua yang dimintanya." "Ishida juga tiba dengan selamat. Aku senang, lalu bagaimana dengan si kecil Chikara?" "Mabuk laut berat-dia malu dengan hal itu. Tapi gembira bertemu kakaknya." Takeo terdiam sesaat, lalu berkata, "Kita tunda dulu soal pengangkatan mereka sampai anak kita lahir. Aku tak ingin melambungkan harapan yang kelak tak bisa terpenuhi, atau men-ciptakan kerumitan nantinya." "yang arif," sahut Kaede setuju. "Meski aku takut Zenko dan Hana akan kecewa." "Hanya ditunda," Takeo menekankan. "Kau semakin bijaksana dan berhati-hati, suamiku!" kata Kaede sambil tertawa. "Sudah semestinya," sahutnya. "Kuharap kini aku dapat mengendalikan sikap tergesa-gesa dan ceroboh." Takeo menimbang-nimbang apa yang mesti dikatakan selanjut-nya, dan tiba pada satu keputusan, berkata, "Ada penumpang lain dari Hofu. Dua orang asing, dan seorang wanita yang menerjemah k an merek a." "Untuk tujuan apa mereka datang?" "Membuka peluang untuk berdagang, kurasa; melihat lebih banyak lagi bagian negeri ini yang masih menjadi misteri besar bagi mereka. Aku belum sempat bicara dengan Ishida. Mungkin dia tahu lebih banyak. Kita harus bisa memahami mereka. Aku ingin mau mempelajari bahasa mereka, dibantu perempuan yang datang bersama mereka, tapi aku tak ingin membebanimu." "Belajar, mempelajari bahasa adalah salah satu yang paling kugemari," sahut Kaede. "Kelihatannya itu tugas yang cocok di saat kegiatan lain harus dibatasi. Tentu saja aku mau. Siapa perempuan yang datang bersama mereka? Aku tertarik karena dia telah menguasai bahasa asing." Takeo berkata dengan suara pelan, "Aku tak ingin mengejutkan dirimu, tapi aku harus mengatakannya. Perempuan itu berasal dari wilayah Timur, dan sempat tinggal di Inuyama. Dia lahir di desa yang sama denganku, dari ibu yang sama. Dia adik perempuanku." "Adik yang kau kira sudah tiada?" tanya Kaede tercengang. "Benar, adikku, Madaren." Kaede mengernyitkan dahi. "Nama yang aneh." "Nama itu cukup umum digunakan di kalangan kaum Hidden. Dia berganti nama, kurasa, setelah peristiwa pembantaian itu. Dia dijual ke rumah bordil oleh prajurit yang membunuh ibunya- ibuku- dan kakak perempuanku. Dia melarikan diri ke Hofu, dan bekerja di rumah bordil lainnya, tempat di mana dia bertemu orang asing yang bernama Don Joao: dia fasih berbicara dalam b ah asa merek a." "Bagaimana kau tahu semua ini?" "Kami kebetulan bertemu di penginapan di Hofu. Saat itu aku menyamar untuk bertemu Terada Fumio untuk memintanya menghentikan penyelundupan senjata. Kami saling mengenali." "Setelah sekian tahun...?" Kaede menatap Takeo, setengah bersimpati, setengah tak percaya. Halaman 536 dari 536 "Aku yakin itu dia. Kami bertemu satu kali lagi, hanya sebentar, dan aku semakin yakin. Aku menyelidiki tentang dirinya dan tahu sedikit riwayat hidupnya. Kukatakan padanya kalau aku akan menjamin hidupnya tapi tidak ingin bertemu dengannya lagi. Jarak di antara kami sudah begitu lebar. Tapi kini dia datang ke sini.... Wajar kalau dia tertarik dalam pergaulan orang asing, karena inti ajaran mereka serupa dengan kaum Hidden. Aku takkan mengakuinya sebagai saudaraku, tapi desas-desus mungkin akan tersebar, dan aku ingin kau mengetahui kebenarannya dariku." "Kurasa dia bermanfaat bagi kita sebagai jurubahasa maupun guru. "Bisakah kau bujuk dia untuk menjadi mata-mata?" Sepertinya Kaede berusaha menyembunyikan kekagetannya dan bicara secara masuk akal. "Aku yakin dia bisa menjadi sumber informasi, dengan disengaja atau tidak. Tapi informasi mengalir dari dua arah. Dia bisa berguna untuk menanamkan pemikiran kita pada kedua orang asing itu. Aku memintamu untuk memperlakukannya dengan baik, bah-kan dengan hormat, tapi jangan pernah membicarakan tentang diriku padanya." "Apakah dia mirip denganmu? Aku ingin sekali bertemu dengannya." Takeo menggeleng. "Dia mirip ibunya." Kaede berkata, "Kau kedengaran sangat dingin. Tidakkah kau gembira menemukan nya masih hidup? Kau tidak ingin mem-bawanya masuk ke dalam keluargamu?" "Kukira dia sudah mati. Aku menangisi kematiannya serta kematian yang lainnya. Kini aku tidak tahu harus bersikap bagai-mana: aku sudah berubah menjadi orang yang berbeda dari bocah yang pernah menjadi kakaknya. Kesenjangan derajat dan status kami sudah menganga lebar. Terlebih lagi, dia penganut kepercayaan yang saleh: sedangkan aku tak memercayai kepercayaan mana pun, dan tidak lagi mengikuti kepercayaan masa kecilku. Aku curiga kalau orang-orang asing itu ingin menyebarkan kepercayaan mereka. Siapa yang tahu alasannya? Aku tak bisa membiarkan siapa pun mengira bisa memengaruhi diriku, karena aku harus melindungi mereka semua dari kedua belah pihak, mungkin alasan orang-orang itu untuk memecah belah rakyat kita." "Tak seorang pun yang menyaksikan dirimu melakukan upacara di biara atau kuil merasa yakin akan ketidakpercayaanmu," ujar Kaede. "Dan bagaimana dengan kuil dan patung baruku?" "Kau tahu kemampuanku sebagai pemain sandiwara," sahut Takeo dengan nada getir, "Aku sungguh bahagia berpura-pura punya kepercayaan demi kepentingan stabilitas negara. Tapi bila kau salah satu orang Hidden, mutlak tidak boleh berpura-pura bila sudah menyangkut masalah kepercayaan. Dirimu terpampang jelas oleh Yang Maha Melihat, tatapan tanpa belas kasihan Tuhan." Andai ayahku tidak memihak kaum Hidden, mungkin dia masih hidup, pikirnya. Dan aku akan menjadi orang lain. "Tentu tuhan kaum Hidden itu Maha Pengampun, kan?" seru Kaede. "Bagi penganutnya, mungkin. Sedangkan yang lainnya dikutuk ke neraka untuk selamanya." "Aku tidak percaya itu!" sahut Kaede, setelah sesaat tenggelam dalam pikirannya. "Begitu pula aku. Tapi itulah yang di-percayai kaum Hidden, begitu juga orang-orang asing itu. Kita harus sangat berhati-hati dengan mereka-bila mereka telah berpikir kita dikutuk, mereka mungkin merasa benar untuk memperlakukan kita dengan cara menghina atau keji." Dilihatnya Kaede agak gemetar, dan takut kalau istrinya merasakan suatu firasat.* Halaman 537 dari 537 Pada bulan kedelapan tibalah Festival Obon. Tepi pantai dan sungai dipenuhi orang, bentuk tarian mereka tampak jelas diterangi kembang api yang bersinar terang. Lampion yang tak terhitung jumlahnya mengapung di gelapnya permukaan air. Arwah orang yang mati disambut kembali, dirayakan dengan jamuan, lalu diucapkan selamat jalan dengan gabungan antara perasaan sedih sekaligus gembira, ketakutan dan kegembiraan. Maya dan Miki menyalakan lilin bagi Kenji yang amat mereka rindukan, tapi kesedihan mereka yang tulus tak menghalangi mereka dari kegiatan senggang baru, menyiksa Sunaomi dan Chikara. Mereka menguping pembicaraan dan tahu ada usulan untuk mengangkat salah satu atau kedua anak itu. Melihat kasih sayang Kaede pada kedua bocah itu, mereka menduga itu karena kedua anak itu laki-laki. Mereka tak diberitahu tentang kehamilan Kaede, tapi sifat mereka yang selalu memer hatikan, akhirnya mereka tahu. Kenyataan bahwa hal itu tidak dibicarakan secara terang-terangan membuat mereka gelisah. Hari-hari di musim panas terasa panjang dan panas: semua orang mudah marah. Shigeko tampak semakin cepat memasuki masa kedewasaan dan menjadi makin menjauh. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah, membicarakan tentang kun-jungan ke ibukota tahun depan, serta hal-hal lain yang menyangkut urusan kenegaraan. Shizuka sibuk dengan administrasi Tribe. Si kembar tak diijinkan keluar berdua saja, tapi mereka sudah terampil dengan pelatihan Tribe. Meskipun tak diijinkan mengguna-kannya, namun rasa jenuh dan diabaikan membuat mereka mencoba hasil pelatihan mereka. "Apa gunanya semua pelatihan itu bila tidak digunakan?" gerutu Maya pelan, dan Miki setuju dengannya. Miki dapat menggunakan sosok kedua cukup lama untuk memberi kesan kalau Maya ada di ruangan sementara Maya menghilang agar bisa menakuti Sunaomi dan Chikara dengan hembusan napas seperti desah napas hantu di tengkuk, atau sentuhan di rambut. Mereka mematuhi peraturan untuk tidak keluyuran di luar, namun aturan itu menjengkelkan mereka: keduanya ingin menjelajahi kota yang sibuk, hutan di seberang sungai, area di sekitar gunung berapi, dan hutan berbukit di atas kastil. "Di sana ada goblin," kata Maya kepada Sunaomi, "dengan hidung panjang dan mata yang selalu mengintai!" Maya menunjuk ke arah bukit, tempat pepohonan yang begitu lebat hingga kelihatan tak bisa ditembus. Dua layang-layang bergulung-gulung di atas mereka. Sore pada hari ketiga Festival Obon, keempat anak itu berada di taman. Hari terasa menyesak-kan; bahkan di taman, di bawah pepohonan, tetap saja terasa panas tak terkira. "Aku tidak takut pada tengu," sahut Sunaomi. "Aku tidak takut pada apa pun!" "Tengu yang ini suka makan anak laki-laki," bisik Miki. "Mereka memakannya mentah-mentahi" "Seperti macan?" sahut Sunaomi seraya mengejek, sehingga membuat Maya makin kesal. Ia belum melupakan kata-kata Sunaomi pada ayahnya, anggapan yang terucap tanpa disadarinya, tentang keung gulan anak lelaki: Lagipula, mereka hanyalah anak perempuan. Maya ingin membalas perkataan itu. Dirasakan si kucing berputar-putar di dalam dirinya, dan melemaskan jari-jarinya. "Mereka tak bisa mengerjai kita di sini," kata Chikara gugup. "Terlalu banyak penjaga." Halaman 538 dari 538 "Memang mudah bersikap berani saat dikelilingi penjaga," kata Maya pada Sunaomi. "Jika kau memang pemberani, kau pasti berani keluar sendirian!" "Aku tidak diijinkan," sahutnya. "Kau takut!" "Tidak!" "Ya sudah, pergilah keluar. Aku tidak takut. Aku sudah pernah pergi ke rumah Akane, walaupun arwahnya gentayangan di rumah itu. Aku pernah melihatnya." "Akane membenci anak laki-laki," bisik Miki. "Dia mengubur anak laki-laki hidup-hidup di tamannya supaya semak-semak tumbuh subur dan wangi." "Sunaomi takkan berani ke sana," kata Maya dengan setengah tersenyum. "Di Kumamoto aku dikirim ke pemakaman saat malam hari untuk mem bawa pulang sebuah lentera," tutur Sunaomi. "Aku tak melihat satu pun hantu!" "Kalau begitu, pergilah ke rumah Akane dan bawa pulang beberapa tangkai bunga." "Itu mudah," hardik Sunaomi. "Hanya saja aku tidak diperbolehkan-ayahmu yang bilang begitu." "Kau takut," kata Maya. 'Tidak mudah keluar tanpa terlihat." "Mudah jika kau tidak takut. Itu cuma alasanmu saja." Maya berdiri dan berjalan ke pinggiran dinding laut. "Kau turun lewat dinding ini saat laut surut dan berjalan di atas bebatuan menuju pantai." Sunaomi mengikutinya, dan Maya menunjuk rumah Akane yang kosong dan kelihatan muram. Rumah itu sudah setengah dibongkar karena akan dibangun kuil. Bangunan itu tak lagi berbentuk rumah, tapi belum menjadi kuil, mengesankan persimpangan antara dunia nyata dan alam baka. Gelombang sudah hampir naik, sebagian menampakkan bebatuan yang menonjol dan licin. "Kau bisa pergi malam ini." Maya berpaling ke arah Sunaomi, menahan tatapan bocah itu selama beberapa saat. "Maya!" seru Miki memperingatkan. "Oh, maaf, sepupu! Aku lupa. Aku tak boleh menatap orang lain. Aku sudah berjanji pada Ayah." Cepat-cepai Maya menampar pipi Sunaomi untuk menyadar-kannya, lalu kembali pada Chikara. "Kau tahu, bila kau menatap mataku maka kau akan tertidur dan tidak akan terbangun lagi!" Sunaomi menghampiri untuk membela adiknya. 'Tahukah kalian kalau kalian akan dibunuh jika tinggal di Kumamoto? Di sana kami membunuh orang kembar!" "Aku tidak percaya sedikit pun apa yang kau katakan," sahut Maya. "Semua orang lahu kalau Arai adalah pengkhianat dan pengecut." Sunaomi menegakkan badan dengan bangga. "Jika kau anak laki-laki, aku akan membunuhmu. Tapi karena kau hanya anak perempuan, aku akan ke rumah itu dan membawa pulang apa pun yang kau minta." Saat matahari mulai terbenam, langit tampak cerah tanpa angin, namun saat bulan mulai naik, gumpalan awan aneh berwarna kelabu berarak dari timur, melenyapkan bintang dan akhirnya menelan bulan. Laut dan daratan berbaur menjadi satu. Api terakhir masih mengepulkan asap di pantai; selain itu tak ada api lain lagi. Sunaomi adalah putra sulung dalam keluarga ksatria. Sejak kecil dia dilatih dengan disiplin dan diajari untuk mengatasi rasa takut. Tak sulit baginya, meskipun baru delapan tahun, untuk tetap terjaga sampai tengah malam. Sunaomi, meski dengan keberanian yang mantap, dia tetap gelisah- dan lebih takut karena tak mematuhi paman-nya ketimbang bahaya terluka atau pun hantu. Para pengawal yang mendampinginya sejak dari Hofu tinggal di aula di kota atas perintah Lord Otori: penjaga kastil sebagian besar berada di gerbang dan di sekitar dinding depan. Pasukan patroli Halaman 539 dari 539 berjalan melintasi taman dalam jarak waktu yang teratur. Sunaomi mendengar suara mereka melewati pintu yang terbuka dari ruangan tempat dia dan Chikara tidur, bersama dua pelayan yang merawat mereka. Kedua gadis pelayan itu tidur cepat, salah satunya mendengkur. Sunaomi cepat-cepat berdiri, siap mengatakan kalau ia ingin ke kamar mandi bila mereka terbangun, namun tak satu pun dari keduanya bergerak. Di luar, malam terasa tenang. Kastil maupun kota sudah terlelap. Di bawah dinding, laut bergumam lembut. Hampir tidak bisa melihat apaapa, Sunaomi menghela napas panjang dan mulai meraba-raba jalan yang dilaluinya menuruni landaian besar di dinding batu besar yang dirapatkan. Beberapa kali mengira kalau dirinya terjepit, tak bisa naik atau turun; memikirkan tentang monster yang muncul dari laut, ikan atau gurita raksasa yang bisa menelannya ke dalam kegelapan. Laut terdengar meraung, kini lebih keras lagi. Bisa terdengar olehnya pusaran air di bebatuan. Ketika kakinya yang bersandal jerami menyentuh permukaan bebatuan, dia ter-peleset dan hampir jatuh ke dalam air. Menggaruk berusaha mencengkeram sesuatu untuk pegangan, dirasakannya kulit kerang setajam pisau di telapak kaki dan lututnya. Ombak merayap di bawah tubuhnya, menyebabkan luka tadi terasa perih. Seraya menggertakkan gigi, dia bergeser sedikit demi sedikit bak kepiting ke arah api terakhir yang masih mengepulkan asap, menuju ke pantai. Pantai tampak kelabu pucat; ombak berdesis berbuih putih. Ketika sampai di atas pasir, dia lega merasakan kelembutan di telapak kakinya. Lalu berganti rumput kaku; Sunaomi tersandung dan terus berjalan dengan merangkak ke hutan kecil tempat pepohonan pinus bermunculan di sekeliling-nya. Suara burung hantu terdengar di atas kepala membuatnya melonjak terkejut, dan bentuk burung yang seperti hantu itu sesaat mengapung di hadapannya dengan kepakan sayap. Cahaya api berada tepat di belakangnya. Sunaomi berhenti sebentar, meringkuk di balik pepohonan. Tercium olehnya bau damar yang terbawa asap api unggun tadi- dan aroma kuat lainnya yang terasa manis dan memikat. Wangi tanaman di taman Akane diperkuat dengan darah dan tulang anak laki-laki. Anak laki-laki sering disuruh pergi ke makam atau tempat eksekusi di malam hari untuk uji nyali. Sunaomi sudah menyom-bongkan diri pada Maya kalau dia tak pernah melihat hantu. Tapi itu bukan berarti dia tak percaya akan keberadaannya: perempuan berleher panjang bak ular dan gigi setajam kucing, makhluk bermata satu serta tanpa tangan dan kaki, bandit tanpa kepala yang marah karena dihukum mati, orang yang mati penasaran, akan balas dendam dengan memangsa darah manusia. Sunaomi menelan ludah dengan susah payah, lalu berusaha menahan gemetar yang semakin melemaskan tubuhnya. Aku adalah Arai Sunaomi, katanya dalam hati, putra Zenko, cucu Daiichi. Aku tak takut pada apa pun. Dipaksa dirinya untuk berdiri, lalu ber-jalan ke depan, walau kakinya terasa berat, dan tak tahan ingin buang air kecil. Ia men-capai dinding taman, lekukan atap di belakangnya. Gerbang terbuka lebar; dinding mulai runtuh. Ketika melangkah masuk ke gerbang, tubuhnya terhalang sarang laba-laba, jaring-nya lengket di wajah dan rambutnya. Napasnya makin memburu, tapi dia berkata pada dirinya sendiri, Jangan menangis, aku tidak boleh menangis, meskipun bisa dirasa-kannya air mata mulai mengambang di pelupuk mata. Rumah itu gelap gulita. Sesuatu berlari cepat menyeberangi beranda, mungkin kucing, atau tikus besar. Ia menggapaikan tangannya seakan mengikuti bau wangi itu sampai ke belakang rumah lalu sampai ke taman. Kucing itu-pasti kucing-tiba-tiba melolong dari balik bayang-bayang. Halaman 540 dari 540 Sunaomi bisa melihat bunganya: satu-satunya benda yang terlihat dalam kegelapan. Dia bergegas ke arah bunga itu, dan dengan sembarangan mencabut beberapa tangkai. Dia lalu lari, tapi tersandung sebongkah batu dan jatuh terjerembab. Bau tanah dan rasa-nya mengingatkannya pada pemakaman dan mayat, dan betapa tak lama lagi dia akan ter- baring di kuburan, merasakan sensasi ter-akhir dalam hidupnya. Lalu dia memaksakan diri berjalan me-rangkak sekuat tenaga dan meludahkan tanah di mulutnya. Sunaomi berdiri, menggapai dan mematahkan sebatang ranting. Semak itu segera mengeluarkan getah berbau tajam, dan Sunaomi mendengar langkah kaki di di belakangnya. Saat berbalik, matanya langsung silau terkena cahaya. Yang terlihat hanyalah satu sosok setengah badan seorang perempuan, tapi hanya sebagian badan, yang pasti baru keluar dari liang lahat. Bayangan bergerak-gerak di atasnya; tangan itu terulur ke arah Sunaomi. Lenteranya agak sedikit naik; cahaya jatuh tepat di wajah perempuan itu. Perempuan itu tidak punya mata, mulut juga hidung. Pertahanan dirinya bobol. Sunaomi menjerit; air terasa mengalir di celananya. Dibuangnya ranting yang ada di tangannya. "Maafkan aku, Lady Akane. Maaf. Ku-mohon jangan sakiti aku. Jangan kubur aku!" "Apa-apaan ini?" ada suara, suara manusia, suara laki-laki. "Apa yang sedang kau laku-kan tengah malam begini?" Tapi Sunaomi tak mampu menjawab. Taro yang menginap di rumah Akane sambil mengerjakan patung, segera membawa bocah itu kembali ke kastil. Sunaomi tidak terluka, selain ketakutan setengah mati. Keesokan paginya dia tidak mengakui, namun luka telah tertoreh di hatinya, dan meskipun sudah pulih, luka yang masih membekas mengandung kebencian yang mendalam ter-hadap Maya dan Miki. Sejak itu, Sunaomi terus merenungkan kematian kakeknya, dan serangan Klan Otori terhadap Arai. Pikiran kanakkanaknya mencari cara untuk me-nyakiti Maya dan Miki. Dia mulai meng ambil hati para perempuan penghuni rumah itu, menebar pesona dan menghibur mereka; lagipula sebagian besar dari mereka menyukai anak laki-laki. Sunaomi merindukan ibunya, tapi nalurinya mengatakan bahwa ia bisa mendapatkan tempat yang tinggi dalam kasih sayang bibinya, Kaede, jauh lebih tinggi ketimbang pada si kembar. Takeo dan Kaede merasa gusar atas kejadian ini. Jika Sunaomi terbunuh atau terluka parah saat dalam perlindungan mereka, ter-lepas dari kesedihan orang di kastil menyayangi kedua bocah, maka strategi untuk meredam dan membendung Zenko akan hancur berantakan. Takeo juga memarahi Sunaomi atas ketidakpatuhan dan keberaniannya yang gegabah, dan menanyai-nya penuh selidik tentang alasannya, curiga kalau keponakannya tak akan melakukan hal itu tanpa ada yang memancingnya. Tidak butuh waktu lama untuk mengungkap kebenarannya, dan kemudian giliran Maya menghadapi kemarahan ayahnya. Kali ini Takeo lebih gusar pada Maya, karena putrinya tidak menunjukkan penye-salan ataupun rasa bersalah, dan tatapan matanya kejam dan tanpa belas kasihan, bak seekor hewan. Dia tidak menangis, bahkan ketika Kaede mengutarakan ketidak-senangannya dan menamparnya beberapa kali. "Maya benar-benar keterlaluan," kata Kaede, berlinang air mata karena kesal. "Dia tidak bisa tinggal di sini. Bila dia tak bisa dipercaya tinggal bersama anak laki-laki... " Takeo mendengar kecemasan Kaede pada bayi yang dikandungnya. Ia tak ingin mengirim Maya pergi; Ia merasa putrinya butuh pengawasannya, tapi ia terlalu sibuk untuk terus berada di samping putrinya. Halaman 541 dari 541 "Tak baik menginginkan putri kandung-mu pergi jauh, dan lebih menyayangi putra orang lain," kata Maya pelan. Kaede menamparnya lagi. "Beraninya benar kau bicara seperti itu padaku, ibumu sendiri? Kau tahu apa tentang urusan negara? Semua yang kami lakukan ada alasan politis. Akan selalu seperti ini. Kau putri Lord Otori. Kau tidak bisa bersikap seperti anak-anak lain." Shizuka berkata, "Dia menyadarinya: dia memiliki kemampuan Tribe yang tidak boleh dia gunakan sebagai putri seorang ksatria. Sungguh sayang bila kemampuan seperti itu disia-siakan." Maya berbisik, "Kalau begitu, biarkan aku menjadi putri seorang Tribe." "Maya perlu pengawasan dan pelatihan. Tapi siapa yang mengetahui hal semacam ini dalam keluarga Muto? Bahkan kau, Shizuka, dengan darah Kikuta, tak punya pengalaman dengan kerasukan semacam ini." "Kau mengajarkan banyak kemampuan Tribe pada putraku," sahut Shizuka. "Mung-kin Taku adalah orang yang paling tepat." "Tapi Taku harus tetap di wilayah Barat. Kita tak bisa memintanya kemari hanya untuk kepentingan Maya." "Maka kirim Maya kepadanya." Takeo menghela napas. "Sepertinya hanya itu jalan keluarnya. Adakah yang dapat mengantar Maya?" "Ada seorang gadis; dia baru datang dari desa Muto bersama adiknya. Mereka berdua bekerja di rumah penginapan orang asing saat ini." "Siapa namanya?" "Sada: kerabat dari istri Kenji, Seiko." Takeo mengangguk: kini ia ingat gadis itu; bertubuh tinggi dan tegap, dan bisa beralih rupa menjadi laki-laki, penyamaran yang sering digunakan saat melaksanakan tugas Tribe. "Kau akan menemui Taku di Maruyama," kata Takeo pada Maya. "Kau harus mematuhi Sada." Sunaomi berusaha menghindar, tapi sebelum pergi Maya memojokkan bocah itu, seraya berbisik, "Kau gagal dalam uji nyali itu. Sudah kubilang kalau Arai pengecut." "Aku ke rumah itu," sahutnya. Taro ada di sana. Dia yang memaksaku pulang." Maya tersenyum. "Kau tidak bawa rantingnya!" "Tidak ada bunga di sana!" "Tidak ada bunga! Kau memetik sebatang. Lalu kau buang, dan mengompol di celana. Aku melihatmu." "Kau tidak ada di sana!" "Ya, aku di sana." Sunaomi berteriak memanggil pelayan, tapi Maya sudah pergi.* Seiring musim panas berganti musim gugur, Takeo bersiap untuk bepergian lagi. Sudah menjadi kebiasaan negeri ini kendalikan dari Yamagata dari akhir bulan kesembilan hingga puncak musim Halaman 542 dari 542 dingin, tapi ia terpaksa ber-angkat lebih awal karena kematian Matsuda Shingen; Miyoshi Gemba membawa kabar ini ke Hagi dan Takeo langsung berangkat ke Terayama bersama Gemba dan Shigeko. Laporan kerja selama musim panas-ber-bagai keputusan, perencanaan pertanian sena keuangan, kode etik hukum, dan hasil pengadilan-dibagi-bagi dalam kotak dan keranjang pada barisan panjang kuda beban. Tak ada yang perlu disesali atas kepergian Matsuda. Tujuan hidupnya telah tercapai, jiwanya merupakan kesatuan antara kemur-nian dan kekuatan. Cita-citanya siap diterus-kan murid-muridnya: Takeo dan Shigeko, sena banyak yang lainnya. Namun Takeo begitu merindukan, dan merasa kehilangan orang bijak tersebut sebagai kerugian bagi Tiga Negara. Makoto kini menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Biara, dan berganti nama menjadi Eikan, tapi Takeo tetap meng-gunakan nama lamanya. Setetah upacara pe-makaman selesai, mereka melanjutkan per-jalanan ke Yamagata. Ia senang karena tahu Makoto tetap akan mendukungnya; dan ia memikirkan dengan penuh kerinduan saat ia akan mengundurkan diri ke Terayama dan sisa hidupnya dengan meditasi dan melukis. Gemba menemani mereka ke Yamagata, tempat berbagai urusan administrasi menyita seluruh perhatian Takeo. Shigeko bangun lebih awal setiap pagi untuk berlatih me-nunggang kuda dan memanah bersama Gemba untuk kemudian menghadiri se-bagian besar rapat bersamanya. Tepat sebelum berangkat ke Maruyama pada minggu pertama di bulan kesepuluh, surat datang dari Hagi. Takeo membacanya dengan penuh semangat, dan segera mem-beritahukan kabar tentang keluarga pada putri sulungnya. "Ibumu pindah bersama kedua bocah itu ke rumah lama Lord Shigeru. Dan ibumu mulai membelajari bahasa orang-orang asing itu." "Dari si juru bahasa?" Shigeko ingin bertanya lagi pada ayahnya, tapi Minoru dan pelayan rumah Miyoshi ada bersama mereka seperti biasa, serta Jun dan Shin yang berada di luar tapi tetap masih bisa mendengar. Setelah itu, Shigeko mendapat kesempatan saat mereka berdua berjalan di taman. "Ayah hams menceritakan lebih banyak lagi tentang orang-orang asing itu," katanya. "Apakah sebaiknya mereka diijinkan ber-dagang di Maruyama?" "Ayah ingin mereka berada di tempat yang bisa kita awasi," sahut Takeo. "Mereka akan tinggal di Hagi selama musim dingin. Kita harus belajar sebanyak mungkin tentang bahasa, adat kebiasaan dan tujuan mereka." "Juru bahasa itu: dia memandang ayah dengan pandangan aneh, seakan dia mengenal Ayah dengan baik." Sesaat Takeo ragu. Daun berguguran di taman yang tenang, menyelimuti tanah dengan onggokan berwama emas. Saat itu hari sudah senja, kabut merangkak naik dari parit yang mengelilingi bangunan sehingga mengaburkan garis bentuk dan detil. "Ibumu tahu siapa dia, tapi orang lain tidak." akhimya ia berkata. "Ayah akan ceritakan kepadamu, tapi simpan rahasia ini baik-baik. Namanya Madaren; itu nama yang dipakai kaum Hidden. Mereka memiliki kepercayaan yang sama dengan para orang asing, dan dulu pernah dibantai oleh Klan Tohan. Semua keluarganya dibunuh, kecuali kakak laki-lakinya yang diselamatkan oleh Lord Shigeru." Bola mata Shigeko terbelalak dan urat nadinya berdenyut cepat. Ayahnya ter-senyum. "Ya, anak itu adalah Ayah. Saat itu Ayah bernama Tomasu, tapi Shigeru mengganti nama Ayah menjadi Takeo. Madaren adalah adik perempuanku: kami lahir dari satu ibu, tapi lain bapak- ayahku, seperti kau tahu, berasal dari Tribe. Selama ini Ayah mengira dia sudah mati." "Sungguh luar biasa," ujar Shigeko, lalu dengan sifatnya yang lekas bersimpati, "Pasti hidupnya menderita." Halaman 543 dari 543 "Dia berhasil bertahan, belajar bahasa asing, meraih semua kesempatan yang ada," sahut Takeo. "Madaren melakukannya lebih baik dibandingkan orang lain. Kini dia dalam perlindungan Ayah, dan diijinkan mengajar-kan ibumu." Setelah beberapa saat, ia menambahkan, "Dari dulu memang sudah banyak kaum Hidden di Maruyama. Lady Naomi melindungi mereka karena dia juga mengikuti ajaran mereka. Kau harus ber-kenalan dengan pemimpin mereka. Jo-An, tentu saja, juga salah satu pengikutnya, serta banyak mantan gelandangan masih tinggal di pedesaan di sekitar kota." Shigeko melihat wajah ayahnya muram. dan tak ingin membahas lebih jauh lagi topik pembicaraan yang mengingatkan Ayahnya pada kenangan yang menyakitkan. "Ayah sangsi bisa hidup bahkan separuh dari usia Matsuda," lanjut Takeo dengan sangat serius. "Kelak, keamanan mereka ini ada di tanganmu. Tapi jangan memercayai orang asing, begitu juga pada Madaren, meskipun dia kerabatmu. Dan ingat untuk menghormati semua kepercayaan, tapi jangan ikuti satu pun dari semua itu, karena itu satu-satunya jalan yang harus ditempuh seorang pemimpin sejati." Shigeko merenungkan hal ini selama be-berapa saat, "Bolehkah aku bertanya lagi?" "Tentu. Kau boleh tanya apa saja dan kapan saja. Ayah tak ingin menyembunyikan apa pun darimu." "Ramalan membenarkan kekuasaan Ayah seperti yang ditakdirkan dan direstui Surga. Burung houou bersarang lagi di Tiga Negara. Bahkan kita memiliki kirin-salah satu tanda adanya penguasa yang adil. Apa Ayah memercayai semua ini?" "Ayah tidak memercayai sepenuhnya," sahut Takeo. "Ayah sangat bersyukur atas semua yang dianugerahkan Surga pada Ayah, dan Ayah berharap tidak menyalahgunakan kekuasaan yang telah diberikan kepada Ayah." "Orang tua semakin lama semakin akan bertindak bodoh," tambahnya nngan "Bila itu terjadi, kau harus mendorong Ayah untuk mengundurkan diri. Meskipun, Ayah tak berharap hidup sampai tua." "Aku ingin Ayah tidak pernah mati," seru Shigeko, mendadak ketakutan. "Ayah akan mati dengan bahagia karena tahu akan meninggalkan semuanya di tangan yang aman," sahutnya, teraenyum. Tapi Shigeko tahu kalau ayahnya menyembu-nyikan banyak kekhawatiran. Beberapa hari kemudian ia dan Gemba menyeberangi jembatan di dekat Kibi, dan Takeo mengenang masa lalu bersama Gemba: pergi dari Terayama di tengah guyuran hujan, bantuan Jo-An bersama kelompok gelandangannya, dan kematian si raksasa, Jin-Emon. Biara dewa rubah yang ada di tepi sungai kini, secara aneh, diiden-tikkan pada Jo-An dan sekarang dia dipuja di sini. "Pada saat itu Amano Tenzo memberiku Shun," ujar Takeo. Ditepuknya leher kuda hitam yang sedang ditungganginya. "Kuda yang ini cukup menyenangkan, tapi Shun membuatku tercengang pada peperangan pertama kami. Dia lebih tahu banyak tentang peperangan ketimbang diriku sendiri!" "Kukira dia sudah mati sekarang?" tanya Gemba. "Ya, dia mati dua tahun lalu. Tidak ada kuda seperti dia. Tahukah kau kalau Shun ternyata adalah kuda Takeshi? Mori Hiroki yang mengatakannya." "Aku tidak tahu," sahut Gemba. Tapi, Shigeko sudah tahu hal itu, dia tumbuh dewasa bersama salah seorang yang melegenda itu. Kuda coklat kemerahan itu dijinakkan oleh Lord Takeshi, adik Shigeru, yang membawanya ke Yamagata. Takeshi dibunuh prajurit Tohan, dan kuda itu meng-hilang sampai Amano Tenzo membeli dan memberikannya kepada Takeo. Ia memikir-kan dengan gembira atas hadiah rahasia yang akan ia berikan untuk ayahnya.Ia Halaman 544 dari 544 sudah lama berharap akan ke Maruyama karena ia memang bermaksud menghadiahkan kuda itu sebagai kejutan saat upacara yang akan datang. Memikirkan legenda dan hewan-hewan yang mengagumkan memunculkan gagasan di benaknya. Begitu cemerlangnya gagasan itu hingga ia ingin langsung mengatakannya. "Ayah, saat kita ke Miyako tahun depan, kita hadiahkan kirin kepada Kaisar." Gemba tertawa terbahak-bahak. "Hadiah yang sempurna! Hadiah yang belum pernah terlihat di ibukota!" Takeo berpaling dari pelana dan menatap Shigeko. "Gagasan yang menakjubkan. Tapi Ayah telah memberikan kirin untukmu. Ayah tak ingin memintanya kembali. Dan apakah hewan itu dapat bertahan dalam perjalanan sejauh itu?" "Hewan itu berhasil menempuh per jalanan dengan kapal. Aku bisa menemani-nya sampai ke Akashi. Mungkin Lord Gemba atau Lord Hiroshi bisa ikut ber-samak u." "Kaisar serta orang istana akan terpesona dengan hadiah itu," kata Gemba, pipi tembamnya merona merah karena senang. "Sepertinya Lord Saga akan takluk pada Lady Shigeko." Shigeko, menunggang kuda melalui pedesaan di musim gugur yang damai menuju wilayah yang akan segera menjadi miliknya, tempat ia akan bertemu Hiroshi lagi. merasakan kalau mereka memang direstui Surga. dan Ajaran Houou, ajaran kedamaian akan menang.* Setelah kematian Muto Kenji, jasadnya dibuang ke parit dan tertimbun tanah. Tidak ada benda yang menandakan tempat itu, tapi Hisao tidak sulit menemukannya karena ibu-nya membimbing langkahnya ke sana. Seringkali hujan turun tiba-tiba selagi ia melewatinya, membiaskan sinar matahari menjadi penggalan-penggalan bianglala di awan yang membumbung tinggi. Hisao melihatnya dan memanjatkan doa bagi arwah kakeknya agar dapat menempuh jalan aman menuju alam baka dan kelahiran kembali yang lebih baik pada kehidupan kelak. Ia kemudian melihat ke bawah, ke barisan pegunungan yang terbentang ke timur dan utara, untuk melihat apakah ada orang yang datang Hisao merasa lega tapi juga menyesal karena arwah kakeknya telah keluar. Arwah itu menggantung di tepi kesadaran seperti juga arwah ibunya, membuatnya sakit kepala dengan tuntutan yang tak bisa dipahami. Ia hanya mengenal kakeknya sebentar, namun telah merindukannya: Kenji bunuh diri atas kemauannya sendiri; Hisao senang arwah kakeknya sudah pergi dengan damai, tapi menyesali kematiannya, dan walaupun tidak pernah membicarakan hal itu, dia membenci Akio karena menjadi penyebabnya. Musim panas berlalu dan tak ada yang datang. Penduduk desa merasa khawatir selama musim panas, terutama Kotaro Gosaburo, karena tak ada kabar tentang nasib anak-anaknya yang ditahan di Inuyama. Desas-desus dan spekulasi kian bertambah: bahwa mereka sekarat karena disiksa, bahwa salah satu atau keduanya sudah tewas. Gosaburo semakin kurus, lipatan kulit keriputnya semakin bergelayut, sinar matanya hampa. Akio makin tak sabar pada Gosaburo; dia menjadi cepat kesal dan sikapnya menjadi susah ditebak. Hisao agak senang men-dengar kabar baik tentang eksekusi para pemuda itu karena akan memadamkan harapan Gosaburo dan menguatkan ke-putusannya untuk balas dendam. Bunga lili musim gugur berwarna merah tua pekat tumbuh di atas jasad Kenji, meski tak ada yang menanamnya. Burung-burung mulai bermigrasi ke utara, dan malam Halaman 545 dari 545 dipenuhi jeritan angsa dan kepakan sayap mereka. Rembulan di bulan kesembilan tampak besar dan keemasan. Pohon maple dan pohon sumac berubah warna menjadi merah tua, pohon beech berwarna tembaga, willow dan ginko berwarna keemasan. Hari-hari dilalui Hisao dengan memperbaiki pematang sebelum musim dingin, menyebar dedaunan kering dan kotoran hewan di sawah, mengumpulkan kayu bakar dari hutan. Sistem pengairannya berhasil: sawah di pegunungan menghasilkan panen kedelai, wortel dan labu yang baik. la membuat penggaruk tanah baru sehingga pupuk ter-sebar lebih merata, dan bereksperimen dengan bilah kapak, bobot, sudut serta ke-tajamannya. Ada sebuah tempat penempaan besi di desa itu, dan Hisao ke sana saat ada waktu luang untuk memerhatikan dan membantu meniup panas dengan alat peng-embus dalam proses mengubah besi menjadi baja. Di awal bulan ketujuh, Imai Kazuo dikirim ke Inuyama untuk mencari berita. Dia kembali di pertengahan musim gugur dengan kabar gembira namun membingung-kan: para sandera masih hidup, masih di tahan di Inuyama. Dia juga membawa kabar lain: Lady Otori sedang hamil dan Lord Otori mengirim utusan dengan prosesi yang mewah ke ibukota. Rombongan itu berada di Inuyama di waktu yang bersamaan dengan Kazuo, dan baru akan berangkat ke Miyako. Sikap Akio kurang senang dengan potongan berita yang pertama, iri pada berita yang kedua, dan amat gelisah dengan berita yang ketiga. "Mengapa Otori melakukan pendekatan pada Kaisar?" tanyanya pada Kazuo. "Apa maksudnya?" "Kaisar telah menunjuk jenderal baru, Saga Hideki, yang selama sepuluh tahun ini sibuk memperluas kekuasaannya di seluruh penjuru wilayah Timur. Kini muncul seorang ksatria yang bisa menantang Otori." Mata Akio berkilap dengan ekspresi yang tidak biasa. "Ada yang berubah; aku dapat merasakannya. Otori menjadi lebih rapuh, bereaksi pada ancaman semacam itu. Kita harus ambil bagian dalam kejatuhannya: dengan bersembunyi kita tidak bisa me-nunggu sampai orang lain membawa kabar kematiannya kepada kita." "Memang ada tanda-tanda kelemahan," Kazuo sepakat. "Mengutus orang ke Kaisar, dan anak-anak itu masih hidup... sebelumnya ia tidak ragu membunuh keluarga Kikuta." "Muto Kenji berhasil mengetahui ke-beradaan kita," ujar Akio penuh per-timbangan. Takeo pasti sudah tahu tempat kita ini. Aku tidak percaya dia maupun Taku akan membiarkan kematian Kenji begitu saja tanpa membalas dendam, kecuali mereka di-sibukkan dengan hal-hal yang lebih men-desak." "Ini waktunya bagimu untuk bepergian lagi," kata Kazuo. "Ada banyak keluarga Kikuta di Akashi. Keluarga kita yang ada di Tiga Negara ini juga butuh tuntunan, dan akan mengikutimu bila kau yang ke sana." "Kalau begitu kita pergi ke Akashi lebih dulu," sahut Akio. Sebagai anak, ayah Hisao mengajarinya ketrampilan teater keliling Kikuta-memain-kan drum, atraksi lempar bola, menyanyikan balada kuno yang disukai penduduk desa, tentang perang zaman dulu, pertikaian, pengkhianatan dan tindakan balas dendam- yang selalu mereka lakukan dalam perjalanan ke seluruh Tiga Negara. Seminggu setelah pulangnya Kazuo, Akio mulai berlatih atraksi lempar bola lagi; sandal jerami disiapkan dalam jumlah banyak, asinan persimmon dan chestnut dikumpulkan lalu dikemas, jimat-jimat dikeluarkan dan dibersihkan, senjata-senjata diasah. Hisao bukanlah pemain pertunjukan yang berbakat: terlalu pemalu dan tidak menik-mati menjadi pusat perhatian, tapi kombinasi antara pukulan dan makian Akio telah men-jadikannya cukup terampil. Ia jarang mem-buat kesalahan, ia pun hapal semua lirik lagu-lagu, walaupun orang Halaman 546 dari 546 mengeluhkan kalau ia seperti bergumam sehingga sulit didengar. Gagasan untuk bepergian mem-buat ia bersemangat sekaligus takut. Tak sabar untuk segera berada di jalan, pergi meninggalkan desa, melihat hal-hal baru, tapi kurang bersemangat dengan pertunjukan dan gelisah meninggalkan makam kakeknya. Gosaburo gembira menerima kabar dari Kazuo, dan menanyainya dengan penuh selidik. Dia tidak langsung bicara pada Akio, tapi di malam sebelum keberangkatan mereka, ketika Hisao tengah bersiap untuk tidur, Gosaburo menghampiri pintu kamar dan meminta apakah bisa bicara berdua dengan Akio. Akio sudah setengah telanjang dan Hisao bisa melihat ekspresi kemarahan ayahnya, tapi memberi isyarat agar tamunya boleh masuk dengan menggerakkan kepala. Gosaburo melangkah ke dalam kamar, menggeser tutup pintu lalu berlutut dengan gugup. "Keponakan," ujarnya, seolah menekankan otoritas usia. "Sudah saatnya kita berunding dengan Otori. Tiga Negara semakin kaya dan makmur sementara kita bersembunyi di pegunungan, nyaris kelaparan dan tidak lama akan musim dingin. Kita juga bisa ber-kembang: pengaruh kita bisa diperluas melalui perdagangan. Hentikanlah semua pertikaian ini." Akio menjawab, "Tidak akan." Gosaburo menghela napas panjang. "Aku akan kembali ke Matsue. Aku akan pergi besok pagi." "Tidak ada yang boleh pergi meninggalkan keluarga Kikuta," Akio memperingatkan, suaranya datar. "Aku mulai membusuk di sini. Kita semua juga. Otori membiarkan anak-anakku tetap hidup. Mari kita terima lawarannya untuk berdamai. Aku akan setia padamu. Aku akan bekerja untukmu di Matsue seperti yang pernah kulakukan, menyediakan dana, menyimpan catatan.... " "Begitu Takeo-dan juga Taku-mati, baru kita bicara tentang perdamaian," sahut Akio. "Sekarang enyahlah. Aku lelah, dan kehadiranmu membuatku jijik." Tak lama setelah Gosaburo pergi, Akio memadamkan lampu. Hisao sudah ber-baring: malam itu terasa hangat dan ia tidak menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Penggalan cahaya menari-nari di balik kelopak matanya. Sesaat ia berpikir tentang sepupu-sepupunya dan ingin tahu bagaimana cara mereka mati di Inuyama, tapi ke-mudian ia mendengarkan gerakan Akio: setiap sel dalam tubuh orang itu seakan merindukan belai kasih sayang. Kemarahan Akio membuatnya bersikap kasar dan gegabah. Hisao berusaha untuk tidak bersuara karena kekerasan yang sewaktu-waktu akan menimpa dirinya. Suara Akio terdengar hampir lembut saat menyuruh ia tidur, jangan bangun, dan jangan pedulikan apa pun yang akan di degarnya, dan Hisao merasakan kelembutan sesaat yang amat dirindukannya saat rambut-nya dibelai sang ayah. Setelah Akio pergi meninggalkan kamar, Hisao membenamkan diri di balik selimut dan berusaha menutup telinganya. Terdengar beberapa kali suara pelan, seseorang tercekik dan meronta-roma: suara berdebuk berat, diseret di atas papan, lalu ke tanah. Aku sudah tidur, kata Hisao berulang kali pada dirinya sampai tiba-tiba, sebelum Akio kembali, ia sudah tertidur nyenyak dan tanpa mimpi bak orang mati. Keesokan harinya tubuh Gosaburo ter-geletak di lorong. Dia mati dibunuh dengan garotte. Tak seorang pun berani menangisi kematiannya. "Tak ada yang boleh meninggalkan Kikuta dan bebas pergi tanpa hukuman," kata Akio pada Hisao sewaktu mereka bersiap berangkat. "Ingat itu. Takeo dan Isamu, ayahnya, berani meninggalkan Tribe. Isamu sudah dieksekusi, dan Takeo akan meng-alami hal yang sama." dalam konflik dan kebingungan sehingga para saudagar mengambil keuntungan dari kebutuhan pangan dan senjata para ksatria. Begitu mereka kaya, mereka tidak ingin kekayaan mereka dirampas ksatria yang sama sehingga mereka bergabung untuk melin-dungi barang serta usaha mereka. Kota Halaman 547 dari 547 ini dikelilingi parit lebar yang digali untuk melindungi diri dari musuh, dan masing-masing parit dengan sepuluh jembatannya dijaga prajurit dari masing-masing kesatuan. Ada beberapa kuil besar yang melindungi dan mendukung perdagangan, baik dalam bidang materi maupun spiritual. Saat para penguasa semakin berkuasa, mereka mencari benda dan pakaian yang indah, karya seni dan kemewahan lain dari Shin dan daerah yang lebih jauh lagi, dan pedagang pelabuhan bebas ini menyediakan-nya dengan senang hati. Keluarga Tribe pernah menjadi pedagang yang paling ber-kuasa di kota itu, tapi meningkatnya kesejahteraan di Tiga Negara serta per-musuhan dengan Otori membuat banyak yang pindah ke Hofu. "Masa kejayaan telah berlalu," kata Jizaemon, pemilik usaha importir sukses, pada Akio saat menyambutnya dengan sikap setengah hati. "Kita harus bergerak. Kita bisa lebih berkiprah dalam banyak peristiwa dengan menyediakan senjata dan kebutuhan lainnya. Mari kita dukung persiapan perang, dan dari keuntungan kita bisa menghindari akibatnya." Mengira ayahnya akan bertindak seperti yang dilakukan pada Gosaburo, Hisao sedih. Ia tak ingin Jizaemon mati sebelum mem-perlihatkan sebagian dari nana bendanya, alat yang bisa menghitung waktu, botol kaca dan cabung minuman, cermin dan makanan baru yang lezat, manis dan pedas, kayu manis dan gula: kata-kata yang belum pernah di-dengarnya. Perjalanan terasa panjang dan melelahkan. Baik Akio maupun Kazuo tidak muda lagi, dan penampilan mereka sebagai seniman jalanan sudah hilang gregetnya. Lagu-lagu mereka telah ketinggalan jaman dan tak lagi populer. Kehadiran mereka di jalanan tidak mendapat sambutan baik, bahkan di satu desa yang tidak ramah: tak seorang pun mau memberi mereka tempat menginap sehingga mereka terpaksa berjalan lagi semalaman. Saat ini Hisao tengah mengamati ayahnya, dia melihat kalau ayahnya sudah tua. Di desa kelahirannya, Akio adalah Ketua Kikuta, ditakuti dan dihormati semua orang; sementara di sini, dengan pakaian tua yang lusuh, ayahnya kelihatan seperti bukan siapa-siapa. Hisao merasa iba, lalu berusaha menyingkirkan perasaan itu, karena rasa iba, seperti biasa, membuka dirinya pada suara-suara arwah. Sakit kepala yang tak asing mulai terasa lagi: separuh dunia menyelinap ke balik kabut; perempuan itu berbisik, tapi ia tidak mau mendengarkan. "Baiklah, mungkin kau benar," terdengar olehnya Akio bicara, seolah dari kejauhan. "Tapi yang pasti peperangan tidak bisa dihindari selamanya. Kami sudah mendengar tentang kurir-kurir yang dikirim Otori kepada Kaisar." "Ya, mereka berangkat hanya selang beberapa minggu sebelum kau datang: aku belum pernah melihat prosesi yang begitu mewah. Otori pasti benar-benar kaya, dan lebih dari itu, dikaruniai dengan selera dan tingkah laku serta tutur bahasa yang halus: kabarnya itu karena pengaruh istrinya... " "Dan Kaisar memiliki jenderal baru?" Akio memotong perkataan si pedagang yang penuh semangat. "Benar, dan ada lagi, sepupu, tak lama lagi jenderal itu akan memiliki senjata-senjata baru. Kabarnya, itu sebabnya Lord Otori mencari dukungan Kaisar." "Apa maksudmu?" "Selama bertahun-tahun Otori member-lakukan embargo senjata api. Tapi baru-baru ini embargo itu dilanggar, dan senjata api diselundupkan keluar Hofu-kabamya dengan bantuan Arai Zenko! Kau kenal Terada Fumio?" Akio mengangguk. "Nah, Fumio tiba dua hari setelah penyelundupan itu dan berusaha mendapat-kannya kembali. Dia gusar sekali; pertama-tama dia menawarkan sejumlah besar uang, lalu mengancam akan kembali dengan pasukan lalu membakar habis kota itu jika tidak dikembalikan. Tapi sudah terlambat: senjata Halaman 548 dari 548 itu sudah dalam perjalanan ke tempat Saga. Dan harga jual besi dan bubuk mesiu itu setinggi langit, sepupu, setinggi langit!" Jizaemon menuang secangkir lagi sake dan memaksa mereka minum bersamanya. "Tak ada yang memedulikan ancaman Terada," katanya tertawa kecil. "Dia tak lebih dari perompak. Dulu dia juga penyelundup. Dan Lord Otori takkan menyerang kota itu, tidak selama dia membutuhkan pedagang itu untuk memberi makan dan mempersenjatai pasukannya." Hisao penasaran dengan jawaban Akio yang singkat. Ayahnya memang sudah mabuk berat, dan mengangguk setuju pada semua perkataan Jizaemon, meskipun dahi-nya makin berkerut dan wajahnya makin muram. Hisao terbangun tengah malam men-dengar ayahnya berbisik pada Kazuo. Dirasakan seluruh ototnya menegang, dan setengah berharap mendengar lagi suara pelan pembunuhan, tapi kedua orang itu tengah membicarakan hal lain: tentang Arai Zenko yang membiarkan senjata api keluar dari jaringan Otori. Hisao tahu riwayat Zenko: putra sulung Muto Shizuka, cucu keponakan Kenji, dan saudara sepupu dirinya. Zenko satu-satunya keluarga Muto yang tidak dikutuk keluarga Kikuta: dia tak terlibat dalam kematian Kotaro, dan kabarnya dia tak sepenuhnya setia pada Takeo. Dicurigai kalau dia menyalahkan Takeo atas kematian ayahnya, dan bahkan menyimpan hasrat untuk balas dendam. "Zenko kuat sekaligus ambisius," bisik Kazuo. "Jika dia berusaha mengambil hati Lord Saga, dia pasti tengah bersiap bergerak melawan Si Anjing." "Waktu yang tepat untuk mendekati Zenko," gumam Akio. "Takeo sedang men-dapat ancaman dari Timur; jika Zenko menyerang dari Barat maka dia akan terjebak di antara dua wilayah tersebut." "Kurasa Zenko akan menyambutmu," sahut Kazuo. "Sejak kematian Kenji, Zenko yang seharusnya menjadi Ketua Muto. Kapan lagi waktu yang tepat untuk pergi ke keluarga Muto guna memperbaiki keretakan dalam Tribe, guna menyatukan kembali semua keluarga?" Jizaemon, mungkin senang berhasil menyingkirkan tamunya, menyediakan surat ijin perjalanan dan memberi pakaian bam serta barang dagangan lainnya. Diaturnya agar mereka bisa bepergian dengan kapal pedagang, dan dalam beberapa hari mereka angkat sauh ke Kumamoto melalui Hofu, memanfaatkan cuaca cerah dan tenang di akhir musim gugur.* Maya tidak bepergian sebagai putri Lord Otori, tapi dengan menyamar cara Tribe. Sebagai adik Sada, dan mereka pergi ke Maruyama untuk bertemu dengan kerabat di sana dan mencan pekerjaan setelah kematian orangtua mereka. Maya menyukai perannya sebagai anak yatim piatu, dan menyenangkan baginya membayangkan kalau orangtuanya mati karena marah, terutama pada ibunya, dan amat terluka dengan sikap kedua orang-tuanya karena lebih sayang pada Sunaomi. Maya pernah melihat Sunaomi menjadi anak cengeng karena mengira melihat hantu- yang sebenarnya adalah patung Kanon maha Penyayang yang belum selesai dibuat. Maya semakin membenci rasa takut Sunaomi karena itu belum apa-apa dibandingkan apa yang pernah dilihatnya di malam yang sama, malam ketiga Perayaan Obon. Waktu itu ia mengikuti Sunaomi dengan menggunakan kemampuan Tribe, tapi saat sampai di pantai, ada sesuatu di malam itu Halaman 549 dari 549 yang menyentuh perasaannya, dan suara si kucing berbicara dalam dirinya, mengatakan, "Lihatlah apa yang bisa kulihat!" Awalnya seperti permainan: latar yang gelap dadak terang, bola matanya yang besar menangkap semua gerakan yang ada, hewan-hewan kecil berlarian ke sana kemari, getaran dedaunan, semburan air terbawa angin. Lalu tubuhnya melemas dan meregang seperti tubuh kucing, dan Maya menyadari kalau pantai dan hutan pinus penuh dengan hantu. Ia melihat hantu-hantu itu dengan peng-lihatan si kucing, wajah mereka abu-abu, jubah mereka putih, tubuh pucat mereka mengambang di permukaan tanah. Arwah orang-orang mati itu memalingkan pan-dangan ke arah Maya dan si kucing menang-gapi mereka, mengenali penyesalan pahit, dendam tak berkesudahan, hasrat yang tak terpenuhi dalam diri mereka. Maya menjerit kaget; si kucing melolong. Maya berusaha kembali ke tubuh manusia-nya; cakar si kucing menggaruk-garuk batu kerikil di pasir pantai: melompat ke pepohonan di sekitar rumah itu. Arwah-arwah mengejar Maya, berdesakan di sekelilingnya, sentuhan mereka terasa sedingin es di kulit hewan berbulunya. Ter-dengar olehnya suara-suara seperti gemerisik dedaunan tertiup angin musim gugur, penuh kesedihan dan kelaparan. "Di mana Penguasa kami? Bawa kami padanya. Kami sedang menunggunya." Kata-kata mereka memenuhi dirinya bak teror yang menakutkan, meskipun tidak me-mahami apa maksudnya, seperti dalam mimpi buruk ketika sepotong kalimat yang tak jelas membuat orang yang bermimpi me rasa ketakutan setengah mati. Terdengar olehnya derak ranting patah, lalu melihat seorang laki-laki keluar dari rumah yang baru separuh hancur dengan membawa lentera. Para arwah gentayangan tadi mundur terkena sinar lentera, dan membuat bola mata Maya mengecil dan akhirnya tidak bisa lagi melihat mereka. Tapi didengarnya Sunaomi menjerit, dan juga gemericik air ketika bocah itu kencing di celana. Penghinaan atas ketakutan Sunaomi membantu Maya mengatasi ke-takutannya sendiri, cukup untuk mundur ke semak-semak dan pulang tanpa terlihat ke kastii. Ia tidak ingat bagaimana si kucing meninggalkan dirinya hingga ia kembali menjadi Maya, sama tidak jelasnya dengan apa yang membuat tubuh kucing merasuk dalam sendirinya. Tapi ia juga tak bisa menyingkirkan ingatan akan pandangan mata si kucing dan suara-suara bergema dari arwah gentayangan. Di mana Penguasa kami? Maya ketakutan setengah mati, tak ingin melihat dan mendengar dengan cara seperti itu lagi, dan berusaha melindungi dirinya dari kerasukan arwah si kucing. Ia telah mewarisi sifat kejam dari Kikuta seiring dengan banyak bakat yang lain. Tapi kucing itu mendatanginya lewat mimpi, meminta, menakuti-nakuti dan membujuk dirinya. "Kau bisa jadi mata-mata yang sangat hebat!" seru Sada setelah malam pertama di atas kapal. "Aku lebih suka jadi mata-mata ketimbang harus menikah dengan lord," sahut Maya. "Aku ingin sepertimu, atau seperti Shizuka dulu." Maya menatap gelombang ke Timur, tempat kota Hagi hampir menghilang di kejauhan: Pulau Oshima juga terbentang jauh di belakang mereka, hanya awan di atas gunung berapi di pulau itu yang terlihat. Mereka telah melewatinya semalam, dan itu membuat Maya menyesal karena pernah mendengar banyak cerita tentang para perompak jaman dulu dan kunjungan ayah-nya kepada Lord Terada. Ia ingin melihat-nya, tapi kapal tidak boleh berangkat ter-lambat: angin timur laut hanya terjadi beberapa hari lagi, dan mereka mem-butuhkannya untuk membantu kapal melaju ke pantai Barat. "Dulu Shizuka suka melakukan sesuka hatinya," sambung Maya. "Tapi dia menikah dengan tabib Ishida, dan kini dia sama saja seperti istri-istri yang lainnya." Sada tertawa. "Jangan meremehkan Muto Shizuka! Dia selalu jauh lebih dari yang kelihatannya." "Dia juga nenek Sunaomi," gerutu Maya. "Kau iri, Maya; itu masalahmu!" Halaman 550 dari 550 "Sangat tidak adil," sahut gadis itu. "Andai aku laki-laki, tak masalah kalau aku kembar. Andai aku lakilaki, Sunaomi tidak akan datang tinggal bersama kami, dan Ayah tak-kan berpikir untuk mengangkatnya sebagai anak!" Dan aku takkan berpikir untuk menantang pengecut cilik itu pergi ke biara. Maya menatap Sada. "Pernahkah kau ber harap menjadi seorang laki-laki?" "Ya, sering, ketika aku masih kecil. Bahkan di kalangan Tribe, di mana perempuan diberi banyak kebebasan, anak laki-laki sepertinya lebih dihargai. Aku selalu menentang mereka, selalu berusaha mengalahkan mereka. Muto Kenji sering bilang itu sebab-nya kenapa aku tumbuh besar sama tinggi dan kuatnya seperti laki-laki. Dia meng-ajariku cara meniru anak laki-laki, bicara dengan gaya bahasa mereka dan menirukan gerakan mereka. Kini aku bisa jadi laki-laki atau perempuan, dan itu sebabnya aku menyukainya." "Kenji mengajarkan kita hal yang sama!" seru Maya, karena seperti semua anak-anak Tribe, ia belajar bicara dengan gaya bahasa laki-laki dan perempuan, serta gerakan, dan bisa bertingkah seperti keduanya. Sada mengamatinya. "Ya, kau bisa menjadi laki-laki." "Benar, aku tidak menyesal disuruh pergi jauh," Maya berusaha meyakinkan. "Karena aku suka padamu-dan aku sayang pada Taku!" "Semua orang menyayangi Taku," Sada tertawa. Maya tidak sempat menangkap lebih banyak lagi bahasa pelaut yang menggoda dan nyaris tak bisa dimengerti karena gelombang laut mulai naik. Gerakan kapal yang naik turun membuatnya pusing dan tubuhnya terasa tidak enak. Sada merawatnya tanpa mengeluh atau kata-kata bersimpati, memegang tengkuknya sewaktu ia muntah dan setelah itu mengelap wajahnya, mem-bujuknya untuk minum teh untuk mem-basahi bibirnya. Ketika sampai di tahap yang paling buruk, Maya berbaring di pangkuan Sada yang melingkarkan lengannya yang panjang dan dingin di alis Maya. Sada seperti merasa kalau di balik kulit Maya ada sifat hewan, bak kulit bulu hewan, gelap, padat dan berat, tapi juga lembut untuk disentuh. Maya merasakan sentuhan itu seperti sentuhan seorang pengasuh atau seorang ibu; ia tersadar ketika kapal berbelok mengitari tanjung tepat saat angin berubah arah dan angin barat berhembus membawa mereka ke tepi pantai, lalu menatap wajah Sada yang tajam, dengan tulang pipi tinggi seperti anak laki-laki, dan berpikir betapa bahagianya bisa selamanya berbaring di dalam pelukannya, dan merasakan sekujur tubuhnya bereaksi dengan menggeliat. Pada saat itu hasrat menyelimuti dirinya pada gadis yang lebih tua itu, kombinasi antara kekaguman dan kebutuhan: itu pertama kalinya Maya jatuh cinta. Diregangkan tubuhnya untuk me-meluk Sada, melingkarkan lengan di tubuh-nya, merasakan otot kuat seperti otot laki-laki, dan kelembutan yang tak terduga dari buah dadanya. Diusap-usapkan hidungnya ke leher Sada, hampir seperti anak kecil, sekaligus seperti hewan. "Kuanggap sikapmu ini berarti kau sudah baikan?" tanya Sada, balas memeluknya. "Sedikit. Tadi rasanya sakit sekali. Aku tak ingin naik kapal lagi!" Maya berhenti sebentar lalu melanjutkan, "Kau mencintaiku Sada?" "Pertanyaan apa itu?" "Aku bermimpi kau mencintaiku. Tapi aku tidak yakin apakah aku bermimpi, alaukah.... " "Atau apa?" "Atau si kucing." "Mimpi sepeni apa yang dialami kucing itu?" tanya Sada dengan enggan. "Mimpi yang dialami hewan." Maya tengah menatap ke pantai di kejauhan, bukit Halaman 551 dari 551 ditumbuhi pinus di atasnya yang muncul dari air laut berwarna biru tua, bebatuan hitam yang berada di tepiannya dengan ombak keabuan hijau dan putih. Permukaan air di sekitar teluk lebih tenang, dan sampai ke muara, rak kayu penopang rumput laut dan kapal nelayan berbadan cembung tengah ditarik ke pantai, tempat rumput laut tumbuh. Orang-orang meringkuk di tepi pantai, membetulkan jala dan menjaga agar api unggun tetap menyala yang memaksa garam keluar dari air laut. "Aku tak tahu kalau kau mencintaiku," goda Sada. "Tapi aku memang menyayangi kucing itu!" Diraih lalu diusapnya leher Maya seakan-akan sedang membelai kucing, dan punggung gadis itu melengkung karena nyaman. Sada mengira hampir bisa merasa-kan lagi bulu di jari jemarinya. "Kalau kau terus lakukan itu, kurasa aku akan berubah menjadi si kucing," ujar Maya sambil melamun. "Aku yakin kelak ini bisa berguna." Nada suara Sada terdengar praktis. Maya menyeringai. "Itu sebabnya aku menyukai Tribe," sahutnya. "Mereka tidak keberatan kalau aku ini anak kembar, atau roh si kucing merasuki diriku. Apa pun yang berguna bagi mereka, baik adanya. Itu menurutku. Aku tidak mau kembali pada kehidupan di istana, atau kastil. Aku akan tinggal bersama Tribe." "Kita lihat apa pendapat Taku!" Maya tahu Taku adalah guru yang tegas dan tidak punya perasaan sentimentil, tapi ia takut kalau gurunya itu terpengaruh dengan kewajiban pada ayahnya sehingga cenderung memperlakukannya dengan pengecualian. Ia tak tahu mana yang lebih buruk: diterima oleh Taku hanya karena ia adalah putri Otori, atau ia ditolak karena kurang trampil. Di satu saat ditemukan dirinya mengira kalau Taku akan mengenyahkannya karena tak mampu menolongnya; atau sebaliknya kagum dengan segala yang bisa dilakukannya dan semua potensi dirinya. Akhirnya akan jadi sesuatu di antara dua hal: tidak terlalu kecewa, tapi juga tidak terlalu memuaskan. Muara berpasir terlalu dangkal untuk dimasuki kapal, dan mereka turun dengan menggunakan tali ke perahu nelayan yang reot. Perahu-perahu itu sempit dan tidak stabil; para awaknya tertawa ketika Maya memegang erat-erat bagian pinggir atas dari sisi perahu, serta berusaha menarik Sada ke dalam percakapan cabul saat mengayuh ke hulu, ke kota Maruyama. Kastil berdiri di atas bukit kecil di atas sungai dan kota yang menyebar di sekeliling-nya. Bangunannya kecil dan indah, ber-dinding putih dan beratap abu-abu, terlihat mirip burung yang baru saja beristirahat, sayapnya masih membentang, sinar matahari mewarnainya dengan warna merah muda. Maya mengenalnya dengan baik dan sering tinggal di sana bersama ibu dan saudara-saudaranya, tapi hari ini tujuannya bukan ke kastil itu. Ia terus merendahkan pandangan mata dan tidak bicara dengan siapa pun agar tidak dikenali. Sesekali Sada berbicara kepadanya dengan kasar, membentaknya agar tidak berjalan dengan menggesekkan kaki ke tanah. Maya menyahut, ya kak, tentu kak, sambil berjalan tanpa mengeluh, walaupun perjalanannya jauh dan bawaannya banyak. Hari sudah hampir gelap saat mereka tiba di rumah yang memanjang sampai ke sudut jalan. Jendelanya dipalang dengan kayu, dan atap rendahnya memanjang sampai ke pinggiran atap. Di satu sisinya adalah toko depan, yang kini tutup dan sepi. Dipasang ke dinding satunya, ada gerbang besar. Dua laki-laki berdiri di luar dengan bersenjata pedang dan tombak lengkung panjang. Sada bicara kepada salah satunya. "Apakah mengira akan ada serangan, sepupu?" "Ini dia masalah datang," sahutnya. "Apa yang kau lakukan? Siapa anak itu?" "Adikku, kau ingat padanya?" "Pasti bukan Mai!" "Bukan, bukan Mai, Maya. Kita masuk saja dulu. Nanti akan kuceritakan. Taku ada di Maruyama?" imbuhnya selagi gerbang dibuka lalu mereka menyelinap masuk. Halaman 552 dari 552 "Ya, dia datang beberapa hari lalu. Dia bersama Lord Kono, dari Miyako, dan Lord Sugita sedang menghibur mereka. Dia belum mampir seperti biasa. Kami akan beri tahu kalau kau dan adikmu ada di sini." "Mereka kenal aku?" bisik Maya sewaktu Sada meng-gandengnya melewati taman yang gelap ke pintu masuk. "Ya. Tapi mereka juga tahu kalau ini bukan urusan mereka, jadi mereka takkan bicara banyak." Maya membayangkan bagaimana seorang laki-laki-atau perempuan-menyamar se-bagai prajurit, penjaga atau pelayan: mereka mendekati Taku dengan komentar tentang kuda atau makanan, lalu menambah se-potong kalimat yang kedengaran sem-barangan, lalu Taku bisa tahu.... "Mereka akan memanggilku apa?" ia ber-tanya pada Sada seraya melangkah ringan ke atas beranda. "Memanggilmu? Dengan nama apa?" "Apa nama rahasiaku yang hanya di-ketahui Tribe?" Sada tertawa hingga kehabisan suara. "Mereka akan mengarangnya. Anak Kucing, barangkali." Anak Ku ci ng sudah kembali malam ini. Maya hampir bisa mendengar suara pelayan-memutuskan kalau pelayan itu perempuan-berbisik di telinga Taku selagi membungkuk membasuh kaki Taku, atau menuang sake untuknya, dan kemudian ... apa yang akan Taku lakukan? Maya merasakan agak tahu: apa pun yang akan terjadi tidak akan mudah. Ia harus menunggu sampai dua hari. Tidak ada waktu untuk bosan atau cemas, karena Sada menyibukkannya dengan ber-bagai latihan Tribe yang tak ada akhirnya, karena kemampuan Tribe bisa selalu dikembangkan, dan tak seorang pun, bahkan Muto Kenji atau Kikuta Kotaro, menguasainya dengan sempurna. Dan Maya hanyalah anak kecil: waktunya masih banyak. Ia latihan ber-diri tak bergerak dalam waktu lama, me-regangkan dan melipat tubuh agar tetap lemas, latihan mengingat dan mengamati, bergerak cepat hingga nyaris tak terlihat dan menggunakan sosok kedua. Maya lakukan semua itu tanpa mengeluh karena sudah me-mutuskan untuk mencintai Sada tanpa syarat, dan berusaha membuatnya senang. Di senja hari kedua, setelah malam men-jelang dan mereka selesai makan, Sada mem-beri isyarat pada Maya yang tengah menaruh mangkuk di nampan-karena di rumah ini dia bukan lagi putri Lord Otori tapi gadis termuda sehingga menjadi pelayan bagi semua orang. Diselesaikan tugasnya, mem-bawa nampan ke dapur, lalu melangkah keluar beranda. Di ujung beranda, Sada ber-diri sambil memegang lentera. Maya bisa melihat wajah Taku, separuh terkena sinar, separuh dalam kegelapan. Maya menghampiri lalu berlutut di hadapannya, tapi sebelumnya ia mengamati reaksi di wajah Taku. Saat wajah itu terlihat lelah, ekspresi wajah yang tegang, dan bahkan kesal, hati Maya terpuruk. "Guru," bisiknya. Taku mengerutkan dahi, dan memberi isyarat pada Sada untuk mendekatkan lentera. Maya merasakan panasnya lentera di pipinya, lalu menutup mata. Cahaya lentera berkedap-kedip di balik kelopak matanya. "Pandang aku," kata Taku. Mata Taku yang hitam, buram, menatap lurus ke arahnya. Maya menahan tatapan mata Taku tanpa berkedip, membuat pikirannya kosong, tidak membiarkan ekspresi yang menunjukkan kelemahannya terlihat; dan di waktu yang bersamaan tidak berani mencari-cari ada ekspresi apa di wajah Taku. Tapi ia tak mampu mempertahankan diri dari Taku: merasakan seolah ada semacam bias sinar, atau pikiran, menembus dirinya, melihat rahasia yang ia sendiri , tidak tahu ada dalam dirinya. "Uhhh," gerutu Taku, tapi Maya tak tahu apakah gerutuan itu karena Taku setuju atau terkejut. "Mengapa ayahmu mengirimmu padaku?" Halaman 553 dari 553 "Menurut Ayah aku dirasuki roh kucing," sahutnya pelan. "Ayah mengira Kenji kemungkinan mewariskan ilmu Tribe tentang hal-hal seperti ini kepadamu." "Tunjukkan padaku." "Aku tidak mau," sahut Maya. "Biarkan aku melihat roh kucing ini, kalau memang ada di sana." Suaranya mengandung kecurigaan dan tak acuh. Maya bereaksi dengan marah. Kemarahan menjalar ke sekujur tubuhnya, langsung dan bukan seperti manusia, membuat tubuhnya melembut dan meregang, bulunya beriak; telinganya menegak dan memamerkan gigi-nya, bersiap menerkam. "Cukup," kata Taku pelan, lalu menyentuh pipi Maya dengan lembut. Hewan itu menurut dengan sendirinya, lalu mengeong. "Kau tak memercayaiku," kata Maya datar. Tubuhnya gemetar. "Bila sebelumnya aku tak percaya, maka kini aku percaya," sahutnya. "Sangat me-narik. Pertanyaannya yaitu, bagaimana kita bisa memanfaatkannya? Pernahkah kau berubah wujud hingga benar-benar menjadi kucing?" "Pernah, sekali," akunya. "Aku mem-buntuti Sunaomi ke kuil Akane lalu melihatnya kencing di celana!" Taku mendengar sesuatu di balik ke-beranian yang dibuat-buat itu. "Lalu?" tanya-nya. Maya tidak menjawab selama beberapa saat; kemudian ia bergumam, "Aku tak mau melakukannya lagi! Aku tidak menyukai perasaan yang menyertainya." "Tidak ada hubungannya kau suka atau tidak," sahut Taku. "Jangan buang waktu. Kau harus berjanji kalau kau hanya akan melakukan apa yang Sada atau aku pinta, tidak pergi sendiri sesuka hatimu, jangan ambil resiko, jangan menyimpan rahasia pada kami." "Aku bersumpah." "Ini bukan waktu yang tepat," kata Taku dengan agak kesal pada Sada. "Aku sedang berusaha mengawasi Kono, dan mengawasi kakakku kalau-kalau dia bertindak yang tak terduga. Tetap saja, bila Takeo memintanya, kurasa sebaiknya aku menjaga agar Maya tetap di dekatku. Kau bisa ikut ke kastil denganku besok. Dandani dia seperti anak laki-laki, tapi tinggallah di sini. Terserah kau mau menjadi apa, tapi di sini ia harus tetap sebagai anak perempuan. Sebagian besar penghuni rumah ini sudah mengenalnya; dia harus dilindungi sebaik-baiknya sebagai putri Lord Otori. Aku akan memperingatkan Hiroshi. Apa akan ada orang lain yang bisa mengenalimu?" "Tak seorang pun berani menatap langsung padaku," tutur Maya. "Karena aku anak kembar." "Anak kembar cukup istimewa di kalangan Tribe," tutur Taku. "Tapi di mana adikmu?" "Dia di Hagi dan akan segera pergi ke Kagemura." Mendadak rasa sakit hati menerjang diri Maya karena merindukan Miki, Shigeko dan orangtuanya. Aku di sini seperti anakyatim piatu, pikimya, atau orang yang diasingkan. Mungkin aku akan menjadi seperti Ayah, ditemukan di desa terpencil dengan lebih banyak bakat yang dimiliki orang Tribe lainnya. "Sekarang pergi tidur," kata Taku tiba-tiba. "Ada yang harus kubicarakan dengan Sada." "Guru." Maya membungkuk normal dengan patuh dan mengucapkan selamat malam kepada keduanya. Tidak lama setelah ia masuk ke dalam rumah, seorang pelayan mendekatinya lalu menyuruhnya menyiap-kan alas tidur. Dibukanya lipatan matras lalu membentangkan selimut, berjalan pelan melewati kamar-kamar panjang dan rendah rumah itu. Angin berhembus dan bersiul melalui celahnya, membawa musim gugur, tapi Maya tidak merasa Halaman 554 dari 554 kedinginan. Didengarkannya suara-suara dari taman. Mereka menyuruhnya pergi tidur dan ia mematuhinya, tapi mereka tidak melarang-nya untuk mendengarkan. Maya mewarisi pendengaran tajam ayah-nya, dan kini semakin peka. Ketika akhirnya ia berbaring, dipasang telinganya baik-baik, berusaha menyaring bisik-bisik dari para gadis yang berbaring di sisi kanan dan kirinya. Perlahan-lahan akhirnya mereka ter-diam, suara pelan mereka berganti dengan nyanyian terakhir serangga musim panas, meratapi musim dingin yang akan datang dan kematian mereka. Didengarnya kepakan sayap burung hantu yang tenang sewaktu terbang melewati taman, dan menghembus-kan napas dengan amat perlahan hingga nyaris tak terdengar. Sinar rembulan mem-bentuk kisi-kisi di layar kertas; bulan menarik darahnya dengan keras, membuat-nya mengalir cepat melalui urat nadinya. Di kejauhan Taku berkata, "Aku ajak Kono kemari agar dia bisa melihat kesetiaan di Maruyama kepada Otori. Aku cemas Zenko telah membiarkannya percaya bahwa Seishuu hendak memberontak, dan bahwa wilayah Barat takkan berpihak kepada Takeo." "Bisakah Hiroshi dipercaya?" gumam Sada. "Kalau tidak, akan kugorok leherku," sahut Taku. Sada tertawa. "Kau tidak akan bunuh diri, sepupu." "Kuharap aku tidak harus melakukannya. Aku mungkin akan melakukannya karena bosan harus bersama Lord Kono lebih lama lagi." "Maya akan menjadi hiburan yang menyenangkan, bila kau takut merasa bosan." "Atau tanggung jawab lain yang tak bisa kuhindari!" "Kenapa kau terkejut saat menatap matan-ya?" "Aku mengharapkan tatapan anak perempuan. Yang kulihat bukanlah seperti anak perempuan: sesuatu yang tak berwujud, menanti untuk menemukan wujudnya." "Apakah arwah seorang laki-laki, atau sesuatu yang berhubungan dengan kerasukan si kucing?" "Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Sepertinya berbeda. Maya unik- kemung-kinan sangat kuat." "Dan berbahaya?" "Mungkin. Terutama sekali bagi dirinya sendiri." "Kau lelah." Sesuatu dalam nada suara Sada yang membuat tubuh Maya gemetar dengan gabungan antara kerinduan dan kecemburuan. Sada berkata, lebih pelan lagi, "Mari, ku-pijat dahimu." Sesaat hening. Maya menahan napas. Taku menghembuskan napas panjang. Ada semacam kekuatan hasrat jatuh di taman yang gelap, pada pasangan yang tidak terlihat. Maya tidak tahan mendengarnya, lalu menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Lama setelah itu, sepertinya Maya men-dengar langkah kaki di beranda. Taku bicara dengan suara pelan, "Aku tidak meng-harapkan itu!" "Kita tumbuh dewasa bersama," sahut Sada. 'Tidak perlu berarti apa-apa." "Sada, tidak ada yang terjadi di antara kita yang tidak berani apa-apa." Taku berhenti sejenak seolah ingin berkata lagi, tapi lalu berkata dengan singkat, "Aku akan me-nemuimu dan Maya besok pagi. Bawa dia ke kastil saat tengah hari." Sada masuk ke kamar perlahan lalu ber-baring di sebelah Maya. Berpura-pura ter-tidur, Maya berbalik menghadapnya, meng-hirup aroma tubuh itu bercampur dengan aroma Taku masih teninggal Halaman 555 dari 555 di tubuhnya. Ia tidak dapat memutuskan mana yang paling ia cintai: ia ingin memeluk mereka berdua. Pada saat itu Maya merasakan dirinya men-jadi milik mereka selamanya. Keesokan harinya Sada membangunkannya pagi-pagi lain bersiap memotong rambutnya yang panjang sebahu dan menariknya ke belakang dan diikat ke atas, membiarkan dahinya tidak dicukur, seperti laki-laki yang masih di bawah umur. "Kau bukanlah gadis yang cantik," kata Sada seraya tertawa. "Tapi bisa menjadi anak laki-laki yang tampan. Membentak sedikit lagi, lalu katupkan bibirmu. Kau tidak boleh kelihatan cantik! Nanti ada ksatria yang membawamu kabur." Maya mencoba mengatur tubuh agar ter-lihat lebih mirip anak laki-laki, tapi rasa senang, rambut dan pakaiannya yang masih terasa asing membuat matanya berkilat dan pipinya bersemu merah. "Tenang," Sada menghardiknya. "Kau jangan terlalu menarik perhatian. Kau adalah salah seorang pelayan Lord Taku; pelayan yang terendah derajatnya." "Apa yang nanti harus kulakukan?" "Sedikit sekali, kuharap. Beajarlah meng-atasi rasa bosan." "Seperti Taku," sahut Maya tanpa pikir panjang. Sada mencengkeram lengannya. "Kau mendengarnya mengatakan itu? Apa lagi yang kau dengar?" Maya menjauhkan diri dari gadis itu. Selama beberapa saat ia tidak membuka mulut, tapi kemudian ia berkata, "Aku dengar semuanya." Sada tidak bisa menahan senyum. "Jangan bilang pada siapa-siapa," gumamnya, dengan nada mendukung. Ditariknya Maya lalu dipeluknya. Maya balas memeluk, merasakan panas tubuhnya, dan berharap Sada adalah Taku.* Sebagian laki-laki mengutamakan cinta, tapi Muto Taku bukanlah salah satunya, atau berhasrat ingin mengabdikan diri hanya untuk orang yang dicintai. Menurutnya perasaan berlebihan semacam itu aneh, bahkan men-jijikkan, dan selalu menertawai orang yang tergila-gila karena cinta, terangterangan membenci kelemahan mereka. Ketika ada perempuan menyatakan terang-terangan mencintainya, seperti yang sering terjadi, Taku justru menjauhkan diri. Ia menyukai perempuan, dan semua kesenangan yang bisa dinikmati dari tubuh perempuan, menya-yangi juga memercayai istrinya untuk meng-atur rumah tangga, mengasuh anak-anak dengan baik dan setia kepadanya, tapi gagasan bersikap setia kepada istrinya tidak pernah melintas di benaknya. Maka ingatan yang tak mau pergi di benaknya tentang keintiman yang terjadi tiba-tiba serta tidak diharapkan bersama Sada mengganggu pikirannya. Kejadian seperti itu belum pernah dialaminya, hasrat yang begitu besar, kepuasan yang begitu menusuk serta sempurna; tubuh Sada yang sama tinggi dan kuat dengan tubuhnya, hampir seperti tubuh laki-laki namun sekaligus tubuh perempuan; hasrat keperempuanan Sada yang menang-gapi hasrat dirinya, berserah diri kepadanya. Taku hampir tidak bisa tidur, hanya menginginkan kehadiran Sada di sisinya. Dan saat bicara dengan Sugita Hiroshi di taman kastil di Maruyama, ia sulit ber-konsentrasi pada apa yang sedang dibicara-kan. Kita tumbuh dewasa bersama. Tidak perlu berarti apa-apa, kata Sada waktu itu, dan dia berubah dari teman, hampir Halaman 556 dari 556 seperti adik, menjadi kekasih; dan Taku pun ber-kata, tanpa tahu dari mana datangnya kata-kata ini, Tak ada hal yang terjadi di antara kita yang tidak berarti apa-apa. Taku mengalihkan kembali perhatiannya pada kawannya. Mereka sebaya, beranjak dua puluh tujuh saat tahun baru nanti. Taku berperawakan kuat dan sulit digambarkan, wajah yang mudah berubahubah ekspresi khas Muto, sedangkan Sugita Hiroshi di-anggap tampan, setengah kepala lebih tinggi dari Taku dan berbahu lebih bidang, dengan kulit pucat dan bentuk tubuh gagah khas klas ksatria. Saat masih kecil, mereka berdua sering bertengkar dan saling bersaing merebut perhatian Takeo, mereka pernah menjinakkan kuda-kuda jantan bersama, dan sejak itu terikat oleh hubungan persahabatan yang amat dalam. Saat itu masih pagi, cuaca tampak cerah di musim gugur ini. Langit biru pucat terang bak telur burung, matahari baru saja mulai mengangkat kabut dari tum-pukan jerami berwarna keemasan di sawah. Ini kesem-patan pertama bagi kedua laki-laki ini bisa bicara berdua sejnk kedatangan Taku ber-sama Lord Kono. Mereka membicaraknn tentang pertemuan yang akan datang dengan Lord Otori dan Arai Zenko, yang diadakan dalam beberapa minggu mendatang di Maruyama. "Takeo dan Lady Shigeko sudah harus di sini pada bulan purnama berikutnya," kata Hiroshi, "tapi kedatangan mereka agak ter-tunda karena mereka ke Terayama untuk ziarah ke makam Matsuda Shingen." "Pasti Takeo sedih kehilangan dua guru-nya di tahun yang sama. Dia belum bisa melupakan kematian Kenji," komentar Taku. "Kepergian Matsuda tidak semendadak atau mengejutkan seperti kematian Kenji. Kepala Biara kami sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, waktu yang luar biasa panjang. Dan beliau memiliki penerus yang layak. Seperti yang dimiliki pamanmu pada dirimu. Kau akan serasi dengan Lord Takeo seperti layaknya Kenji." "Aku merindukan ketrampilan dan pengetahuan pamanku," aku Taku. "Tam-paknya keadaan semakin rumit setiap minggunya. Niat buruk kakakku, yang bahkan aku sendiri tak bisa memahaminya; Lord Kono dan tuntutan dari Kaisar; penolakan Kikuta untuk berunding.... " "Selama aku di Hagi, kesibukan Takeo tampak tidak seperti biasa," tutur Hiroshi ragu-ragu. "Baiklah, terlepas dari kesedihan dan urusan-urusan negara ini, dia memiliki kekhawatiran lain, kurasa," sahut Taku. "Kehamilan Lady Otori, masalah putri-putrinya." "Terjadi sesuatu pada Lady Shigeko?" sela Hiroshi. "Dia dalam keadaan sehat ketika aku bertemu dengannya belum lama ini.... " "Sejauh yang kutahu, dia baik-baik saja. Masalah si kembar," ujar Taku. "Maya ikut bersamaku di sini; aku harus memperingat-kanmu kalau-kalau kau mengenalinya." "Di sini bersamamu?" ulang Hiroshi merasa terkejut. "Dia berpakaian seperti anak laki-laki. Barangkali kau bahkan tidak memerhati-kannya. Dia dirawat seorang perempuan muda yang juga menyamar menjadi laki-laki, kerabat jauh keluargaku: namanya Sada." Sebenarnya ia tidak perlu menyebut nama itu, namun ia tak mampu menahan diri: Aku terobsesi, pikirnya. "Zenko dan Hana akan datang," seru Hiroshi. "Mereka pasti akan mengenalinya!" "Hana mungkin saja. Tidak banyak yang luput dari pandangannya." "Memang benar," Hiroshi setuju. Mereka berdua terdiam sesaat, kemudian tertawa di saat bersamaan. Halaman 557 dari 557 "Kau tahu," kata Taku, "orang bilang kau tidak bisa melupakannya, dan itu sebabnya kau tidak menikah!" Mereka sudah pernah membicarakan masalah ini, tapi keingi-ntahuan Taku bangkit oleh obsesi barunya sendiri. "Memang benar ada saat ketika aku sangat bersemangat ingin menikah dengannya. Kukira aku memujanya dan amat meng-inginkannya menjadi bagian dari keluarga itu-ayah kandungku, seperti yang kau tahu, gugur dalam perang, dan paman beserta putranya lebih memilih untuk mencabut nyawa ketimbang menyerah pada Arai Daiichi. Aku tidak memiliki keluargaku sendiri; ketika Maruyama habis karena gempa bumi, aku tinggal di kediaman Lord Takeo. Tanah milik keluargaku dikembali-kan ke wilayah kekuasaan itu. Aku dikirim ke Terayama untuk mempelajari Ajaran Houou. Saat itu aku masih sama bodoh dan angkuhnya dengan para pemuda pada umumnya. Kukira nantinya Takeo akan mengangkatku sebagai putranya, terutama ketika dia tidak punya anak laki-laki." Hiroshi tersenyum mengejek dirinya sendiri namun tanpa perasaan getir. "Jangan salah paham. Aku tidak kecewa atau pun tertekan. Aku melihat panggilan hidupku adalah untuk melayani; aku senang menjadi pengurus Maruyama dan mempertahankan-nya untuk Lady Shigeko. Bulan depan dia akan menerima wilayah itu; aku akan kembali ke Terayama, kecuali kalau dia memintaku berada di sini." "Aku yakin Lady Shigeko akan mem-butuhkanmu-setidaknya selama satu atau dua tahun. Tak perlu mengubur diri di Terayama bak pertapa. Kau harus menikah dan punya anak. Sementara itu untuk tanah, Takeo-atau Shigeko-akan memberi apa pun yang kau minta." "Tidak semua yang kuminta," sahut Hiroshi pelan, nyaris bicara pada dirinya sendiri. "Jadi kau masih tergila-gila pada Hana." 'Tidak, aku cepat pulih dari perasaan itu. Hana memang cantik, tapi aku senang kakakmu yang menjadi suaminya." "Akan lebih baik bagi Takeo bila kau yang menikah dengannya," ujar Taku, penasaran apa lagi yang menahan Hiroshi tidak ingin menikah. "Mereka saling mengisi ambisi," Hiroshi sepakat, dan dengan tangkasnya mengubah topik pembicaraan. "Tapi kau belum mengatakan alasan Maya berada di sini." "Dia perlu dijauhkan-dari sepupu-sepupunya yang kini berada di Hagi, dan dari kembarannya. Dan harus ada yang meng awasinya terus-menerus, itu sebabnya Sada ikut bersamanya. Aku harus selalu meng-awasinya juga. Aku tak bisa menjelaskan semua alasannya. Aku mengandalkanmu untuk menutupi ketidakhadiranku dan menghibur Lord Kono-dan sebelum aku lupa, meyakinkan agar klan Seishuu benar-benar setia pada Otori." "Apakah anak itu dalam bahaya?" "Dialah yang bahaya," sahut Taku. "Tapi kenapa dia tidak datang secara ter-buka, sebagai putri Lord Otori, dan tinggal di sini seperti yang sudah sering dilakukan-nya?" Ketika Taku tidak segera menjawab, Hiroshi berkata, "Pada dasarnya kau memang suka intrik, akui saja!" "Dia lebih berguna bila tidak dikenali," ujar Taku akhirnya. "Lagipula dia adalah anak dari kalangan Tribe. Bila dia menjadi Lady Otori Maya, maka hanya sampai sebatas itu perannya; sedangkan di Tribe dia bisa mengambil berbagai peran yang ber-beda." "Kurasa dia bisa melakukan semua tipuan yang kau gunakan untuk menggodaku," kata Hiroshi tersenyum. Halaman 558 dari 558 "Tipuan-tipuan itu, sebagaimana kau me-nyebutnya, pernah menyelamatkanku lebih dari sekali!" sahut Taku dengan pedas. "Selain itu, aku percaya Ajaran Houou juga memiliki tipuan!" "Para Guru Besar, seperti Miyoshi Gemba dan Makoto, memiliki banyak kemampuan yang kelihatannya supernatural, tapi sebenar-nya itu adalah hasil dari latihan selama ber-tahun-tahun dan pengendalian diri." "Baiklah, kurang lebih sama dengan Tribe. Kemampuan kami mungkin saja berasal dari keturunan, tapi tidak ada artinya tanpa latihan. Tapi apa para Guru Besarmu berhasil membujuk Takeo agar tidak ber-perang, baik di Wilayah Timur atau pun di Wilayah Barat?" "Ya, saat datang nanti dia akan mem-beritahukan pada Lord Kono bahwa utusan khusus kami dalam perjalanan ke Miyako untuk menyiapkan kunjungan tahun depan." "Apakah menurutmu kunjungan ini bijak-sana? Bukankah Takeo justru menempatkan diri di bawah kekuasaan jenderal baru ini, Si Pemburu Anjing?" "Tindakan apa pun yang menghindari perang adalah tindakan yang bijaksana," sahut Hiroshi. "Maaf, tapi ini adalah kata-kata aneh yang keluar dari mulut seorang ksatria!" "Taku, kita berdua menyaksikan ayah kita mati di depan mata kepala kita... " "Ayah, paling tidak, pantas mati! Aku tak-kan lupa saat itu ketika kupikir Takeo seharusnya membunuh Zenko... " "Ayahmu bertindak dengan benar, menurut keyakinan dan kode kehormatan-nya," tutur Hiroshi tenang. "Dia mengkhianati Takeo setelah ber-sumpah untuk bersekutu dengannya!" seru Taku. "Tapi bila dia tidak bertindak seperti itu, cepat atau lambat Takeo juga akan menye-rangnya. Ini wajar dalam masyarakat kita. Kita bertempur sampai bosan, dan setelah beberapa tahun bosan dengan kedamaian lalu berperang lagi. Kita menyembunyikan hasrat haus darah dan hasrat untuk balas dendam dengan kode etik kehormatan, yang kita langgar sendiri ketika tampak pantas dilaku-kan." "Apa benar kau belum pernah membunuh seorang pun?" tanya Taku sekonyong-konyong. "Aku diajari banyak cara untuk mem-bunuh, dan belajar strategi perang sebelum berumur sepuluh tahun, tapi aku belum pernah bertarung dalam penempuran yang sesungguhnya, dan aku belum pernah mem-bunuh siapa pun. Kuharap takkan pernah." "Saat nanti kalau kau di medan perang, kau akan berubah pikiran," kata Taku. "Kau akan mempertahankan diri layaknya semua orang." "Barangkali. Untuk sementara ini aku akan lakukan apa pun untuk menghindari perang." "Aku khawatir kalau kakakku dan Kaisar akan membawamu ke kancah peperangan. Terutama karena kini mereka sudah memiliki senjata api. Kau bisa pastikan kalau mereka takkan tinggal diam sampai mereka menjajal habis-habisan senjata baru mereka." Ada gerakan di ujung taman, dan seorang penjaga berlari menghampiri lalu berlutut di depan Hiroshi. "Lord Kono sudah datang. Lord Sugita!" Dengan kehadiran si bangsawan, sikap mereka berdua agak berubah: Taku menjadi lebih waspada, tapi Hiroshi tampak lebih terbuka dan ramah. Kono ingin melihat berbagai kota dan pedesaan sehingga mereka melakukan banyak ekspedisi. Si bangsawan ditandu mewah yang berlapis emas, sedang-kan kedua pemuda itu menunggang kuda, anak-anak Raku. Cuaca musim gugur tetap cerah dan terang, warna dedaunan semakin hari semakin tua. Hiroshi dan Taku menjelaskan kepada Kono tentang kekayaan wilayah itu, pertahanan serta jumlah tentara, kepuasan penduduknya, dan kesetiaan mutlaknya pada Lord Otori. Si bangsawan menerima semua Halaman 559 dari 559 informasi ini dengan sopan santunnya yang tenang seperti biasa, hingga perasaannya yang sebenarnya tidak diketahui. Terkadang Maya turut dalam perjalanan-perjalanan ini, menunggang kuda milik Sada, sesekali menemukan dirinya berada cukup dekat dengan Kono dan para penasihatnya untuk mendengarkan apa yang mereka gumamkan. Percakapannya kedengaran tidak menarik dan sepele, tapi ia mengingat dan mengulang kata demi kata untuk Taku sewaktu datang ke rumah tempat ia dan Sada tinggal, seperti yang Taku lakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Kadang-kadang Taku datang larut malam, dan betapa pun larut-nya, Taku selalu ingin bertemu Maya, bahkan bila Maya sudah tertidur. Maya harus bangun cepat, sesuai cara Tribe yang mengendalikan kebutuhan tidur mereka dengan cara yang sama untuk mengendalikan semua kebutuhan dan hasrat mereka. Maya harus mengerahkan seluruh tenaga dan konsentrasinya untuk pertemuan malam hari ini dengan gurunya. Taku kerapkali kelelahan dan tegang, kesabarannya hampir habis; pekerjaan ini berjalan lambat dan banyak tuntutannya. Maya ingin bekerja sama, tapi takut dengan apa yang kemungkinan terjadi padanya. Acapkali ia merindukan berada di rumahnya di Hagi bersama ibu dan kakak juga adiknya. Ia ingin menjadi anak-anak saja; ingin men-jadi seperti Shigeko, tanpa kemampuan Tribe dan tidak punya saudara kembar. Menjadi anak laki-laki seharian telah menguras tenaganya, tapi itu tidak ada apa-apanya di-bandingkan dengan tuntutan yang baru. Sebelumnya ia merasa pelatihan Tribe mudah: menghilang, menggunakan sosok kedua, tapi cara yang baru ini sepertinya jauh lebih sulit dan lebih berbahaya. Maya tidak membiarkan sikap Taku memengaruhi diri-nya, kadang dengan wajah cemberut yang dingin, kadang dengan kemarahan. Maya mulai menyesali kematian si kucing dan kerasukan roh hewan itu; ia memohon pada Taku untuk menyingkirkannya. "Aku tidak bisa," sahut Taku. "Yang bisa kulakukan hanyalah membantumu belajar mengendalikannya, dan menguasainya." "Kau sudah terlanjur melakukannya," kata Sada. "Kau harus menerimanya." Kemudian Maya merasa malu dengan kelemahannya. Dikiranya ia akan suka men-jadi si kucing, tapi ternyata kucing itu lebih kejam dan menakutkan dari yang ia perki-rakan. Kucing itu ingin menariknya masuk ke dunia lain, dunia tempat para hantu dan arwah. "Kucing itu bisa memberimu kekuatan," kata Taku. "Kekuatan itu sudah ada; kau harus meraih dan memanfaatkannya!" Tapi meski berada di bawah pengawasan dan bimbingan Taku hingga Maya sudah terbiasa dengan roh yang hidup dalam dirinya, tapi ia tetap tidak bisa melakukan apa yang Taku harapkan: mengambil bentuk kucing itu lalu memanfaatkannya.* Bulan purnama di bulan kesepuluh semakin dekat, dan di mana-mana persiapan Perayaan Musim Gugur telah dimulai. Kegembiraan kian bertambah tahun ini dengan kenyataan bahwa Lord Otori sena putri sulungnya, pe-waris Maruyama, Lady Shigeko, akan meng-hadiri perayaan. Penduduk kota turun ke jalan setiap malam dengan pakaian berwarna cerah dan sandal baru sambil bernyanyi, me-lambaikan tangan di atas kepala. Maya sudah tahu kalau ayahnya dikenal banyak orang, bahkan dicintai, tapi tak sepenuhnya me-nyadari sampai tahap apa hingga mendengar-nya sendiri dari mulut orang-orang yang saat ini berbaur dengan dirinya. Tersiar juga berita bahwa wilayah ini secara resmi akan dipersembahkan kepada Shigeko karena sekarang usianya sudah mencukupi. "Memang benar," kata Taku pada Maya saat ia menanyakannya. "Hiroshi sudah membicarakannya denganku. Shigeko akan mengganti nama dan sejak saat ini dikenal Halaman 560 dari 560 sebagai Lady Maruyama." "Lady Maruyama," ulang Maya. Ke-dengarannya seperti legenda, nama yang sering didengar, dari Chiyo, dari Shizuka, dari para penyanyi balada yang menyanyikan dan menceritakan kisah-kisah Otori di sudut jalanan dan tepi sungai. "Ibuku sekarang yang memimpin Tribe, Lady Shigeko kelak akan memimpin Tiga Negara; sebaiknya kau berubah menjadi anak perempuan lagi sebelum usiamu semakin bertambah!" Taku menggodanya. "Aku tidak tertarik dengan Tiga Negara, tapi aku ingin memimpin Tribe!" sahut Maya. "Kau harus tunggu sampai aku mati!" Taku tertawa. "Jangan bilang begitu!" Sada memper-ingatkannya, seraya menyentuh lengannya. Taku langsung berpaling dan menatap Sada dengan pandangan yang membuat hati Maya berdebar sekaligus cemburu. Ketiganya berada di kamar kecil di ujung rumah Tribe. Maya tak menduga Taku datang begitu cepat-ia sudah di sana sejak kemarin malam. "Lihat saja, aku tidak bisa jauh darimu," kata Taku sewaktu Sada mengungkapkan rasa terkejutnya karena Taku datang cepat. Sada yang tak bisa menyembunyikan rasa senang, tidak bisa menahan diri untuk terus menyentuh Taku. Malam itu dingin dan terang. Empat hari sebelum pumama, bulan sudah makin membesar dan menguning. Meski udara dingin, daun jendela tetap terbuka; mereka bertiga duduk berdekatan di dekat tungku batu bara, selimut tebal menyelimuti tubuh mereka. Taku minum sake, tapi baik Sada maupun Maya tak suka rasanya. Satu lentera kecil kalah dengan gelapnya ruangan itu, tapi taman penuh sinar bulan dan bayang-bayang pekat. "Lalu ada kakakku," bisik Taku pada Sada, tidak lagi berkelakar, "yang percaya kalau sudah menjadi haknya untuk memimpin Tribe, sebagai kerabat tertua Kenji." "Aku takut ada juga orang lain yang tidak setuju Shizuka menjadi Ketua Muto. Perempuan belum pernah memimpin keluarga itu; orang-orang tidak suka bila tradisi diubah. Mereka menggerutu kalau tindakan ini menying-gung dewa-dewa. Bukannya menginginkan Zenko; mereka lebih memilihmu, pastinya, tapi penunjukan ibumu telah menyebabkan perpecahan." Maya mendengarkan dengan cermat, tanpa bicara, sadar akan hawa panas di satu sisi wajahnya, dan udara dingin di sisi wajah yang satunya lagi. Dari kota terdengar musik dan nyanyian, tabuhan genderang dengan irama tegas, disela dengan teriakan-teriakan parau. "Aku mendengar satu desas-desus hari ini," kata Sada. "Kikuta Akio terlihat di Akashi. Dia berangkat ke Hofu dua minggu lalu." "Sebaiknya kita segera kirim orang ke Hofu," kata Taku. "Dan cari tahu mau ke mana dia dan apa tujuannya. Apakah dia bepergian seorang diri?" "Imai Kazuo bersamanya, dan putranya." "Putra siapa?" Taku duduk tegak. "Bukan putra Akio, kan?" "Sepertinya ya, anak laki-laki berusia sekitar enam belas tahun. Mengapa kau begitu kaget?" "Kau tidak mengenal siapa anak itu?" "Dia adalah cucu Muto Kenji, semua orang tahu itu," sahut Sada. "Tidak ada lagi?" Sada menggeleng. "Kurasa itu adalah rahasia Kikuta," gumam Taku. Lalu sepertinya dia ingat akan kehadiran Maya. "Suruh anak itu tidur," katanya pada Sada. Halaman 561 dari 561 "Maya, tidurlah di kamar pelayan," perintah Sada. Sebulan lalu ia pasti akan protes, tapi ia sudah belajar mematuhi Sada dan Taku dalam segala hal. "Selamat malam," gumamnya, lalu bangkit berdiri. "Tutup jendelanya sebelum pergi," kata Taku. "Udara semakin dingin." Sada berdiri membantu. Jauh dari api membuat Maya kedinginan, dan begitu berada di kamar pelayan ia justru merasa lebih dingin. Semua orang sepertinya sudah tidur; Maya menemukan tempat di sela dua orang gadis dan merangkak melewati mereka. Di sini, di rumah Tribe semua orang tahu kalau ia anak perempuan; hanya di dunia luarlah ia harus tetap menyamar sebagai anak laki- laki. Tubuh Maya gemetar; ingin men-dengar apa yang Taku katakan, ingin bersamanya dan Sada: Maya memikirkan bulu kucing yang tebal dan halus menye-limuti dirinya, menghangatkan tubuhnya, dan gemetar tubuhnya berubah menjadi sesuatu yang lain, riak kekuatan menjalar ke sekujur tubuhnya karena si kucing meregang-kan otot-ototnya dan hidup lagi, Maya menyelinap dari balik selimut dan melangkah tanpa bersuara dari kamar itu, sadar akan bola matanya yang membesar dan pandangannya yang tajam, mengingat bagai-mana dunia itu penuh dengan gerakan kecil yang belum pernah diperhatikannya, men-dengarkan dengan agak takut suarasuara hampa para arwah. Ia sudah berada separuh jalan ke gang selasar ketika ia sadar tengah bergerak melayang di atas permukaan tanah, lalu menjerit keras ketakutan. Aku tidak bisa membuka pintunya, pikir Maya, tapi roh kucing lebih tahu, dan me-lompat ke jendela, melayang melewatinya, melambung menyeberangi beranda dan me-masuki ruangan tempat Sada dan Taku berangkulan. Maya berpikir akan menam-pakkan diri kepada mereka, kalau Taku akan merasa senang dan memujinya. Ia ingin ber-baring di antara mereka. Sada bicara dengan nada setengah malas, merangkum percakapan sebelumnya, kata-kata yang paling mengguncang diri Maya daripada semua yang pemah dialaminya, tapi bergema dalam roh kucing yang belum mati. "Bocah itu benar-benar putra Takeo?" "Ya, dan menurut ramalan, akan menjadi saru-satunya orang yang bisa membawa kematian padanya." Maya mengetahui keberadaan kakak laki-lakinya, dan ancaman terhadap ayahnya. Ia berusaha tetap diam tapi tidak bisa menahan lolongan ketakutan dan putus asa yang memaksa keluar dari tenggorokannya. Di-dengarnya Taku berseru, "Siapa di sana?" dan mendengar teriakan kaget Sada, dan ia melompat menerobos kasa dan keluar ke taman seolah bisa lari selama-lamanya, jauh dari segalanya. Tapi ia tidak bisa berlari dari suara-suara arwah yang bergemerisik di telinganya yang berdiri tegak dan merasuk ke dalam tulangnya yang rapuh dan cair. Di mana Penguasa kami?* Otori Takeo dan Arai Zenko tiba di Maruyama selang beberapa jam, sehari sebelum bulan purnama. Takeo datang dari Yamagata dan membawa sebagian besar orang istana Otori, termasuk Miyoshi Kahei dan adiknya Gemba, satu iring-iringan kuda membawa catatan-catatan administrasi yang harus ditangani saat ia berada di wilayah Barat, sejumlah besar pengawal, dan putri sulungnya, Udy Shigeko. Zenko didampingi pengawal yang sama banyaknya, kuda-kuda pengangkut keranjang berisi hadiah-hadiah mewah dan pakaian-pakaian mahal, burung rajawali dan anjing kecil milik Lady Arai, serta Lady Arai sendiri, di dalam tandu yang diukir dan dihias dengan indah. Halaman 562 dari 562 Kedatangan para pemimpin dengan iring-iringan mereka menutupi jalan dan me-menuhi rumah penginapan membuat pen-duduk kota gembira. Sebulan terakhir ini mereka telah menambah persediaan beras, ikan, kedelai, sake dan makanan khas daerah mereka, dan kini berharap bisa mendapat keuntungan besar. Musim panas bermurah haii menghasilkan panen berlimpah; Maruyama segera diserahkan pada pewaris perempuannya: banyak yang harus diraya-kan. Di mana-mana umbul-umbul berkibar tertiup angin, menggambarkan bukit bulat Maruyama bersama bangau Otori, dan jurumasak saling berlomba menciptakan santapan berbentuk bulat untuk meng-hormati bulan purnama. Takeo melihat itu semua dengan gembira. Maruyama adalah wilayah yang amat di-sayanginya karena di sinilah ia menghabiskan bulan-bulan pertama setelah pernikahannya dan mulai mempratikkan semua yang telah ia pelajari dari Lord Shigeru tentang pe-merintahan dan pertanian. Wilayah ini nyaris hancur tersapu badai dan gempa bumi di tahun pertama pemerintahannya. Kini, setelah enam belas tahun berlalu, wilayah ini menjadi kaya dan damai; perdagangan maju pesat, seni berkembang, anak-anak makan berkecukupan, semua luka bekas perang tampak telah lama pulih, dan Shigeko akan mengambil alih wilayah ini lalu memerintah berdasarkan hak dan kewajibannya. Takeo tahu putrinya layak mendapatkannya. Ia harus terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia berada di sini untuk menemui dua laki-laki yang mungkin akan merampas wilayah ini dari Shigeko. Salah satunya, Lord Kono, diberi penginapan seperti dirinya di dalam kastil. Zenko tinggal di kediaman yang paling bergengsi dan mewah di balik dinding kastil, yang dulunya adalah kediaman Sugita Haruki, pengawal senior wilayah tersebut yang bersama putranya memilih bunuh diri ketimbang setuju untuk menyerahkan kota ini kepada Arai Daiichi. Takeo penasaran apakah Zenko menyadari sejarah kesetiaan dari rumah itu, dan berharap kalau laki-laki itu dipengaruhi arwah dari para mendiang yang setia. Sebelum makan malam, saat Takeo harus bertemu dengan musuh-musuh potensialnya ini, dipanggilnya Hiroshi untuk bicara ber-dua. Pemuda itu tampak tenang dan waspada. Setelah membahas prosedur dan upacara untuk keesokan harinya, Takeo mengucapkan terima kasih atas kerja keras-nya. "Kau telah bertahun-tahun mengabdi pada keluargaku. Kami harus memberimu imbalan. Kau ingin tinggal di wilayah Barat? Akan kucarikan tanah dan bangunan untuk-mu serta seorang istri. Aku sudah memper-timbangkan cucu Lord Terada, Kaori. Dia gadis yang amat baik, kawan baik putriku." "Untuk memberiku tanah di Maruyama, berarti akan mengambilnya dari orang lain, atau dari Lady Shigeko," sahut Hiroshi. "Aku sudah bilang pada Taku: aku akan tetap di sini selama dibutuhkan-tapi keinginanku yang sebenarnya yaitu diijinkan mengundur-kan diri ke Terayama dan mengikuti Ajaran Houou." Takeo menatapnya tanpa langsung men-jawab. Tatapan mata Hiroshi beradu pandang dengannya lalu berpaling ke arah lain. "Dan untuk pernikahan... aku berterima kasih atas perhatian Anda, tapi aku sungguh-sungguh tak ingin menikah, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan pada seorang istri." "Keluarga mana pun di Tiga Negara akan menyambutmu dengan gembira sebagai menantu. Kau kurang menghargai dirimu. Bila kau tidak suka pada Terada Kaori, biar kucarikan gadis lain. Apakah ada gadis lain?" "Tidak ada," sahut Hiroshi. "Kau tahu betapa besar rasa sayang keluargaku padamu," lanjut Takeo. "Kau sudah seperti kakak laki-laki bagi ketiga putriku; andai usia kita tidak terlalu dekat jaraknya, aku pasti akan mengangkatmu menjadi putraku." "Kumohon, Lord Takeo, jangan Halaman 563 dari 563 diteruskan," kata Hiroshi dengan nada memohon. Wajahnya mulai memerah. Berusaha menyembunyikan rasa tertekannya dengan tersenyum. "Anda bahagia dalam perkawinan hingga ingin kami semua memiliki keadaan yang sama! Tapi aku ter-panggil ke jalan lain. Satu-satunya per-mintaanku adalah diijinkan mengikuti jalan itu." "Aku tidak akan menentang keinginanmu itu!" sahut Takeo, lalu memutuskan untuk menghentikan masalah pernikahan ini sementara waktu. "Tapi aku punya satu permintaan, yaitu mendampingi kami ke ibukota tahun depan. Seperti yang kau tahu, aku mengatur kunjungan damai ini atas permintaan para Guru Besar Ajaran Houou. Aku ingin kau ambil bagian dalam kun-jungan ini." "Ini merupakan kehormatan bagiku,' sahut Hiroshi. "Terima kasih." "Shigeko juga akan ikut denganku atas saran para Guru Besar. Kau harus melindunginya, seperti yang sudah biasa kau lakukan." Hiroshi membungkuk tanpa bicara. "Putriku mengusulkan agar kita membawa kirin, yang akan menjadi hadiah yang tak ada bandingnya untuk Kaisar." "Anda ingin memberikan kirin!" seru Hiroshi. "Aku rela memberikan segalanya bila itu mempertahankan kedamaian di negeri ini," sahut Takeo. Bahkan Shigeko? Keduanya tidak me-nyuarakan kata-kata itu, namun kata-kata itu bergema di benak Takeo. Ia tidak tahu apakah sudah bisa menjawab atau belum. Sesuatu dari perbincangan ini pasti telah membuatnya waspada sehingga di saat ia tidak disibukkan oleh Lord Kono, Zenko dan Hana, ditemukan dirinya lebih memerhati-kan Hiroshi dan putrinya saat makan malam. Mereka berdua, entah mengapa, lebih pendiam, dan sedih, nyaris tidak saling bicara atau bertatapan. Takeo tidak bisa meng-ungkapkan ada perasaan khusus apa di antara mereka berdua; dibayangkannya hati Shigeko tidak tersentuh. Tapi tentu saja mereka berdua sangat mahir menyembunyikan perasaan masing-masing. Makan malam berlangsung resmi dan anggun, dengan menu khas musim gugur di wilayah Barat: jamur pohon pinus, kepiting dan udang kecil, gurih dan gating, chestnuts and kacang ginko, disajikan di atas nampan berpernis dan tembikar berwarna coklat muda kekuningan pucat dari Hagi. Kaede telah membantu mengembalikan kediaman itu pada keindahan aslinya: tikar berwarna hijau keemasan dan beraroma manis; lantai dan balok-balok penyangga berkilau dengan hangat; di belakangnya berdiri kasa ber-hiaskan burung dan bunga musim gugur, burung gelatik dengan semak semanggi, burung puyuh dengan krisan. Takeo bertanya-tanya bagaimana pendapat Kono tentang semua yang dilihatnya di sini, dan bagaimana bila dibandingkan dengan istana Kaisar. Takeo meminta maaf atas ketidakhadiran istrinya, menjelaskan tentang kehamilan istrinya, dan ingin tahu apakah Zenko dan Hana kecewa dengan kabar ini karena akan menunda rencana pengangkatan kedua putra mereka. Takeo seakan melihat perasaan tidak suka sesaat sebelum Hana mulai mengucapkan selamat yang berlebihan, mengungkapkan kebahagiaannya, dan berharap kakaknya mendapatkan anak laki- laki. Takeo, pada gilirannya, dengan berhati-hati memuji Sunaomi dan Chikara-yang tidaklah sulit dilakukan karena ia dengan tulus memang menyayangi kedua anak itu. Kono berkata dengan sopan, "Aku sudah menerima surat dari Miyako. Aku paham Anda akan mengunjungi Kaisar tahun depan." "Bila beliau berkenan menerimaku, ituiah tujuanku," sahut Takeo. "Kurasa beliau akan menerima Anda. Semua orang ingin tahu tentang Anda. Bahkan Lord Saga Hideki telah meng-ungkapkan keinginannya untuk berjumpa dengan Anda." Halaman 564 dari 564 Takeo menyadari kalau Arai Zenko memerhatikan tiap kata dengan tetap menunduk. Dan bila mereka menyerang lalu membunuhku di sana, Zenko akan menunggu di wilayah Barat, mendahului restu sang Kaisar... "Lord Saga saat ini tengah memikirkan semacam olah-raga atau pertandingan. Beliau menulis surat kepadaku bahwa ketimbang menumpahkan darah ribuan orang, beliau lebih suka bertemu Lord Otori dalam per-tandingan-berburu anjing, mungkin. Itu kegemarannya." Takeo tersenyum. "Lord Saga tidak mengetahui masalah-masalah kecil kami. Beliau tidak tahu kalau tanganku yang cacat menghambatku untuk menarik busur." Untungnya, Takeo tidak bisa menahan untuk berpikir, karena aku tidak mahir memanah. "Baiklah, mungkin ada pertandingan yang lain. Keadaan istri Anda yang meng-haruskannya berdiam diri di rumah jadi tidak memungkinkannya mendampingi Anda?" "Begitulah. Tapi putriku akan ikut." Shigeko mengangkat kepala lalu melihat ke arah ayahnya. Tampak mata mereka bertemu lalu dia tersenyum kepada ayahnya. "Lady Shigeko bertunangan?" tanya Kono. "Belum, belum," jawab Takeo. "Lord Saga baru saja menduda." Suara Kono terdengar dingin dan datar. "Aku turut berduka." Takeo ingin tahu apakah ia bisa tahan menyerahkan putri sulungnya pada orang seperti Lord Saga- namun bisa menjadi persekutuan yang baik, dan bila itu bisa memastikan kedamaian di Tiga Negara... Shigeko angkat bicara, suaranya terdengar jernih dan tegas. "Aku tak sabar ingin ber-jumpa Lord Saga. Mungkin beliau akan menerimaku sebagai pengganti ayahku dalam pertandingan apa pun nantinya." "Lady Shigeko amat mahir memanah," imbuh Hiroshi. Takeo mengingat dengan takjub kata-kata Gemba: Akan ada semacam pertandingan di Miyako... putrimu sebaiknya ikut. Dia harus menyempurnakan keahlian menunggang kuda, memanah... Bagaimana Gemba bisa tahu hal ini? Takeo memandang ke seberang ruangan, ke arah Gemba yang duduk agak menjauh di sebelah adiknya, Kahei. Gemba tidak melihatnya, tapi ada senyum tipis tersung-ging di wajah montoknya. Kahei terlihat lebih tegas, menyembunyikan ketidak-setujuannya. Ini memperkuat bukti anjuran para Guru Besar, pikir Takeo cepat. Aku akan datang ke Miyako. Aku akan terima tantangan Saga, apa pun itu. Kami akan selesaikan masalnh tanpa harus berperang. Tampaknya Kono sama terkejutnya dengan Takeo, walaupun dengan alasan lain. "Aku tidak menyadari kalau perempuan di Tiga Negara begitu berbakat, dan pembe-rani," katanya pada akhirnya. "Seperti halnya Lord Saga, mungkin Anda belum mengenal kami dengan baik," sahut Shigeko. "Ini semakin menambah alasan mengapa kami harus berkunjung ke ibukota, agar Anda semakin memahami kami." Shigeko berbicara dengan sopan, namun juga tak bisa menghilangkan kesan berkuasa yang ada di balik kata-katanya. Dia tidak mem-perlihatkan rasa tidak suka bertemu dengan putra orang yang pernah menculik ibunya, atau kelihatan terintimidasi dengan ke-hadirannya. Rambut panjangnya tergerai di bahu; punggungnya tegak lurus, kulitnya nyaris bercahaya dengan jubah wama kuning pucat dan emas yang dikenakannya, dengan dedauan maple yang cerah. Takeo ingat saat pertama kali melihat Lady Maruyama Naomi: menurutnya perempuan itu seperti Jato, pedangnya, kecantikan yang menyem Halaman 565 dari 565 bunyikan kekuatan. Kini dilihatnya kekuatan yang sama pada putrinya, dan merasa agak lega. Apa pun yang terjadi, ia telah memiliki pewaris. Ini memastikan bahwa Tiga Negara akan tetap bersatu bila diwariskan kepada-nya. "Aku sungguh tidak sabar menantinya!" seru Kono. "Kuharap aku bisa dibebaskan dari keramahan Lord Otori untuk kembali ke Miyako sebelum Anda tiba di sana, dan memberitahukan kepada Yang Mulia Kaisar tentang semua yang kudapatkan di sini." Dia membungkuk dan bicara dengan ber-semangat, "Aku bisa meyakinkan bahwa semua taporanku akan berpihak kepada Anda." Takeo membungkuk sedikit tanda setuju, ingin tahu seberapa banyak kata-kata ini diucapkan dengan tulus, seberapa banyak pujian-dan niat buruk apa yang direnca-nakan Kono dan Zenko. Berharap Taku tahu lebih banyak, dan ingin tahu ada di mana dia sekarang, mengapa dia tidak hadir saat santap malam. Apakah Zenko tersinggung atas kehadiran dan pengawasan Taku sehingga sengaja tidak mengundang adiknya? Dan ia pun cemas ingin mendengar kabar tentang Maya. Ia tak dapat menahan diri untuk berpikir kalau ketidakhadiran Taku tak ber-kaitan dengan putrinya itu: kalau Maya dalam masalah; atau melarikan diri.... Disadarinya kalau pikirannya melayang jauh, dan tak mendengarkan kalimat terakhir Lord Kono. Dipaksa dirinya berkonsentrasi pada saat ini. Tampaknya tidak ada lagi alasan untuk menahan bangsawan itu; tentu saja, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk mengirimnya pulang dengan pikiran yang penuh dengan kesejahteraan wilayah ini, kesetiaan klan Seishuu-serta keindahannya, karakter dan kecantikan putri sulungnya. Tapi Takeo lebih suka mendengarnya dari Taku, detail mengenai kunjungan singkat Kono di wilayah Barat, hubungan bangsawan itu dengan Zenko dan Hana. Keramaian perayaan berlanjut hingga larut malam: pemusik memainkan kecapi tiga senar dan harpa, sementara dari kota terdengar genderang dan nyanyian. Takeo tidur tidak nyaman, pikirannya masih penuh dengan kecemasan atas ketiga putrinya, Kaede yang sedang mengandung. Saat bangun pagipagi, merasakan nyeri di tangan dan rasa sakit menjalari sekujur tubuhnya. Ia meminta Minoru dibangunkan, dan selagi minum teh ia mengingat-ingat apa saja yang ia katakan semalam, memeriksa kalau segala-nya telah dicatat dengan benar karena Minoru ditempatkan di balik kasa semalaman. Karena Kono diijinkan pergi, banyak hal yang harus disiapkan. "Apakah Lord Kono bepergian lewat laut atau darat?" tanya Minoru. "Lewat laut, bila ingin tiba sebelum musim dingin," sahut Takeo. "Pasti salju sudah turun di Jajaran Awan Tinggi: dia takkan tiba di sana sebelum perbatasan ditutup. Dia bisa saja lewat darat menuju Hofu dan naik kapal laut dari sana." "Jadi beliau akan melakukan perjalanan bersama Lord Otori sampai Yamagata?" "Ya, kurasa bagusnya begitu. Kita harus tunjukkan satu pemandangan lagi padanya. Sebaiknya kau siapkan Lady Miyoshi." Minoru membungkuk hormat. "Minoru, kau selalu hadir dalam per-temuanku dengan Lord Kono. Sikapnya padaku semalam sepertinya sedikit berubah, bagaimana pendapatmu?" "Sikapnya seperti hendak berbaikan," sahut Minoru. "Beliau pasti mengamati kepopuleran Lord Otori, pengabdian dan kesetiaan rakyat di sini. Di Yamagata aku yakin Lord Miyoshi akan menjelaskan ukuran dan kekuatan bala tentara kita. Lord Kono pasti membawa kabar kepada Kaisar dengan keyakinan bahwa Tiga Negara tak mudah ditaklukkan, dan.... " "Teruskan," sela Takeo. "Aku tidak berhak untuk mengatakannya, tapi Lady Shigeko belum menikah, dan Lord Kono pastinya akan lebih memilih untuk merundingkan pernikahan ketimbang me-mulai perang yang tidak bisa Halaman 566 dari 566 dimenangkan. Apabila beliau yang akan menjadi perantara, maka beliau harus mendapat kepercayaan dan persetujuan ayah calon mempelai perempuan." "Baiklah, kita akan terus menyanjung dan berusaha membuatnya terkesan. Ada kabar dari Taku? Aku menantikannya tadi malam." "Dia mengirim permintaan maaf kepada kakaknya, mengatakan bahwa dia sedang kurang sehat- hanya itu," sahut Minoru. "Apa aku harus menghubunginya?" "Tidak perlu, pasti ada alasan lain dengan ketidakhadirannya. Selama kita tahu dia masih hidup, maka semuanya baik-baik saja." "Tentunya tak ada orang yang akan menyerang Lord Kono, di Maruyama sini?" "Taku telah menyinggung banyak pihak dengan mengabdi padaku," tutur Takeo. "Tak satu pun dari kita yang benar-benar aman." Panji-panji Klan Maruyama, Otori serta Seishuu berkibaran di atas lapangan kuda di depan kastil. Parit yang mengelilinginya penuh dengan perahu-perahu berlambung datar yang ditumpangi para penonton. Anjungan dari sutra didirikan bagi kelompok masyarakat dengan klas lebih tinggi, dan lambang berhias rumbai bergelanmngan dari atap dan dari tiang pancang yang ditanam di sekelilingnya. Takeo duduk di atas mimbar yang ditinggikan di salah satu pavilion ini, bantal dan karpet bertebaran di lantai. Kono di sebelah kanan, dan Zenko di sebelah kiri, dan di belakang Zenko, Hana. Hiroshi berada di depan mereka dengan menunggang kuda abu-abu pucat dengan surat dan ekor hitam. Kuda pemberian Takeo bertahun-tahun lalu itu menunggu diam tak bergerak bak patung. Di belakang-nya, tanpa kuda, memegang kotak-kotak berpernis, berdiri para tetua klan, semua mengenakan jubah tebal berhias bordiran emas, dan bertopi hitam. Di dalam kotak-kotak terdapat harta kekayaan wilayah ini, dan gulungan berisi silsilah keluarga meng-gambarkan silsilah Shigeko melalui semua perempuan Maruyama. Kaede seharusnya berada di sini, pikir Takeo dengan rasa menyesal; rindu berjumpa dengan istrinya untuk menceritakan pemandangan ini. Takeo turut merencanakan upacara ini- semuanya dilakukan Hiroshi karena ini merupakan ritual kuno Maruyama yang belum dilaksanakan lagi sejak Lady Naomi mewarisi wilayah ini. Takeo memindai kerumunan orang, ingin tahu di mana Shigeko, dan kapan putrinya akan muncul. Di antara kerumunan perahu, tiba-tiba dilihatnya Taku, tidak berpakaian resmi seperti kakaknya, Zenko, tapi berpakaian pedagang biasa yang lusuh. Di sampingnya berdiri seorang pemuda tinggi dan seorang lagi yang tampak amat tidak asing. Butuh beberapa waktu bagi Takeo untuk menyadari kalau orang itu adalah putrinya, Maya. Takeo merasa takjub-kalau ternyata Taku mengajak putrinya datang dengan menyamar, kalau ternyata ia tidak menge-nalinya-diikuti dengan rasa lega yang berdesir cepat kalau putrinya masih hidup dan baik-baik saja. Maya tampak lebih kurus, agak lebih tinggi, bola matanya lebih jelas dengan wajah tajamnya. Seorang lagi pastilah Sada, pikirnya, meskipun dia menyamar hingga hampir tidak dikenali. Taku pasti tak ingin meninggalkan Maya karena bila tidak, dia pasti datang sebagai dirinya sendiri. Taku pasti tahu ia akan mengenali mereka bertiga, saat orang lain tak ada yang tahu. Pesan apa yang dibawanya? Ia harus bertemu mereka: ia akan temui mereka malam ini. Perhatiannya tertuju kembali ke upacara setelah mendengar derap kaki kuda. Dari ujung arah barat di sebelah luar kastil datang iring-iringan kecil perempuan yang me-nunggang kuda. Mereka adalah istri dan putri para tetua yang menunggu di belakang Hiroshi. Mereka bersenjatakan ala perem-puan wilayah Barat, menyandang busur di bahu serta tabung berisi anak panah di Halaman 567 dari 567 punggung mereka. Takeo mengagumi kuda-kuda Maruyama yang tinggi dan gagah, dan hatinya makin meluap-luap saat melihat putrinya berada di punggung kuda yang paling bagus, di tengah iringan itu-kuda hitam yang dijinakkannya sendiri, dan diberi nama Tenba. Kuda itu terlalu bersemangat dan berjingkrak, mengi-baskan kepala dan agak mundur selagi Shigeko menyuruhnya berhenti. Shigeko duduk tenang bak patung; rambutnya, dikuncir ke belakang, sama hitamnya dengan surai dan ekor kuda yang dia tunggangi, juga berkilauan seperti kulitnya yang tertimpa sinar matahari musim gugur. Tenba tenang dan santai. Para perempuan di atas kuda menghadap ke arah para laki-laki yang berdiri, dan tepat di saat bersamaan, para tetua berlutut sambil memegang kotak dengan merentangkan tangan dan membungkuk dalam-dalam. Hiroshi bicara dengan lantang. "Lady Maruyama Shigeko, putri Shirakawa Kaede dan sepupu kedua Maruyama Naomi, kami menyambut Anda ke wilayah yang telah dipertahankan atas kepercayaan bagi Anda." Hiroshi melepaskan kakinya dari pijakan sadel lalu turun dari kuda, menarik pedang dari sabuknya lalu berlutut di hadapan Shigeko, menyerahkan pedang dengan kedua tangannya. Sesaat Tenba terkejut karena gerakan Hiroshi yang mendadak, dan Takeo melihat penguasaan diri Hiroshi langsung buyar. Disadarinya ternyata sikap Hiroshi lebih dari sikap seorang ksatria pada atasannya. Teringat olehnya minggu-minggu yang mereka habiskan bersama untuk menjinak-kan Tenba. Kecurigaannya terbukti sudah. Ia tak tahu bagaimana perasaan putrinya, tapi perasaan Hiroshi tak diragukan lagi. Kini sudah jelas baginya, dan ia merasa heran tidak menyadari hal itu sebelumnya. Perasaan Takeo kesal sekaligus iba-mustahil memberikan keinginan Hiroshi-tapi ia mengagumi pengendalian diri dan peng-abdian pemuda itu. Itu karena mereka dibesarkan bersama, pikirnya. Shigeko menyayanginya, tapi hatinya tak tersentuh. Dicermati putrinya baik-baik sewaktu dua perempuan berkuda turun dari kuda lalu memegangi tali kekang Tenba. Shigeko meluncur turun dengan anggun dari punggung kuda lalu menghadap ke Hiroshi. Ketika Hiroshi menengadah, tatapan mereka bertemu. Shigeko tersenyum tipis lalu mengambil pedang itu. Kemudian ia berbalik dan mengacungkan pedang itu tinggi-tinggi ke setiap arah bergantian, membungkuk hormat ke arah kerumunan orang, kepada semua tetua dan rakyatnya. Teriakan rakyat bergemuruh, seolah semua yang hadir bicara dalam satu suara, lalu suaranya pecan, bak gelombang menghempas batu karang, menjadi sorak-sorai gegap gempita. Kuda-kuda berjingkrak penuh semangat. Shigeko menghunjamkan pedang ke sabuknya lalu naik ke kudanya kembali, begitu pula halnya dengan para perempuan yang lain. Kuda-kuda berderap mengitari dinding sebelah luar kastil, kemudian ber-baris dalam satu barisan lurus ke arah pinggiran, menuju sasaran. Tiap penunggang kuda menjatuhkan tali kekang di leher kuda, mengambil busur, menempatkan anak panah lalu menariknya, semuanya dalam satu gerakan cepat dan luwes. Anak-anak panah beterbangan satu menyusul yang lainnya, mengenai sasaran berbarengan. Akhirnya Shigeko mendekat, kuda hitamnya berlari laksana angin, laksana kuda dari surga, dan anak panahnya tepat mengenai sasaran. Shigeko membalikkan kuda lalu berderap kembali, menarik tali kekangnya agar berhenti di depan Takeo. Dia melompat dari punggung Tenba lalu berkata dengan lantang, "Maruyama bersumpah untuk ber-sekutu dan setia pada Klan Otori, dan sebagai pengakuannya saya persembahkan kuda ini kepada Lord Otori, ayahku." Dipegangnya tali kekang, lalu menunduk. Sekali lagi terdengar seruan dari ke-rumunan saat Takeo berdiri dan melangkah turun dari mimbar. Menghampiri Shigeko lalu mengambil tali kekang kuda itu dengan begitu terharu sehingga tak mampu berkata-kata. Tenba menurunkan kepala lalu menggesek-gesekkan kepalanya ke bahu Takeo. Kuda itu jelas keturunan kuda Shigeru, Kyu dan Aoi, yang pernah terluka parah oleh raksasa Jin-emon. Takeo menyadari kalau bayangan masa lalu kini mengelilingi dirinya: arwah mereka yang telah berpulang, tatapan setuju mereka. Ia merasa bangga dan bersyukur telah membesarkan anak yang cantik ini, kalau putrinya ini telah dewasa dan mendapaikan warisannya. Halaman 568 dari 568 "Kuharap Tenba bisa menjadi kuda kesayangan Ayah seperti halnya Shun," ujar Shigeko. "Aku belum pernah melihat kuda yang lebih hebat-yang bergerak seperti terbang." Takeo ingin sekali menunggangi kuda itu, memulai ikatan panjang misterius antarmakhluk hidup. Dia akan hidup Ubih lama dariku, pikirnya dengan gembira. "Maukah Ayah menungganginya?" "Pakaian Ayah ini kurang cocok bila ber-kuda," sahut Takeo. "Biar Ayah menun-tunnya, dan kita akan berkuda bersama nanti. Sementara itu, Ayah sangat berterima kasih. Ini hadiah yang terindah." Menjelang akhir senja, ketika matahari mulai tenggelam. mereka berkuda di jalur melewati pesisir ke mulut sungai. Rombongan itu tidak hanya terdiri dari Takeo, Shigeko dan Hiroshi-meskipun ketiganya lebih suka begitu-tapi juga ada Lord Kono, Zenko dan Hana. Zenko menyatakan kalau ia merasa mual dengan jamuan dan upacara, dan perlu berkuda untuk menjernihkan pikiran. Hana ingin membawa keluar burung-burung rajawali miliknya, dan Kono mengaku ingin berbagi kegemaran dengan Hana saat berburu meng-gunakan burung rajawali yang terlatih. Rute perjalanan mereka melewati desa gelan-dangan yang dibangun Takeo bertahun-tahun lalu, ketika Jo-An masih hidup. Para gelandangan masih menjemur kulit hewan di sini sehingga dijauhi penduduk, tapi mereka dibiarkan hidup dengan damai. Kini anak-anak dari para gelandangan yang pernah membangun jembatan yang memungkinkan Takeo melarikan diri dari kejaran pasukan Otori, juga terlihat cukup makan, sehat seperti orangtuanya. Takeo, Hiroshi dan Shigeko berhenti untuk menyalami kepala desa, sementara yang lainnya berjalan terus. Ketika mereka menyusul kelompok berburu, rajawali yang sudah dilepas terbang melayang di atas padang rumput, bergerak kian kemari bak ombak di laut, pancaran terakhir sinar matahari berkilauan di sela-sela jambul di kepalanya. Takeo yang sudah bisa menyesuaikan diri dengan kuda itu, membiarkannya melangkah lebih bersemangat. Kuda ini mungkin tidak sepandai Shun, tapi bersemangat dan sama responsifnya, dan jauh lebih cepat. Satu kali Tenba mundur ketika seekor ayam hutan tertembak di bawah kakinya dengan gerakan cepat dari sayapnya yang terbentang, dan Takeo mesti mengerahkan tenaga untuk mengingatkan siapa yang pegang kendali. Beruntung aku tidak harus mengandalkannya dalam pertempuran, katanya pada dirinya sendiri. Masa-masa itu telah berakhir. "Kau mengurusnya dengan baik," katanya pada Shigeko. "Meskipun Lord Otori memiliki kekurangan, tapi itu tak mengurangi kemahirannya berkuda," komentar Kono. "Benar, aku lupa itu saat berkuda," kata Takeo, tersenyum. Menunggang kuda membuatnya merasa seperti muda kembali. Merasa hampir menyukai Kono, kalau ternyata dia telah salah menilai laki-laki itu, dan kemudian marah pada dirinya sendiri karena begitu mudah merasa tersanjung. Di atas kepalanya keempat rajawali terbang berputar-putar, dua di antaranya menukik berbarengan dan tegak lurus ke tanah. Salah satunya terbang tinggi lagi, seekor ayam hutan dalam cengkeraman cakarnya menggelepar: yang lainnya memekik marah. Mengingatkan Takeo bahwa yang kuat memangsa yang lemah, begitu pula nantinya musuh-musuhnya memangsanya. Dibayangkannya mereka seperti rajawali, terbang melayang, menunggu. Mereka kembali saat matahari tenggelam, bulan purnama muncul di balik pepohonan plum, bentuk tubuh kelinci terlihat jelas di bulatan yang berkilat. Jalan-jalan dipenuhi kerumunan orang, biara dan toko kebanjiran pengunjung, udara penuh aroma kue mochi yang dipang-gang, ikan dan belut panggang, minyak wijen dan kecap. Takeo bersyukur dengan reaksi rakyatnya. Penduduk kota memberi jalan dengan penuh hormat, banyak di antaranya yang berlutut atau menyeru namanya atau nama Shigeko. Mereka tidak menatap dengan ketakutan, atau pandangan putus asa dan kelaparan seperti yang dialami Shigeru. Mereka tak lagi butuh pahlawan menolong mereka. Mereka melihat Halaman 569 dari 569 kesejahteraan dan kedamaian mereka sebagai jalan hidup yang benar, diraih dengan kerja keras dan kepandaian mereka sendiri.* Kastil dan kota sudah sunyi senyap. Bulan sudah meninggi; langit malam penuh bintang berkilauan. Takeo duduk bersama Minoru, dua lentera menyala di dekat mereka, meninjau kembali percakapan tadi sore dan kesan yang didapat pemuda itu. "Aku ingin keluar sebentar," kata Takeo saat mereka sudah selesai. "Aku harus me-nemui Taku karena aku hanya punya waktu dua hari ini bila ingin mengantar Kono ke Hofu sebelum musim dingin. Tetap di sini, dan jika ada yang tanya, berpura-puralah kita sedang mengurus bisnis penting jadi tak ingin diganggu. Aku akan kembali sebelum pagi." Minoru sudah terbiasa dengan pengaturan seperti ini dan dia hanya membungkuk. Dibantunya Takeo berganti pakaian ber-warna gelap yang sering dipakainya di malam hari. Takeo melilitkan sehelai syal di kepala untuk menutup wajah, dua botol sake, pedang pendek dan sarung pisau lempar, lalu disembunyikan di balik pakaiannya. Andai Kono bisa melihatku seka rang, pikirnya selagi melewati kamar bangsawan itu. Takeo tahu kalau tak seorang pun bisa melihatnya karena ia sedang menghilangkan diri. Bila menunggang kuda membuatnya merasa kembali muda, begitu pula dengan yang satu ini- kenikmatan mendalam yang timbul oleh kemampuan kuno ini tak pernah hilang, Setelah yakin tidak ada orang di ujung caman, ia melompat ke puncak dinding antara taman dan dinding sebelah luar yang pertama. Berlari melintasi puncak dinding ke seberang lalu menjatuhkan diri ke atas lapangan kuda di dalam dinding sebelah luar yang kedua. Umbul-umbul masih meng-gelantung di sana, terkulai di bawah cahaya bintang. Karena berpikir saat itu terlalu dingin untuk berenang, maka setelah menyeberang sungai ia memanjat merayap dinding dan menyusuri sampai ke gerbang utama. Para penjaga masih terjaga: ia men-dengar para penjaga bicara saat ia melintasi atap yang lebar dan melengkung, tapi mereka tidak mendengarnya. Ia berlari melewati jembatan, membiarkan dirinya terlihat setelah sampai di ujungnya lalu berjalan cepat-cepat ke kota yang penuh dengan jalan dan lorong yang berliku-liku. Ia tahu di mana Taku berada: kediaman lama Muto. Dulu ia mengenai setiap rumah Tribe di Maruyama, letak, ukuran dan penghuninya. Ia masih menyesali cara yang pernah ia gunakan saat pertama kali ke Maruyama bersama Kaede; bertekad menunjukkan kekejamannya pada Tribe: membunuh atau mengeksekusi sebagian besar dari mereka. Ia mengira satu-satunya cara menghadapi kejahatan yaitu dengan dibasmi, tapi kini, bila bisa mengulang masa itu ia akan berusaha berunding tanpa pertumpahn darah... Ia masih harus meng-hadapi dilema itu: bila saat itu ia mem-perlihatkan kelemahannya, maka ia takkan sekuat sekarang untuk dapat memaksakan kehendaknya dengan welas asih. Tribe mungkin membencinya karena itu, tapi setidaknya mereka tidak meremehkannya. Ia sudah menyediakan cukup waktu untuk membuat negerinya aman. Di biara di ujung jalan, ia berhenti seperti yang selalu dilakukannya, dan menaruh botol sake di depan dewa keluarga Muto, me mohon maaf dari para mendiang. Muto Kenji memaafkanku, katanya, dan aku pun memaafkannya. Kami adalah teman dekat dan sekutu. Semoga kalian mau melakukan hal yang sama padaku. Tidak ada yang memecahkan kesunyian malam itu, tapi ia merasa tidak sendirian. Takeo merangsek kembali ke dalam bayangan, tangan di gagang pedang. Ia men-dengar gemerisik di dedaunan yang telah jatuh, seolah ada makhluk yang bergerak melintasinya. Diintipnya ke arah suara tadi, dan melihat dedaunan terserak pelan di bawah pijakan kaki yang tak terlihat. Ditangkupkan kedua tangan Halaman 570 dari 570 di depan dahi untuk membuka mata lebih lebar, dan kemudian melihat ke arah kirinya, men-deteksi kemampuan menghilang. Makhluk itu menatapnya dengan mata hijau berkilau terkena sinar bintang. Hanya seekor kucing, pikirnya, tipuan cahaya-kemudian ia menyadari dengan terperanjat ternyata tatapan mata kucing itu mengunci tatapannya; ia merasa terkejut karena ketakutan yang amat dalam. Kucing itu seperti makhluk halus yang tinggal di tempat ini, dikirim mereka yang sudah mati untuk menghukumnya. Takeo merasa hampir jatuh ke dalam sihir tidur Kikuta, merasa kalau pembunuh Kikuta sedang memanfaatkan makhluk halus ini. Segera mempertahankan diri kini sudah menjadi sifat keduanya, membunuh sebelum di-bunuh. Memanggil semua kekuatan dalam dirinya untuk mematahkan tatapan me-matikan itu, lalu merogoh pisau lemparnya dengan sembarangan. Begitu pisau pertama yang terpegang langsung dilemparnya, me-lihat pantulan cahaya bintang selagi pisau itu berputar, mendengar akibatnya dan jerit kesakitan hewan itu. Kemampuan meng-hilang kucing itu sirna di saat melompat ke arahnya. Kini pedang sudah di tangannya. Dilihat-nya kucing itu menunjukkan sederetan gigi. Mahkluk itu memang kucing, tapi kucing dengan ukuran dan kekuatan serigala. Serangkaian cakarnya menggaruk wajah Takeo saat ia berkelit lalu berbalik agar cukup dekat untuk bisa menikam leher kucing itu, lalu ia menampakkan diri agar bisa lebih fokus pada serangannya. Tapi kucing itu berkelit melarikan diri. Jeritan kucing itu terdengar seperti jeritan manusia. Di sela-sela rasa kaget dan takut karena pertarungan itu, Takeo mendengar suara yang sudah dikenalnya. "Ayah," jerit hewan itu lagi. "Jangan sakiti aku! Ini aku, Maya!" Maya berdiri di hadapannya. Takeo mem-butuhkan seluruh kekuatannya untuk dapat menghentikan tikaman pisau yang nyaris menggorok leher putrinya sendiri. Ia men-dengar juga jerit putus asanya sendiri selagi memaksa tangannya membelokkan arah pisaunya. Pisau itu terjatuh dari genggamannya. Meraih tubuh Maya lalu menyentuh wajahnya, merasakan basah karena darah atau air mata atau keduanya, "Aku nyaris membunuhmu," kata Takeo iba karena putrinya hampir terbunuh, sadar dengan air mata di pelupuk matanya sendiri, dan ketika menyingsingkan lengan baju untuk menyekanya, dirasakannya sengatan bekas dicakar, tetesan darah di wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau di luar sendirian?" Hampir lega rasanya mengungkapkan kebingungannya dengan kemarahan. "Maaf, aku menyesal," Maya menangis seperti anak kecil, bingung dan sedih. Dipeluknya Maya erat-erat, terkejut ternyata putrinya sudah besar. Kepala Maya me-nyembul di antara tulang dada Takeo; badannya tegak dan keras, lebih mirip badan anak laki-laki. "Jangan menangis," ujar Takeo dengan ketenangan penuh pengertian. "Kita akan menemui Taku, dan dia akan menceritakan pada Ayah apa yang terjadi pada dirimu." "Aku menyesal telah menangis," katanya dengan sesunggukan. "Ayah kira kau menyesal karena sudah berusaha membunuh ayahmu sendiri," sahut Takeo seraya menggandeng tangan putrinya melewati gerbang kuil ke jalanan. "Tadi aku tidak tahu kalau itu Ayah. Aku tidak bisa melihat Ayah. Kukira Ayah adalah pembunuh Kikuta. Begitu mengenali Ayah, aku berubah wujud. Aku tidak selalu melakukan itu dengan cepat, tapi aku makin pandai. Kendati aku tidak perlu menangis. Aku tak pernah menangis. Lalu tadi kenapa aku menangis?" "Mungkin karena kau senang berjumpa Ayah?" "Memang," Maya meyakinkan. "Tapi aku belum pernah menangis bahagia. Itu pasti karena terkejut. Aku takkan menangis lagi." "Tidak ada salahnya menangis," tutur Takeo. "Tadi Ayah juga menangis." Halaman 571 dari 571 "Kenapa? Apakah aku menyakiti Ayah? Pasti tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan luka-luka yang pernah Ayah derita." Maya menyentuh wajahnya sendiri, "Ayah melukaiku lebih parah." "Dan Ayah amat menyesal. Ayah lebih baik mati dari-pada menyakitimu." Dia sudah berubah, pikir Takeo; bahkan cara bicaranya kasar, tanpa perasaan. Dan ada semacam tuduhan yang kuat di balik kata-katanya, sesuatu yang lebih dari sekadar luka fisik. Ketidakpuasan apa lagi yang ada dalam diri putrinya pada dirinya? Apakah kebencian karena dikirim jauh dari rumah, atau sesuatu yang lain? "Kau seharusnya tidak di luar sendirian." "Ini bukan salah Taku," sahut Maya cepat. "Ayah jangan menyalahkannya." "Siapa lagi yang harus disalahkan? Ayah memercayakan dirimu padanya. Dan di mana Sada? Ayah lihat kalian bertiga bersama tadi pagi. Mengapa dia tak bersamamu?" "Bukankah itu indah?" sahut Maya, menghindari pertanyaannya. "Shigeko kelihatan sangat cantik. Dan kuda itu! Ayah suka dengan hadiahnya? Apakah Ayah ter-kejut?" "Entah mereka yang lengah atau kau yang tak patuh," kata Takeo, menampik per-hariannya dialihkan oleh komentar tiba-tiba Maya yang kekanak-kanakan. "Aku yang tidak patuh. Tapi aku memang harus bersikap begitu karena aku bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Tak ada orang yang bisa meng-ajariku. Aku yang harus mencari tahu." Maya menatap Takeo dengan tajam. "Kurasa Ayah belum pernah melakukannya?" Sekali lagi Takeo merasakan tantangan yang lebih berat. Tak bisa disangkalnya, tapi memutuskan untuk tak menjawab, apalagi sekarang-karena mereka sudah dekat gerbang kediaman Muto. Pedih terasa menyengai wajahnya, dan tubuhnya terasa sakit karena pertarungan yang tiba-tiba dan keras tadi. Ia tak bisa melihat luka Maya dengan jelas, tapi bisa membayangkannya- luka itu harus segera diobati bila tidak ingin berbekas. "Apakah keluarga di sini bisa dipercaya?" bisik Takeo. "Aku belum menanyakannya pada diriku sendiri!" sahut Maya. "Mereka keluarga Muto, kerabat Taku dan Sada. Pastinya begitu, kan?" "Baiklah, segera saja kita cari tahu," gumam Takeo, dan mengetuk gerbang yang dipalang, memanggil-manggil penjaga di dalam. Anjing menyalak marah. Perlu waktu agar dapat meyakinkan mereka untuk membuka gerbang karena tidak segera mengenali Takeo, tapi mereka mengenal Maya. Mereka melihat darah di bawah sinar lentera yang mereka bawa, berseru kaget lalu memanggil Taku-Takeo perhatikan, tidak satu pun dari mereka menyentuh Maya. Tentu saja mereka meng-hindari berdekatan dengannya, maka Maya berdiri seolah dikeliligi pagar yang tak nampak. "Dan Anda, tuan, apakah Anda terluka juga?" Salah satu orang menaikkan lentera hingga sinarnya jatuh menimpa pipi Takeo yang tak berusaha untuk menutupi dirinya; ingin melihat reaksi mereka. "Ini Lord Otori!" bisik laki-laki itu, dan yang lainnya langsung berlutut. "Masuklah, tuan." Laki-laki yang memegang lentera tadi berdiri di samping, menerangi teras. "Bangunlah," kata Takeo kepada orang-orang yang berlutut. "Bawakan air, dan sedikit kertas halus atau gumpalan kain sutra untuk menghentikan pendarahannya." Takeo melangkah melewati teras, dan gerbang di-tutup dengan cepat lalu dipalang. Penghuni rumah sudah terbangun; lentera di dalam rumah dinyalakan, dan pelayan berdatangan dengan mata masih mengantuk. Taku muncul dari ujung beranda, berpakaian jubah tidur berbahan katun, jaket berlapis meng-gantung di bahunya. Dia melihat Maya lebih dulu, dan langsung segera menghampiri. Takeo kira Maya akan di-pukul-tapi Taku memberi isyarat kepada penjaga untuk Halaman 572 dari 572 membawakan lentera, lalu memegangi kepala Maya dengan kedua tangan lalu memiringkannya ke kanan dan ke kiri agar bisa melihat luka di pipinya. "Apa yang terjadi?" tanyanya. "Kecelakaan," sahut Maya. "Aku meng-halangi jalan." Taku membimbing Maya ke beranda, menyuruhnya duduk lalu berlutut di sampingnya, mengambil segumpal kain dari pelayan lalu merendamnya dalam air. Di basuhnya luka Maya dengan hati-hati, meminta agar lentera lebih didekatkan. "Ini kelihaian seperti terkena pisau lempar. Siapa yang ada di luar sana dengan pisau lempar?" "Tuan, Lord Otori ada di sini," kata penjaga. "Beliau juga terluka." "Lord Takeo?" Taku memicingkan mala ke arah Takeo. "Maaf tadi aku tak melihat. Anda tak terluka parah, kan?" 'Tidak apa-apa," sahut Takeo, bergerak menghampiri beranda. Di anak tangga, salah satu pelayan maju untuk melepas sandalnya. Takeo berlutut di samping Maya. "Mungkin sulit untuk menjelaskan bagaimana aku bisa melakukannya. Bekas lukanya akan kelihatan selama beberapa waktu." "Maafkan aku," Taku mulai angkat bicara, tapi Takeo menaikkan tangan memberi isyarat agar Taku diam. "Kita bicara lagi nanti. Lakukan yang terbaik untuk mengobati luka putriku. Aku cemas lukanya akan berbekas." "Panggilkan Sada." perintah Taku kepada salah satu pelayan, dan beberapa waktu kemudian perempuan muda itu muncul dari ujung beranda, berpakaian seperti Taku dengan jubah tidur, rambutnya yang sepanjang bahu tergerai di wajahnya. Dia melihat Maya secepatnya lalu masuk ke rumah, kembali dengan membawa kotak kecil. "Ini salep pemberian Ishida," kata Taku, seraya mengambil dan membukanya. "Pisau-nya tidak beracun, kan?" Tidak," sahut Takeo. "Untung tidak terkena mata. Kau yang melemparnya?" "Kurasa begitu." "Setidaknya kita tak harus mencari para pembunuh Kikuta." Sada memegangi kepala Maya sementara Taku mengoleskan salep itu di lukanya; salep itu tampak agak lengket, seperti lem, dan menyatukan pinggiran luka sa-yatan. Maya duduk diam tanpa bergerak kesakitan, bibirnya mengkerut seolah ingin tersenyum, matanya terbuka lebar. Ada semacam ikatan aneh di antara mereka bertiga, pikir Takeo, karena adegan yang ada di depannya ini sarat dengan muatan emosi. "Ikut dengan Sada," kata Taku pada Maya. "Berikan sesuatu untuk membuatnya tidur," katanya pada Sada. "Dan temani dia malam ini. Aku ingin bicara dengannya besok pagi." "Aku benar-benar menyesal," kata Maya. "Aku tidak bermaksud menyakiti ayahku." Namun nada suaranya justru kedengaran bertentangan dengan perkataannya. "Kami akan pikirkan hukuman yang akan membuatmu lebih menyesal lagi," ujar Taku. "Aku sangat marah, dan aku yakin Lord Otori juga begitu." "Mendekatlah," katanya pada Takeo. "Biar kulihat apa yang telah dilakukannya pada-mu." "Mari masuk ke dalam," sahut Takeo. "Lebih baik kita bicara berdua saja." Sambil menyuruh pelayan membawakan air segar dan teh, Taku berjalan di depan ke ruang kecil di ujung beranda. Dilipatnya tikar tidur lalu mendorongnya ke sudut. Satu lentera masih menyala, dan di Halaman 573 dari 573 sebelahnya berdiri sebotol sake dan mangkuk minum. Takeo mengamati semua yang di ada di ruangan itu tanpa sepatah kata pun. "Semula aku berharap bertemu denganmu sebelum kejadian ini," ujar Takeo, nada suaranya terdengar dingin. "Aku tak berharap berjumpa putriku dengan cara seperti ini." "Benar-benar tak ada alasan," sahut Taku. "Tapi aku obati dulu luka Anda; duduk di sini, dan minum ini." Taku menuang sake terakhir ke mangkuk dan memberikannya kepada Takeo. "Kau tidak tidur sendirian, tapi kau minum sendirian?" Takeo menghabiskan sake dengan sekali leguk. "Sada tidak menyukainya." Dua laki-laki muncul di pintu, yang satu membawa air, dan yang satunya lagi membawa teh. Taku mengambil mangkuk berisi air lalu membasuh pipi Takeo, Bekas cakarannya terasa perih. "Bawakan sake lagi untuk Lord Otori," pinta Taku pada si pelayan. "Darahnya cukup banyak," gumamnya. "Cakarnya menyayat cukup dalam." Taku terdiam ketika si pelayan kembali dengan membawa sebotol sake. Lalu pelayan itu mengisi mangkuk minum sampai penuh lalu Takeo menenggaknya sampai habis lagi. "Kau punya cermin?" tanya Takeo pada pelayan itu. Dia mengangguk. "Akan kuambilkan." Si pelayan kembali dengan membawa sebuah benda yang lerbungkus kain coklat tua, berlutut lalu menyerahkannya pada Takeo. Dibukanya bungkusan itu. Cermin itu sangat berbeda dengan yang pernah dilihatnya, pegangannya panjang, bulat, permukaan kacanya mengkilap. Takeo jarang melihat bayangannya sendiri-dan belum melihat dengan begitu jelas-dan kini takjub pada wajahnya sendiri. Ia tidak pernah tahu bagaimana wajahnya-sangat mirip Shigeru, namun lebih kurus dan lebih tua. Bekas cakaran di pipinya memang dalam, pinggiran luka merah hati, darah yang mengering berwarna lebih gelap. "Cermin ini berasal dari mana?" Pelayan itu menatap Taku dan bergumam, "Dari Kumamoto. Sesekali pedagang mem-bawa barang dagangan, seorang laki-laki Kuroda, Yasu. Kami membeli pisau dan peralatan darinya-dia juga membawa cermin ini." "Kau pernah lihat cermin ini?" tanya Tiikeo pada Taku. "Belum untuk yang satu ini. Aku pernah lihat cermin yang serupa di Hofu dan Akashi. Cermin-cermin ini cukup populer." Diketuk bagian permukaannya. "Terbuat dari kaca." Bagian belakangnya terbuat dari semacam logam yang tidak segera dikenali oleh Takeo, diukir atau dibentuk menjadi motif bunga-bunga yang saling terjalin. "Benda ini dibuat di negeri seberang," tuturnya. "Sepertinya begitu," Taku setuju. Takeo melihat lagi bayangan wajahnya. Sesuatu tentang cermin asing itu meng-ganggunya. Dan ia berusaha menyingkirkan perasaan itu sekarang. "Bekas luka ini akan lama hilangnya," katanya. "Uhh," Taku setuju, seraya menyeka luka itu dengan segumpal kertas bersih untuk mengeringkannya; lalu dia mulai mengoles-kan salep yang lengket itu. Takeo mengembalikan cermin itu kepada si pelayan. Ketika perempuan itu pergi, Taku berkata, "Seperti apa wujudnya?" Halaman 574 dari 574 "Kucing itu? Ukurannya sebesar serigala, dan memiliki tatapan maut Kikuta. Kau belum pernah melihainya?" "Aku pernah merasakan kucing itu ada dalam diri Maya, dan beberapa malam lalu Sada dan aku sempat melihatnya sekilas. Kucing itu bisa menembus dinding. Kekuatannya luar biasa besar. Maya menolak kehadirannya saat aku ada, kendati aku sudah berusaha membujuknya agar membiarkan sosok kucing itu keluar. Maya harus belajar mengendalikannya: saat ini sepertinya roh kucing itu mengambil alih saat pertahanan diri Maya lemah." "Dan ketika dia sendirian?" "Kami tak bisa mengawasinya setiap waktu. Dia harus patuh; harus bertanggung jawab atas perbuatannya." Takeo merasakan amarahnya meluap. "Aku tak mengharapkan dua orang yang kupercayakan putriku akan berakhir dengan tidur bersama!" "Aku pun tidak mengharapkannya," sahut Taku pelan. "Tapi itu sudah terjadi. dan akan berlanjut." "Mungkin kau harus kembali ke Inuyama, dan kepada istrimu!" "Istriku tahu kalau aku selalu punya perempuan lain, di Inuyama dan dalam perjalanan-perjalananku. Tapi Sada berbeda. Sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa dia." "Kebodohan macam apa ini? Jangan katakan kalau kau sedang dimabuk cinta!" "Mungkin benar. Bisa kukatakan kalau kemanapun aku pergi, dia akan ikut denganku, bahkan ke Inuyama." Takeo tercengang karena Taku begitu dimabuk cinta dan dia tidak berusaha menyembunyikannya. "Kurasa ini menjelaskan alasan kau pergi jauh dari kastil." "Hanya sebagian. Sebelum kejadian dengan si kucing, setiap hari aku bersama Hiroshi dan Lord Kono. Tapi Maya merasa amat tertekan dan aku tak ingin mening-galkannya. Jika kuajak dia bersamaku. Hana pasti akan mengenalinya, bertanya-tanya tentang Maya. Semakin sedikit orang yang tahu tentang masalah kerasukan ini. lebih baik. Ini bukan jenis laporan yang mesti dibawa Kono kembali ke ibukota. Aku tengah memikirkan rencana Anda menikah-kan putri sulung Anda. Aku tidak ingin memberikan Hana dan Zenko senjata lebih banyak lagi untuk mereka gunakan melawan Anda. Aku tidak memercayai keduanya. Aku sempat berbincang dengan kakakku tentang topik pembicaraan yang cukup mengganggu yaitu kepemimpinan keluarga Muto. Dia bertekad untuk memaksakan haknya sebagai penerus Kenji, dan ada beberapa-aku tak tahu ada berapa banyak-pihak yang tidak senang dengan gagasan perempuan berkuasa atas diri mereka." Jadi naluri Takeo benar untuk tidak memercayai keluarga Muto. "Apakah mereka mau menerimamu?" tanya Takeo. Takeo menuang sake lagi untuk mereka berdua, lalu meminumnya. "Aku tak ingin menyinggung Anda, Lord Otori, tapi hal-hal semacam ini selalu diputuskan dalam lingkup keluarga, bukan dengan orang luar." Takeo mengambil cangkirnya lalu minum tanpa bicara. Akhirnya dia berkata, "Kau membawa banyak berita huruk malam ini. Apa lagi yang mesti kau katakan padaku?" "Akio berada di Hofu, dan sejauh yang bisa kami tahu, dia berencana menghabiskan musim dingin di wilayah Barat-aku takut kalau dia akan pergi ke Kumamoto." "Bersama-anak itu?" "Sepertinya begitu." Tak satu pun dari mereka bicara selama beberapa saat. Kemudian Taku berkata, "Akan cukup mudah untuk menyingkirkan mereka di Hofu, atau dalam perjalanan. Biar aku yang Halaman 575 dari 575 mengaturnya. Begitu Akio sampai di Kumamoto, jika dia menghubungi kakakku maka dia akan disambut di sana, bahkan ditampung." "Tak boleh ada orang yang menyentuh anak itu." "Baiklah, hanya Anda yang bisa memutus-kan itu. Satu lagi yang kutahu adalah Gosaburo sudah mati. Dia ingin berunding dengan Anda demi nyawa anak-anaknya, olah karena itulah Akio membunuhnya." Berita ini, dan juga sikap Taku yang terus terang, amat mengejutkannya. Gosaburo pernah memerintahkan hukuman mati untuk banyak orang-salah satunya, setidak-nya, pernah dilaksanakan Takeo sendiri- tapi ternyata Akio malah berbalik mem-bunuh pamannya, sama seperti saran Taku kalau ia sendiri yang harus membunuh putra-nya sendiri, memaksa dirinya mengingat kekejaman tanpa ampun Tribe. Melalui Kenji, dia berhasil mengendalikannya, tapi kini kendalinya atas diri mereka sedang diuji. Mereka selalu menyatakan bahwa bangsawan bisa berkuasa dan jatuh, tapi Tribe akan selamanya ada. Tapi bagaimana ia meng-hadapi musuh yang tak mudah ditangani ini, yang tak mau berunding dengannya? "Anda harus memutuskan nasib sandera di Inuyama," ujar Taku. "Anda mesti meng eksekusi mereka sesegera mungkin. Bila tidak Tribe akan menganggap Anda lemah, dan itu akan menimbulkan lebih banyak per-selisihan." "Aku akan bicarakan itu dengan istriku saat sudah kembali ke Hagi nanti." "Jangan terlalu lama," Taku mendesak. Takeo bertanya pada dirinya sendiri apakah Maya mesti pulang bersamanya-tapi cemas dengan ketenangan pikiran Kaede, dan kesehatan istrinya selama kehamilannya. "Bagaimana dengan Maya?" "Dia bisa tinggal bersamaku. Aku tahu Anda merasa kecewa, tapi terlepas dari kejadian malam ini, kami sudah membuat kemajuan. Dia belajar mengendalikan kerasukan itu-dan siapa yang tahu manfaat apa yang mungkin bisa kita ambil darinya. Maya berusaha membuat Sada dan aku senang: dia memercayai kami." "Tapi yang pasti kau tidak berencana jauh dari Inuyama selama musim dingin, lean?" "Aku tidak boleh terlalu jauh dari wilayah Barat. Aku harus terus mengawasi kakakku. Mungkin aku akan menghabiskan musim dingin di Hofu: cuacanya lebih lembut, dan aku bisa mendengar semua desas-desus yang datang dan pergi melalui pelabuhan." "Dan Sada akan ikut denganmu?" "Aku membutuhkan Sada, terutama bila aku harus membawa Maya." "Baiklah." Kehidupan pribadinya bukan-lah urusanku, pikir Takeo. "Lord Kono juga akan ke Hofu. Dia akan kembali ke ibukota." "Dan Anda sendiri?" "Kuharap bisa tiba di rumah sebelum musim dingin. Aku akan tinggal di Hagi sampai anak kami lahir. Lalu saat musim semi aku harus pergi ke Miyako." Takeo kembali ke kastil Maruyama tepat sebelum matahari terbit, kelelahan dengan kejadian malam itu, bertanya-tanya apa yang sedang dilakukannya selagi mengumpulkan lagi semua tenaganya yang melemah untuk ecnghilang, merayap di dinding lalu kembali ke kamarnya tanpa ketahuan. Perasaan senangnya pada kemampuan Tribe sebelum-nya telah sirna. Kini ia hanya merasa jijik pada dunia yang gelap itu. Aku sudah terlalu tua untuk ini, katanya pada dirinya saat menggeser pintu terbuka Halaman 576 dari 576 lalu melangkah masuk. Penguasa macam apa yang mengendap-ngendap malam-malam dengan cara seperti ini, bak pencoleng? Aku pernah lolos dari cengkeraman Tribe, dan kukira aku telah meninggalkannya untuk selama-lamanya, tapi kekuatannya masih saja menjerat diriku, dan warisan yang kuturunkan pada putri-putriku bukan berarti aku akan bebas. Takeo merasa amat terganggu dengan semua hal yang belum diketahuinya: lebih dari semuanya, keadaan Maya. Wajahnya meringis kesakitan; kepalanya pusing. Kemudian teringat masalah dengan cermin tadi. Itu menandakan kalau barang-barang asing diperdagangkan di Kumamoto. Tapi orangorang asing itu seharusnya dikurung di Hofu, dan kini di Hagi: adakah orang asing lain di negeri ini? Jika mereka berada di Kumamoto, Zenko pasti mengetahuinya, namun dia tidak mengatakan sepatah kata pun tentang hal ini-begitu pula Taku. Pikiran kalau Taku menyembunyikan sesuatu memenuhi dirinya dengan ke-marahan. Entah Taku menyembunyikannya atau dia memang tidak tahu. Perselingkuhan-nya dengan Sada juga membuatnya khawatir. Laki-laki cenderung bersikap ceroboh saat terjerat asmara. Bila aku tak bisa memercayai Taku, tamatlah riwayatku. Tapi mereka kakak beradik... Kamar itu sudah terang saat Takeo tertidur. Ketika terbangun, diperintahkannya untuk mengurus keberangkatannya, dan meng-instruksikan Minoru untuk menulis surat pada Arai Zenko, memintanya menunggu Lord Otori. Hari sudah sore ketika Zenko datang, dibawa dengan tandu dan didampingi sebarisan pengawal, semuanya berpakaian mewah, cakar beruang Kumamoto tergambar jelas di jubah dan panji-panjinya. Bahkan dalam beberapa bulan sejak berjumpa di Hofu, penampilan Zenko dan pendamping-nya sudah berubah. Dia semakin mirip ayahnya, secara fisik mengesankan dan dengan kepercayaan diri yang makin tinggi: tingkahnya, anak buah dan semua pakaian sena senjata mereka berbicara dengan keme-wahan dan mementingkan diri sendiri. Takeo sendiri telah mandi dan berpakaian dengan patut untuk pertemuan ini, mengenakan jubah resminya yang tampak menambah tinggi badannya dengan bentuk bahu melebar dan kaku sena lengan panjang. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan luka di pipinya, sayatan cakar, dan Zenko berseru kaget saat melihatnya, "Apa yang terjadi? Anda terluka? Tentunya tidak ada yang menyerang Anda, kan? Aku tidak mendengar b eritanya" "Bukan apa-apa," sahut Takeo. "Aku jatuh tersandung ranting di taman semalam." Dia akan mengira aku mabuk, atau bersama perempuan, pikirnya, dan akan makin mem-benciku. Karena dilihatnya ekspresi wajah Zenko yang merengut seperti tidak suka dan benci. Hari itu terasa dingin dan lembap, hujan turun tadi pagi. Daun-daun merah pohon maple berubah warna menjadi lebih gelap dan mulai berguguran. Sesekali angin berhembus di taman, membuat dedaunan melayang dan menari-nari. "Ketika kita bertemu di Hofu awal tahun ini, aku berjanji membicarakan masalah pengangkatan anak pada saat ini," tutur Takeo. "Kau tentunya mengerti kalau ke-hamilan istriku menyebabkan tindakan formal apa pun sebaiknya ditunda." "Tentu saja kami berharap Lady Otori memberi Anda anak laki-laki," sahut Zenko. "Pada dasarnya, putra-putraku takkan men-dahului keturunan Anda." "Aku menyadari kepercayaan yang kau miliki pada keluargaku," kata Takeo. "Dan aku berterima kasih yang sedalam-dalamnya padamu. Aku menganggap Sunaomi dan Chikara sebagai anakku sendiri.... " Takeo seperti melihat kekecewaan di wajah Zenko, dan merasa, aku harus menawarkan sesuatu kepadanya. Ia berhenti bicara selama beberapa saat. Takeo pernah berjanji untuk tidak men-jodohkan putri-putrinya saat mereka masih muda, namun ternyata ia berkata, "Aku usulkan Sunaomi dan putri bungsuku, Miki, ditunangkan saat mereka memasuki usia akil balik kelak." Halaman 577 dari 577 "Sungguh suatu kehormatan." Zenko tidak terdengar gembira dengan usulan ini, kendati semua katakatanya terdengar patut. "Aku akan bicarakan kebaikan yang tiada tara ini dengan istriku saat kami menerima dokumen res mi tentang tawaran ini: harta benda apa yang akan mereka terima, di mana mereka akan tinggal dan sebagainya." "Tentu saja," sahut Takeo, seraya berpikir, Dan aku harus membicarakannya dengan istriku. "Mereka berdua masih sangat muda. Masih ada banyak waktu." Setidaknya ta wa ran sudah diajukan. Dia tidak bisa menyatakan kalau aku telah menghinanya. Tak lama kemudian Shigeko, Hiroshi, dan Miyoshi bersaudara datang bergabung, dan perbincangan beralih ke pertahanan wilayah Barat, ancaman atau kekurangan yang ditanyakan orang-orang asing, hasil dan bahan-bahan yang orang-orang asing ingin perjualbelikan. Takeo menyebutkan tentang cermin, bertanya dengan santai apakah benda semacam itu bisa dibeli di Kumamoto. "Mungkin," sahut Zenko mengelak. "Benda-benda itu masuk melalui Hofu, kurasa. Perempuan sangat menyukai barang-barang baru semacam itu! Kurasa istriku pernah menerima beberapa sebagai hadiah." "Jadi tidak ada orang asing di Kumamoto?" "Tentu saja tidak ada!" Zenko membawa catatan dan laporan tentang semua kegiatannya: senjata yang sudah ditempanya, biji besi yang dibelinya; segalanya tampak teratur, dan dia mengulang keberatannya atas kesetiaaan kewajiban feodal. Takeo tidak berbuat apa-apa selain menerima kalau catatan itu benar, keberatan tersebut memang apa adanya. Ia berbicara singkat tentang usulan untuk mengunjungi Kaisar, mengetahui kalau Kono pasti sudah membicarakannya dengan Zenko; ditekan-kan niatnya yang penuh damai, dan men-ceritakan pada Zenko kalau Hiroshi maupun Shigeko akan ikut mendampinginya. "Bagaimana dengan Lord Miyoshi?" tanya Zenko, menatap sekilas ke arah Kahei. "Dia akan berada di mana tahun depan?" "Kahei akan tinggal di Tiga Negara," sahut Takeo. "Tapi dia akan pindah ke Inuyama sampai aku kembali dengan selamat. Gemba ikut bersama kami ke Miyako." Tak ada yang menyebutkan bahwa sebagian besar kekuatan Negara Tengah akan menunggu di perbatasan wilayah Timur di bawah perintah Miyoshi Kahei, tapi tak mungkin menutupi kabar ini dari Zenko. Pikiran Takeo melayang pada bahaya meninggalkan Negara Tengah tanpa per-lindungan- tapi Yamagata dan Hagi hampir tak mungkin diduduki, dan penduduknya pasti akan melawan. Kaede pasti mem-pertahankan Hagi melawan serangan dari manapun, dan istri juga putra-putra Kahei akan melakukan hal yang sama di Yamagata. Mereka melanjutkan pembicaraan hingga hampir larut malam, sementara sake dan makanan disajikan. Selagi undur diri, Zenko berkata kepada Takeo, "Ada satu hal lagi yang harus kita bicarakan. Bisakah Anda keluar ke beranda? Sebaiknya hal ini ku-bicarakan berdua saja." "Tentu," sahut Takeo setuju dengan ramah. Hujan turun lagi; angin terasa dingin-Takeo merasa lelah, ingin sekali tidur. Mereka berdiri di bawah naungan tepian atap yang meneteskan air hujan. Zenko berkata, "Ini soal keluarga Muto. Kesan yang kudapat adalah banyak pihak di keluargaku, di seluruh penjuru Tiga Negara. sementara mereka amat menghormati ibuku dan juga Anda, merasa kalau-bagaimana cara mengatakannya?-tidak beruntung, bahkan salah, dipimpin perempuan. Mereka mempertimbangkan aku sebagai kerabat laki-laki tertua dari Kenji untuk menjadi pewaris-nya." Zenko melihat sekilas pada Takeo. "Aku tak ingin menyinggung Anda, tapi orang-orang tahu keberadaan cucu Kenji, putra Yuki. Ada rumor yang mengatakan kalau dialah yang seharusnya mewarisi jabatan itu. Sebaiknya aku cepat-cepat di-tunjuk sebagai pimpinan keluarga: ini Halaman 578 dari 578 bisa membungkam rumor semacam itu dan meyakinkan untuk menegakkan tradisi." Senyum tipis kepuasan sesaat menari-nari di wajahnya. "Anak itu tentu saja merupakan pewaris Kikuta," lanjutnya. "Lebih baik tetap menjauhkannya dari Muto." "Tidak ada yang tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati, ditambah lagi keberadaannya," ujar Takeo, berpura-pura bersikap ramah yang sebenarnya telah sirna dari dalam dirinya. "Oh, kurasa mereka tahu," bisik Zenko, dan seraya memperhatikan reaksi kemarahan Takeo, "Aku hanya berusaha membantu Lord Otori dalam situasi yang sulit ini." Andai kita bukan saudara ipar, Andai ibunya bukan sepupuku dan salah satu sahabatku, aku akan penntah dia menca but nyawanya sendiri! Aku harus melakukannya. Aku tak bisa memercayainya. Aku hams me-lakukannya sekarang juga, saat dia masih di Maruyama dan dalam kekuasaanku. Takeo diam sementara pikirannya ber-kecamuk hebat. Akhirnya ia berkata, berusaha bersikap halus, "Zenko, aku sarankan kau tidak mendesakku lebih jauh lagi. Kau memiliki tanah dan bangunan yang luas, tiga putra, serta istri yang cantik. Aku telah menawarimu persekutuan yang lebih dalam dengan keluargaku melalui ikatan pernikahan. Aku menghargai persahabatan kita dan memandangmu dengan penuh hormat. Tapi aku takkan membiarkanmu menantangku.... " "Lord Otori!" protes Zenko. "Atau menyebabkan perang saudara di negara kita. Kau sudah bersumpah setia kepadaku; kau berutang nyawa padaku. Mengapa aku selalu harus mengulang-ulang-nya? Aku lelah. Untuk yang terakhir kalinya, kuanjurkan kau kembali ke Kumamoto dan menikmati hidup yang kuberikan padamu. Bila tidak, aku akan memintamu untuk mengakhirinya." "Anda tidak akan mempertimbangkan pendapatku tentang pewarisan di keluarga Muto?" "Aku mendesakmu untuk mendukung ibumu sebagai pimpinan keluarga dan mematuhinya. Lagipula, kau sudah memilih cara hidup sebagai ksatria-aku tidak mengerti mengapa kau mencampuri masalah Tribe!" Saat ini Zenko gusar, dan kurang berhasil menutupinya! "Aku dibesarkan oleh Tribe. Aku juga anggota keluarga Muto seperti halnya Taku." "Hanya ketika kau melihat ada ke-untungan politis di baliknya! Jangan pikir kau bisa terus tidak terkendali untuk me-nentang wewenangku. Jangan pernah lupa kalau kedua putramu ada di tanganku sebagai sandera atas kesetiaanmu." Itu pertama kalinya Takeo secara langsung mengancam anak-anak itu. Surga selamatkan diriku karena aku harus membuat ancaman ini, pikirnya. Tapi yang pasti Zenko takkan mempertaruhkan nyawa kedua putranya. "Aku mengusulkan ini agar seluruh negara ini lebih kuat, dan untuk mendukung Lord Otori," tutur Zenko. "Aku minta maaf karena telah membicarakannya. Mohon dilupakan saja." Saat kembali, bagi Takeo, peran mereka bak dalam pertunjukan drama, diarahkan oleh tangan nasib untuk memainkan peran mereka sampai habis; ruang penonton, dihiasi dengan pahatan timbul emas di pilar dan kasaunya, penuh dengan pengawal berjubah warna-warna cemerlang menjadi latarnya. Saling menyembunyikan ke-marahan, mereka mengucapkan selamat tinggal dengan sikap sopan yang dingin. Keberangkatan Zenko dari Maruyama direncanakan keesokan harinya, sementara Takeo lusa. "Jadi kau akan sendirian di wilayahmu ini," kata Takeo kepada Shigeko sebelum mereka beristirahat. "Hiroshi akan berada di sini untuk mem-bantuku, setidaknya sampai tahun depan," sahut Shigeko. "Tapi apa yang terjadi pada Ayah tadi malam? Siapa yang membuat Ayah terluka seperti itu?" Halaman 579 dari 579 "Aku tidak bisa menyimpan rahasia darimu," sahut Takeo. "Tapi aku tak ingin menganggu ibumu di saat seperti ini, jadi pastikan kalau ibumu tak mendengarnya," Takeo menceritakan dengan singkat tentang Maya, tentang kerasukan dan hasilnya. Shigeko mendengarkan tanpa bicara, tidak menunjukkan ekspresi kaget maupun takut, dan Takeo berterima kasih yang tak terkira kepadanya. "Maya akan berada di Hofu bersama Taku selama musim dingin," ujar Takeo. "Kemudian kita harus terus berhubungan dengan mereka. Dan kita juga akan meng-awasi Zenko dengan cermat. Ayah jangan khawatir. Dalam Ajaran Houou kami sering menghadapi masalah seperti kerasukan hewan ini. Gemba tahu banyak tentang hal ini, dan dia pernah mengajariku." "Apakah Maya mesti ke Terayama?" "Dia akan ke sana di waktu yang tepat." Shigeko tersenyum lembut saat Takeo melanjutkan bicara. "Semua roh mencari kekuatan yang lebih besar yang bisa mengen-dalikan mereka dan memberi kedamaian." Takeo bergidik. Shigeko tampak seperti orang asing, penuh teka-teki dan bijaksana, Tiba-tiba ia teringat pada perempuan buta yang mengatakan ramalannya, yang me-nyebut nama kecilnya dan mengenal siapa dirinya sebenarnya. Aku harus kembali ke sana, pikirnya. Aku akan ziarah ke pegunungan, tahun depan setelah anakku lahir, setelah perjalananku ke ibukota. Ia merasa kalau Shigeko memiliki kemampuan spiritual yang sama. Semangat-nya bangkit lagi selagi memeluk putrinya lalu mengucapkan selamat malam. "Kurasa Ayah harus menceritakannya pada Ibu," kata Shigeko. "Seharusnya Ayah jangan menyimpan rahasia dari Ibu. Ceritakan tentang Maya. Ceritakan semuanya pada Ibu."* Kumamoto, kota kastil Arai, terbentang di barat daya Tiga Negara, dikelilingi pe-gunungan yang kaya akan bijih besi dan batu bara. Sumber alam ini menyebabkan per-kembangan industrinya maju pesat untuk segala macam bentuk peralatan dari logam, dan terutama pembuatan pedang. Banyak perajin pedang serta tempat penempaan besi yang sudah terkenal, begitu pula halnya waktu belakangan ini, berkembang bisnis yang bahkan lebih menguntungkan, yaitu membuat senjata api. "Paling tidak," gerutu si tua, Koji, "Akan lebih menguntungkan jika Otori ijinkan kita memproduksi hasil yang cukup untuk memenuhi permintaan. Pompa yang keras, nak." Hisao memompa pegangan dengan tiupan sekuat tenaga dan kotak pemanas semakin panas, dengan hawa panas yang seakan membakar wajah dan tangannya. Hisao tidak keberatan karena musim dingin sudah tiba sejak mereka sampai di Kumamoto dua minggu lalu; angin dingin berhembus dari laut keabuan, dan tiap malam terasa dingin menggigit. "Apa hak mereka mendikte Arai apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat, apa yang boleh kami jual dan apa yang dilarang!" imbuh Koji. Hisao mendengar nada tidak senang yang sama di mana-mana. Ayahnya mengatakan, dengan gembira, bahwa para pengawal Arai tiada henti menghembuskan desas-desus, membangkitkan ketidaksenangan untuk me-nentang Otori, mempertanyakan mengapa Kumamoto kini tunduk pada Hagi ketika Arai Daiichi sudah menaklukkan seluruh Tiga Negara, tak seperti Otori Takeo yang hanya Halaman 580 dari 580 mengambil keuntungan dari gempa, lalu menyebabkan kematian Lord Arai dengan menggunakan senjata api yang sama yang kini dilarangnya. Akio dan Hisao mengetahui saat mereka tiba di Kumamoto bahwa Zenko tidak ada di sana-dia dipanggil ke Maruyama oleh Lord Otori. "Memperlakukannya bak pelayan," ujar penjaga penginapan pada malam pertama mereka, saat makan malam. "Mengharapkan Arai menyerahkan semuanya. Belum cukup-kah Otori menyandera kedua putra Arai?" "Dia suka mempermalukan sekutu mau-pun musuhnya," ujar Akio. "Untuk memuas-kan kesombongannya sendiri. Tapi sebenar-nya dia tidak punya kekuatan. Dia akan jatuh, dan Otori pun akan tumbang ber-samanya." "Akan ada perayaan di Kumamoto pada hari itu," sahut laki-laki yang satu lagi, sambil mengangkat semua piring lalu kembali ke dapur. "Kita tunggu sampai Arai kembali," kata Akio pada Kazuo. "Setelah itu kita akan membutuhkan dana," ujar Kazuo. "Terutama dengan tiba-nya musim dingin. Uang Jizaemon sudah hampir habis." Hisao tahu kalau hanya ada sedikit keluarga Kikuta di wilayah ujung Barat, dan mereka adalah keluarga yang kehilangan kekuasaan dan pengaruh selama masa peme-rintahan Otori. Kendati demikian, beberapa hari kemudian, seorang pemuda berwajah tajam datang meminta dipanggilkan Akio pada satu malam. Dia memberi salam dengan sikap tunduk dan gembira, dan memanggil Akio dengan sebutan Ketua serta meng-gunakan bahasa dan lambang rahasia keluarga Kuroda. Pemuda itu bernama Yasu; berasal dari Hofu dan lari ke Kumamoto setelah bermasalah di sana karena terlibat dalam penyelundupan senjata api. "Aku sudah mati!" selorohnya. "Lord Arai harus mengeksekusi diriku atas perintah Lord Otori; tapi untungnya dia masih meng-anggapku terlalu berharga, dan membuat pertukaran." "Apakah ada banyak orang sepertimu yang bekerja pada Arai?" "Ya, ada banyak. Keluarga Kuroda selalu berhubungan dengan Muto, seperti yang kau tahu, tapi kami juga punya banyak hubungan dengan Kikuta. Lihatlah Shintaro yang hebat! Separuh Kuroda, separuh Kikuta." "Dibunuh Otori, seperti Kotaro," Akio mengamati dengan tenang. "Masih banyak kematian yang belum ter-balaskan," ujar Yasu sepakat. "Keadaannya berbeda saat Kenji masih hidup, tapi sejak kematiannya, semenjak Shizuka menjadi ketua-segalanya berubah. Tak ada yang merasa senang. Pertama-tama karena merasa tidak benar dipimpin seorang perempuan, dan yang kedua karena Otori yang mengatur-nya. Seharusnya Zenko yang menjadi pimpinan, dialah kerabat laki-laki tertua dan bila dia tak ingin meneruskannya, dengan menjadi bangsawan besar, maka seharusnya jabatan itu dipegang Taku." "Taku adalah tangan kanan Otori, dan ter-libat dalam kematian Kotaro," tutur Kazuo. "Lagipula, saat itu dia masih kecil, dan masih bisa dimaafkan-tapi tidak benar kalau hubungan antara Muto dan Kikuta menjadi begitu jauh. Dan itu juga ulah Otori." "Kami di sini untuk memperbaiki jembatan yang terputus dan menyembuhkan luka," tutur Akio kepadanya. "Memang itulah yang kami harapkan. Lord Zenko akan senang, bisa kukatakan itu padamu." Halaman 581 dari 581 Yasu membayar penjaga penginapan lalu mengajak mereka ke tempat menginapnya sendiri, di belakang toko tempat dia menjual pisau dan peralatan dapur lainnya. Yasu sangat menyukai golok, yang digunakan jurumasak hebat di kastil hingga bilah pisau kecil dengan ketajaman luar biasa untuk memotong daging. Saat mengetahui keter-tarikan Hisao pada segala macam peralatan, diajaknya Hisao ke tempat penempaan besi yang dibelinya; salah satu pandai besi, Koji, membutuhkan asisten, dan Hisao mengasah ketrampilannya bersama laki-laki itu. Hisao menyukainya, bukan hanya pekerjaannya- dia memang terampil mengerjakannya-tapi juga karena pekerjaan itu memberinya lebih banyak kebebasan, dan menjauhkannya dari kehadiran Akio yang membuatnya merasa tertekan. Sejak meninggalkan rumah, di-pandangnya sang ayah dengan pandangan baru. Ia sudah dewasa. Bukan lagi bocah yang bisa didominasi dan dilecehkan. Pada tahun baru nanti usianya beranjak tujuh belas tahun. Karena utang dan kewajiban, pekerjaannya pada Koji dibayar dengan makanan dan tempat tinggal, kendati Yasu sering mengaku kalau dia tidak mengambil keuntungan apa pun dari Pimpinan Kikuta, suatu ke-hormatan diijinkan membantu. Namun menurut Hisao, Yasu adalah orang yang penuh perhitungan yang tidak mau memberi dengan cuma-cuma: bila Yasu menolong mereka sekarang, itu karena dia melihat akan ada keuntungan di masa akan datang. Dan Hisao juga melihat kalau Akio sudah semakin tua, dan betapa kuno cara ber-pikirnya, seolah sudah membeku selama bertahun-tahun karena mengasingkan diri di Kitamura. Hisao menyadari bagaimana Akio merasa tersanjung dengan perhatian Yasu, bahwa ayahnya haus akan rasa hormat dan status dengan cara yang hampir ketinggaian jaman di kota yang sibuk dan moderen ini. Klan Arai penuh dengan rasa percaya diri serta kebanggaan. Wilayah mereka kini terbentang melintasi wilayah Barat: Noguchi dan Hofu milik mereka. Mereka mengendalikan pesisir dan jalur kapal laut. Kumamoto dipenuhi pedagang-bahkan beberapa orang asing, tidak hanya dari Shin dan Shilla, tapi juga, kabarnya, dari Kepulauan Kecil Barat, orang barbar dengan mata seperti buah ek serta berjanggut lebat, dan barang-barang yang indah tiada tara. Kehadiran mereka di Kumamoto ditandai dengan bisik-bisik karena seluruh kota tahu larangan Otori yang tak masuk akal pada siapa pun bertransaksi dengan orang asing secara langsung: semua perdagangan harus melalui pusat pemerintahan Klan Otori, diatur dari Hofu-satu-satunya pelabuhan tempat kapal asing diijinkan secara resmi merapat. Hal ini dipercaya banyak orang begitu adanya karena Negara Tengah ingin mengambil keuntungan bagi mereka sendiri, begitu pula dengan berbagai penemuan, dan begitu pula dengan masalah persenjataan yang sangat efektif, sangat mematikan. Klan Arai mulai membara di balik ketidakadilan. Meskipun Hisao belum pernah melihat orang barbar, tapi dia tertarik saat Jizaemon memperlihatkan benda-benda mereka. Yasu kerapkali memanggilnya ke tempat penempa-an di sore hari untuk memberi perintah baru, mengumpulkan persediaan baru pisau, mengirim kayu untuk bagian pembakaran; suatu hari dia ditemani laki-laki bertubuh tinggi berpakaian mantel panjang dengan tudung yang menutupi wajahnya. Mereka tiba pada sore hari; matahari sudah mulai tenggelam dan langit suram membawa ancaman salju yang akan turun. Kala itu kira-kira pertengahan bulan kesebelas. Hanya bara api yang mewarnai bumi yang berubah dari hitam menjadi abu-abu pada musim dingin. Begitu tiba di jalanan, si orang asing menyibakkan tudungnya dan Hisao menyadari dengan terkejut dan keingin-tahuan kalau itu orang barbar. Orang barbar itu hampir tidak bisa berbicara dengan mereka-dia hanya tahu beberapa kata, tapi dia dan Koji adalah tipe orang yang bicara dengan bahasa isyarat, yang lebih memahami permesinan ketimbang bahasa, dan selagi Hisao mengikuti mereka di sekitar tempat penempaan, disadarinya kalau ia juga seperti itu. Ia menangkap maksud si orang barbar secepat Koji memahaminya. Perhatian orang asing itu tersita oleh metode mereka, mempelajari semuanya dengan kilatan matanya yang cepat, menggambar sketsa tempat pembakaran, tempat meniup bara api, belanga, cetakan dan pipa; setelah itu, ketika mereka minum sake, orang itu mengeluarkan buku, dilipat dengan cara yang aneh, dicetak, bukan ditulis, dan memper-lihatkan gambar-gambar yang terlihat jelas kalau itu cara-cara Halaman 582 dari 582 penempaan. Koji meng-amatinya dengan cermat, dahinya berkerut, jemarinya menggaruk-garuk belakang telinga. Hisao, yang berlutut di satu sisi, mengintip di bawah cahaya remang-remang, bisa me rasakan semangat dalam dirinya yang semakin tinggi selagi halaman buku dibolak-balik. Di benaknya muncul berbagai macam kemungkinan yang bisa dilakukan. Pada halaman terakhir ada beberapa senjata api: sebagian besar senjata panjang dengan ben-luk aneh yang sudah dikenalnya, tapi ada satu, di bagian bawah halaman, terselip di antara senjata yang lain bak seekor anak kuda di antara kaki induknya. Bentuknya kecil, hampir berukuran sepertiga dari panjang semua senjata lainnya. Hisao tidak tahan untuk mengulurkan dan menyentuh dengan jari telunjuknya. Si barbar tertawa cekikikan. "Pistola!" dia membuat gerakan menyembunyikan senjata itu di balik pakaian, lalu mengeluarkannya dan mengarahkannya pada Hisao. "Pa! Pa!" Dia tertawa. "Morto!" (=mati) Hisao belum pernah melihat benda seindah itu, dan segera menginginkannya. Laki-laki itu menjentikkan jari, dan mereka semua memahami maksudnya. Senjata semacam itu mahal. Tapi bisa dibuat, pikir Hisao, dan bertekad untuk mempelajari cara membuatnya. Yasu menyuruh Hisao pergi sewaktu dia membicarakan soal pembayaran. Bocah itu membereskan tempat penempaan, me-madamkan api lalu menyiapkan semua peralatan untuk keesokan harinya. Ia membuat teh untuk orang-orang itu, lalu mengisi mangkuk sake mereka kemudian pulang, benaknya dipenuhi dengan berbagai ide-tapi entah karena ide-ide itu, atau tidak terbiasa dengan sake, atau angin dingin setelah hawa panas di tempat penempaan telah membuat kepalanya pening. Saat sampai di rumah Yasu, yang terlihat olehnya hanyalah separuh dari bangunan, hanya separuh dari pajangan pisau dan kapak. Hisao tersandung anak tangga, dan selagi berusaha menyeimbangkan tubuh, dilihatnya ibunya dalam kabut hampa tempat separuh dari dunia berada. Wajah ibunya tampak memohon dengan penuh kelembutan dan ketakutan. Hisao merasa mual sewaktu kekuatan meminta bantuan perempuan itu menghantam diri-nya. Rasa sakitnya makin tak tertahankan. Tidak tahan untuk mengerang, kemudian disadarinya kalau ia ingin muntah, jatuh dengan tangan dan lutut menahan tubuh, merangkak ke teras lalu membungkuk ke parit. Sake tadi terasa masam di mulutnya; matanya berair karena rasa sakit, angin sedingin es membuat air matanya terasa membeku di pipinya. Perempuan itu mengikutinya keluar mengambang di atas tanah, garis bayangan tubuhnya tersamar oleh kabut dan hujan salju. Akio, ayahnya, berseru dari dalam. "Siapa di sana? Hisao? Tutup pintunya, dingin sekali." Ibunya bicara, suaranya di kepala Hisao menyengat bak es. "Kau tidak boleh mem-bunuh ayahmu." Hisao tidak tahu kalau ia pernah ingin melakukannya. Saat itu ia merasa ketakutan kalau ibunya tahu semua vang ada di benaknya, kebencian juga kasih sayangnya. Perempuan itu berkata, "Aku takkan membiarkanmu melakukannya." Suara perempuan itu tidak bisa ditolerir lagi, menggetarkan seluruh urat syaraf di sekujur tubuhnya, membuat semua syarafnya bak terbakar api. Hisao berteriak ke arah perempuan itu. "Pergi! Tinggalkan aku sendiri!" Di sela-sela erangannya, disadarinya ada yang mendekat, dan mendengar suara Yasu. "Apa-apaan ini!" seru laki-laki itu, kemudian memanggil Akio, "Ketua! Cepat kemari! Putramu.... " Mereka membopongnya ke dalam dan membersihkan muntahan dari wajah dan rambutnya. Halaman 583 dari 583 "Si bodoh ini minum terlalu banyak sake," kata Akio. "Seharusnya dia tidak boleh minum. Kepalanya tidak kuat untuk itu. Biarkan dia tidur." "Hisao hampir tidak minum sake," sahut Yasu. "Mestinya dia tidak mabuk. Mungkin dia sakit?" "Terkadang dia sakit kepala. Penyakitnya itu sudah dideritanya sejak kecil. Tidak apa-apa. Rasa sakitnya akan hilang dalam satu atau dua hari." "Anak malang, dibesarkan tanpa ibu!" ujar Yasu, separuh bicara pada diri sendiri, selagi membantu Hisao berbaring dan menyeli-mutinya. "Dia menggigil kedinginan. Akan kuseduh sesuatu untuk raembantunya tidur." Hisao minum teh dan merasakan ke-hangatan perlahan mulai kembali ke tubuh-nya; menggigilnya berkurang, tapi rasa sakitnya tidak berkurang, begitu pula dengan suara perempuan itu. Kini perempuan itu melayang di kamar yang gelap-Hisao tidak perlu lentera untuk bisa melihatnya. Mengerti samar-samar kalau ia mendengar-kan perkataan perempuan itu maka rasa sakitnya akan berkurang, tapi ia tak ingin mendengarnya. Hisao menarik rasa sakit itu di sekeliling dirinya sebagai tameng untuk melawan perempuan itu, dan ingatan tentang senjata api kecil yang indah tadi serta betapa ia ingin membuatnya. Rasa sakit membuatnya liar, bak hewan yang disiksa. Membuatnya ingin melampias-kannya pada orang lain. Teh meredakan ambang batas kesadaran-nya, dan ia pasti tertidur sebentar. Saat ter-bangun, didengarnya Akio dan Yasu tengah berbincang, mendengar dentingan mangkuk sake dan suara pelan mereka selagi minum. "Zenko sudah kembali," kata Yasu. "Aku tidak bisa menahan perasaan kalau per-temuan kalian akan membawa keuntungan bagi semua orang." "Itu tujuan utama kami keraari," sahut Akio. "Bisakah kau mengaturnya?" "Aku yakin bisa. Zenko pasti sangat ingin menyatukan keretakan antara Muto dan Kikuta. Dan lagipula, kalian ada hubungan kerabat dengan ikatan pernikahan, kan? Putramu dan putra Zenko semestinya saudara sepupu." "Zenko memiliki kemampuan Tribe?" "Bukan seperti yang diketahui banyak orang. Dia seperti ayahnya, seorang ksatria. Tidak seperti adiknya." "Putraku hanya memiliki sedikit kemampuan," aku Akio. "Dia pernah belajar beberapa hal, tapi tak berbakat. Hal itu membuat kalangan Kikuta kecewa. Ibunya dulu sangatlah berkemampuan tinggi, tapi dia tak mewariskan apa pun pada putranya." "Tapi tangannya terampil. Koji cukup menyanjung anak itu-dan Koji tak pernah memuji siapa pun." "Tapi itu tak membuatnya sebanding dengan Otori." "Itukah yang kau harapkan? Kalau Hisao akan menjadi pembunuh agar bisa meng-habisi Takeo?" "Hidupku tidak akan damai sampai Otori mati." "Aku memahami perasaanmu, tapi Takeo itu amat pandai sekaligus beruntung. Itu sebabnya kau harus bicara dengan Zenko. Sepasukan ksatria mungkin bisa berhasil menggantikan kegagalan para pembunuh Tribe." Yasu minum lagi lalu tertawa terkekeh. "Selain itu, Hisao menyukai senjata. Sepucuk senjata lebih kuat ketimbang kekuatan magis Tribe mana pun, bisa kupastikan itu. Barangkali dia akan mengejutkanmu!"* Halaman 584 dari 584 "Kau bilang dia mengancam anak-anak kita secara terang-terangan?" Lady Arai menarik baju luarnya yang terbuat dari bulu. Angin bercampur hujan es yang berhembus dari laut sepanjang minggu sejak kembalinya mereka dari Maruyama akhirnya berubah menjadi salju. Angin berhenti berhembus dan serpihan salju mulai berjatuhan perl-ahan dan mantap. "Jangan khawatir," sahut suaminya, Zenko. "Dia hanya menggertak. Takeo tak-kan menyakiti mereka. Dia terlalu lemah untuk melakukan hal itu." "Di Hagi pasti sudah turun salju," ujar Hana, seraya menatap ke laut di kejauhan dan memikirkan anak-anaknya. Dia belum bertemu dengan mereka lagi sejak mereka pergi saat musim panas. Zenko berkata, dengan niat buruk me-warnai nada suaranya, "Dan di pegunungan; dengan keberuntungan Takeo akan terjebak di Yamagaia dan takkan bisa kembali ke Hagi sebelum musim semi. Salju turun lebih awal tahun ini." "Setidaknya kita tahu Lord Kono sudah aman dalam perjalanannya kembali ke Miyako," komentar Hana, karena mereka telah menerima pesan dari sang bangsawan saat hendak meninggalkan Hofu. "Mari berharap dia menyiapkan penyambutan yang hangat bagi Lord Otori tahun depan," ujar Zenko, lalu tawanya meledak. "Menyenangkan melihat Takeo terbuai pujian," gumam Hana. "Kono memang pendusta yang lihai dan patut dipercaya!" "Seperti yang dikatakannya sebelum pergi," komentar Zenko, "Jaring Surga amat-lah luas, lubang jaringnya tipis. Kini jaring-nya ditarik lebih kencang. Pada akhirnya Takeo akan terjerat di dalamnya." "Aku terkejut dengan kabar tentang kakakku," ujar Hana. "Kukira dia sudah tak bisa hamil lagi." Dibelainya permukaan bulu, dan ingin merasakan di kulitnya. "Bagaimana kalau nanti anaknya lakilaki?" "Tak ada perbedaan besar, jika semuanya berjalan sesuai tencana." sahut Zenko. "Begitu pula halnya dengan perjodohan antara Sunaomi dan putri mereka." "Sunaomi tak boleh menikah dengan si kembar!" ujar Hana. "Tapi kita akan pura-pura menerima itu." Mereka tersenyum dengan tatapan penuh kelicikan. "Satu-satunya hal baik yang pernah Takeo lakukan yaitu menikahkanku denganmu," ujar Zenko. Sedangkan bagi Takeo merupakan ke-salahan fatal, pikir Hana. Andai dia menyerah padaku dan mengambilku sebagai istri keduanya, betapa berbedanya keadaan jadinya? Aku bisa memberinya anak laki-laki; tanpa diriku Zenko akan jadi tak lebih dari bangsawan kecil, tidak menjadi ancaman bagi-nya. Dia harus membayarnya. Begitu pula dengan Kaede. Hana tidak pernah memaafkan Takeo karena telah menolak dirinya, sama halnya dengan kakaknya karena menelantarkan diri-nya ketika mereka masih kecil. Hana memuja Kaede, bergantung padanya ketika kesedihan akibat kematian orangtua mereka nyaris membuat dirinya tidak waras-dan Kaede justru meninggalkannya, pergi menunggang kuda pada satu pagi di musim semi dan tak pernah kembali. Setelah itu, Hana dan kakaknya, Ai, ditahan di Inuyama sebagai sandera, dan akan dibunuh di sana andai Sonoda Mitsuru tak menyelamatkan mereka. "Kau masih bisa punya anak lagi!" seru Zenko. "Ayo kita buat anak laki-laki lagi- sepasukan anak laki-laki." Halaman 585 dari 585 Mereka hanya berdua di ruangan itu, dan Hana mengira suaminya akan mulai bergerak tapi kemudian, saat itu terdengar ketukan ringan di pintu. Pintunya bergeser terbuka dan seorang pelayan laki-laki bicara pelan, "Lord Arai, Kuroda Yasu datang bersama seorang laki-laki." "Mereka datang dalam cuaca seburuk ini," ujar Zenko. "Sajikan minuman, tapi biarkan mereka tunggu sebentar sebelum kau mem-bawanya masuk, dan pastikan kelak kami tidak diganggu." "Kuroda datang secara terang-terangan?" tanya Hana. "Taku sedang di Hofu-tidak ada yang memata-matai kita sekarang." "Aku tak pernah suka pada Taku," kata Hana tiba-tiba. Tatapan tidak senang terpancar sekilas di wajah Zenko yang lebar. "Dia adikku," Zenko memperingatkan istrinya. "Seharusnya kesetiaannya yang pertama mestinya kepadamu, bukan pada Takeo," hardik istrinya. "Dia menipumu setiap hari tapi kau tidak memerhatikannya. Dia memata-mataimu paling sering tahun ini, dan bisa dipastikan kalau dia mengacaukan surat-surat kita." "Itu semua akan segera berubah," sahut Zenko dengan tenang. "Kita akan bereskan masalah penerus Muto. Taku kelak harus mematuhiku, atau.... " "Atau apa?" "Hukuman dalam Tribe atas ketidak-patuhan adalah kematian. Aku tak bisa mengubah peraturan itu bahkan untuk saudara kandungku sendiri." "Taku amat populer, kau sendiri sering bilang begitu. Dan ibumu juga. Pastinya banyak pihak yang tak ingin menentang mereka?" "Kurasakita akan mendapatkan dukungan. Dan jika teman Kuroda adalah orang yang sudah kuperkirakan, sedikit banyak akan cukup menambah kekuatan." "Aku tak sabar ingin bertemu dengannya," Hana menaikkan alisnya. "Sebaiknya kuceritakan sedikit tentang dia. Namanya Kikuta Akio; dia ketua Kikuta sejak kematian Kotaro. Menikah dengan putri Kenji, Yuki; setelah istrinya mati, dia bersembunyi dengan anak laki-laki Yuki." Zenko berhenti sejenak lalu menatap Hana, mata dengan kelopak tebalnya berbinar. "Bukan anaknya Akio?" tanya Hana, "Bukan anaknya Takeo, kan?" Zenko mengangguk, lalu tertawa lagi. "Sudah berapa lama kau tahu ini?" tanya Hana. Dia terkejut sekaligus bersemangar dengan tersingkapnya kenyataan ini, benak-nya sudah mencari-cari cara untuk me-manfaatkan berita ini. "Aku mendengar semua desas-desus di keluarga Muto sewaktu aku masih kecil. Kenapa Yuki dipaksa minum racun? Alasan Kikuta membunuhnya adalah pasti karena mereka tak memercayainya. Dan kenapa Kenji berpindah memihak Otori, bersama empat dari lima keluarga? Kenji percaya kelak Takeo akan mengakui anak itu, atau setidaknya dengan melindunginya. Anak itu - mereka memanggilnya Hisao-ternyata anak laki-laki Takeo." "Kakakku pasti tak tahu, aku yakin itu." Hana merasakan ada getar kesenangan memikirkan hal itu. "Mungkin kau bisa beritahukan pada saat yang tepat," suaminya menyarankan. "Oh, tentu." Hana sepakat. Tapi mengapa Takeo tak pernah mencari anak itu?" Halaman 586 dari 586 "Kurasa ada alasannya: dia tidak ingin istrinya tahu, dan ketakutan kalau putranya yang bisa membunuhnya. Sebagaimana Tabib Ishida yang dengan baik hati meng-ungkapkan pada kami, ada ramalan yang mengatakan seperti itu, dan Takeo memer-cayainya." Hana bisa merasakan nadinya berdenyut lebih kencang. "Saat kakakku tahu ini, mereka pasti akan berpisah. Kaede sudah bertahun-tahun menginginkan anak laki-laki: maka dia takkan memaafkan Takeo karena anak yang disembunyikan ini." "Banyak laki-laki memiliki perempuan simpanan dan anak haram, dan istri mereka memaafkannya." "Tapi kebanyakan istri bersikap seperti diriku," sahut Hana. "Realistis dan praktis. Bila kau punya perempuan simpanan, hal itu tidak menggangguku. Aku memahami kebutuhan dan hasrat laki-laki, dan tahu kalau aku akan menjadi yang utama bagimu. Kakakku adalah orang yang idealis: dia percaya pada cinta. Takeo juga pasti begitu: dia tak pemah mengambil perempuan lain- itu sebabnya dia tak punya anak laki-laki. Lebih dari itu, keduanya dipengaruhi oleh Terayama dan apa yang mereka sebut Ajaran Houou. Pemerintahan mereka diseimbang-kan dengan bersatunya mereka berdua: dengan menyatukan laki-laki dan perempuan. Berpisahnya kesatuan itu akan membuat Tiga Negara hancur berantakan." Hana menambahkan, "Dan kau akan mewarisi semua yang telah diperjuangkan ayahmu, dengan restu dari sang Kaisar, serta dukungan dari jenderalnya." "Dan Tribe takkan terpecah belah lagi," ujar Zenko. "Kita akan mengakui anak ini sebagai pewaris dari keluarga Kikuta dan Muto, dan melalui dirinya kita mengenda-likan Tribe." Hana mendengar langkah kaki di luar. "Mereka sudah datang," katanya. Suaminya meminta dibawakan sake lagi, dan saat sudah datang, Hana menyuruh pelayan pergi karena dia yang akan melayani tamunya. Dia mengenal Kuroda Yasu yang mengambil keuntungan dari barang-barang mewah yang diimpornya dari Tenjiku, gading dan emas. Ia pun memiliki beberapa cermin yang terbuat dari kaca keras, berkilau yang menunjukkan bayangan orang yang nyata. Ia senang karena benda ini disimpan di Kumamoto. Hana tak pernah memper-lihatkannya di Hofu. Kini ia pun mem-punyai rahasia hebat dan besar ini, rahasia yang mengungkap siapa Takeo sebenamya. Hana mengamati laki-laki itu, Akio. Laki-laki itu melihat sekilas ke arahnya, kemudian duduk dengan menunduk. Dari luar orang itu kelihatan rendah hari, tapi segera ia tahu kalau laki-laki itu bukanlah orang yang rendah hati. Tubuhnya tinggi dan tegap; walau usianya tidak muda lagi; dia kelihatan sangat kuat. Memancarkan semacam ke-kuatan, yang mambangkitkan secercah ke-tertarikan dalam dirinya. Hana tidak suka kalau laki-laki itu menjadi musuhnya, tapi dia bisa menjadi sekutu yang kejam juga tanpa belas kasihan. Zenko memberi salam pada kedua tamu-nya dengan sikap yang sangat sopan, ber-usaha agar terlihat menghormati Akio sebagai pimpinan Kikuta tanpa mengurangi status nya sendiri sebagai lord tinggi Arai. "Tribe sudah terpecah belah begitu lama," tuturnya. "Aku sangat menyesalkan per-pecahan ini, juga kematian Kotaro. Kini Muto Kenji sudah tiada, maka sudah waktu-nya luka-luka lama ini disembuhkan." "Kurasa kita memiliki tujuan yang sama," sahut Akio. Cara bicaranya singkat, dengan aksen Timur. Hana merasa kalau laki-laki itu akan tetap diam ketimbang menggunakan sanjungan, dan tidak mudah terpengaruh dengan sanjungan, atau pun bentuk bujukan lainnya. "Kita bisa bicara dengan bebas di sini," ujar Zenko. "Aku tak pernah menyembunyikan apa yang paling kuinginkan," ujar Akio. "Kematian Otori. Dia telah divonis mati oleh Kikuta karena melanggar aturan Tribe, dan juga atas pembunuhan Kotaro. Hal ini mem-buat marah keluarga, nenek moyang dan tradisi, serta dewa-dewa karena dia masih hidup." Halaman 587 dari 587 "Kabamya dia tidak bisa dibunuh," komentar Yasu. "Tapi yang pasti dia hanya manusia biasa." "Aku pernah hampir menggorok leher nya," Akio membungkuk, tatapan matanya semakin tajam. "Aku masih tak mengerti bagaimana dia bisa lolos. Dia memiliki banyak keahlian-seharusnya aku tahu; aku yang melatihnya di Matsue -dia lolos dari semua usaha pembunuhan." "Baiklah," kata Zenko perlahan, seraya bertukar pandangan dengan Hana. "Aku tahu sesuatu yang kau belum tahu. Hanya beberapa orang yang mengetahuinya." "Tabib Ishida yang mengatakannya pada kami," ujar Hana. "Dia adalah tabib pribadi Takeo, dan pernah mengobari banyak lukanya. Dia tahu ini dari Muto Kenji." Akio mengangkat kepala lalu menatap langsung pada Hana. "Takeo percaya kalau hanya putranya yang bisa membunuhnya," lanjut Zenko. "Ada semacam ramalan yang bisa dibuktikan." "Seperti halnya Lima Pertempuran?" tanya Yasu. "Ya, dan ramalan itu digunakan untuk membenarkan pembunuhan atas ayahku dan keberhasilannya meraih kekuasaan," tutur Zenko. "Kata-kata yang masih tetap di-rahasiakan." "Kendati demikian, Lord Takeo tidak memiliki anak laki-laki" ujar Yasu seraya menatap mereka semua secara bergantian. "Meski ada hal-hal tertentu yang terdengar..." Akio duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Hana merasakan lagi secercah semangat. Akio berkata pada Zenko, suaranya terdengar semakin rendah dan keras. "Kau tahu tentang putraku?" Zenko agak menggerakkan kepala meng-iyakan. "Siapa lagi yang tahu tentang ramalan ini?" "Terlepas dari semua orang yang ada di ruangan ini dan Ishida: adikku, kemungkinan juga ibuku, walaupun ibuku tidak pernah mengatakannya padaku." "Bagaimana dengan yang ada di Terayama? Kubo Makoto mungkin juga tahu: Takeo menceritakan segalanya kepada-nya," gumam Hana. "Mungkin juga. Intinya hanya sedikit orang. Dan yang paling penting adalah Takeo percaya itu," ujar Zenko. Yasu meneguk cepat sake lalu berkata pada Akio, "Jadi semua desas-desus itu benar?" "Ya. Hisao adalah putra Takeo." Lalu Akio menenggak minumannya, tampak seperti tersenyum. "Anak itu tidak mengetahuinya. Dia juga tidak memiliki keahlian Tribe. Tapi kini aku tahu akan mudah baginya untuk membunuh ayah kandungnya." Yasu menepuk alas lantai dengan telapak tangan terbuka. "Bukankah sudah kukatakan kalau anak itu bisa saja mengejutkan dirimu? Itu lelucon terbaik yang pernah ada selama bertahun-tahun..." Sekonyong-konyong keempat orang itu tertawa gaduh.* Halaman 588 dari 588 Kaede telah memutuskan untuk tinggal di Hagi selama musim dingin sampai anaknya lahir, dan Shizuka serta Ishida tinggal bersamanya. Mereka semua pindah dari kastil ke rumah lama Lord Shigeru di tepi sungai: rumah itu menghadap ke selatan, menangkap semua sinar matahari musim dingin, dan lebih mudah dibuat hangat selama hari-hari yang panjang dan dingin. Chiyo masih tinggal di sana, semakin bungkuk, usianya sudah di ambang senja tapi masih mampu menyeduh teh obat serta menceritakan tentang masa lalu, dan apa yang dilupakan-nya diisi oleh Haruka, tetap ceria dan gamblang seperti dulu. Kaede mengundur-kan diri dari publik. Takeo dan Shigeko sudah pergi ke Yamagata; Maya dikirim bersama gadis Muto, Sada, ke Maruyama, kepada Taku; sedangkan Miki pergi ke desa Tribe di Kagemura. Kaede senang memikir-kan kalau ketiga putrinya sibuk dengan pelatihan serius semacam itu, dan sering mendoakan agar mereka mengembangkan dan mengendalikan berbagai bakat yang mereka miliki, dan agar dewa-dewi me-lindungi mereka dari bahaya. Lebih mudah, pikirnya sedih, menyayangi si kembar dari jauh, saat kelahiran mereka yang tak wajar dan bakat aneh bisa tak diacuhkan. Kaede tidak kesepian karena selalu ada yang menemani: Shizuka, kedua bocah, dan juga hewan peliharaan putrinya, kera dan anjing. Dengan ketidakhadiran ketiga putri-nya, Kaede mencurahkan kasih sayangnya pada keponakannya. Sunaomi dan Chikara juga menikmati kepindahan itu, jauh dari formalitas kehidupan di kastil. Mereka ber-main di tepi sungai. "Seakan Shigeru dan Takeshi hidup kembali," ujar Chiyo dengan berlinang air mata selagi mendengarkan teriakan anak-anak dari taman atau langkah kaki mereka di atas nightingale floor. Kaede merengkuh perutnya yang membuncit dan memikirkan janin yang tumbuh di dalamnya. Kelak putranya akan menjadi pewaris Shigeru, pewaris sah Klan Otori. Beberapa kali dalam seminggu Kaede mengajak kedua anak itu ke biara. Ia telah berjanji pada Shigeko untuk mengawasi Tenba dan kirin. Ishida turut menemani karena rasa sayangnya pada kirin kian bertambah. Mori Hiroshi memberi pelana dan tali kekang pada Tenba dan mengang-kat Sunaomi ke pelana, lalu Kaede menuntunnya berjalan mengelilingi padang rumput. Kuda itu sepertinya mencium sesuatu dari tubuhnya yang hamil dan senang berjalan perlahan di samping Kaede, dengan cuping hidung merekah, sesekali mengusap-usap dengan hidungnya. "Apa aku ini indukmu?" Kaede memarahi-nya dengan lembut, sambil berdoa semoga anak lakilakinya akan sepemberani dan setampan kuda itu. Kaede mengingat kudanya, Raku, dan Amano Tenzo: kedua-nya sudah lama tiada, namun roh mereka akan tetap hidup selama ada kuda-kuda Otori. Kemudian Shigeko mengirim surat agar kuda itu dikirim padanya karena telah memutuskan untuk dihadiahkan kepada ayahnya, seraya meminta ibunya agar tetap merahasiakannya. Tenba segera dikirim ber-sama pemuda pengurus kuda dengan naik kapal ke Maruyama. Kaede dan Ishida men-cemaskan kalau kirin akan panik saat temannya pergi nanti. Kirin memang tampak kurang bersemangat, tapi ini justru makin meningkatkan rasa sayangnya pada teman manusianya. Kaede sering menulis, karena ia sangat senang menulis membalas surat yang ditujukan untuk suaminya; menulis surat pada Shigeko dan Miki, mendesak mereka belajar dengan rajin dan mematuhi guru; kepada adik-adiknya, menceritakan pada Hana tentang kesehatan serta kemajuan kedua putranya dan mengundang mereka datang pada musim semi. Tapi Kaede tidak menyurati Maya karena Maya tinggal di tempat rahasia di Maruyama, dan adanya surat justru malah membahaya-kan dirinya. Halaman 589 dari 589 Kaede pergi ke biara lain; bekas rumah Akane, dan mengagumi bentuk ramping dan anggun dari patung kayu yang dikelilingi rumah yang baru dibangun. "Dia mirip Lady Kaede," ujar Sunaomi, karena Kaede selalu memaksanya turut ke tempat dia pernah dipermalukan dan ketakutan. Sunaomi berhasil meraih kembali kepercayaan dirinya, tapi Kaede masih melihat sisa-sisa rasa malu dan luka yang membekas, dan berdoa agar arwah sang dewi muncul menyembuhkan segalanya. Tak lama setelah Takeo pergi ke Yamagata, Fumio kembali. Selama ketidak-hadiran Takeo dan penarikan diri Kaede, Fumio beserta ayahnya bertindak sebagai wakilnya. Satu dari masalah yang meng-ganggu dan alot adalah apa yang harus dilakukan dengan kedatangan orang-orang asing yang mengganggu dari Hofu. "Bukannya aku tidak suka pada mereka," kata Fumio pada Kaede suatu sore pada pertengahan bulan kesepuluh. "Seperti yang kau tahu, aku sudah terbiasa dengan orang asing; menikmati kehadiran mereka serta menurutku mereka itu menarik. Tapi kian hari kian sulit untuk tahu apa yang mesti kulakukan. Mereka sangat gelisah; dan kurang senang saat tahu Lord Otori tidak di Hagi lagi. Mereka ingin bertemu dengannya; mereka mulai tidak sabar. Aku sudah katakan kalau aku tidak bisa memutuskan sampai Lord Otori kembali ke Hagi. Mereka minta penjelasan mengapa tidak boleh ke Yamagata sendiri." "Suamiku tak ingin mereka bepergian ke seluruh penjuru negeri," sahut Kaede. "Makin sedikit yang mereka tahu tentang kita, makin baik." "Aku setuju-dan aku tak tahu kesepakatan apa yang mereka buat dengan Zenko. Dia membiarkan mereka pergi dari Hofu, tapi aku tidak tahu apa tujuannya. Kuharap mereka mengirim surat yang dapat mengungkap sesuatu, tapi jurubahasa mereka tak bisa menulis sesuatu yang bisa dibaca oleh Zenko." "Ishida bisa menawarkan diri untuk men-jadi jurutulis mereka," saran Kaede. "Itu bisa membantumu agar tidak kesulitan menga-caukan surat-surat mereka." Mereka saling bertukar senyum. "Mungkin Zenko hanya ingin menying-kirkan mereka," lanjut Kaede. "Sepertinya semua orang menganggap mereka sebagai beban." "Kendati demikian, banyak juga manfaat yang bisa kita ambil dari mereka-ilmu pengetahuan dan kekayaan, selama mereka bisa dikendalikan, bukan sebaliknya." "Demi tujuan itu aku harus segera belajar bahasa mereka," ujar Kaede. "Kau harus bawa orang-orang asing itu dan juru-bahasanya ke sini." "Kegiatan itu tentu bisa memberi mereka kesibukan sepanjang musim dingin," ujar Fumio setuju. "Aku akan berikan kesan betapa besar kehormatan bagi mereka bisa diundang bertemu Lady Otori." Pertemuan itu lalu diatur, dan Kaede me-nemukan dirinya menanti dengan perasaan takut: bukan karena orang-orang asing itu, tapi karena ia tidak tahu bagaimana bersikap pada jurubahasa mereka: anak dari keluarga petani, perempuan dari rumah pelacuran, pengikut kepercayaan Hidden, dan adik perempuan suaminya. Kaede tak ingin ber-hubungan dengan bagian hidup Takeo yang satu ini. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan pada orang seperti itu. Semua nalurinya, ditambah dengan kehamilannya, memperingatkan dirinya akan hal itu. Tapi ia telah berjanji pada Takeo untuk mempelajari bahasa orang asing, dan menemukan cara lain. Ia mengakui kalau dirinya juga ingin tahu: terutama, katanya pada diri sendiri, tentang orang-orang asing dan kebiasaan mereka, tapi ia lebih ingin melihat seperti apa adik perempuan Takeo. Hal pertama yang terlintas di benaknya, sewaktu Fumio menunjukkan jalan pada dua laki-laki berbadan besar, diikuti oleh perempuan bertubuh kecil, masuk ke dalam ruangan, yaitu perempuan itu tidak mirip suamiku. Ia yakin tak seorang pun akan men-curigai hubungan tersebul. Kaede Halaman 590 dari 590 menyam-but dengan bahasa resmi pada para laki-laki. Mereka membungkuk hormat sambil berdiri, sebelum Fumio memberitahu kalau mereka seharusnya duduk. Kaede duduk dengan punggung bersandar ke dinding panjang ruangan itu, menghadap ke beranda. Pepohonan yang tersentuh oleh kepingan salju pertama terlihat begitu indah. Hamparan daun-daun yang berwarna merah tui berserakan di tanah, kontras dengan bebatuan keabu-abuan serta warna lentera. Di sebelah kanan Kaede, sebuah gulungan kaligrafi hasil karyanya sendiri digantung di ruang kecil yang terpisah. Isi gulungan itu adalah puisl kesukaannya tentang belukar semanggi di musim gugur, yang merupakan asal nama kota Hagi. Kiasan pemandangan yang indah itu amat memesona orang-orang asing beserta jurubahasanya. Orang asing itu duduk dengan canggung. Mereka harus melepas alas kaki di luar, dan Kaede memerhatikan sarung ketat yang melekat di kulit yang menutupi kaki mereka. Pakaian luar mereka aneh, berbentuk gembung, membuat pinggul dan bahu mereka kelihatan membesar. Bahannya ber-warna hitam, dengan tambalan berwarna di-jahitkan ke dalamnya: kelihatannya bukan dari sutra, katun maupun rami. Perempuan itu merangkak ke samping Kaede, kepalanya menyentuh tikar, dan tetap menunduk. Kaede mengamati secara sembunyi-sembunyi pada kedua laki-laki tersebut, sadar akan bau mereka yang terasa asing dengan rasa jijik. Ia juga menyadari kalau pe-rempuan di sampingnya itu memiliki tekstur rambut dan warna kulit yang mirip Takeo. Kenyataan itu membuat Jimtungnya ber-debar kencang. Perempuan ini memang adik suaminya. Sesaat Kaede mengira kalau ia harus bereaksi-tak tahu apakah harus menangis atau tak sadarkan diri-tapi untungnya Shizuka datang dengan membawa mangkuk teh dan kue kedelai manis. Kaede berhasil mengendalikan dirinya lagi. Perempuan itu, Madaren, justru lebih ter-cengang. Dia menerjemahkan begitu pelan dan tidak jelas hingga kedua pihak tidak tahu apa yang diucapkannya. Mereka pura-pura bertutur kata serta bersikap sopan; menerima hadiah; kedua orang asing itu sering tersenyum-agak menyeramkan-dan Kaede bicara selembut dan membungkuk seanggun mungkin. Fumio sudah mengenai beberapa kata bahasa orang asing itu, dan meng-gunakan semuanya, sementara semua orang mengatakan Terima kasih, Dengan senang hari, dan maaf berulang kali dalam bahasa mereka. Status salah satu dari kedua orang itu, ber-nama Don .loao, membingungkan: ksatria sekaligus pedagang, Se-dangkan yang satu lagi adalah pendeta. Butuh waktu lama untuk bercakap-cakap karena Madaren begitu khawatir akan menyinggung Lady Otori. Dia bicara sangat berbelii-belit dan penuh hormat. Setelah beberapa percakapan yang panjang soal tempat tinggal dan ke-butuhan orang-orang itu, Kaede menyadari musim dingin mungkin berlalu tanpa ia bisa belajar apa-apa. "Ajak keluar dan perlihatkan taman pada mereka," katanya pada Fumio. "Perempuan ini tetap di sini bersamaku." Kaede menyuruh semua orang pergi. Shizuka menatap penuh tanya sewaktu mengundurkan diri. Para laki-laki kelihatannya cukup senang bisa keluar, dan selagi mereka bicara dengan keras tapi bernada ramah, mungkin mereka bicara soal taman, Kaede mendekati Madaren. "Jangan takut. Suamiku sudah mencerita-kan siapa dirimu. Sebaiknya tidak ada orang lain yang tahu tentang ini. Demi suamiku aku akan menghormati dan melindungimu." "Keramahan Lady Otori terlalu agung bagi orang seperti diriku," Madaren mulai bicara, tapi Kaede menghentikannya. "Aku ada satu permintaan padamu-dan kedua laki-laki terhormat yang kau layani. Kau telah mempelajari bahasa mereka. Aku ingin kau mengajariku. Kita akan belajar setiap hari. Kelak saat aku telah lancar bicara bahasa itu, aku akan mempertimbangkan semua permintaan mereka. Makin cepat aku belajar, makin besar kemungkinan semua hal itu dilaksanakan. Kuharap kau mengerti maksudku. Salah satu dari mereka harus ikut denganmu, karena aku juga harus belajar tulisan mereka, tentunya." Halaman 591 dari 591 "Aku hanyalah orang rendahan dari Was yang terendah, tapi aku akan lakukan semampuku untuk memenuhi keinginan Lady Otori." Madaren menyembah lagi. "Madaren," kata Kaede, mengucapkan nama aneh itu untuk yang pertama kalinya. "Kau akan menjadi guruku. Jangan terlalu bersikap formal." "Anda baik sekali," ujar Madaren. Dia ter-senyum tipis saat duduk tegak. "Kita akan mulai belajar besok," kata Kaede. Madaren datang setiap hari, menyeberangi sungai dengan perahu dan berjalan melewati jalan-jalan sempit ke rumah di tepi sungai. Belajar setiap hari menjadi bagian dari rutinitas kediaman itu, dan ia menyatu dengan iramanya. Si pendeta-Don Carlo- datang dua kali seminggu untuk mengajari kedua perempuan itu menulis apa yang disebutnya abjad, menggunakan kuas yang paling tipis. Rambut dan janggut kemerahan, serta mata hijau biru pucat bak air laut, laki-laki itu menjadi sasaran keingintahuan dan keheranan. Dia biasanya datang dengan dibuntuti anak-anak dan orang-orang dewasa yang tidak punya hal lebih baik yang bisa dikerjakan. Don Carlo juga sama ingin tahunya, sesekali dia mendekati anak-anak lalu memeriksa pakaian dan alas kaki mereka. Dia juga mengamati setiap tanaman di taman. dan sering mengajak Madaren pergi ke sawah untuk bertanya pada para petani tentang hasil panen dan musim. Dia menyimpan banyak buku catatan, yang di dalamnya dibuat daftar kata dan sketsa bunga, pohon, bangunan dan alat pertanian. Kaede melihat sebagian besar kegiatan ini karena Don Carlo mengajak mereka berdua sebagai sarana belajar bahasa, dan kerapkali membuat sketsa untuk menjelaskan sebuah kata. Orang itu benar-benar pandai, dan Kaede malu sekaligus kagum karena saat pertama kali bertemu ia berpikir kalau orang ini hampir bukan manusia. Bahasanya sulit: segala sesuatu yang berkaitan dengan bahasa itu sepertinya terbolak-balik, dan sukar untuk mengingat bentuk maskulin dan feminin dan cara kata kerjanya berubah. Suatu hari ketika Kaede merasa putus asa, ia berkata pada Madaren, "Aku takkan menguasai bahasa ini. Aku tak tahu bagaimana kau mempelajarinya." Ini menyakitkan hatinya: Madaren, perempuan dari kalangan rendah dan tidak ber-pendidikan, bisa begitu fasih menguasai bahasa itu. "Aku belajar dalam keadaan terpaksa, bukan pilihan," sahut Madaren. Begitu sudah bisa mengatasi rasa malu, sifat aslinya mulai muncul. Percakapan mereka menjadi lebih santai, terutama saat ada Shizuka. "Aku membuat Don Joao mengajariku di tempat tidur." Kaede tertawa, "Kurasa suamiku tak memikirkan itu." "Don Carlo masih belum punya pasangan," goda Shizuka. "Mungkin aku bisa meniru caramu." "Tampaknya Don Carlo tidak punya hasrat terhadap perempuan-ataupun laki-laki," kata Madaren. "Bahkan dia sama sekali tidak menyetujuinya. Di matanya, bercinta adalah yang disebutnya dosa- dan cinta antar laki-laki khususnya, mengejutkan bagi-nya." Itu merupakan pemikiran yang baik Shizuka maupun Kaede tidak terlalu me-mahaminya. "Barangkali saat aku sudah lebih me-mahami bahasa mereka, Don Carlo akan menjelaskannya," seloroh Kaede. "Jangan pernah bicarakan hal semacam itu dengannya," kata Madaren dengan nada memohon. "Itu akan membuatnya sangat malu." "Pastinya begitu. Dia menghabiskan banyak waktu untuk berdoa, dan acapkali membaca dengan suara keras kitab sucinya demi meraih kesucian dan pengendalian nafsu dalam dirinya." "Tidakkah Don Joao memercayai hal yang sama?" tanya Shizuka. Halaman 592 dari 592 "Sebagian dari dirinya percaya pada hal yang sama, tapi hasratnya lebih kuat. Dia memuaskan dirinya sendiri, kemudian membenci dirinya karena hal itu." Kaede penasaran apakah perilaku aneh ini menular pada Madaren, tapi tak ingin bertanya secara langsung. Kaede mengamati lekat-lekat ketika kedua orang asing hadir, dan berpikir kalau mereka berdua memang membenci Madaren, meski mereka mem-butuhkan keahlian dan bergantung kepadanya. Kaede berpikir kalau hubungan itu aneh dan terbolak-balik, dengan mani-pulasi, bahkan eksploitasi, dari kedua belah pihak. Kaede menemukan dirinya ingin tahu tentang masa lalu Madaren, betapa aneh perjalanan hidup yang telah membawa dia ke tempat ini. Seringkali saat mereka hanya berdua, ia berada di ambang keraguan untuk bertanya pada Madaren bagaimana Takeo ketika masih kecil. Namun pertanyaan ber-sifat pribadi semacam itu bisa dianggap terlalu mengancam. Musim dingin tiba. Bulan kesebelas mem-bawa hawa dingin yang menggigit; meskipun sudah memakai baju berlapis-lapis dan ada tungku batu bara agar tetap hangat. Kaede tak berani lagi berlatih pedang bersama Shizuka: kenangan buruk tentang keguguran bayinya selalu melekat di benaknya, dan ia sangat takut akan kehilangan bayinya ini. Terbungkus karpet bulu, Kaede tak bisa melakukan banyak hal selain belajar dan bicara dengan Madaren. Tepat sebelum rembulan di bulan kesebelas muncul, surat berdatangan dari Yamagata. Ia hanya berdua dengan Madaren; Shizuka mengajak kedua cucunya pergi melihat kirin. Kaede meminta maaf karena menghentikan pelajaran kemudian segera pergi ke ruang belajarnya sendiri-ruangan tempat Ichiro membaca dan menulis-dan membaca surat-surat itu di sana. Takeo menulis panjang lebar-atau tepatnya mendiktekan, karena dia kenal tulisan tangan Minoru-tentang semua keputusan yang telah diambil. Masih banyak persiapan yang harus dibicarakan dengan Kahei dan Gemba tentang kunjungan ke ibukota: Takeo masih menunggu kabar dari Sonoda tentang peneri-maan utusan pembawa pesan. Takeo merasa berkewajiban untuk melewatkan Tahun Baru di sana. Kaede sangat kecewa: ia berharap Takeo akan kembali sebelum salju menutup jalur pegunungan. Kini ia merasa khawatir kalau keberangkatan suaminya akan tertunda hingga salju mencair. Ketika kembali pada Madaren, perhatiannya teralihkan. "Apakah Lady Otori mendapat kabar buruk dari Yamagata?" tanya Madaren se-waktu Kaede membuat kesalahan pelajaran dasar untuk yang ketiga kalinya. "Tidak juga. Semula aku berharap suamiku akan kembali lebih awal, itu saja." "Lord Otori baik-baik saja?" "Kesehatannya baik-baik saja, terima kasih Surga." Kaede berhenti sejenak lalu berkata, "Kau memanggilnya dengan nama apa, saat kalian masih kecil?" "Tomasu, tuanku." "Tomasu? Kedengarannya aneh sekali. Apa artinya?" "Itu nama salah satu guru besar di kalangan Hidden." "Dan Madaren?" "Madaren adalah perempuan yang, kata-nya, mencintai putra Tuhan saat beliau berjalan di bumi." "Apakah putra Tuhan itu mencintai perempuan itu?" tanya Kaede, seraya meng-ingat-ingat percakapan mereka sebelumnya. "Beliau mencintai kita semua," sahut Madaren serius. Saat itu ketertarikan Kaede bukanlah pada kepercayaan orang Hidden, melainkan pada suaminya yang tumbuh dewasa di lingkungan mereka. "Kurasa kau tak ingat banyak tentang suamiku. Waktu itu kau pasti masih kecil." "Dari dulu dia memang berbeda," tutur Madaren perlahan. "Itu yang paling kuingat. Wajahnya tidak mirip dengan kami se Halaman 593 dari 593 keluarga, dan sepertinya tidak berpikir dengan cara yang sama. Ayahku sering marah padanya; ibu pura-pura marah, tapi ibu sayang sekali padanya. Aku selalu mengusik-nya. Aku ingin dia memerhatikan aku. Kurasa itu sebabnya aku mengenalinya se-waktu bertemu di Hofu. Aku selalu memimpikannya. Aku selalu memanjatkan doa baginya." Madaren terdiam, seolah takut sudah terlalu banyak bicara. Kaede pun agak terperanjat, meski ia tidak tahu apa sebabnya. "Sebaiknya kita mulai lagi pelajaran kita," ujar Kaede dengan suara yang lebih tenang. "Tentu saja, tuanku," sahut Madaren patuh. Malam itu salju turun dengan lebat, hujan salju pertama tahun itu. Kaede terjaga di pagi harinya dengan cahaya putih yang terasa asing, dan hampir menangis. Karena itu artinya jalan pasti sudah ditutup, dan Takeo akan tetap di Yamagata sampai musim semi. semakin sadar harus tahu apa yang mereka percayai, untuk bisa memahami mereka. Don Carlo nampak juga bersemangat untuk dapat membuat ia memahaminya. Ketika akhirnya salju turun, lakilaki itu tidak bisa ke sawah untuk melakukan penelitiannya, maka dia makin sering datang bersama Madaren dan percakapan mereka menjadi lebih mendalam lagi. "Don Carlo memerhatikan aku dengan cara laki-laki normal memandang perem-puan," komentarnya pada Shizuka. "Mungkin dia harus diperingatkan tentang reputasimu!" sahut Shizuka. "Pernah ada satu saat ketika hasrat berarti kematian bagi laki-laki mana pun!" "Aku telah menikah enam belas tahun, Shizuka! Kuharap reputasiku sudah dilupa-kan. Lagipula itu bukan nafsu, karena kita tahu Don Carlo tak merasakan desakan semacam itu." "Kita tidak pernah tahu itu! Kita hanya tahu kalau dia tidak menanggapi hasratnya." Shizuka menjelaskan. "Tapi bila kau mau dengar pendapatku: kurasa dia berharap bisa mengambil hatimu dengan agamanya. Dia tak menginginkan tubuhmu; dia meng inginkan jiwamu. Dia sudah mulai bicara tentang Deus, kan? Juga menjelaskan tentang agama di negaranya?" "Sungguh aneh," ujar Kaede. "Apa bedanya baginya atas apa yang kupercayai?" "Mai, gadis yang kukirim untuk bekerja pada mereka, mengatakan nama Lady Otori sering disebut dalam perbincangan mereka. Meskipun Mai belum memahami bahasa mereka dengan sempurna, tapi dia merasa kalau mereka berharap bisa mendapatkan keuntungan dan pengikut dalam jumlah yang sama besarnya, dan akhirnya men-dapatkan wilayah baru bagi diri mereka sendiri. Inilah yang mereka lakukan di seluruh penjuru dunia." "Dari apa yang mereka katakan, negeri mereka sangat jauh dari sini: berjarak satu tahun atau lebih dengan berlayar," tutur Kaede. "Bagaimana mereka bisa hidup begitu jauh dari rumah dalam waktu lama?" "Kata Fumio itu adalah sifat dari semua pedagang dan petualang. Membuat mereka merasa sangat berkuasa, dan berbahaya." "Baiklah, tapi aku tidak bisa membayang-kan diriku mengikuti kepercayaan mereka." Kaede membuang jauh-jauh pikiran itu dengan sengit. "Bagiku itu seperti omong kosong!" "Semua kepercayaan bisa kelihatan seperti kegilaan," sahut Shizuka. "Tapi bisa tiba-tiba menjangkiti manusia, seperti wabah. Aku pernah melihatnya. Waspadalah." Halaman 594 dari 594 Kata-kata Shizuka membuat Kaede ter-ingat saat dirinya menjadi istri Lord Fujiwara, dan bagaimana ia melalui hari-hari yang panjang dalam doa dan puisi, me-megang semua janji yang telah dikatakan padanya sementara dirinya terbaring dalam sihir tidur Kikuta seolah masuk ke peti es. Bersabarlah: dia akan menjemputmu. Kaede merasa bayinya menendang dalam perutnya. Kini seluruh kesabarannya sudah hampir habis dengan kehamilannya, salju serta ketidakhadiran Takeo. "Ah, punggungku sakit," katanya seraya menghcla napas. "Mari kupijat. Membungkuk." Selagi Shizuka memijat, dia diam saja; dan kesunyian itu semakin senyap seakan dia tenggelam dalam lamunan. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Kaede. "Hantu-hantu dari masa lalu. Dulu aku suka duduk bersama Lord Shigeru tepat di ruangan ini. Beberapa kali aku membawa pesan dari Lady Maruyama: kau tahu kalau dia adalah salah satu pengikut." "Ajaran kaum Hidden," ujar Kaede. "Kurasa agama orang asing itu, meski tampak sama, tapi lebih dogmatis dan tidak mengenai kompromi." "Semakin menguatkan alasan untuk mem-perlakukannya dengan curiga!" Selama musim dingin, Don Carlo memperkenalkannya lebih banyak kata: neraka, hukuman, kutukan, dan ia ingat apa yang pernah Takeo katakan tentang Tuhan yang Maha Melihat milik kaum Hidden dan tatapannya yang tanpa ampun. Kaede menyadari betapa Takeo telah memilih menghindari tatapan itu, dan itu makin membuat ia makin mengagumi dan men-cintai suaminya. Karena tentu saja dewa atau tuhan itu baik, dan menginginkan kehidupan berjalan dengan selaras bagi semua mahkluk, musim berlalu, malam berganti siang dan musim panas berganti dengan musim dingin, dan seperti ajaran Sang Pencerah, kematian itu tak lebih hanya pemberehentian sejenak sebelum kelahiran selanjutnya.... Kaede berusaha menjelaskan hal ini pada Don Carlo dengan kosa katanya yang ter-batas. Saat tidak berhasil dengan kata-kata, diajaknya laki-laki itu melihat pahatan patung Kannon Sang Maha Pengampun yang sudah selesai di kuil yang telah di-bangun untuknya. Saat itu cuaca terasa lembut di awal musim semi. Hunga-bunga plum masih ber-gelantungan bak serpihan salju di ranting tanpa daun di taman Akane; salju di bawah telapak kaki terasa lembap dan mencair. Kendati tidak suka dengan caranya diantar, Kaede dibawa dalam tandu; kehamilannya sudah berusia tujuh bulan dan diperlambat dengan berat bayi yang dikandungnya. Don Carlo juga dibawa dengan tandu terpisah di belakangnya, dan Madaren mengikutinya. Para tukang kayu, di bawah pengawasan Taro, tengah memberi sentuhan akhir pada kuil, memanfaatkan cuaca vang lebih hangat. Kaede senang melihat bangunan baru itu bisa bertahan menghadapi musim dingin, dengan dinaungi atap rangkap dua, keseimbangan sempurna pada kedua lengkungannya seperti yang Taro janjikan. Bentuk bangunan itu mencuat ke atas dan dipantulkan dengan dedaunan pinus yang membentuk seperti payung pelindung. Salju masih menempel di atap, menyilaukan saat icrkena pantulan cahaya matahari; tetesan air yang membeku mulai mencair dari tepi atap, membiaskan cahaya. Jendela kecil di atas pintu samping ber-bentuk seperti daun, dan hasil karya seni ukiran yang amat halus mem-biarkan cahaya matahari masuk. Pintu utama terbuka lebar, dan sinar matahari musim dingin jatuh menyirami lantai yang baru. Kayunya ber-warna seperti madu dan berbau semanis madu pula. Kaede memberi salam pada Taro, lalu melepas sandal di beranda. Halaman 595 dari 595 "Orang asing ini tertarik pada karyamu," katanya pada Taro, dan melihat ke belakang-nya tempat Don Carlo dan Madaren men-dekati bangunan kuil. "Selamat datang," sambut Kaede pada si pendeta dengan bahasa orang itu. "Ini tempat istimewa untukku. Masih baru. Orang ini yang membuatnya." Taro membungkuk, dan Don Carlo mem-buat gerakan canggung dengan kepala. Orang itu terlihat lebih gelisah dari biasanya, dan saat Kaede berkata, "Mari masuk. Kau harus lihat karya paling indah dari orang ini," si pendeta menggeleng lalu menyahut, "Aku lihat dari sini saja." "Tapi kau tak bisa melihatnya dari sini," desak Kaede, kemudian Madaren berbisik, "Dia takkan masuk; ini bertentangan dengan kepercayaannya." Kaede merasa marah atas sikap kasar laki-laki itu, ia tak bisa memahami alasan di baliknya, tapi ia tak menyerah begitu saja. Ia sudah mendengarkan Don Carlo sepanjang musim dingin, dan sudah belajar banyak darinya. Kini giliran orang itu yang harus mendengarkan. "Ayolah," kata Kaede. "Lakukan seperti yang kuminta." "Pasti menarik," saran Madaren kepada-nya. "Kau bisa lihat bagaimana konstruksi bangunan ini dan bagaimana pahatan kayu-nya." Don Carlo melepas alas kaki dengan sikap enggan yang sengaja diperlihatkan. Taro membantunya dengan senyum yang mem-beri semangat. Kaede melangkah ke dalam kuil; patung yang sudah selesai berdiri di depan mereka. Satu tangan, menekan dada, memegangi bunga teratai; sedangkan tangan yang satu lagi menyibak keliman jubah dengan dua jari yang ramping. Lipatan jubah itu dipahat sangat halus hingga terlihat seperti bergoyang saat tertiup angin sepoi-sepoi. Mata sang dewi menatap ke bawah, ekspresinya tegas sekaligus penuh welas asih, senyum dengan bibir agak mencuat ke atas. Kaede menangkupkan telapak tangan lalu menunduk berdoa-untuk bayi dalam kandungannya, untuk suami dan ketiga putrinya, dan untuk arwah Akane yang mungkin pada akhirnya bisa istirahat dengan tenang. "Dia cantik sekali," kata Don Carlo, dengan semacam rasa ingin tahu, tapi tidak berdoa. Kaede mengatakan pada Taro betapa si orang asing mengagumi patungnya, melebih-lebihkan pujiannya untuk menebus sikap kasarnya tadi. "Keahlianku biasa saja. Tanganku men-dengarkan apa yang ada di dalam kayu, dan membantunya menemukan jalan keluamya," sahut Taro. Kaede berusaha menerjemahkan kalimat ini sebisa mungkin. Taro, dengan gerakan dan sketsa gambar, memperlihatkan pada Don Carlo konstruksi bagian dalam atap, bagaimana penyangganya saling menopang. Kemudian Don Carlo mengeluarkan buku catatan lalu menggambar apa yang dilihat-nya, menanyakan tentang nama kayu, dan nama setiap sambungan. Matanya kerapkali menerawang kembali ke arah sang dewi, kemudian ke arah wajah Kaede. Sewaktu mereka pergi, Don Carlo ber-gumam, "Kurasa aku tidak bisa menemukan Bunda Maria dari Timur." Itulah pertama kalinya Kaede mendengar kata itu, dan tak mengerti artinya, namun melihat ada sesuatu yang telah meningkatkan ketertarikan Don Carlo pada dirinya; hal itu mengganggunya; merasakan tiba-tiba bayi dalam perutnya menendang keras, dan ingin sekali agar Takeo kembali.* Halaman 596 dari 596 Sisa luka cakaran membekas di wajahnya sudah hampir memudar ketika Takeo kembali ke Hagi di akhir bulan ketiga. Salju belum lagi mencair: musim dingin berlang-aing lama dan sulit. Dengan ditutupnya semua perbatasan antar kota di seluruh Tiga Negara, ia tidak bisa menerima surat, dan kecemasannya terhadap Kaede makin menjadi-jadi. Takeo senang Ishida tinggal bersama istrinya selama masa kehamilanya, namun juga menyesali ketidakhadiran si tabib selagi cuaca yang tak bersahabat mem-buat luka lamanya terasa makin sakit, sedangkan minuman penenang telah habis. Takeo terpaksa menghabiskan waktu ber-sama Miyoshi Kahei, membahas strategi untuk musim semi yang akan datang serta kunjungan ke ibukota, dan membaca catatan administrasi Tiga Negara. Kedua hal itu membangkitkan semangatnya: merasa siap untuk apa saja yang akan terjadi saat kunjungan nanti. Ia akan pergi dengan damai, namun takkan meninggalkan negerinya tanpa penjagaan. Dan catatan administrasi memastikan sekali lagi seberapa kuat negaranya, sampai ke tingkat desa-di mana pemimpinnya dipilih oleh para petani-dapat dimobilisasi untuk mem-pertahankan diri mereka dan wilayahnya. Musim semi tiba dan ia langsung me-mutuskan untuk pulang. Saat menunggang kuda melewati pedesaan, semua itu kian memantapkan hatinya. Tenba melewati musim dingin dengan baik, hampir tidak berkurang berat badan maupun kondisinya. Bulu musim dinginnya telah disikat bersih oleh bocah-bocah pengurus kuda, dan tubuh hitamnya berkilauan bak pernis. Gembira karena berada di jalanan, menuju tempat kelahirannya, membuat kuda itu melompat dan berjingkrak, cuping hidungnya mengem-bang, surai dan ekornya melambai-lambai. "Apa yang terjadi pada wajahmu?" tanya Kaede ketika mereka hanya berdua, menyelujuri tanda bekas luka yang mulai menghilang dengan jari-jarinya. Takeo tiba tadi pagi. Udara masih terasa dingin, angin segar; jalanannya berlumpur, seringkali tergenang. Ia langsung ke rumah lama, tempat Chiyo dan Haruka menyam-butnya dengan suka cita, mandi dan makan bersama Kaede, Ishida serta kedua bocah. Saat ini ia dan Kaede duduk di kamar lantai atas, penutup jendela terbuka, percikan sungai terdengar di telinga mereka, dan di mana-mana tercium aroma musim semi. Bagaimana mengatakannya? Takeo me-natap istrinya dengan penuh kekhawatiran. Waktu melahirkan hampir tiba, tidak lebih dari tiga atau empat minggu lagi. Teringat olehnya apa yang Shigeko katakan: Ayah harus ceritakan pada Ibu. Ayah seharusnya tidak menyimpan rahasia dari Ibu. Ceritakan semuanya pada Ibu. Takeo berkata, "Aku tak sengaja menabrak dahan. Tidak apa-apa." "Kelihatannya seperti dicakar. Aku tahu, kau kesepian di Yamagata lalu menemukan perempuan yang menggairahkan!" Kaede menggodanya, senang suaminya sudah berada di rumah lagi. "Tidak," sahutnya dengan nada lebih serius. "Aku sudah sering mengatakan pada mu, aku tidak akan tidur dengan siapa pun selain dirimu." "Seumur hidupmu?" "Seumur hidupku." "Bahkan kalau aku mati lebih dulu?" Ditempelkan jarinya dengan lembut ke bibir istrinya. "Jangan bilang begitu." Ia merengkuh Kaede dan memeluknya erat-erat sesaat tanpa sepatah kata pun. Halaman 597 dari 597 "Ceritakan semuanya," akhirnya Kaede berkata. "Bagaimana Shigeko? Aku sangat gembira memikirkan dia sebagai Lady Maruyama saat ini." "Shigeko baik-baik saja. Andai kau bisa melihatnya saat upacara. Dia mengingatkan-ku pada Naomi. Tapi saat itu baru kusadari kalau Hiroshi jatuh cinta padanya." "Hiroshi? Tidak mungkin. Dia selalu memperlakukannya sebagai adik. Apakah dia bilang begitu?" "Tidak dengan kata-kata. Tapi aku yakin itu sebabnya dia selalu menghindari per-nikahan." "Dia berharap menikah dengan Shigeko?" "Menurutku Shigeko juga menyayangi-nya." "Shigeko masih gadis kecil!" ujar Kaede, kedengaran seolah marah dengan pendapat seperti itu. "Usianya sama dengan kau saat kita bertemu," Takeo memperingatkan. Sesaat mereka saling pandang. Lalu Kaede berkata, "Mereka tidak boleh berada di Maruyama bersama-sama. Jangan terlalu banyak berharap dari mereka berdua!" "Hiroshi jauh lebih tua ketimbang diriku saat itu! Kuyakin dia lebih bisa mengendali-kan diri. Dan mereka tak berharap hidup mereka berakhir dalam hitungan jam." Cinta kita pun merupakan hasrat yang buta, pikirnya. Kita belum terlalu mengenal satu sama lain. Kita dirasuki kegi-laan yang begitu kuat hingga mengakibatkan terjadinya pem-bunuhan yang tiada henti. Shigeko dan Hiroshi sudah seperti kakak adik. Bukan dasar yang buruk untuk sebuah pernikahan. "Kono mengisyaratkan persekutuan politis melalui pernikahan dengan jenderal Kaisar, Saga Hideki," tuturnya pada Kaede. "Pendapat yang tidak bisa kita abaikan begitu saja," sahut Kaede, menghela napas panjang. "Aku yakin Hiroshi bisa menjadi suami yang baik, tapi pernikahan semacam itu akan menyiakan-nyiakan Shigeko, dan tidak memberi keuntungan yang sebenarnya belum kita miliki." "Baiklah, Shigeko akan ikut bersamaku ke Miyako; kami akan bertemu dengan Saga dan memutuskan nanti." Takeo meneruskan ceritanya tentang kelanjutan masalah dengan Zenko. Mereka memutuskan untuk mengundang Hana saat musim panas agar bisa bertemu kedua putranya dan menemani Kaede setelah melahirkan. "Dan kuharap kau sudah fasih bicara dengan bahasa yang baru," ujar Takeo. "Aku sudah membuat kemajuan," sahut Kaede. "Don Carlo maupun adikmu adalah guru yang baik." "Adikku baik-baik saja?" "Secara umum, ya, baik-baik saja. Kami terserang flu, tapi tidak serius. Aku suka padanya: kelihatannya dia baik dan pandai, meskipun tidak mendapat pendidikan." "Dia mirip ibuku," ujar Takeo. "Apakah orang-orang asing itu berhubungan dengan Hofu atau Kumamoto?" "Ya, mereka sering menulis surat. Ishida kadang membantu mereka, dan sudah sewajarnya kami membacanya." "Kau memahami semua isinya?" "Sulit sekali. Bahkan bila sudah mengenal setiap kata, aku masih saja kesulitan me-nangkap maknanya. Aku harus sangat ber-hati-hati agar tidak membuat Don Carlo takut: laki-laki itu amat tertarik dengan semua yang kukatakan, dan menimbang-nimbang setiap perkataan. Dia menulis banyak hal tentang diriku, pengaruhku pada dirimu, kekuatan yang tidak biasa sebagai seorang perempuan." Sesaat Kaede terdiam. "Menurutku dia ingin aku masuk agamanya, dan meraih dirimu melalui aku. Madaren pasti sudah menceritakan kalau kau lahir di antara kaum Hidden. Don Carlo Halaman 598 dari 598 nyaris mengira kau adalah pengikut ajaran mereka sehingga akan diberi ijin menyebarkan agama, sedangkan Don Joao diijinkan ber-dagang di Tiga Negara." "Perdagangan itu masalah lain: boleh selama kita bisa mengendalikannya dan demi kepentingan kita. Tapi tak akan kuijinkan dia menyebarkan agama, atau bepergian." "Tahukah kau kalau sudah ada orang asing di Kumamoto?" tanya Kaede. "Don Joao menerima sepucuk surat dari salah satunya. Mereka adalah kenalan bisnis, sepertinya, dari kampung halaman mereka." "Aku sudah curigai." Takeo menceritakan tentang cermin yang diperlihatkan kepada-nya di Maruyama. "Aku juga punya cermin yang sama!" Kaede memanggil Haruka, dan pelayan itu membawakan cermin itu, terbungkus kain sutra tebal. "Ini pemberian Don Carlo," tutur Kaede, seraya membuka bungkusnya. Takeo mengambilnya dan bercermin. Ia merasa aneh dan terkejut. "Hal ini mencemaskanku," kata Takeo. "Apa lagi yang diperdagangkan dari Kuma-moto yang kita belum tahu?" "Satu lagi alasan yang tepat agar Hana berada di sini," kata Kaede. "Dia tidak tahan untuk memamerkan barang-barang baru kepunyaannya dan akan mengumbar tentang kehebatan Kumamoto. Aku yakin bisa me-mancingnya agar bercerita lebih banyak lagi." "Shizuka tidak ada di sini? Aku ingin bicara dengannya tentang masalah ini, dan mengenai Zenko." "Dia ke Kagemura begitu salju mencair. Aku mencemaskan Miki dalam cuaca dingin seperti ini, dan Shizuka punya masalah yang harus dibicarakan dengan keluarga Muto." "Miki akan kembali bersamanya?" Takeo terperangkap oleh kerinduan ingin bertemu dengan putri bungsunya. "Belum diputuskan." Kaede menepuk Kin, anjing yang berbaring meringkuk di sampingnya. "Kin pasti senang saat Maya pulang-dia merindukan si kembar. Kau bertemu Maya?" "Ya, aku bertemu." Takeo tak yakin bagai-mana meneruskannya. "Kau juga mengkhawatirkannya? Dia baik-baik saja?" "Maya baik-baik saja. Dia sedang belajar pada Taku. Dia tengah belajar mengendali-kan diri dan juga disiplin. Tapi Taku seperti-nya tergila-gila pada gadis itu." "Dengan Sada? Apa semua laki-laki sudah gila? Sada! Dia orang terakhir yang kuduga bisa membuat Taku mabuk kepayang. Kukira gadis itu tidak peduli pada laki-laki- dia berpenampilan seperti lakilaki." "Seharusnya tidak kuceritakan padamu," sahut Takeo. "Jangan sampai masalah ini membuatmu tertekan. Kau harus memikir-kan kesehatanmu." Kaede tertawa. "Aku lebih merasa terkejut ketimbang tertekan. Selama tidak meng-ganggu tugas mereka, biarkan saja mereka saling mencinta. Tak ada ruginya, kan? Hasrat seperti itu tidak bisa dihentikan-toh, nanti akan padam dengan sendirinya." "Hasrat kita tak pernah padam," sahut Takeo. Kaede meraih tangan suaminya dan menaruhnya di perutnya. "Putra kita sedang menendang," katanya, dan Takeo merasakan si bayi bergerak kuat dalam perut istrinya. Halaman 599 dari 599 "Sebenarnya aku tidak ingin membicara kannya," kata Takeo. "Tapi kita harus me-mutuskan nasib sandera yang kita tahan di Inuyama, keluarga Kikuta yang menyerang-mu tahun lalu. Ayah mereka sudah mati dibunuh tahun lalu, dan aku ragu kalau Kikuta mau berunding. Keadilan menuntut kalau mereka dihukum mati atas kejahatan yang mereka lakukan. Kukira sudah wakt-unya menulis surat pada Sonoda. Harus kelihatan sesuai hukum, bukan sebagai tindakan balas dendam. Mungkin aku harus ke sana uniuk menyaksikannya-aku mem-pertimbangkan untuk meminta hukuman dilaksanakan saat aku melewati Inuyama dalam perjalanan ke ibukota." Kaede gemetar. "Itu pertanda buruk untuk suatu perjalanan. Katakan pada Sonoda untuk melakukannya sendiri: dia dan Ai adalah wakil kita di Inuyama. Mereka bisa mewakili kita. Dan harus laksanakan secepatnya. Jangan ditunda." "Minoru akan menulis suratnya sore ini." Takeo berterima kasih pada Kaede atas keputusannya yang tegas. "Oh ya, Sonoda baru saja menulis surat. Kurirmu sudah kembali ke Inuyama. Mereka diterima Kaisar. Mereka diberi penginapan oleh Lord Kono selama musim dingin, dan dia selalu memujimu dan Tiga Negara." "Tampaknya sikap Kono berubah," sahut Takeo. "Dia tahu cara memikat serta memuji. Aku tidak memercayai dia, tapi aku harus tetap pergi ke Miyako sesuai rencana." "Alternatif lain terlalu menakutkan untuk dipikirkan," gumam Kaede. "Kau pasti paham benar apa alternatif itu." "Tentu: menyerang dan mengalahkan Zenko dengan cepat di Barat dan bersiap melawan Kaisar di Timur. Pikirkan biaya yang dibutuhkan. Bahkan jika kita bisa memenangkan kedua wilayah, kita membawa dua pertiga negara kita dalam kancah peperangan-dan akan menghancurkan kerabat sendiri dan merenggut Sunaomi dan Chikara dari orangtuanya. Ibu mereka adalah adikku, dan aku sayang padanya dan anak-anaknya." Takeo menarik tubuh Kaede lebih dekat, dan mengecup tengkuk istrinya, bekas luka itu masih tetap kelihatan. "Takkan kubiarkan hal itu tcrjadi. Aku janji." "Tapi kekuatan yang tengah digalang dimana dirimu, suamiku sayang, tidak bisa mengendalikannya." Kaede membenamkan diri dalam pelukan Takeo. Napas mereka makin memburu dan keduanya larut menjadi satu kesatuan. "Kuharap kita bisa seperti ini selamanya," kata Kaede pelan. "Aku sangat bahagia saat ini; tapi aku takut apa yang akan terjadi kelak." Semua orang menantikan bayi itu lahir, tapi sebelum Kaede dipingit, Takeo ingin bertemu dengan kedua orang asing. Ia ingin mencapai persetujuan yang memuaskan kedua belah pihak untuk masalah perdagangan dan memperingatkan mereka siapa penguasa Tiga Negara. Takeo khawatir kalau selama ia tidak ada di sana, saat Kaede sibuk dengan bayinya, orang-orang asing itu akan berpaling ke Kumamoto untuk men-dapatkan akses ke distrik lain, dan sumber daya lain. Halaman 600 dari 600 Cuaca hari itu semakin hangat; daun ginkgo dan maple merekah, cerah dan segar. Seketika bunga ceri bermekaran di mana-mana, gunung berwarna putih bersih. taman berwarna merah muda. Burung kembali ke sawah yang berair, dan suara katak memenuhi udara. Bunga aconitus dan violet bermekaran di hutan dan taman, diikuti dandelion, windflower, aster dan vetch. Jerit jangkrik mulai terdengar, dan kicau burung warbler mengalun indah. Don Carlo dan Don Joao datang bersama Madaren ke penemuan yang diadakan di ruang utama yang menghadap taman. Aliran sungai dan air terjun di taman memercikkan air dan ikan carp merah keemasan berenang dengan malas di kolam, sesekali melompat untuk menangkap serangga musim semi. Takeo sebenarnya lebih senang menerima mereka di kastil dengan upacara megah, tapi ia tak ingin Kaede melakukan perjalanan. Kaede harus hadir untuk membantu men-jelaskan maksud kedua belah pihak. Itu tugas yang berat. Kedua orang asing itu kini lebih mendesak. Mereka tak sabar untuk memulai perdagangan yang sesungguhnya, meskipun tidak menyatakannya secara terang-terangan. Madaren lebih gelisah dengan adanya Takeo. Dia tampak takut menyinggung, tapi juga ingin membuatnya terkesan. Ia pun gelisah, mencurigai kedua orang asing itu, karena mereka seperti memandang rendah dirinya, tahu kalau Madaren adalah adiknya-apakah mereka memang tahu itu? Apakah adiknya telah mengatakannya pada mereka? Kaede mengatakan mereka tahu kalau ia lahir di kalangan Hidden... penerjemahan semakin memperlambat pembicaraan; sore segera menjelang. Takeo meminta mereka menyatakan dengan jelas keinginan mereka. Don Joao menjelaskan bahwa mereka berharap bisa membangun hubungan dagang secara ter-atur. Dia memuji sutra, kerang mutiara, dan keramik dan porselen yang diimpor dari Shin. Semua ini, katanya, banyak dicari dan bernilai tinggi di negaranya. Sebagai imbalan, dia menawarkan perak, pecah belah, rempah dan kayu wangi, dan tentunya senjata api. Takeo menjawab bahwa semua ini bisa diterima: satu-satunya syarat yaitu adalah semua itu harus dilakukan melalui Hofu dan di bawah pengawasannya, dan senjata api hanya bisa masuk dengan seijin dirinya atau istrinya. Kedua orang itu saling bertukar pandang ketika syarat itu diterjemahkan, dan Don Joao menjawab, "Kami sudah biasa bepergian dan berdagang dengan bebas." Takeo berkata, "Mungkin kelak hal itu bisa dilakukan. Kami tahu bahwa Anda bisa membayar dengan mata uang perak, tapi bila terlalu banyak mata uang perak masuk, semua harga akan jatuh. Kami harus melindungi rakyat, dan menjalankannya secara perlahan. Bila perdagangan ini ter-nyata mendatangkan keuntungan bagi kami, maka kami akan memperluasnya." "Dengan persyaratan seperti ini, maka keuntungan tak berada di pihak kami," bantah Don Joao. "Bila itu keputusannya, maka kami berdua akan pergi." "Itu keputusan Anda," Takeo sepakat dengan sopan, sadar kalau hal itu sulit diterima. Lalu Don Carlo mengungkit masalah agama, dan bertanya apakah mereka boleh membangun kuil di Hofu dan di Hagi, dan apakah penduduk setempat boleh bergabung dengan mereka memuja Deus. "Rakyat kami boleh beribadah sesuai keinginan mereka," sahut Takeo. "Tidak perlu membuat bangunan khusus untuk itu. Kami akan memberi akomodasi. Anda boleh memanfaatkan satu ruangan di sana. Tapi, saranku, jangan secara terang-terangan. Prasangka masih tetap ada, jangan sampai menganggu keselarasan dalam masyarakat." "Kami berharap Lord Otori bisa mengakui agama kami sebagai salah satu agama yang benar," tutur Don Carlo, dan Takeo mcngira kalau ia menangkap nada lebih bersemangat Madaren sewaktu menerjemahkan. Halaman 601 dari 601 Takeo tersenyum, seolah gagasan itu terlalu absurd untuk dibicarakan. "Takkan ada hal semacam itu," sahutnya, dan melihat kalau hal itu membuat mereka kesal. "Anda berdua harus kembali ke Hofu," ujarnya, seraya berpikir akan menulis surat kepada Taku. "Aku akan mengatur kapal dengan Terada Fumio-dia akan menemani Anda. Aku akan pergi selama musim panas, dan istriku akan sangat sibuk mengurus anak. Tak ada alasan lagi bagi kalian untuk tinggal di Hagi." "Aku akan merasa kehilangan Lady Otori," kata Don Carlo. "Lady Otori telah menjadi murid sekaligus guru, dan hebat dalam keduanya." Kaede berbicara padanya menggunakan bahasa asing itu; Takeo kagum dengan kefasihan istrinya dalam bahasa yang aneh bunyinya itu. "Aku berterima kasih kepadanya dan bilang kalau dia juga pandai sebagai murid, serta berharap dia mau terus belajar dari kita," tutur Kaede dengan pelan pada Takeo. "Kukira dia lebih suka menjadi guru ketimbang menjadi murid," bisik Takeo, tak ingin Madaren mendengar. "Ada banyak hal yang dia merasa sudah tahu," sahut Kaede pelan. "Tapi Lord Otori akan ke mana begitu lama, begitu cepat setelah kelahiran anak Anda?" tanya Don Joao. Seturuh kota sudah tahu: tak ada alasan menyembunyikannya dari mereka. "Aku akan mengunjungi Kaisar." Ketika diterjemahkan, mereka tampak kebingungan. Mereka mengajukan per-tanyaan pada Madaren dengan hati-hati, seraya melihat sekilas ke arah Takeo dengan tatapan terkejut. "Apa yang mereka katakan?" Takeo men-condongkan badan ke arah Kaede dan berbicara di telinga istrinya. "Mereka tidak tahu kalau ada Kaisar," gumamnya. "Mereka mengira kalau kaulah yang mereka sebut raja." "Dari Delapan Pulau?" "Mereka tidak tahu tentang Delapan Pulau-mereka mengira hanya ada Tiga Negara." Madaren bicara dengan ragu-ragu, "Maafkan aku, tapi mereka ingin tahu apakah mereka boleh menemani Lord Otori ke ibukota." "Apa mereka sudah gila?" imbuhnya cepat, "Jangan terjemahkan itu! Katakan pada mereka kalau masalah ini telah dipersiapkan berbulan-bulan sebelumnya. Hal itu tidak mungkin." Don Joao memaksa. "Kami adalah utusan raja kami. Sudah sepantasnya kami diperbolehkan memperlihatkan surat kepercayaan raja kami pada penguasa negeri ini, bila memang bukan Lord Otori orangnya." Don Carlo lebih diplomatis. "Mungkin memang seharusnya kami mengirim surat dan hadiah. Mungkin Lord Otori bisa menjadi duta bagi kami." "Kemungkinan itu bisa dilakukan," aku Takeo, dalam hati ia bertekad tidak akan melakukannya. Setelah menerima makanan kecil dari Haruka, mereka mengucapkan selamat tinggal, berjanji akan mengirim surat dan hadiah sebelum Takeo pergi. "Ingatkan pada mereka kalau hadiahnya harus mewah dan indah," kata Takeo pada Madaren, karena biasanya apa yang dianggap cukup oleh orang asing jauh dari yang biasa mereka lakukan. Takeo memikirkan dengan gembira kesan yang akan dibuat oleh kirin. Kaede sudah memerintahkan dipersiapkan-nya kain sutra yang indah, dan dikemas dengan bungkusan kertas halus bersama contoh keramik terindah, kotak penyimpan teh dari emas dan pernis hitam, serta lukisan pemandangan karya Sesshu; Shigeko akan Halaman 602 dari 602 membawa kuda-kuda dari Maruyama dan gulungan kaligrafi terbuat dari daun emas, ketel besi dan rak lentera. Semua itu untuk menghormati Kaisar dan memperlihatkan kekayaan dan status kedudukan Klan Otori serta kekayaan negaranya. Takeo sangsi benda apa pun yang bisa disediakan kedua orang asing itu bisa layak dibawa sampai ke ibukota, bahkan untuk diberikan kepada menteri sekali pun. Takeo sudah melangkah keluar menuju taman sewaktu kedua orang asing itu mengundurkan diri, seraya membungkuk dengan sikap mereka yang canggung dan kaku. Ketimbang mengantar mereka sampai ke gerbang, Madaren justru berlari mengejar. Tindakan adiknya membuat ia gusar karena tidak ingin didekati, namun ia pun sadar kalau Madaren sudah akrab dengan istrinya selama musim dingin. Kebalikan dari sikapnya, ia merasa ada semacam kewajiban pada Madaren; menyesali sikapnya yang dingin. Untungnya, bila ada yang melihat mereka bersama, mereka akan mengira perempuan itu bicara padanya sebagai penerjemah, bukan kerabatnya. Madaren memanggil namanya; Takeo berbalik, dan saat Madaren tidak sanggup bicara, dia berkata dengan ramah, "Apa yang bisa kubantu? Adakah kebutuhanmu yang belum terpenuhi? Apakah kau perlu uang?" Madaren menggelengkan kepala. "Apa sebaiknya kuaturkan pernikahan untukmu? Aku akan mencarikan pedagang yang cocok denganmu. Kau bisa memulai usahamu sendiri, dan juga keluargamu." "Aku tidak ingin semua itu," sahutnya. "Don Joao membutuhkan diriku. Aku tidak bisa meninggalkannya." Takeo mengira kalau adiknya ingin berterima kasih, dan terkejut ketika temyata bukan itu yang dikatakannya. Sebaliknya, dia malah bicara dengan nada agak keras. "Ada satu hal yang kuinginkan lebih dari segala-nya. Dan itu hanya kau yang bisa berikan." Takeo menaikkan alis dan menanti kelanjutan kata-kata adiknya. "Tomasu," katanya dengan berlinang air mata. "Aku tahu kau belum sepenuhnya berpaling dari Tuhan. Katakan padaku kalau kau masih menjadi pengikut Hidden." "Aku tidak lagi pengikut ajaran itu," sahutnya tenang. "Maksudku, seperti yang tadi kukatakan: tak ada satu agama pun yang b enar." "Saat kau mengeluarkan kata-kata tak pantas itu, Tuhan mengirimkan firasat kepadaku." Air mata berlinang di wajahnya. Rasa tertekan dan ketulusannya tak dira-gukan lagi. "Aku melihatmu terbakar di neraka. Api neraka melahap dirimu. Itulah yang menantimu setelah kematian, kecuali kau kembali kepada Tuhan." Takeo ingat pesan dari tuhan yang mendatangi dirinya setelah demam karena terkena racun yang membawa dirinya ke ambang alam baka. Ia takkan percaya pada kepercayaan mana pun, agar rakyatnya bebas memilih. Pendiriannya tidak akan goyah. "Madaren," ujarnya lembut. "Kau tidak boleh bicara denganku mengenai masalah ini. Aku melarangmu mendekatiku dengan cara seperti ini lagi." "Tapi kehidupan kekalmu menjadi taruhannya; jiwamu. Sudah menjadi tugasku untuk menyelamatkan dirimu. Kau pikir mudah bagiku untuk melakukannya? Lihat betapa gemetarnya tubuhku! Aku takut mengutarakan kata-kata ini padamu. Tapi aku harus mengatakannya!" "Hidupku di sini, di dunia ini," sahutnya. Takeo memberi isyarat agar adiknya melihat ke taman, dalam segala keindahannya di musim semi. "Tidakkah ini cukup? Dunia tempat kita lahir dan tempat kita mati; tempat kembalinya jiwa dan raga dalam siklus besar, siklus kehidupan dan kematian? Ini sudah cukup indah dan menakjubkan." Halaman 603 dari 603 "Tapi Tuhan yang menciptakan dunia ini," katanya. "Tidak, dunia menciptakan dirinya sendiri; jauh lebih hebat dari yang kau kira." "Tidak mungkin lebih hebat dibanding Tuhan." "Tuhan, dewa, semua itu diciptakan oleh manusia," tuturnya, "jauh lebih kecil ketimbang dunia yang kita diami ini." Ia tidak marah lagi, tapi tidak bisa melihat ada alasan mengapa dia tertahan di tempat itu oleh adiknya itu, meneruskan perbincangan yang tak ada tujuannya. "Kedua majikanmu sedang menunggu. Sebaiknya kau kembali pada mereka. Dan kularang kau mengungkapkan masa laluku pada mereka. Kuharap kau sadar sekarang kalau masa lalu sudah ditutup rapat. Aku telah memutus tali hubungannya. Keadaanku saat ini membuatku mustahil untuk kembali. Kau akan selalu menikmati perlindunganku, tapi bukannya tanpa syarat." Ia merasa kedinginan, padahal cuaca hari itu hangat. Apa maksud perkataannya; apa yang akan ia lakukan pada adiknya itu? Mengeksekusinya? Diingatnya, seperti yang diingatnya setiap hari, kematian Jo-An di tangannya, gelandangan yang juga meng-anggap dirinya sebagai utusan Tuhan Rahasia. Tak peduli seberapa dalam penyesalan atas lindakannya itu, ia sadar kalau ia bisa melakukannya lagi tanpa ragu. Ia telah membunuh masa lalunya, keyakinan masa kecilnya dengan Jo-An, dan tak satu pun dari mereka bisa dibangkitkan kembali. Madaren tunduk pada kata-katanya. "Lord Otori," dia membungkuk hormat sampai ke tanah, seolah sadar tempatnya yang sebenarnya, bukan sebagai adiknya tapi serendah pelayan-seperti Haruka yang menunggu setengah bersembunyi di beranda. "Semuanya baik-baik saja, Lord Takeo?" "Juru bahasa itu mengajukan beberapa pertanyaan," sahutnya. "Lalu kelihatannya dia kurang sehat. Pastikan perempuan itu pulih kembali, dan pastikan kalau dia pergi secepatnya. "* Terada Fumio menghabiskan musim dingin di Hagi bersama istri dan anak-anaknya. Tak lama setelah pertemuan dengan orang asing selesai, Takeo pergi ke rumah mereka yang berida di sisi lain teluk. Taman beratap, dihangatkan dengan sumber air panas yang mengelilingi gunung berapi, kelihatan cerah dengan azalea dan peony beserta tumbuhan eksotis lainnya yang dibawa Fumio untuk Eriko dari pulau-pulau yang jauh serta kekaisaran-kekaisaran terpencil: anggrek, lili dan mawar. "Suatu hari nanti kau harus ikut dengan-ku," kata Fumio selagi mereka berjalan melewati taman dan menceritakan tempat asal tiap tumbuhan. "Kau belum pernah keluar Tiga Negara." "Tidak perlu, karena kau sudah mem-bawakan dunia kepadaku." sahut Takeo. "Tapi kelak aku ingin ikut-jika aku mengundurkan diri atau turun takhta." "Apa kau memang mempertimbangkan hal itu?" Fumio mengamati, tatapan matanya yang penuh semangat menelusuri wajah Takeo. "Lihat saja nanti apa yang akan terjadi di Miyako. Aku berharap bisa memecahkan masalah tanpa berperang. Saga Hideki mengusulkan suatu penandingan-putriku yang akan menggantikan diriku- dan yang lainnya sudah yakin kalau hasilnya kelak akan berpihak kepadaku." "Kau mempertaruhkan Tiga Negara hanya dalam satu penandingan? Jauh lebih baik ber-siap untuk berperang!" "Seperti yang kita putuskan tahun lalu, kita akan siap perang. Setidaknya aku butuh waktu satu bulan hingga sampai di ibukota. Selama itu Kahei akan mengumpulkan pasukan di perbatasan wilayah Halaman 604 dari 604 Timur. Aku diwajibkan ikut penandingan itu, menang atau kalah, tapi dengan syarat yang akan dibicarakan dengan Saga. Kekuatan kita akan berada di sana hanya jika syaratku tidak dipenuhi, atau jika mereka ingkar janji." "Kita harus menggerakkan armada dari Hagi ke Hofu," tutur Fumio. "Itu berarti kita mengendalikan bagian Barat dari laut, dan bisa menyerang di Kumamoto bila perlu." "Bahaya terbesar yaitu Zenko memanfaat-kan ketidak-hadiranku dan memberontak. Tapi istrinya akan ke Hagi; kedua putranya sudah berada di sana. Menurutku, dia tak akan benindak bodoh dengan mempertaruh-kan nyawa mereka. Kaede sepakat denganku, dan dia akan mengupayakan seluruh pengaruhnya atas Hana. Kau dan ayahmu harus pergi dengan armada perang ke Hofu; bersiap menerima serangan dari laut. Taku ada di sana dan akan tetap memberitahukan padamu apa pun yang terjadi. Dan kau bisa mengajak orang-orang asing itu bersamamu." "Mereka akan kembali ke Hofu?" "Mereka akan membangun pos dagang di sana. Kau bantu mereka melakukannya sambil mengawasi. Gadis Muto itu, Mai, juga akan pergi bersama mereka." Takeo terus menceritakan tentang kekhawatirannya atas orang-orang a,sing karena kemungkinan sudah ada yang tinggal di Kumamoto. "Aku akan mencari tahu semampuku," Fumio berjanji. "Aku harus mengenal Don Joao dengan cukup baik musim dingin ini, dan mulai mengerti bahasa mereka. Untung nya dia bukan orang yang tertutup, terutama setelah minum sake. Bicara tentang sake," imbuhnya. "Mari kita minum beberapa cangkir. Ayahku ingin bertemu denganmu." Ia lupa pada semua kecemasannya saat menikmati sake dan makanan yang disiapkan Eriko, ikan segar dan sayuran musim semi, ditemani kawannya si perompak tua Fumifusa, serta taman yang indah. Takeo pulang ke rumah melalui tepi sungai, masih dengan pikiran yang tenang dan ceria. Saat memasuki taman, semangat-nya bangkit lagi ketika mendengar suara Shizuka. "Kau tidak ajak Miki?" tanyanya saat ber-gabung dengan Shizuka di ruangan atas; Haruka menyajikan teh lalu meninggalkan mereka berdua. "Pikirannya bercabang tentang masalah itu," sahut Shizuka. "Dia ingin bertemu denganmu. Dia merindukanmu, juga kakak-nya. Tapi dia kini dalam usia ketika dapat menyerap semua pelajaran dengan cepat. Sepertinya tidak bijaksana kalau tidak dimanfaatkan. Dan karena kau akan pergi selama musim panas ini, serta Kaede akan sibuk dengan bayinya.... " "Aku sebenarnya berharap bisa bertemu dengannya sebelum pergi," sahut Takeo. "Dia sehat-sehat saja?" Shizuka tersenyum. Tumbuh dengan baik. "Dia mengingatkanku pada Yuki saat seusianya. Penuh percaya diri. Dia berkembang tanpa kehadiran Maya, bahkan ternyata sangat baik baginya keluar dari bayang-bayang kakaknya." Mendengar nama Yuki disebut membuat Takeo hanyut dalam lamunan. Menyadari itu, Shizuka berkata, "Aku dapat kabar dari Taku pada akhir musim dingin. Dia bilang Akio berada di Kumamoto bersama dengan putramu." "Benar. Aku tak ingin membicarakannya di sini, tapi kehadirannya di tempat Zenko berdampak pada banyak hal yang harus kubicarakan denganmu. Apakah para tetua Muto mendukungmu?" "Ada perbedaan pendapat," sahut Shizuka. "Bukan di Negara Tengah, tapi dari wilayah Timur dan Barat. Aku terkejut Taku belum kembali ke Inuyama, tempat dia bisa Halaman 605 dari 605 mengerahkan kendali atas kaum Tribe di wilayah Timur. Aku harus ke sana, tapi aku enggan meninggalkan Kaede di saat seperti ini, apalagi kau akan segera berangkai." "Taku sudah terobsesi pada gadis yang kami kirim untuk merawat Maya," ujar Takeo, merasakan percikan kemarahan yang sama. "Kudengar desas-desus tentang itu. Aku khawatir bila kedua putraku membuatmu kecewa, setelah semua yang kau lakukan demi mereka." Suaranya kedengaran teratur, tapi Takeo melihat kalau Shizuka benar-benar tertekan. "Aku percaya pada Taku," ujar Takeo. "Tapi gangguan semacam itu hanya akan membuatnya gegabah. Zenko lain lagi masalahnya, tapi untuk sementara ini dia masih bisa dikendalikan. Tampaknya dia bertekad untuk menuntut jabatan ketua Muto, dan itu akan menjadi konflik dengan dirimu, dan Taku serta tentu saja aku.' Takeo berhenti sejenak, lalu berkata, "Aku sudah berusaha meredamnya; mengancam dan memberi perintah padanya, tapi dia tetap ingin memancing amarahku." Shizuka berkata, "Dia semakin mirip dengan ayahnya. Aku tak bisa lupa kalau Arai memerintahkan kematianku, dan sanggup menyaksikan kau membunuh putranya sendiri, demi kekuasaan. Saranku, sebagai pemimpin keluarga Muto sekaligus sahabat keluarga Otori, yaitu secepatnya menyingkir-kan Zenko, sebelum dia mengumpulkan lebih banyak dukungan lagi. Aku yang akan mengaturnya. Kau hanya perlu memberi perintah." Mata Shizuka berkilat, tapi tidak ada air mata. "Hari pertama kita bertemu, Kenji berkata kalau aku harus belajar kekejaman dari dirimu," sahut Takeo, kagum karena Shizuka bisa dengan sikap dingin menyarankan untuk membunuh putra sulungnya sendiri. "Tapi Kenji dan aku tak sanggup menanamkan sifat itu ke dalam dirimu, Takeo. Zenko tahu itu, itu sebabnya dia tidak takut atau hormat padamu." Kata-kata Shizuka menyengat dirinya, namun ia menjawab dengan ringan, "Aku sudah berjanji pada diriku dan pada negara ini untuk mengambil jalan perundingan demi mencapai keadilan serta kedamaian. Aku tak membiarkan tantangan Zenko mengingkari janji itu." "Maka tangkap dan adili dia dengan tuduhan makar. Buatlah sah menurut hukum, tapi bertindaklah cepat." Shizuka mengamati, dan saat tidak ada jawaban, dia meneruskan, "Tapi kau takkan mengikuti saranku, Takeo; kau tidak perlu mengatakan apa-apa. Tentu saja, aku berterima kasih padamu karena membiarkan putraku tetap hidup, tapi akibat yang harus ditanggung kita semua tak terbayangkan besarnya." Ucapan Shizuka membuat sapuan dingin firasat merayap hingga ke tulang punggung-nya. Matahari telah tenggelam dan taman berganti dengan cahaya biru malam. Kunang-kunang berkelap-kelip di atas aliran sungai, dan dilihatnya Sunaomi dan Chikara datang sambil mencipakkan air di bawah dinding-mereka pasti habis bermain di tepi sungai. Rasa lapar yang membawa mereka pulang. Bagaimana Takeo bisa membunuh ayah mereka? Ia justru hanya akan membuat kedua bocah itu bersikap menentangnya dan keluarganya, lalu memperpanjang pertikaian. "Aku menawarkan Miki untuk ditunang-kan dengan Sunaomi," komentar Takeo. "Tindakan yang sangat bagus." Shizuka tampak berusaha agar suaranya kedengaran lebih ringan, "Walaupun kupikir tak satu pun dari keduanya akan berterima kasih padamu! Jangan katakan ini pada siapa pun; Sunaomi pasti Halaman 606 dari 606 membenci usulan ini. Dia sangat kesal dengan kejadian di musim panas kemarin itu. Kelak saat sudah dewasa baru dia bisa menyadari betapa besar kehormatan yang diterimanya." "Masih terlalu dini untuk mengumum-kannya-mungkin setelah aku kembali pada akhir musim panas." Dari ekspresi Shizuka, dia seakan mem-peringatkan kalau ia takkan punya negara lagi yang bisa dipulanginya, tapi pembicaraan mereka disela oleh teriakan dari belakang rumah, tempat para perempuan. Takeo mendengar langkah Haruka berlari di beranda, membuat nightingale floor bernyanyi. Di taman kedua bocah berdiri dan menatap Haruka. "Shizuka, Tabib Ishida," teriak Haruka. "Cepat kemari! Lady Otori sudah mau melahirkan." Bayi itu, seperti keinginan Kaede selama ini, berjenis kelamin laki-laki. Kabar itu langsung dirayakan di seluruh kota Hagi, meski dalam batasan tertentu karena cengkeraman si bayi pada tangan kehidupan masih lemah serta rapuh. Proses kelahiran berlangsung cepat, bayinya kuat dan sehat. Tampaknya jelas kalau Lady Otori akan memiliki seorang putra sebagai pewaris. Kutukan yang dibisik-kan rakyat yang karena kelahiran si kembar telah sirna. Kabar itu diterima dengan kegembiraan yang sama selama beberapa minggu kemudian di seluruh penjuru Tiga Negara, setidaknya di Maruyama, Inuyama dan Hofu. Kemungkinan kegembiraan itu kurang dirasakan di Kumamoto, tapi Zenko dan Hana mengirimkan hadiah yang indah: jubah sutra untuk si bayi, pedang kecil milik keluarga Arai, dan seekor kuda poni. Hana bersiap melakukan perjalanan ke Hagi di akhir musim panas, bersemangat untuk bertemu dengan kedua putra kandungnya dan menemani kakaknya sementara Takeo pergi. Ketika masa pingitan Kaede berakhir, dan kediaman telah disucikan sesuai adat, Kaede membawa si bayi dan menaruh si bayi di gendongan sang ayah. "Ini yang kudambakan seumur hidupku," tutur Kaede. "Memberimu seorang putra." "Kau sudah memberiku lebih dari yang kuharapkan," sahutnya dengan penuh perasaan. Takeo belum siap untuk menerima makhluk mungil berwajah merah dan berambut hitam ini-dan untuk kebanggaan dalam dirinya. Menggendong putranya sendiri membuat ia merasa berbeda. Sudut matanya mulai terasa hangat, namun ia tak bisa berhenti tersenyum. "Kau bahagia!" seru Kaede. "Aku takut... begitu sering kau mengatakan tidak meng-inginkan anak laki-laki, bahwa kau bahagia dengan ketiga putri kita, hingga aku hampir saja memercayaimu." "Aku memang bahagia," sahutnya. "Aku bisa mati saat ini juga." "Aku merasakan hal yang sama," gumam Kaede. "Tapi jangan bicara tentang kematian. Kita akan hidup untuk melihat putra kita dewasa." "Aku berharap tidak meninggalkanmu." Seketika ia terpukau pada pikiran untuk mengabaikan perjalanan ke Miyako. Biar saja Si Pemburu Anjing menyerang; pasukan Tiga Negara akan menghabisinya dengan mudah, dan kemudian menghadapi Zenko. Ia tercengang dengan kekuatan perasaan itu; ia akan bertempur sampai titik darah penghabisan untuk mempertahankan Tiga Negara agar bayi ini bisa mewarisinya. Dipertimbangkannya masak-masak hal itu, lalu ia singkirkan dari benaknya. Ia akan mencoba cara damai dulu, seperti yang telah diputuskan; jika perjalanan itu ditunda, maka ia akan terlihat arogan sekaligus pengecut. "Aku juga berharap demikian," sahut Kaede. "Tapi kau harus pergi." Diambilnya si bayi lalu menatap wajah bayi mungil itu, wajah Kaede penuh kasih sayang. "Aku tidak akan sendirian lagi dengan lakilaki mungil ini di sisiku!"* Halaman 607 dari 607 Takeo harus pergi sesegera mungkin agar bisa sampai di tujuan sebelum mulai hujan plum. Shigeko dan Hiroshi tiba dari Maruyama, dan Miyoshi Gemba dari Terayama. Miyoshi Kahei sudah berangkat ke wilayah Timur tak lama setelah salju mencair. Dia membawa kekuatan utama pasukan Otori: lima belas ribu pasukan dari Hagi dan Yamagata; sepuluh ribu orang lagi akan dihimpun Sonoda Mitsuru di Inuyama, Sejak musim panas, beras dan gandum, ikan kering serta miso telah disimpan sebagai cadangan dan disebar sampai ke perbatasan wilayah Timur untuk persediaan bagi pasukan. Beruntung panen kali ini berlimpah: baik pasukan maupun mereka yang penduduk takkan kelaparan. Dalam mengatur perjalanan, yang paling membebani yaitu kirin. Hewan itu kini lebih tinggi, dan kulitnya menjadi lebih gelap seperti warna madu, tapi ketenangan dan kedamaiannya tak berubah. Menurut Tabib Ishida, hewan itu sebaiknya tidak ikut berjalan kaki ke sana karena Jajaran Awan Tinggi akan terlalu berat baginya. Pada akhimya diputuskan kalau Shigeko dan Hiroshi yang akan membawanya dengan kapal sampai di Akashi. "Kita semua bisa menumpang kapal, Ayah," Shigeko menyarankan. "Ayah belum pernah keluar perbatasan Tiga Negara," sahut Takeo. "Ayah ingin melihat daratan dan jalan melewati jajaran itu; bila ada badai di bulan kedelapan dan kesembilan, maka laut adalah jalan yang akan kita lalui untuk kembali. Fumio akan ke Hofu: dia akan membawamu dan kirin, begitu pula dengan orang-orang asing itu." Bunga ceri berguguran dan kelopaknya berganti daun hijau yang baru ketika Takeo dan rombongannya berkuda dari Hagi, melewati pegunungan dan jalan pantai menuju Matsue. Takeo pernah melewati jalur bersama Lord Shigeru. Jalur ini mengembalikan kenangan pada orang yang telah menyelamatkan dan mengangkatnya sebagai anak. Aku bilang kalau tidak memercayai apa pun, pikirnya, tapi aku sering mendoakan arwah Shigeru; terutama saat seka rang ini, ketika aku membutuhkan kearifan serta keberaniannya. Padi mulai tumbuh di sawah yang tergenang, memantulkan kilau me-mesona saat disirami cahaya matahari. Di tepiannya, di mana ada persimpangan jalan, berdiri sebuah kuil kecil; dilihatnya kalau kuil itu dipersembahkan bagi Jo-An, yang di beberapa tempat telah dianggap dewa. Alangkah anehnya kepercayaan orang-o rang itu, pikirnya sambil mengenang percakapan-nya dengan Madaren beberapa minggu lalu: keyakinan yang memaksa adiknya bicara padanya. Keyakinan yang sama ditunjukkan oleh Jo-An-dan kini Jo-An telah menjadi orang suci. Ia melihat sekilas pada Miyoshi Gemba yang berkuda di sampingnya, teman seper-jalanan yang paling tenang dan paling ceria yang bisa diharapkan. Gemba telah meng-ikuti Ajaran Houou; ajaran yang penuh pengendalian diri. Saat berkuda, Gemba acapkali tenggelam dalam meditasi, dan sesekali bersenandung pelan, bak suara halilintar dari kejauhan atau raungan beruang. Ia membicarakan tentang Sunaomi, yang pernah bertemu Gemba di Terayama, menceritakan tentang rencananya untuk menjodohkan bocah itu dengan putrinya. "Dia akan menjadi menantuku. Itu akan memuaskan ayahnya!" "Kecuali Sunaomi memiliki perasan sebagai putra yang berbakti padamu, maka pertunangan itu takkan berguna," sahut Gemba. Takeo terdiam, teringat kejadian di biara, perselisihan antarsepupu, takut kalau Sunaomi terluka atas kejadian itu. Halaman 608 dari 608 "Dia melihat burung houou," akhirnya ia berkata. "Aku percaya kalau anak itu punya naluri yang baik." "Ya, aku juga berpikir begitu. Baiklah, kirim anak itu pada kami. Kami akan merawatnya, dan bila ada kebaikan dalam dirinya, maka akan dipupuk dan dikembang-kan." "Kurasa usianya sudah cukup dewasa: tahun ini usianya sembilan tahun." "Ijinkan dia ke tempat kami saat kita kembali." "Dia tinggal bersamaku sebagai ke-ponakanku, sebagai calon putraku, namun juga sebagai sandera atas kesetiaan ayahnya. Aku takut kelak terpaksa memerintahkan untuk membunuhnya," aku Takeo. "Hal itu tidak akan terjadi," kata Gemba. "Aku akan menyurati istriku nanti malam tentang usulanmu itu." Minoru mendampinginya seperti biasa, dan malam itu di pemberhentian pertama mereka, ia mendiktekan surat untuk Kaede, dan untuk Taku di Hofu. Ia merasa perlu bicara dengan Taku; mendengar kabar terbaru dari wilayah Barat, serta memintanya datang ke Inuyama agar bisa bertemu di sana. Bagi Taku, perjalanan itu mudah karena melalui laut dari Hofu, kemudian melalui sungai dengan menumpang kapal tongkang yang melintasi antara kota kastil dengan pesisir. "Datanglah sendiri," diktenya. "Jinggalkan tanggunganmu dan pendampingnya di Hofu. Bila tidak dapat melepaskan diri, kabari aku." "Apakah ini bijaksana?" tanya Minoru. "Surat bisa saja dikacaukan, terutama...." "Terutama apa?" "Bila keluarga Muto tidak lagi yakin kepada siapa mereka akan berpihak?" Karena Takeo mengandalkan Tribe untuk membawa pesan tertulis dengan cepat ke seluruh Tiga Negara. Itulah yang ia harapkan dapat dikendalikan Taku. Ia menatap Minoru, keraguan mulai merayapi dirinya. Jurutulisnya tahu lebih banyak rahasia Tiga Negara dibanding siapa pun. "Bila keluarga Muto memilih Zenko, mana yang akan Taku pilih?" katanya pelan. Minoru menaikkan bahu, tapi bibimya terkatup rapat dan tidak langsung menjawab. "Perlu kutuliskan kalimat terakhir Anda?" dia bertanya. "Tekankan kalau Taku harus datang sendiri." Percakapan ini melekat di benak Takeo sewaktu mereka melanjutkan perjalanan ke wilayah Timur. Aku telah memperdaya Kikuta begitu lama, pikirnya. Dapatkah aku lolos dari Muto juga, bila mereka berbalik menentangku? Takeo mulai mencurigai kesetiaan Kuroda bersaudara, Jun dan Shin, yang selalu men-dampinginya. Ia selalu memercayai mereka sampai saat ini: meski mereka tidak memiliki kemampuan menghilang, namun mereka bisa merasakannya, dan mereka telah dilatih teknik bertarung cara Tribe oleh Kenji. Mereka telah berulang kali melindunginya, tapi bila mereka harus memilih antara dirinya dan Tribe, Takeo bertanya pada dirinya sendiri lagi, jalan mana yang akan mereka ambil? Takeo tetap bersikap siaga, senantiasa mendengarkan suara terpelan yang bisa jadi pertanda satu serangan. Kudanya, Tenba, menangkap suasana hari penunggangnya; sudah beberapa bulan ini Takeo menungganginya, hingga terjalin ikatan kuat antara mereka, hampir sama kuatnya dengan Shun; Tenba cepat tanggap dan pintar, tapi jauh lebih tegang. Penunggang dan kuda, keduanya tiba di Inuyama dalam keadaan tegang serta kelelahan, sementara bagian terberat dalam perjalanan itu masih belum tiba. Halaman 609 dari 609 Inuyama dipenuhi dengan kegembiraan dan sibuk; kedatangan Lord Otori dan penghimpunan pasukan berarti pedagang dan pembuat senjata sibuk siang dan malam; uang dan sake mengalir sama derasnya. Takeo disambut adik iparnya, Ai, dan suaminya Sonoda Mitsuru. Takeo menyayangi Ai, kagum akan sifat lembut dan kebaikan hatinya. Dia tidak secantik kedua saudaranya, namun penampilannya menarik. Satu hal yang mem buat Takeo senang yaitu Ai dan Mitsuru menikah atas dasar cinta. Ai kerap men-ceritakan tentang bagaimana penjaga di Inuyama hampir membunuh dia dan Hana ketika mendengar kabar kematian Arai dan kehancuran pasukannya. Beruntung Mitsuru telah lebih dulu mengambil alih kastil, menyembunyikan kedua gadis itu, lalu merundingkan penyerahan wilayah Timur pada Otori. Karena rasa terima kasih itulah maka Takeo menikahkannya dengan Ai, yang memang saling mencintai. Takeo memercayai kedua orang ini; mereka terikat oleh hubungan perkawinan, dan Mitsuru telah menjadi orang yang pragmatis, sensitif tanpa berkurangnya keberaniannya. Seringkali dia berhasil meng-gunakan keahlian berundingnya untuk mewakili Takeo: bersama istrinya, dia ber-bagi angan Takeo akan negara yang makmur tanpa penyiksaan maupun suap. Namun rasa lelah membuat Takeo men-curigai semua orang di sekelilingnya. Sonoda berasal dari Klan Arai, ia memperingatkan dirinya sendiri. Pamannya, Akita, dulu adalah orang kepercayaan Arai. Seberapa besar sisa kesetiaan ada dalam dirinya ter-hadap putra Arai? Takeo semakin gelisah dengan kenyataan tidak adanya tanda-tanda keberadaan Taku, ataupun kabarnya. Dipanggilnya istri Taku, Tomiko; yang mendapatkan surat dari suaminya saat musim semi, tapi akhir-akhir ini belum ada kabar. Tomiko tidak terlihat khawatir, lagipula; dia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya. "Apabila ada masalah. Lord Otori, maka kita akan segera mendengar kabarnya. Ber-bagai urusan pasti menahannya di Hofu- mungkin sesuatu yang tak ingin dia tulis dalam surat." Tomiko melihat sekilas ke arah Takeo lalu berkata, "Aku sudah dengar tentang perempuan itu, tentunya, tapi aku sudah menduga hal semacam itu. Semua laki-laki punya kebutuhan, dan suamiku berada jauh dalam waktu lama. Itu bukanlah hal yang serius. Suamiku tidak pernah serius tentang hal itu." Kekhawatiran Takeo justru kian bertambah saat ia mendengar kalau para sandera yang seharusnya telah dieksekusi ternyata masih hidup. "Aku sudah kirim suratnya beberapa minggu lalu, memerintahkan agar dilakukan secepatnya." "Maaf, Lord Otori: kami tidak me-nerima-" Sonoda mulai angkat bicara, tapi Takeo memotong perkataannya. "Tidak menerima atau mengabaikan?" Takeo sadar kalau cara bicaranya terlalu blak-blakan. Sonoda berusaha keras menyem-bunyikan rasa tersinggungnya. "Kuyakinkan kepada Anda," ujar Sonoda, "Bila kami menerima perintah itu, kami pasti sudah melaksanakannya. Aku pun bertanya-tanya mengapa masalah ini ditunda begitu lama. Aku pasti akan melakukannya sendiri, tapi istriku selalu berpihak kepada belas kasihan." "Mereka kelihatan masih begitu muda," kata Ai. "Dan gadis itu...." "Tadinya aku berharap mereka tetap hidup," sahut Takeo. "Jika keluarga mereka mau berunding, mereka tidak harus mati. Tapi mereka tidak bereaksi apa-apa, serta tidak memberi kabar. Menundanya lebih lama akan dianggap sebagai kelemahan." "Akan kuatur agar dilakukan besok," Sonoda meyakinkan. "Ya, harus segera," Ai setuju. "Kau akan Halaman 610 dari 610 hadir?" "Karena aku sudah di sini, maka aku harus hadir," sahut Takeo, karena ia sendiri yang membuat aturan bahwa eksekusi untuk pengkhinatan harus disaksikan orang yang jabatannya paling tinggi, dirinya sendiri atau salah seorang keluarganya atau pengawal senior. Takeo merasa kalau peraturan itu menekankan perbedaan hukum antara eksekusi dan pembunuhan. Menurutnya, pemandangan semacam itu memuakkan sehingga ia berharap dengan menyaksikan itu akan mencegah dirinya dari mengeluarkan perintah dengan sembarangan. Eksekusi dengan menggunakan pedang di-laksanakan keesokan harinya. Ketika mereka dibawa menghadap sebelum mata mereka ditutupi, Takeo mengatakan bahwa ayah mereka, Gosaburo, sudah dieksekusi Kikuta karena ingin merundingkan nyawa mereka. Tak satu pun dari mereka bereaksi; mungkin mereka tidak percaya. Tampak kilatan air mata dari mata gadis itu; selain itu, kedua orang itu menghadapi kematian dengan berani, bahkan bersikap menantang. Takeo kagum dengan keberanian mereka dan menyesali hidup mereka yang singkat, ber pikir dengan pedih bahwa mereka masih ada kerabatnya, bahwa ia telah mengenal mereka sejak kecil. Keputusan itu dibuat bersama Kaede, dan atas saran para pengawal seniornya. Keputusan yang berdasarkan hukum. Namun Takeo tetap berharap bisa melaku-kan yang sebaliknya, dan kematian tampak seperti pertanda buruk. * Sepanjang musim dingin, Hana dan Zenko sering bertemu Kuroda Yasu untuk mem-bicarakan tentang pembukaan perdagangan dengan orang asing, dan mereka senang ketika Yasu mendengar Don Joao dan Don Carlo ke Hofu pada akhir bulan. Mereka kurang senang dengan berita bahwa Terada Fumio telah membawa armada perang ke perairan laut dalam dan kini mengawasi jalur perairan. "Katanya kapal mereka jauh lebih baik dari kapal kita," kata Yasu. "Andai kita bisa minta bantuan mereka!" "Kalau mereka ingin berpihak kepada kita menentang Otori..." ujar Hana, menyuara-kan pikirannya. "Mereka ingin berdagang, dan agar rakyat mau berpindah memeluk agama mereka. Tawarkan pada mereka salah satu-atau keduanya. Mereka akan berikan apa saja sebagai imbalannya." Komentar ini melekat di benak Hana selagi bersiap-siap pergi ke Hagi. Sewaktu memikirkan menghadapi kakaknya dengan rahasia yang akan ia bawa, Hana merasa ber-semangat sekaligus takut, semacam ke-gembiraan yang menghancurkan. Tapi ia tidak meremehkan Takeo, karena suaminya cenderung bersikap sebaliknya. Hana mengenal kekuatan dan karakter kakak ipar-nya yang selalu memenangkan cinta dari rakyatnya serta pendukung setia dari berbagai kalangan. Mungkin juga Takeo akan me-menangkan hati Kaisar dan kembali dengan restu dari Kaisar. Maka Hana berpikir keras selama musim dingin tentang strategi lebih lanjut untuk menopang perjuangan suaminya demi balas dendam dan kekuasaan. Saat mendengar orang-orang asing itu sudah kembali bersama jurubahasanya, Hana bertekad untuk pergi ke Hagi melalui Hofu. "Kau seharusnya ikut bersama kami," ujar Hana pada Akio yang sudah menjadi tamu tetap ke kastil selama musim dingin. Akio selalu melaporkan kabar dari seluruh penjuru negara, serta perkembangan Halaman 611 dari 611 yang tengah dibuat Hisao dan Koji dalam penempaan. Darah Hana selalu menggelegak dengan kehadiran laki-laki itu. Menurutnya kekejaman pragmatis laki-laki itu menarik. Saat ini Akio melihat Hana dengan tatapan yang penuh perhitungan seperti biasa. "Ya, aku tidak keberatan. Tentu saja, aku akan ajak Hisao." Satu kali, mereka hanya berdua saja. Kala itu cuaca masih dingin-di akhir musim semi dengan cuaca yang tak menentu- namun wangi bunga yang baru mekar tercium dan malam terasa lebih ringan. Saat itu Akio datang untuk menemui Zenko yang sedang melihat latihan pasukan dan kuda. Akio semula enggan tinggal lama, tapi Hana memaksa dengan menawarkan sake dan makanan. Dia melayani sendiri laki-laki itu, membujuk serta menyanjungnya, membuat Akio tak mungkin menolak. Hana mengira Akio tidak mudah di-pengaruhi sanjungan, tapi bisa dilihatnya kalau perhatiannya membuat laki-laki itu senang dan boleh dibilang menjadi lembut. Hana ingin tahu bagaimana rasanya tidur dengan orang itu; walau ia berpikir takkan melakukannya, pikiran itu membuat ia ber-semangat. Hana mengenakan jubah sutra berwarna gading, dihiasi bunga ceri merah muda dan burung bangau: motif penuh warna yang digemarinya. Sesungguhnya cuaca terlalu dingin untuk mengenakan pakaian semacam itu, dan kulitnya terasa dingin membeku, tapi ia sedang gembira: ia masih muda, darahnya bergejolak dengan dorongan yang sama seperti dorongan akar-akar dari dalam bumi, tunas dari ranting. Penuh percaya diri dengan kecantikannya, ia memberanikan diri bertanya pada Akio, sebagaimana yang diinginkannya sepanjang musim dingin ini, tentang Hisao. "Dia tidak mirip ayahnya," komentar Hana. "Apakah dia mirip dengan ibunya?" Saat Akio tidak segera menjawab, Hana mendesak, "Seharusnya kau ceritakan semua-nya padaku. Makin banyak yang bisa ku-ungkapkan tentang dirimu pada kakakku, maka semakin kuat akibatnya pada dirinya." "Itu sudah bertahun-tahun silam," tutur-nya. "Jangan berpura-pura kalau kau sudah melupakannya! Aku tahu bagaimana ke-cemburuan mengukirkan kisahnya dengan belati di hati kita." "Ibunya adalah perempuan yang luar biasa," Akio mulai bercerita. "Sewaktu di-sarankan agar dia tidur dengan Takeo, aku takut untuk menyuruhnya melakukan itu. Meminta Yuki melakukan hal semacam itu-hal yang lazim di kalangan Tribe, dan kebanyakan perempuan melakukan apa yang diperintahkan, tapi Yuki merasa itu sebagai penghinaan. Ketika dia setuju, kusadari kalau Yuki menginginkan Takeo. Aku melihat dia menggoda Takeo; bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Aku tidak menyangka kalau hatiku akan terasa sepedih itu, atau ke-bencian yang begitu dalam pada Takeo. Aku belum pemah membenci siapa pun; aku membunuh atas perintah, bukan karena perasaan pribadi. Takeo memiliki apa yang paling kuinginkan, dan dia menyia-nyiakan-nya. Dia meninggalkan Tribe. Bila Takeo merasakan sedikit saja apa yang pernah kurasakan, maka itu yang disebut keadilan." Akio mendongak. "Aku tidak pernah tidur dengannya," tuturnya. "Aku menyesali itu lebih dari segalanya. Andai aku mampu melakukannya, sekali saja... Tapi aku tidak ingin menyentuhnya saat dia mengandung anak Takeo. Dan aku memaksanya bunuh diri. Aku harus melakukannya: karena Yuki tidak berhenti mencintai Takeo; dia tidak akan memaksa anak itu membenci Takeo seperti yang telah kulakukan. Aku tahu dia harus menjadi bagian dari balas dendamku, tapi seiring tumbuh dewasa, dia tidak menunjukkan bakat apa pun, aku tidak tahu mengapa. Dalam waktu yang lama kukira memang tidak ada harapan lagi: berulang kali, para pembunuh yang jauh lebih terampil dari Hisao saja gagal. Kini kutahu kalau Hisao yang akan mcmbalaskan dendamku. Dan aku akan ada di sana untuk menyaksikannya." Mendadak Akio berhenti bicara. Halaman 612 dari 612 Kata-kata itu meluncur deras dari mulut-nya. Dia telah menyimpan semua ini rap at- rap at selama bertahun-tahun, pikir Hana, merasa tersanjung dan gembira karena laki-laki itu percaya padanya. "Saat Takeo kembali dari Timur, Kaede pasti akan tahu semua ini," ujar Hana. "Masalah ini akan memisahkan mereka. Kaede takkan memaafkannya. Aku mengenalnya: Takeo akan melarikan diri dari Kaede dan dari dunia ini, dia akan mencari perlindungan di Terayama. Biara itu hampir tidak dijaga. Takkan ada yang menduga kau akan ke sana. Kau bisa mengejutkannya di sana." Mata Akio setengah terpejam. Lalu meng-hembuskan napas panjang. "Itu satu-satunya yang akan mengakhiri penderitaanku." Hana tergoda oleh hasrat untuk memeluk Akio, untuk meringankan sakit hati orang itu: yakin bisa menghibur laki-laki itu atas kematian-ia ragu untuk menyebutnya sebagai pembunuhan- istrinya. Namun dengan hati-hati menyimpan kenikmatan ini untuk masa yang akan datang. Ada hal lain lagi yang ingin dibicarakannya dengan Akio. "Hisao telah berhasil menempa senjata api kecil yang bisa dibawa tersembunyi?" tanya Hana. "Tak ada pun bisa mendekati Takeo untuk bisa membunuhnya dengan pedang, tapi senjata api bisa digunakan dari jauh, kan?" Akio mengangguk dan bicara dengan lebih tenang, seolah lega topik pembicaraan sudah berganti. "Dia sudah mengujinya di tepi pantai. Jangkauannya lebih jauh dari panah, dan peluru lebih cepat dibanding anak panah." Sesaat Akio berhenti bicara. "Suami Anda amat tertarik, senjata yang menyebab-kan kematian ayahnya. Dia ingin Takeo mati dengan cara yang sama memalukannya." "Memang ada semacam keadilan di dalam nya," ujar Hana setuju. "Cukup menyenang-kan. Tapi agar benar-benar berhasil, kau pasti akan melatih Hisao secara khusus? Sebaiknya dilakukan uji coba untuk memastikan semua berjalan lancar, agar dia tidak kehilangan nyali, agar bidikannya benar-benar tepat." "Apakah Lady Arai punya orang yang bisa diusulkan?" Akio menatap langsung pada Hana dan ketika tatapan mereka beradu, hati Hana serasa melompat gembira. "Sebenarnya aku memang punya," sahut-nya pelan. "Mendekatlah dan aku akan membisikkan namanya." "Tidak perlu," sahutnya. "Aku bisa menebaknya." Tapi Akio akhirnya mendekat, begitu dekat hingga Hana bisa mencium napasnya serta mendengar detak jantungnya. Tak satu pun dari keduanya bicara atau bergerak. Angin menggetarkan layar kasa, dan dari arah pelabuhan terdengar jerit burung camar. Setelah beberapa saat, Hana mendengar suara Zenko dari pelataran. "Suamiku sudah kembali," katanya, sambil berdiri, tak yakin apakah merasa lega atau kecewa. Lord dan Lady Arai sering bepergian antara Kumamoto dan Hofu, maka kedatangan mereka di kota itu tidak lama setelah kembalinya orang-orang asing, tidaklah mengherankan. Kapal yang ditumpangi para orang asing segera berangkat lagi menuju Akashi bersama Shigeko, Sugita Hiroshi dan kirin. Penduduk Hagi melepas kepergian kirin dengan rasa bangga dan sedih; mereka telah merasa memiliki hewan itu sejak kedatangannya yang mencengangkan di pelabuhan mereka. Tak lama kemudian, Terada Fumio bersiap berlayar untuk bergabung dengan ayahnya, Fumifusa, di teluk, bersama dengan armada Otori. Orang-orang asing sudah sering ber-kunjung ke tempat Lord Arai sehingga tidak menarik perhatian. Perbincangan mengalir lebih lancar karena si jurubahasa makin berani dan percaya diri, dan Don Carlo pun makin fasih. "Anda pasti mengira kami bodoh," katanya, "karena tidak mengetahui ada Kaisar. Kini kami sadar kalau kami harus mendekati beliau karena kami adalah utusan Halaman 613 dari 613 raja kami, dan monarki harus berhadapan dengan monarki." Hana tersenyum. "Lord Kono yang baru-baru ini kembali ke ibukota, dan yang pernah bertemu Anda berdua, adalah keluarga kekaisaran. Dia meyakinkan kami bahwa Lord Arai mendapat dukungan Kaisar. Kepemimpinan Lord Otori di Tiga Negara dianggap tidak sah, maka dia hendak meng-ajukan pembelaan atas tuduhan itu." Don Joao nampak tertarik saat kalimat ini diterjemahkan. "Mungkinkah Lord Arai bisa membantu kami mendekati Yang Mulia Kaisar?" "Akan kulakukan dengan senang hati," sahut Zenko, wajahnya bersemu merah karena gembira dan juga karena minum sake. Perempuan itu, si jurubahasa, mener-jemahkan kalimat ini, lalu mengatakan beberapa kalimat lagi. Don Carlo tersenyum agak sedih, Hana pikir, lalu menganggukkan kepala dua atau tiga kali. "Apa yang kau katakan?" tanya Hana langsung pada Madaren. "Maaf, Lady Arai. Aku bicara soal masalah keagamaan pada Don Carlo." "Ceritakan lebih banyak lagi pada kami. Kami tertarik pada ajaran para orang asing, dan terbuka dengan kepercayaan mereka." "Tidak seperti Lord Otori," kata Don Carlo. "Tadinya aku mengira dia akan ber-sikap simpatik, dan aku menaruh harapan besar untuk penyelamatan jiwa dari dosa dan kematian bagi istrinya yang cantik itu, tapi dia melarang kami menyebarkan agama secara terang-terangan atau membangun gerej a." "Kami tertarik mendengarkan masalah ini," ujar Hana sopan. "Dan sebagai imbalannya kami ingin tahu berapa banyak kapal yang dimiliki raja Anda di Kepulauan Kecil Selatan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berlayar dari sini ke sana." "Kau punya rencana baru," kata Zenko malam itu saat mereka hanya berdua saja. "Aku tahu sedikit tentang kepercayaan orang-orang asing itu. Alasan mengapa kaum Hidden selalu dibenci adalah karena mereka lebih mematuhi Tuhan Rahasia ketimbang penguasa mana pun. Deus milik orang-orang asing itu juga sama, menuntut kesetiaan yang utuh." "Aku telah bersumpah setia berulang kali pada Takeo," ujar Zenko. "Aku tidak menyukai gagasan dikenal sebagai pelanggar sumpah, seperti Noguchi: kukatakan yang se-sungguhnya padamu, hanya itu yang masih menahanku." "Takeo telah menolak Deus-sudah jelas dari apa yang kita dengar tadi. Bagaimana kalau Deus memilihmu untuk menghukum-nya?" Zenko tertawa. "Bila Deus membawa-kanku kapal dan senjata, maka aku siap ber-hadapan dengannya!" "Bila Kaisar sekaligus Deus memerintah-kan kita untuk menghancurkan Takeo, bagaimana kita bisa membantah atau tidak mematuhinya?" ujar Hana. "Kita memiliki restu; juga peralatan." Tatapan mereka ber-temu, lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak. "Aku ada satu rencana lagi," kata Hana kemudian, ketika kota sudah sunyi, dan dia berbaring di pelukan suaminya, setengah tertidur dan merasa puas. Zenko sudah hampir tertidur. "Kau memang sarang berharga dari gagasan yang baik," sahutnya, seraya membelai istrinya dengan malas. "Terima kasih, tuanku! Tapi apakah kau tidak ingin mendengarnya?" Halaman 614 dari 614 "Tidak bisakah menunggu sampai besok?" "Ada beberapa hal yang lebih baik di-bicarakan dalam kegelapan." Zenko menguap dan berpaling ke arah istrinya. "Bisikkan rencanamu itu dan aku akan mempertimbangkannya dalam mimpi-ku." Setelah Hana memberi tahukan, Zenko terbaring dalam waktu lama tanpa bicara hingga seperti sudah tertidur, namun Hana tahu kalau suaminya itu masih terjaga. Akhir-nya Zenko berkata, "Aku akan berikan dia satu kesempatan lagi. Bagaimana pun, dia adikku."* Meskipun Sada telah berusaha, ditambah salep dari Ishida, luka di wajah Maya tetap berbekas, garis kemerahan di tulang pipinya bak bayangan daun perilla. Maya dihukum dengan berbagai cara atas ketidakpatuhan-nya. Meskipun dia dipaksa melakukan tugas paling rendah di rumah, dilarang bicara, dilarang tidur dan makan, dia tetap lakukan semua ini tanpa dendam, sadar kalau ia memang pantas dihukum karena menyerang dan melukai ayahnya. Maya belum bertemu Taku selama seminggu, dan walau Sada merawat lukanya, tapi dia tidak bicara atau pun memeluk serta membelainya seperti yang diinginkan Maya. Sendirian sepanjang waktu, dijauhi semua orang, Maya punya banyak waktu untuk memikirkan apa yang telah terjadi. Begitu teringat kalau ia telah menyerang ayahnya, air mata berlinang. Biasanya ia tidak pernah menangis: satu-satunya yang diingatnya yaitu saat berada di sumber air panas, bersama Takeo dan Miki, ketika menceritakan pada ayahnya bagai-mana cara membuat si kucing tertidur dengan tatapan maut Kikuta. Hanya ketika ada Ayah aku bisa menangis, pikirnya. Mungkin air mata adalah bagian dari kemarahan. Ia ingat kemarahannya pada ayahnya karena tidak mengatakan kalau punya anak laki-laki, karena semua rahasia yang mungkin disembunyikan ayah dari diri-nya, karena semua muslihat yang terjadi antara orangtua dan anaknya. Namun Maya juga ingat kalau tatapannya menguasai tatapan ayahnya, kalau ia bisa mendengar langkah ringan dan merasakan kehadiran ayahnya saat tidak kelihatan. Maya melihat betapa kekuatan si kucing telah ber-tambah dan memperkuat kekuataan dirinya. Kekuatan itu masih saja menakutkan bagi-nya, tapi setiap hari, di saat kurang tidur, makan dan bicara, daya tarik kekuatan itu semakin bertambah, dan mulai bisa melihat bagaimana ia bisa mengendalikannya. Di akhir minggu, Taku memanggilnya dan mengatakan kalau mereka akan pergi ke Hofu keesokan harinya. "Kakakmu, Lady Shigeko, membawa kuda-kuda," katanya. "Dia ingin mengucap-kan selamat tinggal padamu." Saat Maya hanya membungkuk hormat tanpa menjawab, Taku berkata, "Kau boleh bicara sekarang: hukumannya sudah selesai." "Terima kasih, Guru," sahutnya dengan patuh, kemudian berkata, "Aku benar-benar menyesal." "Kita semua pernah melakukan kesalahan yang berbahaya. Aku yakin kalau aku pernah menceritakan saat ayahmu menangkapku di Shuho." Maya tersenyum. Kedua saudara perem-puannya senang sekali mendengarkan cerita itu saat mereka masih kecil. "Shizuka sering menceritakannya pada kami, untuk memper-ingatkan agar kami patuh!" "Kami berdua beruntung karena ayahmu yang kami hadapi. Jangan lupa, kebanyakan orang Tribe dewasa akan membunuh tanpa pikir panjang, anak-anak atau bukan." Halaman 615 dari 615 Shigeko membawa dua kuda betina tua Maruyama, untuk Maya dan Sada, satu berwarna coklat kemerahan, dan satunya lagi, yang membuat Maya kegirangan, berwarna abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam, sangat mirip kuda tua milik Taku, Ryume, anak Raku. "Ya, yang abu-abu ini bisa menjadi milik-mu," sahut Shigeko, memerhatikan mata Maya yang berbinar. "Tapi, kau harus merawatnya baik-baik selama musim dingin." Shigeko melihat wajah Maya: "Sekarang aku bisa bedakan antara kau dan Miki." Sambil menarik Maya ke samping, Shigeko berkata pelan, "Ayah menceritakan apa yang terjadi. Aku tahu ini sulit bagimu, melakukan semua yang diminta Taku dan Sada. Buka mata dan telingamu lebar-lebar saat tiba di Hofu. Aku yakin kau bisa berguna di sana." Kedua kakak beradik itu berpelukan; setelah mereka berpisah, Maya merasa diperkuat oleh kepercayaan Shigeko kepadanya. Itulah yang membuatnya mampu bertahan selama musim dingin yang panjang di Hofu, saat angin dingin terus berhembus dari laut, bukannya membawa salju sebagai-mana mestinya tapi malah membawa hujan es dan hujan sedingin es. Bulu kucing itu terasa hangat, dan Maya kerap tergoda untuk memanfaatkannya. Awalnya masih terasa janggal, lalu dengan rasa percaya diri yang makin besar, Maya belajar memaksa roh kucing itu tunduk pada kehendaknya. Masih ada banyak unsur ruang antara dua dunia yang menakutkan baginya: hantu yang kelaparan dengan keinginan yang belum terpuaskan, serta kesadarannya tentang semacam kepandaian yang mencari dirinya. Rasanya seperti kilatan halilintar di kege-lapan. Kadang ia menatap dunia itu dan merasakan daya tariknya, tapi seringkali ia menjauhi kilauannya, tetap berada di balik bayang-bayang. Sesekali ia bisa menangkap penggalan kata, bisikan yang tak kunjung ia pahami. Satu hal yang menyita pikirannya se-panjang musim dingin adalah masalah yang membuat ia sangat marah pada ayahnya: bocah misterius yang merupakan kakak tirinya, yang tidak pernah dibicarakan siapa pun, yang kata Taku akan membunuh ayahnya-ayahnya! Saat ia memikirkan tentang bocah itu, ia menjadi bingung dan roh si kucing berusaha menguasai dirinya dan melakukan apa yang diinginkannya. Ia sering terbangun berteriak karena mimpi buruk, sendirian di kamar karena kini setiap malam Sada bersama Taku. Maya berbaring terjaga sampai pagi, takut meme-jamkan mata. Sada mengatur agar mereka tinggal di rumah keluarga Muto antara sungai dan kediaman Zenko. Rumah itu dulunya adalah tempat penyulingan sake, tapi dengan makin bertambahnya pelanggan karena Hofu kian makmur, keluarga itu pindah ke bangunan yang lebih besar, dan bangunan ini kini hanya dijadikan gudang. Seperti di Maruyama, keluarga Muto menyediakan penjaga dan pelayan, dan Maya masih berpakaian anak laki-laki di luar rumah, tapi diperlakukan sebagai anak perempuan ketika di dalam rumah. Teringat pesan Shigeko, dan ia membuka telinga lebar-lebar, mendengarkan bisik-bisik per-cakapan di sekelilingnya, berjalan-jaian me-lewati pelabuhan saat cuaca cukup cerah, dan memberitahu Taku dan Sada apa yang didengarnya. Tapi ia tidak menceritakan semuanya: sebagian dari desas-desus yang mengejutkan dan membuatnya marah sehingga ia tidak ingin mengulang kata-kata itu. Ataupun berani bertanya pada Taku tentang pemuda yang merupakan kakaknya itu. Maya bertemu Shigeko lagi sebentar ketika musim semi, ketika kakaknya berlayar bersama kirin dan Hiroshi dalam perjalanan ke Miyako. Ia sudah sangat terbiasa dengan segala hasrat Taku terhadap Sada, lalu mengamati kakaknya dan Hiroshi untuk melihat apakah mereka menunjukkan gejala yang sama. Terasa sudah begitu lama ketika ia dan Miki menggoda Shigeko tentang Hiroshi: apakah hanya sekadar rasa tertarik seorang gadis belia, ataukah kakaknya masih tetap mencintai pemuda yang kini menjadi pengawal seniornya? Dan apakah Hiroshi mencintai kakaknya? Seperti halnya Takeo, Maya juga memerhatikan reaksi cepat Hiroshi sewaktu Tenba melompat dan mundur tiba-tiba karena takut selama upacara di Maruyama, dan menarik kesimpulan yang sama. Kini ia kurang yakin: di satu sisi, Shigeko dan Hiroshi tampak saling menjauh sekaligus bersikap resmi; di sisi lain mereka seperti Halaman 616 dari 616 saling memahami pikiran masing-masing, dan ada semacam keselarasan yang terjalin di antara mereka. Shigeko telah mengemban wewenang baru, dan Maya tak berani lagi menggoda maupun bertanya padanya. Di bulan keempat, setelah Shigeko dan Hiroshi pergi bersama kirin menuju Akashi, Taku disibukkan dengan permintaan dari orang-orang asing yang telah kembali dari Hagi dan bersemangat untuk membangun pos perdagangan secepatnya. Kira-kira di saat inilah Maya sadar atas perubahan yang terjadi dengan perlahan sejak hari pertama musim semi. Semua perubahan itu seperti memastikan desas-desus yang mulai di-dengarnya saat musim dingin. Sejak kecil ia sudah hidup dengan kepercayan bahwa kesetiaan keluarga Muto teguh kukuh terhadap Klan Otori, dan bahwa Muto mengendalikan kesetiaan Tribe-terlepas dari Kikuta yang membenci dan berusaha membunuh ayahnya. Shizuka, Kenji, dan Taku adalah keluarga Muto dan telah menjadi penasihat terdekat keluarga Otori dan telah menjadi gurunya. Maka butuh waktu lama baginya untuk dapat memahami dan menerima gejala-gej ala yang tampak di depan matanya. Kurir pembawa pesan yang datang ke rumah jumlahnya makin sedikit; informasi yang diantar amat terlambat hingga akhimya tidak berguna. Para penjaga tertawa sinis di belakang Taku tentang obsesinya terhadap Sada: laki-laki-perempuan yang lemah dan gila. Maya menemukan dirinya terbebani dengan lebih banyak pekerjaan karena para pelayan makin malas, bahkan kurang ajar. Seiring makin besar kecurigaannya, diikuti-nya para pelayan ke penginapan dan men-dengar cerita-cerita mereka: kalau Taku dan Sada adalah penyihir, dan kedua orang itu memanfaatkan arwah kucing dalam mantra- mantra mereka. Sewaktu di penginapan itulah Maya men-dengar percakapan lain di kalangan keluarga Muto, Kuroda dan Imai: setelah lima belas tahun dalam damai, ketika pedagang dan petani biasa menikmati kesejahteraan, Tribe mulai menyesal karena sebelumnya mereka yang menguasai perdagangan, dan ketika bangsawan memanfaatkan ketrampilan mereka. Sumpah setia tidak pasti yang digabung Kenji dengan kekerasan karakternya, pengalaman dan akal bulusnya mulai hancur, dan untuk memperbaikinya saat ini, maka Kikuta Akio muncul dari pengasingan. Maya mendengar nama laki-laki itu beberapa kali di awal-awal bulan keempat, dan setiap kali didengarnya, ketertarikan dan keingintahuannya semakin bertambah. Satu malam, sesaat sebelum bulan purnama, ia pergi diam-diam ke penginapan di tepi sungai, saat itu kota terasa lebih hidup dari biasanya karena Zenko dan Hana sudah kembali bersama rombongan, dan penginapan penuh sesak dengan orang. Maya menyembunyikan diri di bawah beranda, menggunakan kemampuan meng-hilang untuk menyelinap di bawahnya; malam ini terlalu bising untuk bisa mendengar banyak bahkan dengan telinga-nya yang tajam, tapi ia menangkap kata ketua Kikuta, dan sadar kalau Akio ada di penginapan itu. Ia terkejut temyata laki-laki itu berani muncul secara terang-terangan di Hofu, dan bahkan lebih kagum lagi ternyata begitu banyak orang yang ia kenal dari kalangan Tribe bukan hanya mentolerir kehadirannya, tapi justru mencarinya, memperkenalkan diri pada Akio. Maya menyadari kalau orang itu berada dalam perlindungan Zenko, dan ia bahkan mendengar Zenko disebut sebagai ketua Muto. Ia tahu kalau itu pengkhianatan, meski ia tak tahu sampai sejauh mana kebenarannya. Selama ini ia dapat meng-hilang diri tanpa diketahui, dan menjadi sombong karenanya. Ia meraba pisau di baju luamya lalu menggunakan kemampuan menghilang kemudian berjalan ke pintu penginapan. Semua pintu terbuka lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi dari arah barat daya masuk. Lentera menyala berasap, dan udara terasa pekat dengan berbagai aroma, ikan panggang dan sake, minyak wijen serta jahe. Maya memindai berbagai kelompok; langsung tahu mana yang bernama Akio karena laki-laki itu melihat dirinya, langsung menembus kemampuan menghilangnya. Saat itu ia menyadari betapa Halaman 617 dari 617 berbahayanya laki-laki itu, betapa lemah dirinya bila dibanding-kan dengan Akio, betapa laki-laki itu bisa membunuhnya tanpa ragu. Akio melompat dari lantai dan seperti terbang ke arahnya, melemparkan senjata selagi bergerak. Maya melihat kilau pisau, mendengar desingnya di udara, dan tanpa pikir panjang ia men-jatuhkan diri ke lantai. Semua yang ada di sekelilingnya berubah: ia melihat dengan mata si kucing; dirasakannya tekstur lantai di bawah kakinya; cakarnya di lantai papan beranda sewaktu ia melompat melarikan diri ke dalam gelapnya malam. Di belakangnya, Maya menyadari ke-hadiran pemuda itu, Hisao. Dirasakannya tatapan pemuda itu mencarinya, dan men-dengar penggalan suara yang membentuk kata-kata. Saat memahami katakata itu, ia ketakutan setengah mati. Datanglah padaku. Sudah lama aku menunggumu. Dan si kucing hanya ingin kembali pada pemuda itu. Maya melarikan diri pada satu-satunya perlindungan yang dikenalnya, pada Sada dan Taku, membangunkan keduanya dari tidur nyenyak. Mereka berusaha menenang-kan saat dia berjuang sekuat tenaga men-dapatkan kembali wujud manusianya, Sada memanggil-manggil namanya sementara Taku menatap matanya, melawan tatapan Maya yang amat kuat. Akhirnya tubuh Maya lemas; sepertinya tertidur selama beberapa saat. Ketika membuka mata, dia bisa berpikir jelas lagi, dan ingin menceritakan segalanya pada mereka. Taku mendengarkan tanpa bicara selagi Maya menceritakan apa yang didengarnya. Taku mengagumi pengendalian diri gadis itu yang dapat menceritakan tanpa meneteskan air mata. "Jadi sesuatu menghubungkan Hisao dan kucing itu?" akhimya ia bertanya. "Dialah yang memanggil kucing itu," ujar Maya pelan. "Dialah penguasa si kucing." "Penguasa si kucing? Darimana kau dapat kata itu?" "Itulah yang dikatakan para hantu, jika kubiarkan mereka bicara." Taku menggelengkan kepala dengan tatapan bertanya-tanya. "Kau tahu siapa Hisao itu?" "Dia cucu Muto Kenji." Ia berhenti sejenak lalu bicara tanpa perasaan, "Putra ayahku." "Sudah berapa lama kau tahu?" "Aku pernah mendengar kau mengatakan pada Sada, di Maruyama pada musim gugur yang lalu," jawab Maya. "Pertama kali kita melihat kucing itu," bisik Sada. "Hisao pasti seorang penguasa alam baka," ujar Taku, mendengar Sada menghela napas, hembusan napasnya terasa di bulu kuduknya. "Kukira hal itu hanya legenda." "Apa artinya itu?" tanya Maya. "Artinya dia mampu untuk berjalan di antara dua dunia, mendengar suara orang yang sudah mati. Para arwah akan patuh padanya. Dia memiliki kekuatan untuk me-nenangkan atau menghasut mereka. Ini jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan." Inilah pertama kalinya Taku merasakan ketakutan yang sesungguhnya. Takut pada kekuatan supranatural, gelisah atas peng-khianatan yang telah diungkap Maya, dan kemarahan pada rasa puas dalam dirinya serta kurang waspada. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sada pelan. Sada merengkuh dan memeluk Maya erat-erat. Tatapan Maya yang berkilat ter-paku pada wajah Taku. "Kita harus membawa Maya pergi," sahutnya. "Tapi aku harus menemui kakakku lebih dulu, membuat satu tuntutan terakhir padanya, dan mencari tahu seberapa dalam keterlibatannya dengan Akio, dan berapa banyak yang mereka tahu tentang Hisao. Dugaanku adalah mereka belum mengetahui bakatnya. Tidak ada lagi orang yang tahu tentang hal semacam ini di kalangan Tribe: semua laporan kita menunjukkan kalau Hisao tidak memiliki kemampuan Tribe." Halaman 618 dari 618 Apakah Kenji tahu? Taku memikirkan hal itu, dan menyadari sekali lagi betapa ia sangat merindukan Gurunya itu, dan betapa besar kegagalannya untuk bisa menggantikan kedudukan gurunya itu. "Kita akan pergi ke Inuyama," katanya. "Aku akan menemui Zenko besok, tapi kita harus tetap pergi. Kita harus bawa Maya pergi." "Kita belum mendapat kabar dari Lord Takeo sejak Terada datang dari Hagi," kata Sada gelisah. "Sebelumnya aku tidak cemas," sahut Taku, dicekam perasaan kalau segala sesuatunya akan terurai satu demi satu. Saat malam lebih larut, meski sulit untuk mengakui pada dirinya sendiri, terlebih lagi mengaiakannya pada Sada atau orang lain, keyakinannya makin besar kalau Takeo akan hancur, kalau jaring mulai makin kencang di sekelilingnya dan tak ada jalan untuk lolos. Saat terjaga, sadar akan tubuh tinggi Sada di sisinya, mengamati malam yang pucat, Taku berpikir keras apa yang harus dilakukan. Rasanya masuk akal mematuhi kakaknya yang akan mengambil alih kepemimpinan Tribe-atau bahkan menyerahkan jabatan itu pada Taku sendiri: keluarga Muto dan Kikuta bisa berdamai; maka ia tak harus menyerahkan nyawa Sada atau nyawanya sendiri; naluri pragmatis Muto mendesaknya untuk mengikuti jalan ini. Ia berusaha menimbang apa saja yang dipertaruhkan. Nyawa Takeo, pastinya. Juga nyawa Kaede, kemungkinan anak-anak juga-mungkin Shigeko tidak, kecuali bila dia melawan, tapi Zenko pasti menganggap si kembar terlalu berbahaya. Jika Takeo melawan balik, berarti kematian beberapa ribu prajurit Otori yang tak ada hubungan dengan dirinya. Hiroshi... Memikirkan Hiroshi telah membuatnya berhenti secara tiba-tiba. Sebagai anak laki-laki, Taku punya rasa iri yang terpendam pada Hiroshi, terhadap sifat ksatria yang jujur, keberanian fisiknya, kesadaran ter-goyahkan pada kehormatan dan kesetiaan. Ia selalu berusaha membuat Hiroshi terkesan; menyayangi sahabatnya itu lebih dari apa pun, sebelum ia bertemu Sada. Ia tahu kalau Hiroshi lebih memilih mencabut nyawanya ketimbang meninggalkan Takeo, dan ia tak tahan membayangkan wajah Hiroshi saat sadar kalau ia berpihak pada Zenko. Alangkah bodohnya kakakku, pikirnya, bukan untuk yang pertama kalinya. Ia menyesalkan tindakan kakaknya yang menempatkan ia dalam posisi serba salah. Direngkuhnya Sada erat. Tak pernah ku-bayangkan kalau aku akan jatuh cinta, pikirnya saat membangunkan Sada dengan lembut, dan meskipun tidak tahu kalau itulah terakhir kalinya dia membangunkan Sada. Tak pernah kubayangkan kalau aku akan menjadi ksatria yang mulia. Taku mengirim pesan keesokan harinya, dan menerima jawabannya sebelum tengah hari. Ia diperlakukan dengan santun seperti biasa, dan diundang ke kediaman di Hofu untuk makan malam bersama Zenko dan Hana. Dia menghabiskan waktu dengan mem-persiapkan diri untuk bepergian, tidak secara terang-terangan, karena tak ingin menarik perhatian. Taku berkuda pergi bersama empat orang yang telah menemaninya sejak dari Inuyama, lebih memercayai mereka ketimbang orang yang disediakan keluarga Muto di Hofu. Begitu bertemu, Taku melihat ada perubahan dalam diri kakaknya. Kumis dan janggut Zenko tampak lebih lebat, tapi lebih dari itu, sang kakak menunjukkan kepercaya-an diri yang baru, dengan langkah yang lebih angkuh. Taku juga memerhatikan, walau tak langsung mengomentari, kalau Zenko mengenakan kalung dari untaian rosario indah yang terbuat dari ukiran gading, mirip yang dipakai Don Joao dan Don Carlo yang juga hadir saat makan malam. Sebelum mulai makan, Don Carlo diminta untuk meng-ucapkan doa. Zenko dan Hana duduk dengan tangan terkatup, kepala tertunduk, serta tampak hikmad. Taku memerhatikan kehangatan baru antara kedua orang asing itu dengan Zenko. Mendengar betapa sering Deus diucapkan, dan menyadari dengan campuran antara rasa tercengang dan jijik kalau kakaknya telah mengikuti kepercayaan orang asing. Halaman 619 dari 619 Berpindah agama atau hanya berpura-pura? Taku tidak percaya kalau tindakan Zenko tulus adanya. Ia mengenal kakaknya sebagai laki-laki tanpa agama dan tidak berminat pada sesuatu yang berbau spiritual-sama seperti dirinya. Rupanya Zenko melihat ada keuntungan: pasti berhubungan dengan militer, pikirnya, dan kemarahannya muncul selagi memikirkan kalau yang bisa diberikan orang asing itu adalah senjata api dan kapal. Zenko menyadari kegelisahan Taku yang makin bertambah, dan ketika makan malam selesai dia berkata, "Ada yang harus kubicara-kan dengan adikku. Kami permisi sebentar. Taku, ikutlah ke taman. Malam ini indah: sudah hampir purnama." Taku mengikuti, membuka semua indera-nya, memasang pendengarannya untuk langkah kaki yang tak dikenal, hembusan napas yang tak terduga. Apakah sudah ada pembunuh yang bersembunyi di taman, dan kakaknya membimbing ia ke dalam jangkauan pisau lempar mereka? Atau senjata mereka? Dan bulu kuduknya merinding memikirkan senjata yang bisa membawa kematian dari jarak jauh, yang bahkan tidak terdeteksi oleh semua kemampuan Tribe. Zenko berkata, seolah bisa membaca pikirannya, "Tak ada alasan bagi kita untuk bermusuhan. Janganlah kita saling mem-bunuh." "Kurasa kau tengah merencanakan per-sekongkolan menentang Lord Otori," sahut Taku, seraya menyembunyikan marahnya. "Tak bisa kubayangkan apa alasannya, karena kau telah bersumpah setia dan berutang nyawa padanya, juga karena tindakan ini akan membahayakan keluargamu -ibu kita, aku-bahkan kedua putramu. Mengapa Kikuta Akio berada di Hofu dan dalam perlindunganmu? Perjanjian keji apa yang kau buat dengan orang-orang ini?" Taku memberi isyarat ke arah tempat percakapan orang asing itu terdengar-seperti pekikan burung, pikirnya kecut. "Tidak ada kejahatan di dalamnya," sahut Zenko, mengacuhkan pertanyaan tentang Akio. "Aku melihat kebenaran dalam kepercayaan mereka dan aku memilih untuk mengikuti jalan mereka. Kebebasan itu diperbolehkan di seluruh Tiga Negara, kurasa." Taku melihat deretan gigi putih di atas janggut Zenko saat tersenyum. Ia ingin langsung menyerang, namun menahan diri. "Dan sebagai imbalannya?" "Aku terkejut kau belum tahu, tapi aku yakin kau bisa menebaknya." Zenko menatapnya, lalu mendekat dan memegang tangannya. "Taku, kita bersaudara, dan aku sayang padamu, terlepas dari perbedaan pendapat kita. Mari kita bicara terns terang. Takeo tidak punya masa depan: mengapa ikut jatuh bersamanya? Bergabunglah denganku: Tribe akan bersatu kembali: aku pernah bilang kalau aku punya orang dalam di kalangan Kikuta. Bukan rahasia lagi kalau menurutku alasan Akio sangat masuk akal. Dia akan mengabaikan peranmu dalam kematian Kotaro: semua orang tahu saat itu kau masih kecil. Akan kupenuhi semua keinginanmu. Takeo yang menyebabkan kematian ayah kita. Tugas pertama kita adalah balas dendam atas kematian itu." "Ayah kita memang pantas mati," sahut Taku, seraya menahan kata-katanya. Dan kau juga pantas mati. "Tidak, Takeo itu penipu, perebut kekuasaan, juga pembunuh. Ayah kita seorang ksatria sejati." "Kau memandang Takeo seolah kau ber-kaca," sahut Taku. "Kau melihat bayangan dirimu sendiri. Kaulah si perebut kekuasa-an." Taku merasa jarinya gatal ingin meraih pedang, dan tubuhnya terasa perih seakan siap menghilang. Yakin kalau Zenko pasti hendak membunuhnya saat ini. Taku tergoda untuk menyerang, begitu kuatnya godaan itu hingga ia hampir tak sanggup menahannya, namun ada sesuatu yang mencegahnya: rasa enggan untuk mencabut nyawa kakaknya, dan teringat kata-kata Takeo: Saudara saling membunuh, sungguh tak Halaman 620 dari 620 terbayangkan, Kakakmu, seperti layaknya orang lain, termasuk dirimu sendiri, Taku sayang, harus taat pada hukum. Taku menghirup napas dalam-dalam. "Katakan apa yang kau inginkan dari Lord Otori. Mari kita rundingkan." "Tak ada yang bisa dirundingkan kecuali dengan kehancuran dan kematiannya," sahut Zenko marah. "Dalam hal ini, terserah apakah kau memihak atau menentangku." Taku mundur dengan sikap hati-hati. "Biar kupertimbangkan dulu. Aku akan bicara lagi denganmu besok. Dan kau juga, pikirkan semua tindakanmu. Apakah keinginan balas dendammu bisa menjamin tidak akan menyebabkan perang saudara?" "Baiklah," ujar Zenko. "Oh ya, sebelum kau pergi: aku lupa berikan ini padamu." Dikeluarkannya wadah bambu dari balik jubah dan menyerahkannya. Taku meng-ambilnya dengan firasat: dikenalinya benda itu sebagai tempat surat, yang digunakan di Tiga Negara. Bagian bawahnya direkatkan dengan lilin dan dicap dengan lencana Otori, tapi yang satu ini sudah terbuka. "Kurasa ini dari Lord Otori," ujar Zenko, lalu tertawa. "Kuharap ini bisa memengaruhi keputusanmu." Taku berjalan dengan cepat dari taman, berharap setiap waktu mendengar anak panah atau pisau melesat di udara; ia meninggalkan kediaman tanpa pamitan. Para penjaga menunggu di gerbang dengan kuda-kuda. Diraihnya tali kekang Ryume lalu bergegas naik. "Lord Muto," laki-laki di sebelahnya berkata pelan. "Ada apa?" "Kuda Anda tadi batuk-batuk, seakan sulit bernapas." "Mungkin karena udara musim semi. Udara terasa sulit dihirup dengan pekatnya serbuk sari." Disingkirkannya kecemasan laki-laki itu, dikalahkan dengan kecemasan yang lebih besar dalam dirinya. Di tempat penginapannya, dia meminta agar pelana kuda jangan dibuka, dan menyiapkan dua kuda betina. Kemudian Taku masuk ke tempat Sada tengah menunggu. Sada masih berpakaian lengkap. "Kita pergi sekarang," kata Taku padanya. "Apa yang kau temukan?" "Zenko bukan hanya membuat kesepakatan dengan Akio, tapi juga telah bersekutu dengan orang asing. Dia mengaku telah menerima agama mereka, dan sebagai imbalannya mereka mempersenjatainya." Diserahkannya wadah surat pada Sada. "Dia mengacaukan surat-surat yang Takeo kirim. Itu sebabnya tidak ada kabar darinya." Sada mengambil tabung itu lalu mengeluarkan suratnya. Dia membaca dengan cepat tulisan dalam surat itu. "Takeo memintamu agar segera menemuinya di Inuyama-tapi ini sudah terlambat selama berminggu-minggu. Tentunya dia sudah berangkat saat ini?" "Kita harus ke sana malam ini. Bulan purnama cukup terang untuk berkuda. Bila Takeo telah meninggalkan Inuyama, maka aku harus mengejarnya sampai di perbatasan. Dia harus kembali dan membawa pasukan kembali dari wilayah Timur. Bangunkan Maya; dia harus ikut. Aku tak ingin dia ditemukan Akio. Di Inuyama kalian lebih aman." Maya tengah mimpi aneh serba merah di mana kakak laki-lakinya, yang wajahnya kini bisa dilihat sekilas, muncul dalam berbagai samaran, terkadang ditemani para arwah. Kakaknya itu tampak kejam, membawa senjata yang menakutkan. Tatapannya mem-buat Maya merasakan ketakutan yang tak bisa dijelaskan, seolah Hisao tahu semua rahasia dalam dirinya. Kakaknya itu memiliki Halaman 621 dari 621 semacam jiwa kucing seperti dirinya. Malam ini Hisao membisikkan nama Maya, yang membuatnya ketakutan; karena tak tahu kalau Hisao mengenalnya; Maya terbangun dan sadar kalau Sada yang bicara pelan di telinganya. "Bangunlah, lekas berpakaian. Kita pergi sekarang." Tanpa bertanya, Maya melakukan seperti yang diminta karena bulan-bulan musim dingin telah mengajarkannya untuk patuh. "Kita akan ke Inuyama untuk menemui ayahmu," kata Taku selagi mengayunkan tubuh Maya ke punggung kuda. "Mengapa kita pergi di malam seperti ini?" "Aku tidak ingin menunggu sampai pagi." Selagi kuda-kuda berderap menyusuri jalan menuju jalan besar, Sada bertanya pada Taku, "Apakah kakakmu membiarkan kau pergi?" "Itu sebabnya kita pergi sekarang. Dia bisa saja menyerang atau membuntuti. Ber-siagalah dengan senjata, dan bersiap untuk bertarung. Aku curiga ada jebakan." Hofu bukanlah kota yang dikelilingi dinding, dan kegiatan perdagangan dan pelabuhan berarti orang datang dan pergi pada jam berapa saja, mengikuti bulan dan gelombang; di malam seperti ini, di awal musim semi dengan bulan yang hampir penuh, ada pelancong lain di jalan, dan sekelompok kecil orang-Taku, Sada, Maya serta empat pengawal-tidak diberhentikan atau ditanyai. Tak lama setelah matahari terbit, mereka berhenti di sebuah penginapan untuk sarapan dan minum teh. Segera setelah mereka hanya bertiga di ruang makan kecil, Maya berkata pada Taku, "Apa yang terjadi?" "Akan kuceritakan sedikit saja demi keselamatanmu. Pamanmu Arai dan istrinya berkomplot menentang ayahmu. Kami mengira bisa membendungnya, tapi men-dadak situasinya makin mengancam. Ayahmu harus segera kembali." Kelelahan tergambar di wajah Taku, dan suaranya terdengar sangat serius. "Bagaimana bisa paman dan bibi ber-tindak begitu, saat putra mereka tinggal di rumah kami?" tanya Maya gusar. "Ibu harus diberitahu. Kedua bocah itu harus mati!" "Kau kedengaran sangat berbeda dengan ayahmu," kata Sada. "Darimana datangnya kekejaman itu?" Tapi suaranya terdengar penuh kasih sayang dan kekaguman. "Ayahmu berharap tak seorang pun harus mati," tutur Taku. "Itu sebabnya kita harus menyuruhnya kembali. Hanya ayahmu yang memiliki reputasi dan kekuatan untuk mencegah pecahnya perang." "Lagipula, Hana memang akan ke Hagi hari ini." Sada menarik Maya dan duduk dengan merangkulnya. "Selama musim panas ini Hana akan bersama ibumu dan adikmu." "Itu lebih buruk lagi! Ibu harus di peringatkan. Aku akan ke Hagi dan men-ceritakan pada Ibu tentang niat Hana yang sebenarnya!" "Tidak, kau harus tetap bersama kami," sahut Taku, merangkul bahu Sada. Mereka duduk diam selama beberapa saat. Seperti keluarga, pikir Maya. Aku tidak akan melupakan ini: makanan yang terasa begitu lezat saat aku begitu lapar, harumnya aroma ten, merasakan angin musim semi, cahaya matahari yang berubah selagi gumpalan besar awan putih berarak. Sada dan Taku bersamaku, begitu bersemangat, begitu pemberani, merasakan hari-hari yang kami lalui dalam perjalanan, terus maju. Bahaya... Cuaca hari itu tetap cerah dan segar. Kira-kira tengah hari, angin sepoi-sepoi berhenti berhembus, awan menghilang ke arah timur laut, langit cerah, biru terang. Peluh membuat kulit kuda menjadi lebih gelap di bagian leher tubuh mereka selagi meninggal-kan dataran pesisir dan mulai menanjak ke perbatasan pertama. Hutan kian lebat di sekeliling mereka; sesekali terdengar suara jangkrik bak Halaman 622 dari 622 petikan alat musik. Maya mulai merasa lelah. Irama berjalan kuda, hangatnya senja membuatnya mengantuk. Ia mengira tengah bermimpi, dan sekonyong-konyong dilihatnya Hisao; lalu tersadar kaget. "Ada yang mengikuti kita!" Taku mengacungkan tangan, dan mereka berhenti. Mereka mendengarnya: derap kaki hewan dari lereng. "Teruskan perjalanan dengan Maya," ujar Taku pada Sada. "Kami akan menahan mereka. Jumlah mereka paling banyak dua belas orang. Kami akan segera menyusul." Taku memberi perintah dengan cepat pada pengawalnya; mereka mengambil busur dari punggung, membelokkan kuda keluar dari jalan dan menghilang di balik batang-batang pohon bambu. "Pergilah," perintah Taku pada Sada; dengan enggan melajukan kuda dan Maya mengikuti. Mereka berkuda dengan cepat selama beberapa saat, tapi seiring dengan kuda-kuda yang mulai lelah, Sada berhenti lalu menengok ke belakang. "Maya, apa yang kau dengar?" Ia seperti mendergar dentingan baja, ringkikan kuda, teriakan dan pekikan pertarungan, dan satu suara lagi, dingin dan brutal, yang bergenia sampai ke perbatasan, membuat burung-buning memekik ke takutan lalu terbang. Sada juga men-dengarnya. "Mereka punya senjata api," serunya. "Tetap di sini-jangan, jalan terus, lalu sembunyi. Aku harus kembali. Aku tak bisa meninggalkan Taku." "Aku juga," gumam Maya, membalikkan kuda betina yang ketakutan ke arah mereka datang, tapi di kejauhan mereka melihat kepulan debu dan mendengar derap kuda, melihat kuda berkulit abu-abu dan bersurai hitam. "Itu dia datang," teriak Sada lega. Taku masih memegang pedang, lengannya berlumuran darah-darahnya atau darah orang lain, mustahil diketahui. Taku meneriakkan sesuatu ketika melihat mereka, tapi Maya tak memahaminya karena saat mengucapkan kata-kata itu Ryume, kudanya, jatuh; tertahan dengan lututnya, kemudian terguling. Kejadiannya begitu cepat: Ryume jatuh lalu mati, menghempaskan tubuh Taku ke jalanan. Secepatnya Sada menderapkan kuda menghampiri. Kuda betina tunggangan Sada mendengus dan menjadi liar saat melihat kematian Ryume. Taku berusaha bangkit. Sada menarik tali keitang kudanya agar berhenti di samping Taku. Kemudian dia meraih tangan Taku yang menggapai lalu mengayunon tubuh Taku di belakangnya. Dia baik-baik saja, pikir Maya lega. Dia tak bisa melakukan itu bila dia terluka. Taku tidak terlula parah, meski banyak orang yang mati di jalanan di belakangnya, pengawalnya dan sebagian besar penyerang-nya. Dia merasakan sayatan yang sangat menyakitkan di wajahnya, satu sayatan lagi di tangannya yang memegang pedang. Dia menyadari kuatnya punggung Sada saat memeluknya, kemudian tembakan itu meraung lagi. Dia merasakan tembakan itu mengena lehernya dan menembusnya; kemudian dia jatuh dan Sada jatuh bersamanya, dan kuda menimpa tubuh mereka. Dari kejauhan didengarnya Maya berteriak. Pergilah, nak, pergi, Taku ingin mengucapkannya, tapi tak sempat lagi. Matanya dipenuhi cahaya langit biru yang menyilaukan: cahaya matahari berputar-putar dan kian redup. Waktunya telah tiba. Dia nyaris tak sempat berpikir, aku sekarat, aku harus berkonsentrasi pada kematian, sebelum kegelapan membungkam pikirannya untuk selamanya. Kuda betina milik Sada berusaha bangkit dan berderap kembali ke Maya sambil meringkik keras. Kedua kuda betina itu mudah gugup, dan sudah berlari kencang, meski kelelahan. Dengan sifat OtoriHarjono Siswanto Story Collection Halaman 623 dari 623 nya, Maya memikirkan kedua kuda itu; ia tidak boleh membiarkan keduanya kabur. Ia membungkuk dan diraihnya tali kekang kuda Sada yang terayun-ayun. Tapi ia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Sekujur tubuhnya gemetar, begitu pula kedua kuda itu; dan tak bisa memalingkan pandangannya dari tiga mayat yang ter-geletak di jalan. Si kuda, Ryume, agak lebih jauh darinya, kemudian Sada dan Taku mati dalam keadaan berangkulan. Maya menggerakkan kudanya meng-hampiri mereka, turun lalu berlutut di sampingnya, menyentuh dan memanggil-manggil nama mereka. Bola mata Sada berdenyut: dia masih hidup. Luapan kepedihan di hatinya membuat Maya hampir tercekik tak bisa bernapas. Ia harus membuka mulut lalu menjerit, "Sada!" Seolah menjawab jeritannya, tiba-tiba muncul dua orang tepat di belakang Ryume. Maya tahu kalau ia harus menggunakan kemampuan menghilang atau bentuk kucing lalu lari ke dalam hutan: ia berasal dari Tribe; seharusnya bisa mengelabui siapa Saja. Tapi badannya terasa lumpuh karena terguncang dan sedih, ditambah lagi, ia tak ingin hidip di dunia yang kejam ini, dunia yang mem-biarkan Taku mati di bawah langit biru dan matahari yang cerah. Maya berdiri di antara kedua kuda betina, memegangi tali kekang keduanya. Kedua laki-laki itu datang menghampiri. Maya hampir tidak bisa melihat mereka di malam sebelumnya, di bawah remangnya penerangan di penginapan, tapi ia segera mengenalinya. Kedua orang memegang senjata, Akio membawa pedang dan pisau, Hisao memegang senjata api. Mereka berasal dari Tribe: mereka takkan membiarkannya hidup hanya karena ia masih kecil. Setidaknya aku harus bertarung, pikirnya, tapi bodohnya, ia tak ingin melepaskan kedua kuda betina itu. Bocah itu menatapnya, mengacungkan senjata api ke arahnya, sementara laki-laki yang satu lagi membalik kedua mayat. Sada mergerang pelan. Akio berlutut, mengambil pisau dengan tangan kanan lalu menggorok leher Sada dengan cepat. Ia meludahi wajah Taku yang damai. "Kematian Kotaro hampir terbalas," ujarnya. "Kedua Muto ini sudah membayar-nya. Kini tinggal Si Anjing." Bocah itu berkata, "Tapi ini siapa. Ayah?" Suaranya terdengar kebingungan, seolah pernah mengenal gadis itu. "Bocah pengurus kuda?" sahut laki-laki itu. "Sial sekali nasibnya!" Akio berjalan menghampirinya dan Maya mencoba menatap matanya, tapi laki-laki itu tak berbalik menatapnya. Ketakutan yang amat sangat mencekam Maya. Ia tak boleh membiarkan laki-laki itu menangkapnya. Ia hanya ingin mati. Dijatuhkannya tali kekang kedua kuda, dan karena terkejut, kedua kuda itu bergerak mundur. Maya menarik pisau dari sabuknya lalu menaikkan tangannya untuk menancapkan pisau itu di lehernya. Akio bergerak lebih cepat dari gerakan manusia mana pun yang pernah Maya lihat, bahkan lebih cepat dibanding malam sebelumnya, lalu mencengkeram pergelangan tangan Maya. Pisaunya terjatuh seolah Akio membelokkannya. "Tapi bocah pengurus kuda macam apa yang berusaha menggorok lehernya sendiri?" tanyanya dengan sinis. "Seperti seorang ksatria perempuan?" Memegang Maya dengan tangannya yang sekuat baja, Akio lalu menarik pakaiannya dan menyelusupkan tangan satunya ke selangkangan Maya. Gadis itu menjerit dan meronta-ronta sewaktu Akio berusaha membuka telapak tangannya. Akio ter-senyum ketika dilihatnya garis lurus melintang di telapak tangan gadis itu. "Jadi!" serunya. "Sekarang kita tahu siapa yang memata-matai kita semalam." Halaman 624 dari 624 Maya mengira hidupnya sudah berakhir. Tapi laki-laki itu melanjutkan, "Ini putri si Anjing, salah satu dari si kembar: dia ada tanda Kikuta. Gadis ini akan berguna. Jadi kita biarkan dia hidup untuk saat ini." Didekatinya Maya. "Kau kenal siapa aku?" Maya tak mau menjawab. "Aku Kikuta Akio, ketua keluargamu. Ini putraku, Hisao." Maya sudah mengenalnya, karena wajah-nya sama seperti yang ia lihat dalam mimpinya. "Benar aku Otori Maya," sahutnya. "Ada lagi, aku adalah adikmu.... " Maya ingin mengatakan lebih banyak lagi, tapi Akio memindahkan cengkeramannya ke leher, meraba bagian urat nadi, lalu menekan hingga Maya tak sadarkan diri.* Shigeko sering berlayar antara Hagi dan Hofu, tapi belum pernah berlayar lebih ke timur, di sepanjang pantai yang dilindungi Laut Kitaran sampai Akashi. Cuaca cerah, udara terasa sangat segar, angin laut ber-hembus lembut dari selatan namun cukup kencang untuk memenuhi layar dan mem-buat kapal meluncur cepat. Dari berbagai arah, pulau-pulau kecil bermunculan dari permukaan laut, lerenglerengnya kehijauan tua dengan pepohonan cedar, buih gelombang menghiasi pantainya. Dilihatnya gerbang biara merah tua berkilauan di bawah sinar matahari musim semi, kuil-kuil ber-atapkan pohon runjung, dinding putih yang mencuat dari kastil ksatria. Tidak seperti Maya, Shigeko tidak pernah mabuk laut, bahkan dalam perjalanan yang paling sulit antara Hagi dan Maruyama, ketika angin dari timur laut berpacu me-lintasi laut keabu-abuan. Berlayar membuat Shigeko gembira, bau air laut, tali temali dan tiang kapal, bunyi kele-pak layar, kecipak air laut dan keriat-keriut kayu, nyanyian lambung kapal saat membelah lautan. Muatan kapal dipenuhi berbagai macam hadiah, termasuk pelana dan sanggurdi ber-hias indah untuk Shigeko dan Hiroshi, serta jubah resmi yang kesemuanya baru dibordir, dicelup dan dilukis oleh perajin paling andal dari Hagi dan Maruyama. Tapi hadiah yang terpenting berdiri di atas dek; di bawah naungan jerami: kuda-kuda yang dibiakkan di Maruyama, masing-masing diikat dengan dua utas tali di kepala dan ikat pinggang di bawah perut; serta kirin, diikat dengan tali dari sutra merah. Shigeko menghabiskan banyak waktu dalam sehari di samping hewan-hewan itu. Ia bangga akan kesehatan dan ketampanan mereka karena ia sendiri yang membesarkan hewan-hewan itu: dua kuda berkulit belang, satu berwarna terang, dan satu lagi berwarna merah bata. Semua hewan itu kelihatan senang ditemani gadis itu, dan mengikuti dengan pandangan mata saat Shigeko berjalan di sekitar dek. Tak ada rasa sesal akan berpisah karena mereka akan diperlakukan dengan baik. Mungkin hewan-hewan itu takkan melupakannya namun juga takkan merindukan dirinya. Shigeko hanya mencemaskan kirin yang tidak memiliki pembawaan santai layaknya kuda. "Aku khawatir kirin akan ketakutan ketika berpisah dari kita, dan semua kawannya," katanya pada Hiroshi saat senja di hari ketiga perjalanan mereka dari Hofu. "Lihat, dia terus berpaling ke arah rumah. Seperti merindukan seseorang: Tenba, barangkali." "Sedan tadi kuperhatikan dia berusaha mendekatimu, saat kau di dekatnya," sahut Hiroshi. Tentunya dia akan merindukanmu. Aku terkejut kau bisa berpisah dengannya." "Aku hanya menyalahkan diriku! Aku yang menyarankannya. Kirin adalah hadiah yang sempurna: bahkan sang Kaisar pun pasti kagum dan tersanjung dengan hadiah ini. Tapi aku berharap hewan itu terbuat dari gading atau logam berharga, tanpa perasaan, dan aku takkan merasa khawatir memikir-kannya akan kesepian." Halaman 625 dari 625 Hiroshi menatapnya lekat-lekat. "Lagipula, dia hanya seekor hewan. Mungkin tidak semenderita seperti yang kau bayangkan. Dia akan dirawat dengan baik, diberi cukup makan." "Hewan memiliki perasaan yang dalam," hardik Shigeko. "Tapi dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan manusia saat dipisahkan dari mereka yang disayanginya." Shigeko beradu pandang dengan Hiroshi; gadis itu menahan tatapan Hiroshi selama beberapa saat. Hiroshi yang berpaling lebih dulu. "Dan mungkin kirin itu takkan kesepian di Miyako," kata Hiroshi dengan suara pelan, "karena kau juga akan berada di sana." Shigeko tahu maksud ucapan Hiroshi karena dia hadir saat Lord Kono mengatakan kalau istri Saga Hideki meninggal baru-baru ini, kehilangan yang membuat bangsawan yang paling berkuasa di Delapan Pulau bebas untuk menikah. "Bila kirin merupakan hadiah yang sempurna bagi Kaisar," imbuhnya, "apa hadiah yang lebih baik bagi jenderal Kaisar?" Mendengar kegetiran dalam suara Hiroshi, Shigeko merasa gundah. Ia sudah lama menyadari kalau Hiroshi mencintainya seperti ia mencintai laki-laki itu. Mereka berdua tahu apa yang ada di benak masing-masing. Mereka berdua dilatih dengan Ajaran Houou, dan telah mencapai tahap kesadaran serta kepekaan yang tinggi. Shigeko memercayai Hiroshi sepenuhnya. Namun seperti tak ada gunanya membicara-kan perasaannya: ia akan menikahi orang pilihan ayahnya. Terkadang ia bermimpi ayahnya memilih Hiroshi, dan terjaga dalam rasa bahagia. Terkadang ia bertanya-tanya apa bisa memilih calonnya sendiri karena kini ia penguasa Maruyama; terkadang ia sadar kalau tak ingin mengecewakan ayah-nya. Shigeko dibesarkan dengan ajaran keras keluarga ksatria: ia tidak bisa mematah-kannya begitu saja. "Aku berharap tidak harus tinggal jauh dari Tiga Negara," gumamnya. Kirin berdiri begitu dekat hingga bisa dirasakan hangatnya napas hewan itu di pipinya. "Kuakui, aku cemas dengan semua tantangan yang me-nantiku di ibukota. Aku berharap perjalanan kita sudah berakhir-tapi di sisi lain aku juga tak ingin perjalanan ini berakhir." "Kau tak menunjukkan kecemasan saat bicara dengan Lord Kono tahun lalu," Hiroshi mengingatkan. "Mudah untuk merasa percaya diri di Maruyama, saat dikelilingi begitu banyak orang yang mendukungku-terutama kau." "Kau juga akan mendapatkan dukungan itu di Miyako. Miyoshi Gemba juga akan berada di sana." "Guru-guruku yang terbaik-kau dan dia." "Shigeko," kata Hiroshi, memanggil dengan nama yang sering dilakukannya ketika gadis itu masih kecil. "Jangan sampai ada hal yang mengurangi konsentrasimu selama penandingan itu. Kita semua harus menyingkirkan keinginan pribadi untuk membiarkan ajaran kedamaian menang." "Bukan menyingkirkan," sahut Shigeko, "tapi mengatasinya." Gadis itu terdiam, tidak berani berkata apa-apa lagi. Lalu satu kenangan melintas di benaknya: pertama kali ia melihat sepasang houou sewaktu kedua burung itu kembali ke hutan di sekitar Terayama untuk bersarang di pohon pauwlonia dan membesarkan anak-anaknya. "Ada ikatan yang kuat di antara kita," ujarnya. "Aku telah mengenalmu sejak kecil-bahkan mungkin di kehidupan sebelumnya. Bila aku memang harus me-nikah dengan orang lain, ikatan itu jangan pernah putus." "Tidak akan, aku bersumpah. Busur di Halaman 626 dari 626 tanganmu, namun roh houou yang akan menuntun anak panahnya." Shigeko tersenyum, yakin kalau pikiran dan tujuan mereka berdua telah menyatu. Kemudian, sewaktu matahari tenggelam di ufuk barat, mereka berjalan ke bagian belakang dek dan memulai latihan ritual kuno yang mengalir melewati udara bak air, namun mengubah otot dan urat daging menjadi sekeras baja. Kilau sinar matahari mewarnai layar, membuat lambang bangau Otori menjadi keemasan; panji-panji Maruyama berkibar di tali tiang kapal. Kapal pun tampak bermandikan cahaya, seolah burung suci itu telah bertengger di atasnya. Langit di arah barat masih memancarkan garis merah ketika di arah timur muncul bulan purnama dari bulan keempat.* Beberapa hari setelah bulan purnama, Takeo meninggalkan Inuyama menuju wilayah Timur. Kepergiannya dilepas dengan penuh semangat oleh penduduk kota. Saat itu ada perayaan musim semi, ketika bumi hidup kembali, cairan dari dalam bumi mengalir ke pepohonan dan ke dalam aliran darah semua orang. Kota itu dikuasai rasa percaya diri serta harapan karena Lord Otori bukan hanya tengah mengunjungi Kaisar-tokoh yang dianggap separuh mistis oleh rakyat- tapi dia juga meninggalkan seorang putra: kesedihan yang disebabkan oleh si kembar akhirnya tersingkir. Tiga Negara belum pernah begitu sejahtera. Burung houou ber-sarang di Terayama, Lord Otori akan meng-hadiahkan kirin kepada Kaisar; semua pertanda ini menegaskan apa yang dilihat sebagian besar rakyat pada anak-anak mereka yang montok dan sawah yang subur. Semua ini merupakan bukti dari penguasa yang adil dan memedulikan kesejahteraan rakyatnya. Namun semua sorak sorai, tarian, bunga dan umbul-umbul tak mampu menyingkir-kan kegelisahan Takeo. Meskipun ia ber-usaha menyembunyikannya, namun wajah tanpa ekspresi yang kini menjadi kebiasaan-nya. Kecemasannya yaitu tidak adanya kabar dari Taku: apakah dia membelot atau sudah mati. Kedua hal itu sama-sama musibah baginya, dan di satu sisi lagi, bagaimana dengan nasib Maya? Takeo ingin sekali kembali dan mencari tahu sendiri, namun perjalanan membawa dirinya makin jauh dari kemungkinan menerima kabar. Setelah me-mikirkan masak-masak, beberapa di antara-nya diceritakannya pada Minoru, Takeo memutuskan untuk meninggalkan Kuroda bersaudara di Inuyama, mengatakan bahwa mereka akan lebih berguna di sana, dan bahwa mereka harus mengirim kurir secepat-nya bila ada kabar dari Taku. "Jun dan Shin tidak senang," lapor Minoru. "Mereka bertanya kepadaku apa yang telah mereka lakukan sehingga tidak dipercaya oleh Lord Otori." "Tidak ada keluarga Tribe di Miyako," sahut Takeo. "Sungguh, aku tidak mem-butuhkan mereka di sana. Tapi kau tahu, Minoru, kalau kepercayaanku pada mereka telah terkikis: bukan karena kesalahan mereka, hanya karena aku tahu kesetiaan pertama mereka pasti pada Tribe." "Kurasa Anda mestinya bisa lebih me-mercayai mereka," sahut Minoru. "Mungkin aku menyelamatkan mereka dari pilihan yang menyakitkan, dan kelak mereka akan berterima kasih padaku," sahut Takeo ringan, tapi sebenamya dia me-rindukan kedua pengawal Tribe tersebut, merasa telanjang dan tidak terlindungi tanpa mereka berdua. Empat hari keluar dari Inuyama, mereka berjalan melintasi Hinode, desa tempat Takeo pernah beristirahat bersama Shigeru pada pagi setelah lari dari kejaran prajurit Iida Sadamu. "Tempat kelahiranku berjarak satu hari perjalanan dari sini," komentarnya pada Gemba. "Aku tidak melewati jalan ini lagi selama hampir delapan belas tahun. Aku ingin tahu apakah desa itu masih ada. Di sanalah Shigeru menyelamatkan aku." Halaman 627 dari 627 Tempat adikku, Madaren, dilahirkan, mengingatkan dirinya, tempat aku dibesarkan sebagai orang Hidden. "Aku bertanya pada diriku sendiri, alangkah beraninya aku muncul di hadapan Kaisar. Mereka semua akan membenciku k arena asal -usilk u." Takeo dan Gemba berkuda berdampingan di jalur yang sempit, dan ia bicara pelan agar tidak didengar orang lain. Gemba melihat sekilas ke arahnya lalu menyahut, "Kau tahu aku membawa semua dokumen yang mem-buktikan keturunanmu dari Terayama: bahwa Lord Shigemori adalah kakekmu, dan pengangkatanmu oleh Shigeru sah menurut hukum-dan disetujui oleh klan. Tak ada yang bisa mempertanyakan legitimasimu." "Tapi Kaisar sudah mempertanyakannya lebih dulu." "Kau membawa pedang Otori, dan di-berkati dengan semua pertanda persetujuan Surga." Gemba tersenyum. "Kau mungkin tidak menyadari kekaguman Shigeru saat membawamu pulang: kau begitu mirip Takeshi. Seperti keajaiban: Takeshi tinggal cukup lama bersama kami sebelumnya. Kakakku Kahri adalah sahabatnya. Rasanya seperti kehilangan saudara laki-laki tercinta. Namun kesedihan kami tidak ada artinya dibandingkan dengan Lord Shigeru, dan itu merupakan pukulan terakhir dari sekian banyak peristiwa buruk yang menimpanya." "Ya, Chiyo menceritakan kisah-kisah kehilangannya. Hidupnya diliputi kesedihan dan nasib buruk yang tidak layak diterima-nya; namun Shigeru tidak menunjukkannya. Aku ingat perkataannya di malam pertama aku bertemu Kenji: Aku tidak diciptakan untuk berputus asa. Sering aku memikirkan kata-kata ini, dan tentang keberaniannya saat kami berkuda ke Inuyama dalam pengawasan Abe dan pasukannya. " "Kau harus mengatakan hal yang sama pada dirimu: kau tidak diciptakan untuk berputus asa." Takeo berkata, "Seharusnya begitu, tapi dengan begitu banyak yang telah terjadi dalam hidupku, itu menjadi suatu kepura-puraan." Gemba tertawa. "Beruntunglah karena kau memiliki sekian banyak keahlian. Jangan remehkan dirimu sendiri. Sifatmu mungkin lebih kelam dari Shigeru, tapi tak kalah kuatnya. Lihatlah apa yang telah kau raih: hampir enam belas tahun kedamaian. Kau dan istrimu telah menyatukan semua pihak yang bertikai di seluruh Tiga Negara; kau menangani kesejahteraan negara dengan keseimbangan yang sempurna. Putrimu men-jadi tangan kananmu, istrimu mendukung sepenuhnya di rumah. Percayalah pada mereka. Kau akan membuat kalangan istana Kaisar terkesan sesuai dengan kemampuan-mu. Percayalah padaku." Gemba terdiam dan setelah beberapa saat melanjutkan senandung kesabarannya. Kata-kata Gemba terasa lebih dari sekadar menenangkan; kata-kata itu tidak menenang-kan tapi justru membuat Takeo mampu menguasainya, dan akhirnya bisa melaluinya. Selagi tubuh dan pikiran penunggangnya rileks, maka begitu pula dengan kudanya: Tenba menundukkan leher dan mem-perpanjang langkahnya seolah jarak yang ditempuh tengah dilahapnya, hari demi hari. Takeo merasa semua inderanya mulai terjaga: pendengarannya menjadi sama peka-nya saat ia berusia tujuh belas tahun; mata dan tangan senimannya mulai bergerak lagi dengan sendirinya. Saat mendiktekan surat di malam hari pada Minoru, rasanya ingin sekali mengambil kuas dari tangan juru-tulisnya itu. Kadang Takeo memang melaku-kannya dengan cara menopang tangan kanannya yang cacat dengan tangan kiri serta menjepit kuas dengan dua jarinya yang ter-sisa, dibuatnya sketsa pemandangan yang ada di benaknya selama berkuda di siang hari: sekawanan gagak beterbangan di sela-sela pepohonan cedar, barisan angsa di tebing dengan bentuk yang aneh, seekor burung tila dan bunga lonceng di bebatuan. Minoru mengumpulkan sketsa-sketsa itu lalu mengirimnya dengan surat-surat untuk Kaede, dan Takeo teringat pada lukisan burung tila yang pernah ia berikan pada istrinya bertahun-tahun yang lalu di Terayama. Tangan cacatnya selama ini telah mencegahnya untuk melukis, namun belajar untuk mengatasi kendala itu telah mengasah bakat alaminya menjadi gaya lukisan yang unik dan luar biasa. Halaman 628 dari 628 Jalanan dari Inuyama menuju perbatasan terawat baik dan cukup lebar untuk tiga penunggang kuda berjalan berdampingan. Permukaan jalan rata karena Miyoshi Kahei dan pasukannya melewati jalan ini beberapa minggu sebelumnya. Pasukan garda depan itu terdiri dari seribu orang yang sebagian besar berkuda. Kahei juga membawa per-sediaan pangan di atas kuda beban dan gerobak yang ditarik lembu. Sisanya akan bergerak dari Inuyama dalam beberapa minggu lagi. Daerah perbatasan berbukit-bukit. Selain dari jalanan yang akan mereka lalui, puncaknya tak bisa dilewati. Menyiagakan pasukan yang begitu besar selama musim panas membutuhkan banyak sumber daya, dan banyak pasukan pejalan kaki yang berasal dari desa-desa tempat panen tidak bisa dilakukan tanpa tenaga mereka di ladang. Takeo dan rombongannya berjumpa dengan Kahei di dataran tinggi tepat di bawah jalur sempit. Saat itu udara masih dingin, rumput tepercik bintik putih salju terakhir, air sungai dan kolam membeku. Pos perbatasan kecil dibangun di sini, meski tidak banyak pengembara yang melakukan perjalanan dari wilayah Timur melewati jalur darat karena lebih memilih jalur laut melalui Akashi. Gugusan Awan Tinggi menjadi perbatasan alami yang selama bertahun-tahun membuat Tiga Negara terlindungi, terabaikan bagian negara yang lain, tidak dikuasai atau dilindungi Kaisar. Kemah yang dibangun tampak teratur dan disiapkan dengan baik: kuda-kuda berada di barisannya, pasukan dipersenjatai lengkap serta terlatih. Dataran itu sudah diubah dengan pagar penghalang yang didirikan dengan formasi kepala anak panah di sepanjang tepi dan gudang penyimpanan dibangun dengan cepat untuk melindungi persediaan makanan dari cuaca dan hewan. "Ada cukup tempat di ujung dataran bagi pasukan pemanah," tutur Kahei. "Tapi kita juga memiliki cukup senjata api saat prajurit pejalan kaki datang dari Inuyama untuk mempertahankan jalan bermilmil di belakang kita, begitu pula dengan pedesaan di sekitarnya. Kita akan mendirikan blokade. Tapi jika mereka masuk ke daerah di sekitarnya, kita akan gunakan kuda dan pedang." Ia menambahkan, "Apakah kita tahu senjata apa yang mereka miliki?" "Waktu mereka kurang dari setahun untuk mendapatkan atau menempa senjata api serta melatih pasukan untuk menggunakannya," sahut Takeo. "Kita lebih unggul dalam hal itu. Kita juga memiliki pasukan pemanah: senjata tidak bisa diandalkan saat hujan atau angin. Aku berharap bisa mengirim pesan padamu. Aku akan mencari tahu sebisanya- tapi aku harus kelihatan seperti mencari kedamaian; aku tidak boleh memberi alasan bagi mereka untuk menyerang. Semua persiapan ini demi mempertahankan Tiga Negara; kita tidak mengancam siapa pun di luar perbatasan wilayah kita. Kau harus tetap di dataran ini dalam posisi yang murni bertahan. Kita jangan sampai memancing Saga atau menantang Kaisar." "Rasanya aneh melihat Kaisar dengan mata kepala sendiri," komentar Kahei. "Aku iri padamu: kami mendengar tentang Kaisar sejak kami masih kecil; beliau adalah keturunan dewa, kendati selama bertahun-tahun aku tidak percaya kalau beliau memang benar-benar ada." "Klan Otori kabarnya adalah keluarga Kaisar," sahut Gemba. "Karena ketika Takeyoshi diberikan Jato, bayi dalam kandungan salah seorang selir Kaisar juga akan djodohkan dengannya." Gemba ter-senyum pada Takeo. "Maka kau pun memiliki darah yang sama." *Agak tercampur setelah benahun-tahun," sahut Takeo dengan nada ringan. "Tapi mungkin karena beliau adalah kerabatku maka akan memandangku dengan sikap yang bersahabat. Bertahun-tahun lalu Shigeru mengatakan bahwa karena kelemahan sang Kaisar sehingga orang seperti lida bisa merajalela tanpa bisa diawasi. Maka sudah menjadi kewajibanku untuk memperkuat kedudukan Kaisar. Beliau adalah penguasa Delapan Pulau." Takeo melayangkan pandangan ke arah gugusan gunung yang warnanya berubah menjadi ungu tua di bawah cahaya malam. Langit tampak ber-warna putih kebiruan, dan bintang-bintang pertama mulai bermunculan. "Aku hanya tahu scdikit tentang sisanya: bagaimana pemerintahannya, apakah mereka sejahtera, apakah rakyatnya bahagia. Semua ini harus dicari tahu-dan dibicarakan." Halaman 629 dari 629 "Dengan Saga Hideki-lah kau harus bicarakan semua itu," sahut Gemba. "Karena saat ini dialah yang mengendalikan dua pertiga negara, termasuk Kaisar." "Tapi kita tidak akan membiarkannya mengendalikan Tiga Negara," seru Kahei. Ketidaksetujuan Takeo tidak diperlihatkan terang-terangan pada Kahei, tapi secara pribadi, seperti biasa, ia telah memikirkan tentang negaranya dan cara terbaik untuk melindunginya. Takeo sudah menyaksikan kehancuran dan kehilangan korban manusia akibat perang dan gempa. Ia tak ingin menyerahkan negara yang telah makmur ini pada Zenko, tapi juga tidak ingin melihatnya terpecah belah dan berperang lagi. Ia tidak percaya kalau Kaisar adalah dewa yang harus disembah. Tapi ia menyadari pentingnya kaisar sebagai simbol kesatuan, dan siap untuk tunduk pada Kaisar demi mem-pertahankan kedamaian dan meningkatkan kesatuan seluruh negara. Namun aku takkan menyerahkan Tiga Negara kepada Zenko. Berulang kali dirinya kembali lagi pada keyakinan ini. Aku takkan melihatnya berkuasa menggantikan diriku. Mereka menyeberangi jalur perbatasan saat bulan menghilang, dan sebelum bulan penuh lagi mereka hampir tiba di Sanda, kota kecil yang berada di jalur antara Miyako dan Akashi. Selagi menuruni lembah, sekaligus memeriksa jalur pulang mereka-dan tempat sepasukan kecil pasukan kemungkinan berbelok dan menghadang musuh bila diperlukan-Takeo mempelajari keadaan desadesa, sistem pertanian, kesehatan anak-anak, kerap berkuda keluar dari jalan memasuki distrik di sekitarnya. Ia tercengang menemukan bahwa ia tak dikenal penduduk desa: reaksi mereka seolah kedatangan pahlawan dari legenda yang mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Di malam hari terdengar olehnya penyanyi buta melantunkan lagi kisah Klan Otori: peng-khianatan atas Shigeru dan kematiannya, kejatuhan Inuyama, perang Asagawa, mundur ke Katte Jinja serta pengambilalihan kota Hagi. Ada juga nyanyian baru yang digubah tentang kirin karena hewan itu bersama putri Lord Otori yang cantik tengah ditunggu di Sanda. Daerah itu terbengkalai: Takeo terkejut dengan rumah-rumah yang setengah runtuh, sawah yang tidak digarap. Ia tahu dalam perjalanan, dengan bertanya pada para petani, bahwa temyata semua wilayah itu bertempur habis-habisan melawan Saga sebelum akhirnya menyerah dua tahun lalu. Sejak itu pasukan bersenjata dan buruh yang dibutuhkan telah melemahkan sumber daya manusia desa-desa tersebut. "Tapi setidaknya kini sudah damai, dan kami berterima kasih pada Lord Saga," kata salah seorang laki-laki yang lebih tua. Takeo ingin tahu berapa banyak pengorbanan yang mereka lakukan, dan masih ingin bertanya-tanya lebih banyak lagi, tapi saat makin mendekati kota ia bergabung lagi dengan rombongannya dengan sikap yang lebih formal. Banyak dari orang-orang itu mengikutinya, berharap melihat kirin secara langsung. Ketika tiba di Sanda, mereka ditemani oleh sekerumunan besar orang, dan makin bertambah ketika penduduk kota ber-hamburan keluar untuk bertemu dengannya. Mereka melambaikan umbul-umbul serta rumbai-rumbai, menari dan menabuh genderang. Sanda merupakan kota per-dagangan dan tidak memiliki kastil atau benteng. Masih tampak sisa-sisa kehancuran akibat perang, tapi sebagian besar toko dan rumah yang hangus terbakar sudah dibangun kembali. Ada beberapa rumah penginapan besar di dekat kuil; di jalan utama di depan mereka, Takeo dipertemukan dengan sekelompok kecil prajurit, membawa panji-panji bergambarkan puncak gunung kembar lambang Klan Saga. "Lord Otori," ujar pemimpinnya, laki-laki bertubuh besar dan gemuk yang meng-ingatkan Takeo pada Abe, pengawal senior Lord Iida. "Namaku Okuda Tadamasa. Ini putra sulungku, Tadayoshi. Pemimpin kami yang agung dan jenderal Kaisar meng-ucapkan selamat datang kepada Anda. Kami diutus untuk mendampingi Anda." Orang itu bicara dengan bahasa resmi dan sopan. Sebelum Takeo sempat menjawab, Tenba meringkik lantang. Di atas atap laman di penginapan muncul kirin dengan telinga yang seperti kipas, kepala bermata besar di atas leher panjang bercorak. Kerumunan orang berseru kegirangan dengan serempak. Mata dan hidung kirin Halaman 630 dari 630 tampak mencari-cari sahabatnya. Ketika melihat Tenba, wajahnya melembut seakan tersenyum; dan bagi kerumunan itu, kirin seakan tersenyum pada Lord Otori. Bahkan Okuda pun tak mampu menahan diri untuk meliriknya. Ekspresi kekaguman melintas sesaat di wajahnya. Ototnya ber-kerut tegang berusaha keras menahan diri, matanya terbelalak. Putranya, pemuda ber-usia kira-kira delapan tahun, terang-terangan menyeringai. "Aku berterima kasih pada Anda dan Lord Saga," sahut Takeo tenang, mengabaikan keheranan itu seolah kirin hanyalah hewan peliharaan biasa. "Kuharap Anda bisa mem beri kehormatan dengan mengajakku dan putriku makan malam bersama." "Kurasa Lady Maruyama sudah menunggu di dalam," sahut Okuda. "Aku terima undangan Anda dengan senang hati." Mereka semua turun dari kuda. Para pengurus kuda berlarian menghampiri untuk mengambil tali kekang. Pelayan bergegas datang ke tepi beranda membawa baskom air untuk mencuci kaki para tamu. Pemilik penginapan pun muncul, seorang tokoh penting dalam pemerintahan kota itu; dia berkeringat karena gugup; membungkuk rendah, kemudian bangkit, mengatur pelayan dengan banyak instruksi dan tepukan tangan, serta menggiring Takeo dan Gemba ke kamar tamu utama. Kamarnya cukup menyenangkan, meski-pun tidak mewah. Alas lantainya masih baru dan wangi, dan pintu-pintu bagian dalam terbuka ke arah taman kecil yang berisikan rumput dan sebongkah batu hitam yang tidak biasa, seperti miniatur puncak kembar gunung. Takeo menatapnya, seraya mendengarkan hiruk-pikuk kesibukan dalam penginapan di sekelilingnya, suara bersemangat sang pemilik penginapan. Kegiatan di dapur selagi makan malam disiapkan, ringkikan Tenba dari istal, dan terakhir suara putrinya, langkah kakinya di luar. Takeo berbalik saat pintu bergeser terbuka. "Ayah! Aku sudah tak sabar ingin bertemu ayah!" "Shigeko," sahutnya, lalu dengan penuh kasih sayang, "Lady Maruyama!" Gemba yang sedari tadi duduk di beranda sebelah dalam, kini berdiri dan menyerukan kata yang sama. "Lady Maruyama!" "Lord Miyoshi! Aku senang bertemu Anda." "Hmm, hmm," sahutnya seraya ter-senyum lebar dan bersenandung riang. "Kau tampak baik." Benar, pikir Takeo, putrinya bukan hanya berada di puncak kecantikan masa mudanya, tapi juga memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri seorang perempuan dewasa, seorang penguasa. "Dan Ayah lihai bawaanmu tiba dengan sehat," ujar Takeo. "Aku baru kembali dari kandang kirin. Hewan itu senang bertemu dengan Tenba. Agak mengharukan. Tapi apa Ayah baik-baik saja? Perjalanan Ayah lebih berat. Ayah tidak merasa kesakitan?" "Ayah baik-baik saja," sahutnya. "Cuaca hangat seperti ini rasa sakitnya masih bisa diatasi. Gemba adalah teman seperjalanan yang baik, dan kudamu itu luar biasa." "Tidak ada kabar dari rumah?" tanya Shigeko. "Tidak ada, tapi karena Ayah tidak menunggu kabar, maka ketenangan ini tidak membuat Ayah cemas. Di mana Hiroshi?" tanyanya. "Dia sedang menengok keadaan kuda dan kirin," sahut Shigeko dengan tenang. "Bersama Sakai Masaki, yang ikut bersama kami dari Maruyama." Takeo mengamati putrinya yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Setelah beberapa saat ia bertanya, "Ada pesan dari Taku di Akashi?" Halaman 631 dari 631 Shigeko menggeleng. "Hiroshi juga tengah menunggu sesuatu, tapi tak satu pun orang Muto di sana mendapat kabar darinya. Mungkinkah terjadi sesuatu?" "Aku tidak tahu; sudah lama tidak ada kabar darinya." "Aku bertemu dengannya dan Maya di Hofu sebelum kami berangkat. Maya datang untuk melihat kirin. Dia sehat, lebih mantap, juga lebih bisa menerima anugerah bakatnya dan lebih bisa mengendalikannya." "Kau anggap kerasukan itu sebagai anugerah?" seru Takeo, terkejut. "Kelak akan begitu," sahut Gemba, lalu dia dan Shigeko saling tersenyum. "Jadi, katakan padaku para Guru Besar-ku," ujar Takeo sinis, menyembunyikan kekesalannya. "Mestikah aku mencemaskan Taku dan Maya?" "Karena kau tak bisa berbuat apa-apa dari sini," Gemba menjelaskan, "maka tak ada gunanya membuang energimu dengan mengkhawatirkan mereka. Kabar buruk cepat tersebar: kau akan mendengarnya secepatnya." Takeo menyadari kearifan kalimat ini, lalu berusaha menyingkirkan masalah ini dari benaknya. Tapi di malam-malam selanjut-nya, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke ibukota, ia sering memimpikan kedua putri kembarnya, dan di dunia lain yang berkabut itu, disadarinya kalau mereka berdua tengah menjalani semacam ujian berat yang aneh. Maya berkilau bak emas, menarik semua cahaya dari Miki yang dalam mimpinya terlihat sehebat dan setajam sebilah pedang. Sekali dia bermimpi mereka berdua sebagai kucing dan bayangannya: ia memanggil-manggil, tapi meskipun menengok, keduanya bukan saja lidak melihat dirinya tapi juga berlari menjauh dengan langkah tak ter-dengar hingga berada di luar jangkauan pendengaran dan perlindungannya. Takeo terbangun dengan perasaan kehilangan yang begitu menyakitkan kalau kedua putrinya itu bukan anak-anak lagi. Bahkan bayi laki-lakinya akhirnya akan tumbuh menjadi laki-laki dewasa dan menantang dirinya; bahwa orangtua membesarkan anak-anak hanya untuk digantikan kedudukannya oleh mereka, bahwa harga yang hams dibayar untuk kehidupan adalah dengan kematian. Malam terasa lebih pendek, dan saat matahari makin bersinar cerah, Takeo kembali dari dunia mimpi, mengumpulkan kembali tekad dan kekuatannya untuk melakukan tugas yang ada di hadapannya, membingungkan lawan-lawannya dan me-menangkan keberpihakan mereka, memper-tahankan negara serta Klan Otori, di atas segalanya, mencegah tejadinya perang.* Perjalanan berlanjut tanpa insiden. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan perjalanan. Siang kian panjang seiring makin dekatnya waktu ketika matahari berada pada jarak terjauh dari garis khatulistiwa. Okuda nampak terkesan-pada kirin, pada kuda Maruyama, dan pada Shigeko yang memilih untuk berkuda di sisi ayahnya; laki-laki itu banyak bertanya pada Takeo tentang Tiga Negara, perdagangan, administrasi, dan kapal. Jawaban jujur Takeo membuat mata-nya makin terbelalak. Kabar tentang kedatangan kirin sudah sampai mendahului mereka, dan sewaktu mendekati ibukota, kerumunan orang semakin banyak saat penduduk kota berhamburan keluar untuk menyambut. Mereka membuat hari itu sebagai hari libun mereka mengajak istri dan anak dengan mengenakan pakaian berwarna cerah, menggetar tikar dan mendirikan payung penahan sinar matahari warna merah tua serta tenda putih, makan dan minum dengan gembira. Takeo merasakan semua kemeriahan ini sebagai pemberkatan atas per-jalanannya, menyingkirkan pertanda buruk dari eksekusi di Inuyama. Halaman 632 dari 632 Kesan ini di-perkuat dengan Lord Kono yang mengirim undangan untuk mengunjunginya pada malam pertama di ibukota. Kota itu dikelilingi tebing; danau besar di bagian utara menyediakan kota itu dengan air dan ikan. Dua sungai yang mengaliri kota dihubungkan dengan beberapa jembatan yang indah. Kota itu dibangun seperti kota kuno di Shin: berbentuk persegi dengan jalan lebar terbentang dari utara sampai ke selatan, dengan jalanan yang lebih kecil bersaling-silang. Istana kekaisaran terletak di ujung jalanan utama, di sebelah biara agung. Takeo serta rombongannya menginap di kediaman yang tidak jauh dari tempat Kono. Sebuah kandang dibangun dengan tergesa-gesa untuk kirin. Takeo berpakaian dengan ekstra hati-hati untuk menghadiri pertemuan itu, lalu menaiki salah satu tandu mewah ber-pernis yang diangkut dengan kapal laut dari Hagi menuju Akashi. Hadiah-hadiah untuk Kono dibawa oleh sebarisan pelayan: produk Tiga Negara yang menjadi bukti kesejahteran dan pemerintahan yang baik, apa saja yang dinikmati atau dikagumi Kono selama di wilayah Barat-salah satu hasil pengintaian Taku. "Lord Otori telah tiba di ibukota saat matahari mendekati titik puncaknya," seru Kono. "Waktu yang amat menguntungkan. Aku berharap dengan amat sangat atas ke-berhasilan Anda." Ini orang yang membawa kabar bahwa pemerintahanku ilegal dan Kaisar memintaku agar turun takhta serta mengasingkan diri, Takeo memperingatkan dirinya. Aku tidak boleh terbuai pada sanjungannya. Takeo tersenyum dan berterima kasih pada Kono, lalu berkaia, "Semua ini ada di tangan Surga. Aku akan tunduk pada kehendak Yang Mulia Kaisar." "Lord Saga ingin sekali bertemu Anda. Apakah besok tidak terlalu cepat? Beliau ingin menyelesaikan beberapa masalah se-belum musim hujan mulai." "Tentu saja." Takto bisa melihat tidak ada gunanya menunda. Hujan pasti akan menahan dirinya di ibukota sampai bulan ketujuh: tiba-tiba dilihat dirinya sendiri kalah dalam pertandingan itu. Lantas apa yang harus ia lakukan? Bersembunyi di kota yang lembap dan menjemukan ini sampai dirinya bisa menyelinap pulang dan mengatur pengasingan dirinya sendiri? Atau mencabut nyawanya sendiri, meninggalkan Shigeko sendirian di tangan Saga, di bawah kekuasaannya? Apakah ia memang tengah mempertaruhlan Tiga Negara, dirinya dan putrinya, dalam sebuah pertandingan? Takeo tak menunjukkan sedikit pun kekhawatirannya, tapi justru menghabiskan sisa malam itu dengan mengagumi koleksi Kono dan membicarakan tentang lukisan dengan orang tersebut. "Sebagian di antaranya adalah milik ayahku," tutur Kono ketika salah satu pen-dampingnya membuka bungkusan sutra yang berisi benda-benda berharga. "Tentu saja sebagian besar koleksnya sudah hilang.... Tapi kita tidak perlu mengingat masa-masa yang tidak menyenangkan itu. Aku minta maaf. Aku pernah mendengar kalau Lord Otori sendiri adalah seniman yang berbakat." "Aku sama sekali tidak berbakat," sahut Takeo. "Tapi melukis memberi kenikmatan besar bagiku; meski aku tak sempat melakukannya." Kono tersenyum dan mengerutkan bibirnya dengan sengaja. Tak diragukan lagi dia pasti berpikir kalau tak lama lagi aku ada waktu luang yang banyak, renung Takeo, dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum juga pada ironinya keadaan dirinya. "Aku memberanikan diri untuk meminta Anda memberikan salah satu karya Anda. Dan Lord Saga pasti gembira kalau bisa menerima satu juga." "Kau berlebihan menyanjungku," sahut Takeo. "Aku tidak membawanya. Beberapa sketsa yang kubuat selama perjalanan sudah kukirim pada istriku." Halaman 633 dari 633 "Menyesal aku tidak bisa membujuk Anda," seru Kono dengan hangat. "Menurut pengalamanku, semakin jarang seniman memamerkan karyanya, berarti semakin besar bakatnya. Seperti harta terpendam, itu justru lebih mengesankan dan lebih ber-harga." Kemudian dia melanjutkan dengan halus, "Putri Anda tentunya merupakan harta Lord Otori yang paling berharga. Dia akan menemani Anda besok?" Kedengarannya hanya sebagian dari sebuah pertanyaan. Takeo agak memiringkan kepala. "Lord Saga amat menantikan bertemu dengan lawannya," gumam Kono. Lord Kono datang keesokan harinya bersama Okuda, ayah dan anak, serta ksatria lain dari kediaman Saga, untuk menjemput Takeo, Shigeko, dan Gemba ke kediaman jenderal itu. Sewaktu mereka turun dari tandu di taman sebuah kediaman yang besar serta megah, Kono bergumam, "Lord Saga memintaku untuk menyampaikan per-mintaan maafnya. Beliau sedang membangun kastil baru kelak akan ditunjukkannya pada Anda. Untuk sementara, beliau khawatir Anda merasa kalau kediamannya ini terlalu sederhana-tidak sebanding dengan yang biasa Anda lihat di Hagi." Takeo menaikkan alisnya dan melihat sekilas ke wajah Kono, tapi tidak dilihat adanya sindiran di sana. "Kami mendapat keuntungan hidup selama bertahun-tahun dalam kedamaian," sahut Takeo. "Kendati demikian, aku yakin tak satu pun yang kami miliki di Tiga Negara bisa dibandingkan dengan kemegahan ibukota. Kalian pasti memiliki perajin paling terampil, serta seniman yang paling berbakat." "Menurutku, orang-orang seperti itu mencari lingkungan yang tenang agar bisa menghasilkan karya seni mereka. Banyak yang pergi dari ibukota dan baru sekarang-sekarang ini mulai kembali. Lord Saga memberi banyak komisi. Beliau sangat mengagumi semua bentuk seni." Minoru juga menemani mereka dengan membawa gulungan berisi silsilah keluarga dari semua yang datang dan daftar hadiah untuk Lord Saga. Hiroshi memohon undur diri, berdalih tak ingin meninggalkan kirin tidak terjaga, meski Takeo menduga ada alasan lain: kesadaran pemuda itu akan kurangnya status dirinya, juga rasa enggan bertemu laki-laki yang mungkin akan dinikahi Shigeko. Okuda, mengenakan pakaian formal ketimbang baju zirah yang dia pakai sebelumnya, membimbing mereka berjalan menelusuri beranda yang lebar dan melewati banyak ruangan yang masing-masing dihiasi lukisan yang cemerlang, warna-warna cerah berlatar berwarna emas. Takeo tak tahan untuk tidak mengagumi ketegasan desain dan kemahiran pembuatannya. Namun dirasakannya semua lukisan itu dibuat untuk memamerkan kekuatan dari penguasa: semuanya berbicara tentang kemenangan; tujuannya adalah untuk mendominasi. Ada lukisan burung merak berjalan dengan angkuh di bawah lebatnya pepohonan pinus. Dua ekor singa mistis berjalan di sepanjang dinding; naga dan harimau saling meng-geram; elang menatap dengan berlagak penting dari tempat yang memungkinkan pandangan luas dan jelas di puncak tebing kembar. Bahkan ada juga sepasang burung houou sedang mematuk daun bambu. Di ruangan terakhir inilah Okuda meminta mereka menunggu, sementara dia pergi bersama Kono. Takeo telah menduga ini: ia pun kerap menggunakan tipu muslihat yang sama. Tak seorang pun bisa dengan mudah bertemu seorang penguasa. Takeo menenangkan diri sambil memandang lukisan burung houou. Ia yakin si seniman belum pernah melihat burung itu, namun melukisnya dari legenda. Dilayangkannya pikirannya ke biara Terayama, ke hutan suci pepohonan pawlonia di mana burung houou tengah menetas. Di benaknya ia melihat Makoto, sahabat karibnya yang mengabdikan diri pada Ajaran Houou; ia merasakan kekuatan spiritual sahabatnya itu dalam diri kedua pendampingnya yang ada di dekatnya, Gemba dan Shigeko. Mereka duduk tanpa bicara, dan dirasakannya energi dalam ruangan itu semakin menguat, memenuhi dirinya dengan rasa percaya diri Halaman 634 dari 634 yang mantap. Dipasang telinganya seperti yang pernah dilakukanya di kastil Hagi ketika dipaksa menunggu dengan cara yang sama; di sana ia dengar pengkhianatan para paman Shigeru. Kini ia dengar Kono berbicara pelan pada seorang laki-laki yang diduganya adalah Saga, tapi mereka hanya membicarakan hal-hal yang biasa-biasa saja. Kono sudah diperingatkan tentang pen-dengaranku, pikirnya. Apa lagi yang telah diungkap Zenko kepadanya? Takeo mengenang masa lalunya yang hanya diketahui oleh Tribe; seberapa banyak yang Zenko tahu? Beberapa saat kemudian Okuda datang bersama seorang laki-laki yang diperkenal-kannya sebagai kepala pelayan dan pengurus administrasi Lord Saga. Orang itulah yang akan mendampingi mereka ke ruang pertemuan, menerima daftar hadiah yang disiapkan Minoru serta mengawasi para jurutulis yang mencatat acara yang akan ber-langsung. Dia membungkuk sampai ke lantai di hadapan Takeo dan berbicara dengan sopan santun yang luar biasa. Jalan lebar mengkilap membawa mereka melewati taman kecil yang indah menuju ke bangunan lainnya yang jauh lebih besar dan lebih indah. Cuaca hari itu terasa semakin hangat, dan gemericik air di kolam dan tangki air memberi perasaan dingin. Takeo bisa mendengar burung-burung di sangkar berkicau di suatu tempat di kediaman ini, dan menduga semua itu peliharaan Lady Saga; lalu teringat kehilangan tragis yang dialami Saga. Sesaat ia merasakan ketakutan akan istrinya yang begitu jauh: bagaimana ia bisa bertahan bila istrinya tiada? Bisakah ia hidup tanpa istrinya? Menikah lagi demi alasan negara? Teringat lagi nasihat Gemba, disingkir-kannya pikiran itu jauh-jauh, memusatkan perhatiannya pada laki-laki yang akan ditemuinya. Kepala pelayan itu berlutut, menggeser layar kasa agar terbuka dan menyembah hingga kepalanya menyentuh lantai. Takeo melangkah masuk dan membungkuk. Gemba mengikutinya, tapi Shigeko menunggu di ambang pintu. Hanya ketika Takeo dan Gemba diminta duduk tegak, barulah gadis itu masuk dengan gerakan anggun dan menyembah di sebelah ayahnya. Saga Hideki duduk di ujung ruangan. Ruang kecil di sebelahnya terdapat lukisan dengan gaya daerah daratan utama. Shin. Mungkin itu lukisan bernama Genta Malam Hari dari Biara di Kejauhan yang termahsyur, yang pernah Takeo dengar tapi belum pernah dilihatnya. Dibandingkan dengan ruangan lainnya, dekorasi ruangan ini yang paling sederhana, seolah tak ada yang boleh menyaingi kuatnya kehadiran orang itu. Ternyata efeknya luar biasa, pikir Takeo. Lukisan yang bersifat pamer hanya menjadi pembungkus berhias: di sini hanya pedang yang dipamerkan, tak perlu hiasan, hanya baja tajam nan mematikan itu. Semula Takeo mengira Saga adalah orang yang brutal serta gegabah; kini ia mengubah pendapatnya. Mungkin kejam, tapi tidak gegabah -dia laki-laki yang mengendalikan pikiran sama ketatnya dengan mengendalian tubuhnya. Tak diragukan lagi kalau ia meng-hadapi lawan yang menakjubkan. Disesalinya kekurangan dirinya, kurang terampil memanah, dan kemudian mendengar setiap senandung pelan dari sisi kirinya, tempat Gemba duduk dengan sikap rileks. Dan tiba-tiba dilihatnya kalau Saga takkan bisa di-kalahkan dengan kekuatan, tapi justru dengan kelembutan. Shigeko tetap membungkuk dalam-dalam sementara kedua orang itu saling menatap. Usia Saga pasti beberapa tahun lebih tua dari Takeo, mendekati empat puluh tahun, dengan tubuh gemuk laki-laki separuh baya. Namun orang itu memiliki keluwesan yang tidak sesuai dengan usianya: duduk dengan nyaman, gerakannya pun luwes. Memiliki bahu bidang dan berotot ciri khas pemanah, dan tampak lebih bidang karena sayap lebar dari jubah resminya. Suaranya kasar, dengan huruf konsonan diucapkan cepat, huruf hidup diperpendek: ini pertama kalinya Takeo mendengar aksen daerah timur laut, Halaman 635 dari 635 tempat kelahiran Saga. Wajahnya lebar serta bergaris tegas, bentuk matanya panjang dan agak seperti bertudung, sementara yang me-ngejutkan bentuk telinganya begitu halus, hampir tanpa bagian bulat menonjol di bagian bawahnya, begitu dekat dengan kepalanya. Janggut dan kumisnya agak panjang, keduanya agak beruban meski rambutnya tidak beruban. Pandangan mata Saga pun tak kalahnya mengamati Takeo, berkedip memerhatikan tubuhnya, berhenti sebentar saat melihat tangan kanan bersarung tangan hitam. Kemudian bangsawan itu mencondongkan badan lalu berkata dengan kasar namun ramah, "Bagaimana pendapat Anda?" "Lord Saga?" Saga memberi isyarat ke arah ruangan kecil di sampingnya. "Tentu saja lukisan itu." "Luar biasa. Karya Yu-Chien, benar?" "Ha! Kono menyarankan aku meng-gantungnya. Dia bilang Anda pasti mengenalnya, dan bahwa lukisan ini lebih menarik perhatian Anda ketimbang benda-benda modern milikku. Bagaimana dengan yang satu itu?" Saga berdiri lalu berjalan ke dinding sebelah timur. Kemari dan lihatlah." Takeo bangkit lalu berdiri di sampingnya. Tinggi mereka hampir sama, walau tubuh Saga jauh lebih besar. Lukisan itu menggambarkan pemandangan taman yang dipenuhi bambu, plum dan pinus. Juga dibuat dengan lima hitam, dilukis dengan tenang serta menggugah. "Ini juga sangat bagus," sahut Takeo dengan kekaguman yang tulus. "Suatu maha karya." "Tiga kawan baik," ujar Saga, "luwes, wangi serta kuat. Lady Maruyama, mari bergabung bersama kami." Shigeko berdiri lalu berjalan perlahan ke sisi ayahnya. "Ketiganya mampu menahan kerasnya musim dingin," ujar Shigeko dengan suara pelan. "Memang," sahut Saga, kembali ke tempat duduknya. "Aku melihat kombinasi itu di sini." Dia memberi isyarat agar mereka men-dekat. "Lady Maruyama adalah plum, sedang Lord Miyoshi adalah pinusnya." Gemba membungkuk hormat atas pujian ini. "Kurasa aku bagian yang luwes," sahut Takeo seraya tersenyum. "Dari riwayat Anda, kurasa juga begitu. Tapi bambu sangat sulit dibasmi bila tumbuh di tempat yang salah." "Bambu akan selalu tumbuh," ujar Takeo setuju. "Lebih baik dibiarkan ditempatnya, dan mengambil manfaat dari kegunaannya yang banyak serta bervariasi." "Ha!" Saga mengeluarkan tawa kemenangan. Matanya menatap ke arah Shigeko dengan ekspresi ingin tahu, per-hitungan sekaligus hasrat. Kelihatannya dia ingin bicara langsung pada gadis itu, namun kemudian membatalkannya dan kembali berbicara pada Takeo. "Apakah filsafat ini menjelaskan alasan Anda tidak menghadapi Arai?" Takeo menjawab, "Bahkan tanaman beracun pun bisa diambil manfaatnya, dalam ilmu ketabiban, misalnya." "Kudengar Anda tertarik dengan per-tanian." "Ayahku, Lord Shigeru, yang mengajariku di bidang ini sebelum kematiannya. Bila petani bahagia, maka negara akan menjadi kaya dan stabil." "Baiklah, aku tidak punya banyak waktu untuk bertani beberapa tahun ini. Aku terlalu Halaman 636 dari 636 disibukkan dengan peperangan. Tapi akibat-nya kami kekurangan persediaan makanan di musim dingin ini. Okuda mengatakan bahwa Tiga Negara menghasilkan beras lebih banyak dari yang bisa dikonsumsi." "Kini banyak dari daerah di negara kami yang mempraktikkan sistem panen ganda," tutur Takeo. "Memang benar, kami memiliki banyak persediaan beras, begitu pula kacang kedelai, gandum dan wijen. Kami diberkahi panen yang baik selama bertahun-tahun, serta terhindar dari kekeringan dan kelaparan." "Anda telah menghasilkan permata. Tak heran begitu banyak orang yang mengincar-nya dengan tamak." Takeo agak memiringkan kepala. "Aku pemimpin sah Klan Otori, dan menguasai Tiga Negara secara sah menurut hukum. Kekuasaanku adil dan direstui Surga. Aku tak mengatakan semua ini untuk membual, tapi untuk mengatakan bahwa sementara aku mencari dukungan Anda, dan keberpihakan Kaisar-memang, aku bersiap tunduk pada Anda sebagai jenderal Kaisar-harus dengan persyaratan yang melindungi negara dan pewarisku." "Kita akan bicarakan itu nanti. Sekarang mari makan dan minum." Mengimbangi kesederhanaan ruangan itu, makanannya pun lezat: hidangan musiman ibukota yang tertata rapi, masing-masing menawarkan pengalaman luar biasa bagi mata yang memandang sena lidah yang mengecap-nya. Sake juga dihidangkan, tapi Takeo hanya minum sedikit, mengingat perundingan bisa berlangsung hingga malam. Okuda dan Kono bergabung dengan mereka untuk santap siang, dan perbincangan berlangsung dengan suasana riang. Mereka hanya membicarakan lukisan, arsitektur, keistimewaan Tiga Negara dibandingkan yang ada di ibukota, yaitu puisi. Di pengujung santap siang, Okuda, yang sudah lebih mabuk ketimbang yang lainnya, meng-ungkapkan lagi kekaguman bersemangatnya pada kirin. "Aku ingin sekali melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," ujar Saga, dan kelihatan tanpa berpikir panjang berdiri. "Mari kita ke sana sekarang. Siang ini cuaca cerah. Kita akan lihat lapangan tempat pertandingan kita." Digandengnya Takeo selagi berjalan kembali ke pintu masuk utama dan berkata dengan sikap penuh rahasia, "Dan aku harus menemui juara-juara Anda. Lord Miyoshi pasti salah satunya, kurasa, dan beberapa ksatriamu yang lain." "Yang kedua adalah Sugita Hiroshi. Sedangkan yang ketiga Anda sudah bertemu. Putriku, Lady Maruyama." Cengkeraman tangan Saga mengencang ketika berhenti; diputarnya tubuh Takeo agar bisa menatap langsung wajahnya. "Memang itu yang dilaporkan Lord Kono, tapi aku mengira itu hanya lelucon." Orang itu menatap Takeo dengan tajam. Lalu tertawa dengan kasar, dan memelankan suaranya. "Selama ini Anda memang berniat untuk tunduk. Penandingan ini hanya formalitas bagi Anda? Aku mengerti alasannya: menyelamatkan mukamu." "Aku tidak ingin menyesatkan anggapan Anda," sahut Takeo. "Justru ini jauh dari formalitas. Aku menganggapnya sangat serius, begitu pula dengan putriku. Taruhan-nya tidak bisa lebih tinggi lagi." Tapi bahkan sewaktu bicara, keraguan berkecamuk dalam dirinya. Ke mana kepercayaannya pada Guru Besar Ajaran Houou membimbing dirinya? Takut kalau Saga akan menganggap peng gantian dirinya dengan Shigeko sebagai penghinaan dan penolakan untuk berunding. Kendati demikian, setelah beberapa saat diam karena terkejut, bangsawan itu tertawa lagi. "Akan menjadi pertunjukan yang indah. Lady Maruyama yang cantik melawan bangsawan paling berkuasa di Delapan Pulau." Saga tenawa kecil sewaktu melepaskan tangan Takeo dan berjalan menyusuri beranda, berseru dengan suara lantang, "Bawakan busur dan anak panahku, Okuda. Aku ingin memperlihatkannya pada lawanku." Mereka menunggu di bawah tepi atap yang melengkung sementara Okuda pergi ke tempat penyimpanan senjata. Orang itu kembali dengan membawa busur yang besamya lebih dari serentangan lengan dan dilapisi pernis merah dan hitam. Seorang pengawal mengikuti dengan membawa tabung panah berisi serangkaian anak panah. Halaman 637 dari 637 Anak panahnya tidak kalah mengesankan, diikat dengan tali berlapis pernis emas; Saga mengambil satu anak panah dari dalam tabung lalu mengacungkannya untuk diperlihatkan kepada mereka, anak panah itu terbuat dari kayu pawlonia dengan ujung tumpul, berbulu putih. "Bulu burung bangau," ujar Saga, sambil mengelus bulu-bulu itu dengan lembut lalu melirik ke arah Takeo, yang sadar sepenuhnya dengan lambang bangau Otori di bagian belakang jubahnya. "Kuharap Lord Otori tidak tersinggung. Menurutku, bulu bangau menghasilkan bidikan yang terbaik." Diserahkannya kembali anak panah itu pada pengawalnya lalu mengambil busur dari tangan Okuda, mengulur dan meregangkan dengan satu gerakan yang seperti tanpa tenaga. "Kurasa busur ini hampir sama tingginya dengan Lady Maruyama," ujarnya. "Pemahkah Anda turut dalam perburuan anjing?" "Tidak, kami tidak berburu anjing di wilayah Barat," sahut Shigeko. "Itu olahraga yang hebat. Anjing-anjing sangat bersemangat mengikutinya. Tentu saja kami tidak membidik untuk membunuhnya. Kau harus menyatakan bagian yang hendak kau bidik. Aku ingin memburu singa atau harimau. Itu akan menjadi buruan yang lebih layak!" "Bicara tentang harimau," lanjutnya dengan karakternya yang sigap dan cepat, seraya mengembalikan busur dan mengena-kan sandalnya di anak tangga. "Kita harus ingat untuk membicarakan tentang per-dagangan. Anda mengirim kapal ke Shin dan Tenjiku, bukan begitu?" Takeo mengangguk patuh. "Dan Anda telah kedatangan orang-orang barbar dari selatan? Mereka amat menarik bagi kami." "Kami membawa hadiah-hadiah dari Tenjiku, Silla, Shin serta Kepulauan Selatan untuk Lord Saga dan Yang Mulia Kaisar," sahut Takeo. "Hebat, hebat!" Para pemanggul tandu beristirahat di bawah tenda di luar gerbang. Mereka ber-gegas berdiri lalu membungkuk hormat sementara majikan mereka menaiki tandu, tanpa kenyamanan, menuju penginapan yang dijadikan tempat tinggal Otori. Panji-panji bergambar bangau berkibar di atas gerbang dan di sepanjang jalan. Bangunan utamanya terletak di sebelah barat daerah berundak: sebelah timur dibangun istal, tempat kuda-kuda Maruyama menghentak kaki serta mengibaskan kepala. Di depan istal ini, di kandang beratap tiang bambu di satu sisi dengan atap ilalang, berdirilah kirin, Di sekeliling gerbang, telah berkumpul sekerumunan orang yang berusaha melihat kirin: anak-anak memanjat pohon, dan seorang pemuda yang penuh inisiatif meng-gunakan tangga. Lord Saga satu-satunya orang di kelompok itu yang belum pernah melihat makhluk menakjubkan itu. Semua orang menatap dengan pandangan gembira. Mereka tidak kecewa. Bahkan Saga, dengan pengendalian diri yang nyaris sempuma, tak kuasa menahan tatapan penuh takjub di wajahnya. "Hewan ini jauh lebih tinggi dari yang kukira," serunya. "Pasti sangat kuat dan cepat." "Hewan ini justru sangat lembut," sahut Shigeko seraya mendekati kirin. Saat itu Hiroshi datang dari istal menuntun Tenba yang tengah melompat dan berjingkrak di ujung tali kekangnya. "Lady Maruyama," seru Hiroshi. "Aku tak menduga Anda kembali begitu cepat." Sesaat keadaan sunyi senyap. Takeo perhatikan saat Hiroshi melihat sekilas ke arah Saga lalu wajahnya pucat. Kemudian pemuda itu membungkuk hormat sebisa mungkin sambil mengendalikan kuda, dan berkata dengan canggung, "Tadi aku menunggang Tenba." Halaman 638 dari 638 Kirin mulai melangkah dengan gembira ketika melihat tiga makhluk yang paling disayanginya. "Aku akan mengembalikan Tenba bersama kirin," ujar Hiroshi. "Kirin merindukannya. Setelah berpisah kirin justru kelihatan semakin terikat dengannya!" Saga bicara seolah Hiroshi adalah pengurus kuda. "Keluarkan kirin itu. Aku ingin melihatnya lebih dekat." "Tentu, tuan," sahut Hoiroshi dengan membungkuk hormat lagi, rona merah kembali merayapi leher dan pipinya. "Kuda ini sangat tampan," komentar Saga sewaktu Hiroshi mengikat Tenba pada tali yang diregangkan dari masing-masing sisi sudut dalam kandang. "Bersemangat. Dan lumayan tinggi." "Kami membawa banyak kuda dari Maruyama sebagai hadiah," ujar Takeo padanya. "Kuda-kuda itu dibiakkan serta dibesarkan Lady Maruyama dan pengawal seniornya, Lord Sugita Hiroshi." Sewaktu Hiroshi menuntun kirin keluar dengan tali sutra merah di tangan, Takeo menam-bahkan, "Ini Sugita." Saga mengangguk ke arah Hiroshi dengan sikap asal-asalan: perhatiannya tersita habis pada kirin. Tangannya menggapai dan mengelus kulit bercorak coklat muda ke-kuningan itu. "Lebih halus dari kulit perempuan!" serunya. "Bayangkan kalau kulit ini dihamparkan di lantai atau di tempat tidur." Seolah sekonyong-konyong tersadar dengan kesunyian yang merasa sakit hati atas kata-katanya terse-but, dia meminta maaf, "Hanya setelah hewan ini mati karena usia tua, sewajarnya." Kirin menjulurkan lehernya yang panjang ke arah Shigeko dan dengan lembut mengusap pipi gadis itu dengan hidung. "Kulihat, kau adalah kesayangannya," ujar Saga, memalingkan tatapan penuh kekaguman Shigeko. "Kuucapkan selamat pada Anda, Lord Otori. Kaisar akan ter-pesona dengan hadiah Anda. Belum pernah ada makhluk seperti ini di ibukota." Kata-kata tadi diucapkan dengan murah hati, tapi Takeo menduga ada nada iri dan dengki di dalamnya. Setelah menginspeksi kuda-kuda lebih jauh lagi, serta memper sembahkan dua kuda betina dan tiga kuda jantan hitam kepada Lord Saga, mereka kembali ke kediaman Saga. Bukan ke ruangan sederhana sebelumnya, tapi ke aula pertemuan yang didekorasi dengan megah, tempat lukisan seekor naga terbang melintasi dinding dan seekor harimau berkeliaran mencari mangsa. Di sini Saga tidak duduk di lantai, melainkan di kursi ukiran, mirip Kaisar. Lebih banyak pengawalnya yang menghadiri pertemuan tersebut; Takeo menyadari keingintahuan mereka pada dirinya dan terutama pada Shigeko. Tidak biasa seorang perempuan duduk di tengah-tengah laki-laki dalam acara seperti ini dan turut berbicara tentang kebijakan. Takeo merasa kalau mereka cenderung tersinggung dengan pelanggaran adat semacam ini; namun silsilah Klan Maruyama lebih tua ketimbang Klan Saga dan klan wilayah Timur lainnya-sama tuanya dengan keluarga kekaisaran yang merupakan keturunan Dewi Matahari. Pertama-tama mereka membicarakan tentang upacara dalam acara perburuan anjing, hari-hari jamuan dan ritual, arak-arakan Kaisar; peraturan penandingan. Dua lingkaran tali dipasang di atas tanah, satu tali di dalam tali yang satunya lagi. Di setiap babak enam anjing akan dilepas, satu demi satu. Si pemanah berderap di sekeliling lingkaran di tengah: nilai diberikan pada bagian tubuh anjing yang dibidik. Permainan itu merupakan permainan keterampilan, bukan pembantaian: anjing yang terluka parah atau mati dianggap tidak sah. Anjing dipilih berbulu putih agar jika berdarah bisa segera terlihat. Shigeko menanyakan satu atau dua penanyaan teknis: lebar arena, apakah ada ketentuan ukuran busur atau anak panah. Saga menjawab dengan cepat, dan dibumbui dengan kelakar sehingga membuat para pengawalnya tersenyum. "Dan sekarang kita bicara tentang hasil-nya," ujarnya sopan. "Jika Lady Maruyama menang, apa syarat Anda, Lord Otori?" "Kaisar mengakui aku dan istriku sebagai penguasa sah Tiga Negara; Anda mendukung kami dan pewaris kami; Anda memerintah-kan Arai Zenko tunduk pada kami. Sebagai imbalannya, kami akan Halaman 639 dari 639 bersumpah setia pada Anda dan Kaisar, demi kesatuan dan ke-damaian Delapan Pulau; kami akan menyediakan makanan, tenaga manusia sera kuda untuk kampanye militer Anda berikutnya, serta membuka pelabuhan kami bagi kalian untuk perdagangan. Kedamaian dan kesejahteraan Tiga Negara bergantung pada sistem pemerintahan kami, dan ini tidak boleh diubah." "Terlepas dari hal terakhir ini yang ingin kubicarakan dengan Anda lebih jauh lagi, semuanya aku terima dengan baik," sahut Saga, tersenyum dengan penuh percaya diri. Dia tidak merasa terganggu dengan satu pun syaratku karena memang dia tidak merasa dirugikan, renung Takeo. "Dan apa syarat Lord Saga?" tanyanya. "Bahwa Anda segera mundur dari kehidupan publik, dan menyerahkan Tiga Negara pada Arai Zenko yang telah ber-sumpah setia padaku dan juga pewaris sah ayahnya Arai Daiichi; bahwa Anda boleh mencabut nyawa Anda sendiri atau mengasingkan diri ke Pulau Sado; bahwa putra Anda harus dikirim padaku sebagai tawanan; dan bahwa putri Anda harus menikah denganku." Kata-kata maupun nada suaranya seperti menghina, dan kemarahan Takeo mulai meluap. Dilihatnya ekspresi semua orang, kepuasan dan kesenangan yang mereka rasakan atas penghinaan terhadap dirinya. Mengapa aku ke sini? Lebih baik mati dalam perang ketimbang tunduk pada ial ini. Takeo duduk tanpa bergerak, sadar kalau tidak ada pilihan lain: setuju dengan usulan Saga atau menolaknya, lari dari ibukota bak penjahat dan bersiap, jika ia dan teman-temannya hidup berhasil sampai di perbatasan, untuk berperang. "Menang atau kalah," Saga melanjutkan bicaranya, "Kurasa Lady Maruyama pasti bisa menjadi istri yang baik bagiku, dan aku minta Anda pertimbangkan tawaranku." "Aku turut berduka atas meninggalnya istri Anda," sahut Takeo. "Mendiang istriku orang yang baik: dia memberiku empat anak yang sehat serta merawat anakku yang lain; kurasa anakku jumlahnya sepuluh atau dua belas. Kurasa pernikahan antara keluarga kita bisa sangat menguntungkan kedua belah pihak." Semua rasa sakit hati yang pernah ia rasakan ketika Kaede diculik kembali menyapu dirinya. Sungguh keterlaluan kalau ia mesti menyerahkan putri tercintanya pada laki-laki kejam yang sudah tua ini, laki-laki yang sudah memiliki beberapa selir, yang takkan memperlakukan putrinya sebagai penguasa atas haknya sendiri, yang hanya ingin memiliki putrinya belaka. Namun orang ini yang paling berkuasa di seluruh Delapan Pulau; kehormatan dan manfaat politis dari pernikahan ini besar sekali. Tawaran itu telah diucapkan di depan orang banyak: bila ia tolak secara langsung itu berarti menghina. Shigeko duduk dengan tatapan tertunduk, tidak menunjukkan reaksinya pada pem-bicaraan tersebut. Takeo berkata, "Kehormatan ini terlalu besar bagi kami. Putriku masih sangat muda, tapi aku berterima kasih pada Anda dari lubuk hatiku. Aku ingin bicarakan ini dengan istriku-Lord Saga mungkin belum tahu kalau istriku turut menjalankan pemerintahan Tiga Negara bersamaku- aku yakin, seperti halnya aku, istriku akan sangat gembira dengan penyatuan antara kita." "Semula aku ingin membiarkan istrimu hidup, karena baru saja melahirkan, tapi bila peran istrimu sama besarnya dengan dirimu dalam pemerintahan, maka dia juga harus diperlakukan sama seperti dirimu: kematian atau pengasingan," sahut Saga dengan kesal. "Andaikata Lady Maruyama menang, dia boleh pulang untuk membicarakan hal ini dengan ibunya." Untuk pertama kalinya Shigeko angkat bicara, "Aku juga memiliki syarat, jika aku diperbolehkan bicara." Halaman 640 dari 640 Saga melihat sekilas ke arah anak buahnya lalu tersenyum dengan sabar. "Kami men-dengarnya, nona." "Aku minta Lord Saga untuk bersumpah mempertahankan garis pewarisan keturunan perempuan di Maruyama. Dan sebagai pimpinan klan, aku bisa membuat pilihanku sendiri dalam pernikahan, setelah ber-konsultasi dengan para pengawal seniorku, juga dengan ayah dan ibuku sebagai atasanku. Aku sangatlah berterima kasih pada Lord Saga atas kemurahan hatinya serta kehormatan yang dianugerahkan pada diriku, tapi aku tak bisa menerimanya tanpa persetujuan dari klanku." Shigeko bicara dengan tegas, sekaligus dengan pesona yang kuat, hingga sulit bagi siapa pun untuk merasa tersinggung. Saga membungkuk hormat. "Kulihat kalau aku punya lawan se banding," serunya, dan riak tawa melanda anak buahnya.* Bulan baru dari bulan keenam bergelayut di langit sebelah timur di balik pagoda enam lapis selagi mereka kembali ke kediaman. Setelah mandi, Takeo meminta dipanggilkan Hiroshi lalu menceritakan tentang pem-bicaraan hari itu kepadanya, tidak keting-galan satu pun, dan menutupnya dengan usulan pernikahan. Hiroshi hanya diam mendengarkan, hanya mengatakan, 'Tentu saja ini tak terduga, dan suatu kehormatan besar." "Namun laki-laki seperti itu..." ujar Takeo pelan. "Shigeko akan mengikuti saranmu, juga saran aku dan istriku. Kita harus mem pertimbangkan masa depannya sama pentingnya dengan yang terbaik bagi Tiga Negara. Kurasa hanya ada sedikit peluang untuk memutuskan secepatnya." Takeo menghela napas. "Begitu banyak yang dipertaruhkan pada pertandingan ini-dan semua orang di pihak Saga sudah memutus kan hasilnya!" "Matsuda Shingen yang menyarankan Anda untuk kemari, kan? Anda harus memercayai penilaiannya." "Ya harus datang, dan aku percaya pada-nya. Tapi akankah Saga mematuhi kesepakatannya? Dia orang yang tidak mau kalah, dan begitu yakin akan menang." "Seluruh kota terpukau dengan kegembiraan pada Anda, Lady Shigeko, juga kirin. Lukisan-lukisan bergambar kirin sudah dijual, dan gambarnya ditenun menjadi kain dan bordiran di jubah. Sewaktu Lady Shigeko memenangkan lomba ini, dan memang dia akan memenangkannya, Anda akan didukung-dan dilindungi-oleh rakyat. Mereka bahkan telah menggubah nyanyian tentang hal itu." "Cinta rakyat adalah kisah tentang kehilangan dan tragedi," sahut Takeo "Saat aku di pengasingan di Pulau Sado, mereka akan mendengar kisah melankolis tentang diriku dan menangis, dan menikmatinya!" Kemudian terdengar langkah ringan di luar. Ketika pintu digeser terbuka, Shigeko masuk diikuti Gemba yang membawa kotak berpenis hitam dengan motif houou berlapis emas. Saat melihat putrinya saling menatap dengan Hiroshi dalam tatapan yang penuh kasih sayang, membuat hati Takeo pedih dengan penyesalan dan rasa iba. Mereka sudah seperti pasangan suami istri, pikirnya, terikat dengan ikatan yang kuat seperti itu. Takeo berharap dapat memberikan putrinya pada pemuda yang sangat dihormatinya ini, yang setia sejak masih kecil, pemuda yang pandai dan Halaman 641 dari 641 pemberani, dan sangat mencintai putrinya. Namun semua ini tidak sebanding dengan status dan kekuasaan yang dimiliki Saga Hideki. Gemba menyela renungannya. "Takeo, kami mengira kau ingin melihat senjata-senjata Lady Shigeko." Ditaruhnya kotak itu di lama: dan Shigeko berlutut membukanya. Takeo berkata dengan gelisah, "Kotaknya kecil sekali-pasti tidak bisa memuat busur dan anak panah." "Baiklah, memang ukurannya kecil," aku Gemba. "Tapi Shigeko tidak terlalu tinggi: dia harus memiliki sesuatu yang bisa dipegang." Shigeko mengeluarkan busur miniatur yang indah, tabung anak panah, dan kemudian anak panah, berujung tumpul serta dengan bulu putih dan emas. "Ini lelucon, kan?" ujar Takeo, jantungnya berdebar ketakutan. "Tidak, Ayah. Lihat, anak panahnya dibului dengan bulu burung houou." "Begitu banyak burung houou di musim semi ini hingga kita bisa mengumpulkan cukup bulu," jelas Gemba. "Mereka mem-biarkan bulu-bulunya jatuh seolah mereka menawarkannya." "Mainan ini hampir tidak bisa menembak burung gereja, apalagi anjing," sahut Takeo. "Ayah tak ingin kami menyakiti anjingnya, bukan begitu Ayah?" kata Shigeko seraya tersenyum. "Kami tahu betapa sayangnya Ayah pada anjing." "Tapi ini perburuan anjing!" serunya. "Tujuannya yaitu memanah anjing sebanyak mungkin, lebih banyak dari Saga!" "Anjing-anjing itu pasti bisa dipanah," ujar Gemba. "Tapi dengan anak panah ini tidak berbahaya dan tidak menyakiti anjing-anjing itu." Teringat cahaya api yang Gemba lemparkan untuk membakar habis kekesalan waktu itu, ia mencoba menekan kekesalan-nya sekarang. "Tipuan sulap?" "Lebih dari itu," sahut Gemba. "Kami akan gunakan kekuatan Ajaran Houou: keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Selama keseimbangannya bisa dipertahankan, maka kekuatannya tak terkalahkan. Kekuatan ini yang menyatukan Tiga Negara: kau dan istrimu merupakan simbol hidup kekuatan itu; putrimu adalah hasilnya, buktinya." Gemba tersenyum yakin, seolah me-mahami keberatan Takeo yang tak terucap. "Kesejahteraan dan kebahagiaan yang kau banggakan itu takkan terwujud tanpa kekuatan itu. Lord Saga sama sekali tidak mengenal kekuatan unsur perempuan, maka dengan begitu dia akan dikalahkan." "Ngomong-ngomong," kata Gemba sewaktu mereka saling mengucapkan selamat malam. "Jangan lupa menawarkan Jato kepada Kaisar besok." Melihat tatapan Takeo yang terkejut, dia lalu meneruskan, "Hal itu sudah diminta dalam pesan pertama Kono, kan?" "Ya, memang, tapi begitu juga dengan pengasingan diriku. Bagaimana kalau Kaisar ingin menyimpannya?" "Jato senantiasa menemukan pemiliknya yang berhak, bukan begitu? Lagipula, kau tidak menggunakannya lagi. Sudah waktunya diserahkan." Memang benar Takeo tak lagi meng-gunakan pedang itu dalam pertempuran sejak kehilangan jarijarinya, tapi nyaris tak satu hari pun berlalu tanpa dirinya menyandang pedang itu. Ia juga cukup mahir meng-gunakan tangan kiri untuk menopang tangan kanannya, setidaknya dalam latihan per-tarungan. Jato memiliki arti paling besar bagi dirinya; pedang itu pemberian Shigeru dan merupakan simbol nyata dari pemerintahan-nya yang sah. Pikiran untuk melepaskannya amat mengganggunya hingga ia merasa perlu menghabiskan waktu beberapa lama untuk bermeditasi, setelah berganti dengan pakaian tidur. Halaman 642 dari 642 Disuruhnya Minoru dan pelayannya pergi, lalu ia duduk sendirian dalam ruangan yang gelap, mendengarkan suara-suara malam dan melambatkan napas dan pikirannya. Nyanyian dan genderang bergema dari tepi sungai, tempat penduduk kota menari-nari. Katak berkuak di kolam taman, dan jangkrik berderik di sela-sela semak. Perlahan-lahan disadarinya kearifan dari saran Gemba: ia akan mengembalikan Jato kepada Kaisar, tempat pedang itu berasal. Musik dan genderang terus terdengar hingga larut malam, dan keesokan harinya jalanan dipenuhi orang dewasa dan anak-anak yang menari-nari. Mendengarkan suara mereka saat ia bersiap menemui Kaisar, Takeo bukan hanya mendengar nyanyian tentang kirin tapi juga tentang burung houou: Burung houou bersarang di Tiga Negara; Lord Otori telah muncul di ibukota. Kirin adalah hadiah bagi Kaisar; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami Selamat datang Lord Otori! "Semalam aku keluar untuk melihat suasana kota," ujar Hiroshi. "Aku men-ceritakan pada satu atau dua orang lentang bulu burung houou." "Ternyata sangat efektif!" sahut Takeo, menjulurkan tangan untuk mengambil jubah sutra tebalnya. "Rakyat menganggap kunjungan Anda sebagai pertanda datangnya kedamaian." Perasaan tenang yang telah dicapainya semalam kian dalam. Diingatnya semua pelatihannya, dari Shigeru dan Matsuda juga dari Tribe. Takeo menjadi terasing dan tanpa ekspresi; semua kegelisahan telah sirna dari dirinya. Para pendampingnya pun tampak dirasuki kepercayaan diri yang sama. Takeo dibawa dengan tandu berhias yang indah. Shigeko dan Hiroshi menunggang kuda bersurai abu-abu pucat, Ashige dan Keri, masing-masing di kanan dan kiri kirin, keduanya memegangi tali sutra merah tua yang terikat di kalung berwarna emas berbentuk daun berlapiskan kulit. Kirin berjalan dengan anggun tanpa terganggu, memalingkan lehernya untuk melihat kerumunan yang tengah mengagumi dirinya. Teriakan dan seruan tidak mem-pengaruhi ketenangan dirinya maupun pen-dampingnya. Kaisar telah melakukan perjalanan singkat dari Istana Kekaisaran menuju Biara Agung dengan kereta megah berpernis yang ditarik sapi jantan hitam. Ada banyak lagi kereta yang membawa bangsawan laki-laki dan perempuan. Bangunan biara berwarna merah cerah, baru dipugar dan dicat ulang. Di depan bagian dalam gerbang, terdapat satu arena yang luas, lingkaran-lingkaran yang memiliki titik pusat telah diiandai dengan warna-warna kontras, tempat perlombaan akan diadakan. Para pemanggul tandu berderap melintasi lingkaran ini, diikuti rombongan Takeo. Para penjaga dengan ramah menghadang kerumunan tapi mem-biarkan gerbang sebelah luar tetap terbuka. Pohon pinus berderet di bagian sampingnya, dan di bawahnya gerai kayu dan tenda serta anjungan sutra didirikan bagi para penonton, dan ratusan bendera dan umbul-umbul berkibar ditiup angin. Banyak orang, ksatria dan bangsawan, sudah duduk di sini meski perburuan anjing baru dimulai besok, memanfaatkan tempat menonton yang sangat bagus ini untuk melihat kirin. Para perempuan herambut hitam panjang, sedangkan laki-laki mengenakan topi resmi kecil, membawa bantal sutra dan payung pelindung sinar matahari, makanan dalam kotak-kotak berpernis. Di gerbang berikut-nya tandu diturunkan dan Takeo melangkah keluar. Shigeko dan Hiroshi turun dari kuda; Hiroshi mengambil tali kekang dan Takeo berjalan dengan putrinya serta kirin menuju bangunan utama biara. Dinding putih dan balok merah ber-kilauan diterpa sinar matahari siang. Saga Hideki dan Lord Kono telah menanti dengan pelayan di atas anak tangga. Semua pelayan itu mengenakan jubah resmi yang sangat mewah, lubah Saga berhiaskan kura-kura dan burung jenjang, Halaman 643 dari 643 Sedangkan jubah Kono berhiaskan bunga peoni dan burung merak. Semuanya saling bertukar hormat dan sopan santun, lalu Lord Saga membimbing Takeo ke dalam, menuju aula remang-remang yang disinari ratusan lentera. Di bagian atas ruangan itu terdapat mimbar berundak, di belakang tirai halus dari bambu yang melindunginya dari mata fana dunia, duduklah sang Kaisar, bagian dari dewa-dewa. Takeo menyembah, mencium aroma asap minyak, keringat Saga tertutup oleh aroma dupa wangi, dan aroma wewangian pelayan Kaisar, Menteri Kanan dan Menteri Kiri duduk di anak tangga di bawah penguasa mereka. Ini sama seperti yang ia harapkan, diterima Kaisar, anggota pertama Klan Otori yang dihormati sejak Takeyoshi yang legendaris. Saga mengumumkan dengan suara yang jelas namun sopan, "Lord Otori datang dari Tiga Negara untuk mempersembahkan hadiah yang indah bagi Paduka Yang Mulia, serta meyakinkan Paduka Yang Mulia akan kesetiaannya." Kata-kata ini diulang salah satu Menteri yang duduk di anak tangga mimbar tertinggi dengan suara bernada tinggi dengan banyak tambahan bahasa yang halus serta sopan santun kuno. Ketika dia selesai bicara, semua orang membungkuk hormat lagi, dan sesaat kesunyian melanda. Takeo merasa diamati Kaisar dengan seksama dari sela-sela celah tirai bambu. Kemudian dari balik tirai sang Kaisar bicara, dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisikan. "Selamat datang, Lord Otori. Kami sangat senang menerima kedatanganmu. Kami tahu ikatan lama yang ada di antara keluarga kita." Takeo mendengar semua ini diucapkan ulang oleh sang Menteri, dan ia bisa meng-gerakkan sedikit posisinya untuk mengamati reaksi Saga. Ia seperti mendengar tarikan napas pelan dari laki-laki di sebelahnya. Kata kata Kaisar singkat-namun lebih dari yang diharapkan: pengakuan atas hubungan Klan Otori. Sungguh kehormatan yang amat besar dan tak terduga. Takeo memberanikan diri berkata, "Bolehkah hamba bicara kepada Paduka Yang Mulia?" Permintaan itu diulang, dan ijin Kaisar diucapkan ulang. Takeo berkata, "Berabad-abad lampau nenek moyang Paduka Yang Mulia mem-berikan pedang ini, Jato, kepada Otori Takeyoshi. Pedang ini diserahkan kepada hamba oleh ayah hamba, Shigeru, sebelum kematiannya. Hamba diminta mengembali-kannya kepada Yang Mulia, dan kini hamba dengan rendah hati melaksanakannya, menawarkannya kepada Paduka sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian hamba." Menteri Sebelah Kanan berunding dengan Kaisar, lalu bicara lagi kepada Takeo. "Kami menerima pedangmu dan peng-abdianmu." Takeo maju dengan tutut, lalu mengambil pedang itu dari sabuknya. Rasa menyesal menghunjam selagi ia menyodorkan pedang itu dengan dua tangan. Selamat tinggal, ujarnya pelan dalam hati. Para menteri yang berada di undakan paling rendah mengambil Jato dan mengoperkannya dari satu petugas ke petugas lainnya hingga sampai ke tangan Menteri Kiri yang kemudian meletakkannya di depan tirai. Jato akan bicara; Jato akan kembali padaku, pikir Takeo, namun Jato hanya tergeletak di lantai, diam dan tak bergerak. Kaisar bicara lagi, dan Takeo mendengar kalau itu bukan suara dewa atau bahkan bukan suara penguasa besar, tapi suara manusia biasa yang penuh keingintahuan. Halaman 644 dari 644 "Aku ingin melihat kirin dengan mataku sendiri." Terjadi kegemparan mendadak karena tak seorang pun yakin akan cara tepat apa yang harus dilakukan. Kemudian Kaisar melangkah keluar dari balik lirai serta menjulurkan tangan kepada para pelayannya untuk menuntunnya menuruni anak tangga. Kaisar mengenakar jubah emas dengan bordiran naga merah tua melintang di punggung dan lengannya; hiasan itu menambah tinggi badannya, tapi penilaian Takeo sebelumnya ternyata benar. Di balik megahnya pakaian yang dikenakannya, berdiri seorang laki-laki berperawakan agak pendek berusia kira-kira dua puluh delapan tahun; pipinya tembam, mulutnya kecil dan tegas, menunjukkan kecerdasan; matanya berkilat dengan harapan. "Biarkan Lord Otori ikut denganku," ujarnya sewaktu berjalan melewati Takeo, dan Takeo pun mengikutinya, berjalan dengan lutut. Shigeko menunggu di luar bersama kirin. Gadis itu berlutut dengan satu kaki ketika Kaisar mendekat, dan dengan kepala tertunduk memegangi tali, dia berkata, "Paduka Yang Mulia: hewan ini tak sebanding dengan keagungan Paduka Yang Mulia, namun kami menawarkannya dengan harapan Paduka Yang Mulia akan melihat dan mengakui bawahan Paduka di Tiga Negara." Ekspersi Kaisar merupakan salah satu kekaguman yang murni, mungkin sama kagumnya karena diajak bicara seorang perempuan dan saat melihat kirin. Diambilnya tali itu dengan hati-hati, menengok sekilas pada para pegawai tinggi kekaisaran, mendongak melihat leher kirin yang panjang dan kepalanya, lalu tertawa gembira. Shigeko berkata, "Paduka Yang Mulia bisa menyentuhnya: hewan ini amatlah lembut," dan manusia setengah dewa itu menjulurkan tangan lalu mengelus bulu halus hewan yang menakjubkan itu. Kaisar bergumam, ''Kirin hanya muncul ketika sang penguasa diberkati Surga." Shigeko menyahut dengan suara yang sama pelannya, "Maka Paduka Yang Mulia memang diberkati." "Ini laki-laki atau perempuan?" tanya Kaisar pada Saga yang datang menghampiri dengan cara sama yang dilakukan Takeo, berlutut, karena Shigeko bicara dengan menggunakan bahasa seorang penguasa laki-laki. "Paduka Yang Mulia, ini putri Lord Otori, Lady Maruyama." "Dari tanah tempat perempuan berkuasa? Lord Otori telah membawa banyak benda yang eksotis! Semua yang kami dengar tentang Tiga Negara memang benar adanya. Alangkah inginnya aku berkunjung ke sana, tapi mustahil aku meninggalkan ibukota." Dielusnya lagi kirin. "Apa yang bisa kuberikan sebagai imbalannya?" tanyanya. "Aku sangsi kalau memiliki apa pun yang sebanding." Kaisar berdiri seolah berpikir keras selama beberapa saat, dan kemudian berbalik dan menengok ke belakang seakan tersengat oleh ilham yang datang tiba-tiba. "Bawakan padaku pedang Otori," serunya. "Akan kuanugerahkan kepada Lady Maruyama!" Takeo ingat suara dari masa lalu: Pedang itu akan berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Kenji. Pedang yang Kenji serahkan kepada Shigeru setelah kekalahan Otori di Yaegahara, dan kemudian dibawa Yuki, putri Kenji, untuk Takeo, dan kini diserahkan ke tangan Maruyama Shigeko oleh Kaisar. Takeo membungkuk hingga menyentuh tanah lagi, dan selagi duduk legak, dilihatnya Kaisar tengah mengamatinya dengan penuh selidik. Pada saat itu, godaan akan kekuatan mutlak berkilat di hadapannya. Siapa pun yang disukai Kaisar-atau, bisa diungkapkan dengan kata yang lebih sederhana, mengendalikan Kaisar-maka bisa mengen-dalikan Delapan Pulau. Itu bisa saja aku dan Kaede, pikirnya. Kami bisa bersaing dengan Saga: jika kami mengalahkannya besok dalam pertandingan, kami bisa menggantikan kedudukannya. Pasukan kami sudah siap. Aku bisa kirim kurir kepada Kahei lebih awal. Kami akan mendesaknya kembali ke utara dan ke arah laut. Sagalah yang akan diasingkan, bukan aku! Halaman 645 dari 645 Takeo menghibur diri dengan khayalannya selama beberapa saat, lalu menyingkirkannya jauh-jauh. Ia tidak menginginkan Delapan Pulau; ia hanya menginginkan Tiga Negara, dan ingin agar negaranya tetap damai. Sisa hari itu dihabiskan dengan jamuan makan, pertunjukan musik dan drama, kompetisi puisi, dan bahkan peragaan permainan kegemaran para bangsawan muda, yaitu bola sepak. Lord Kono membuktikan diri sangat mahir dalam permainan ini. "Perilakunya yang acuh tak acuh menyem-bunyikan keahlian fisiknya," komentar Takeo pelan kepada Gemba. "Mereka akan menjadi lawan yang sebanding," sahut Gemba setuju dengan tenang. Kemudian ada juga balapan kuda sebelum matahari terbenam. Tim Lord Saga yang menunggang kuda perang Maruyama menang dengan mudah, menambah kekaguman pengunjung kepada sang jenderal, dan kegembiraan serta kekaguman akan hadiah yang tiada bandingannya. Takeo kembali ke kediaman dengan rasa gembira dan bersemangat atas hasil hari ini, meskipun masih cemas tentang esok hari. Ia telah menyaksikan keahlian berkuda lawan. Ia tak percaya kalau putrinya bisa menang. Namun Gemba ternyata benar tentang pedang itu. Seharusnya ia juga percaya tentang hasil pertandingan itu. Dinaikkannya tirai tandu yang terbuat dari sutra untuk menikmati udara malam. Saat ditandu melewati gerbang, dia melihat, dari sudut matanya, garis bentuk tubuh berbayang dari seseorang yang menggunakan kemampuan menghilang. Ia terkejut karena tidak menduga ada anggota Tribe beroperasi di ibukota: tidak ada dalam catatannya, maupun sepengetahuan keluarga Muto yang pernah menyatakan kalau mereka telah menembus sejauh ini sampai ke wilayah Timur. Secara naluri disentuhnya pedang, sadar kalau ia tak bersenjata, percikan keingin-tahuannya muncul lagi saat menghadapi kekekalan hidupnya-apakah orang ini yang akan berhasil membunuhnya, dan mem-buktikan bahwa ramalan itu salah?-saat tandu belum menyentuh tanah ia sudah turun. Dengan mengacuhkan para pelayan-nya, ia berlari ke gerbang dan mencari-cari dengan mata orang itu di antara kemmunan, penasaran apakah tadi ia salah lihat. Namanya dilantunkan banyak suara, tapi ia seperti bisa membedakan satu orang yang dikenalnya, lalu dilihatnya gadis itu. Takeo segera mengenalinya sebagai anggota Muto, tapi butuh waktu beberapa saat untuk mengingat siapa gadis itu: Mai, adik Sada, yang ditempatkan di kediaman orang asing untuk mempelajari bahasa serta memata-matai mereka. "Mari cepat masuk," perintahnya pada gadis itu. Begitu sudah di dalam, diperintah-nya penjaga untuk menutup serta memalang gerbang, kemudian berbalik lagi pada gadis itu. Gadis itu kelihatan lelah dan kotor karena perjalanan jauh. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau membawa kabar dari Taku? Apakah Jun mengirimmu?" "Aku harus bicara dengan Lord Otori saja," bisiknya. Melihat kesedihan di garis bibir dan dalam tatapan matanya, jantungnya berdegup kencang karena takut pada apa yang akan disampaikan gadis itu. "Tunggu di sini. Aku akan langsung memanggilmu." Takeo memanggil pelayan untuk mem-bantunya mengganti jubah resminya. Setelah menyuruh mereka menyajikan teh, memanggil gadis itu lalu menyuruh mereka pergi; bahkan putrinya, atau Lord Miyoshi tak boleh masuk. "Apa yang telah terjadi?" Halaman 646 dari 646 "Lord Taku, dan kakakku sudah tiada, tuanku." Kabar itu menghantam dirinya bak pukulan ke dadanya. Takeo menatap gadis itu, tak bisa bicara, merasakan gelombang kesedihan menggelegak hingga ke urat nadi-nya; Takeo memberi isyarat agar gadis itu melanjutkan. "Mereka diduga diserang bandit di tempat berjarak satu hari berkuda dari Hofu." "Bandit?" tanyanya tak percaya. "Bandit macam apa yang ada di Negara Tengah?" "Itulah pernyataan resmi yang dikeluarkan Zenko," sahut Mai. "Tapi Zenko sedang melindungi Kikuta Akio. Desas-desus yang beredar bahwa Akio dan putranya yang bunuh Taku untuk balas dendam atas kematian Kotaro. Sada tewas bersamanya." "Dan putriku?" bisik Takeo, air mata menggenang di pelupuk matanya dan hampir menetes. "Lord Otori, tidak ada yang tahu di mana putri Anda. Mungkin putri Anda berhasil lari, atau ditangkap Akio.... " "Ditangkap Akio?" ucapnya mengulang perkataan itu. "Mungkin dia melarikan diri," sahut Mai. "Tapi dia belum ke Kagemura, atau Terayama, atau tempat lainnya yang diperkirakan sebagai tujuannya melarikan diri." "Apakah istriku tahu?" "Aku tidak tahu, tuan." Dilihatnya ada hal lain lagi, alasan lain mengapa gadis mi menempuh perjalanan sejauh ini, mungkin tanpa ijin dari Tribe, dan tidak diketahui mereka, bahkan Shizuka. "Ibu Taku pasti sudah diberitahu?" "Sekali lagi, aku tak tahu. Sesuatu telah terjadi dalam jaringan Muto, tuan. Pesan-pesan salah sasaran, atau dihaca oleh orang yang salah. Orang-orang mengatakan kalau mereka ingin kembali ke masa silam, saat Tribe memiliki kekuasaan yang sesungguh-nya. Kikuta Akio sangat dekat dengan Zenko dan banyak orang Muto menyetujui persahabatan mereka-orang-orang mengata-kan mereka berdua seperti Kenji dan Kotaro sebelum... " "Sebelum aku datang," ujar Takeo murung. "Aku tidak berhak mengatakannya. Lord Otori. Keluarga Muto bersumpah setia kepada Anda, dan Taku serta Sada setia kepada Anda. Itu sudah cukup bagiku. Aku meninggalkan Hofu tanpa mengatakan pada siapa pun, berharap bisa menyusul Lady Shigeko dan Lord Hiroshi, tapi mereka sudah beberapa hari di depanku. Aku terus mengikuti hingga aku sadar sudah di ibukota. Aku berjalan selama enam minggu." "Aku sangat berterima kasih." Teringat olehnya kalau gadis itu juga tengah bersedih. "Dan aku sangat berduka atas kematian kakakmu dalam melayani keluargaku." Mata gadis berkilat diterpa sinar lentera, namun tidak menangis. "Mereka diserang dengan menggunakan senjata api," tuturnya dengan nada sedih. "Tak ada yang bisa membunuh mereka dengan menggunakan senjata biasa. Taku tertembak di leher; dia pasti mati kehabisan darah, dan peluru itu menghantam Sada setelah menembus kuda, tapi dia bukan mati karena peluru: lehernya digorok." "Akio punya senjata api? Darimana dia dapat?" "Dia sudah di Kumamoto selama musim dingin. Senjata itu pasti pemberian Zenko; mereka sudah melakukan perdagangan dengan orang-orang asing." Takeo duduk terdiam, teringat saat ia mencengkeram leher Taku yang menyelinap masuk ke kamarnya di Shuho: saat itu Taku baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Kenangan itu diikuti dengan kenangan lainnya, hampir membuat ia terpuruk. Seraya menutupi wajah dengan tangan, ia Halaman 647 dari 647 berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kesedihannya disulut dengan kemarahannya atas Zenko yang telah ia biarkan hidup hanya untuk melihat orang itu bersekongkol mem bunuh adiknya. "Lord Otori," ujar Mai ragu-ragu. "Haruskah aku memanggil seseorang agar menemui Anda?" "Tidak!" sahutnya, seraya berusaha mengendalikan diri, waktu untuk menjadi lemah sudah berakhir. "Kau tak tahu situasi kami di sini. Kau tidak boleh mengatakan ini pada siapa-siapa. Jangan ada hal yang mengganggu selama beberapa hari ke depan. Akan ada pertandingan yang melibatkan putriku dan Lord Hiroshi. Mereka tidak boleh diganggu. Mereka tidak boleh tahu hal ini hingga pertandingannya selesai. Tidak seorang pun boleh tahu." "Tapi Anda harus segera kembali ke Tiga Negara! Zenko..." "Aku akan kembali secepatnya, lebih awal dari rencana. Tapi aku tak ingin menyinggung tuan rumah-Lord Saga, Kaisar-maupun membiarkan Saga mencium pengkhianatan Zenko. Sementara ini aku dalam posisi yang menguntungkan- tapi itu bisa berubah kapan saja. Begitu lombanya selesai dan kami tahu hasilnya, aku akan pamit. Meskipun beresiko terjebak dalam hujan, namun hal ini tidak bisa ditunda. Kau akan ikut dengan kami, tentu saja; tapi untuk sementara waktu ini aku memintamu untuk menjauh. Shigeko bisa mengenalimu. Hanya dua hari. Nanti aku akan ceritakan tentang kabar ini padanya dan juga Hiroshi." Takeo mengatur agar Mai diberi uang dan dicarikan penginapan, lalu gadis itu pergi, berjanji akan kembali dalam dua hari. Mai baru saja pergi ketika Shigeko dan Gemba datang. Sedari tadi mereka memeriksa keadaan kuda, menyiapkan pelana dan tali kekang untuk lomba besok, serta membahas strategi. Shigeko, yang biasanya pandai mengendalikan diri serta tenang, kini gembira dengan kejadian hari ini, dan tak sabar menanti penandingan. Ia lega karena ini berarti putrinya takkan memerhatikan sikap diam dan kurang bersemangat dirinya, juga lega karena gelapnya ruangan. Shigeko berkata, "Aku kembalikan Jato pada Ayah." "Tidak boleh," sahutnya. "Kaisar yang berikan padamu. Sekarang pedang itu menjadi milikmu." "Pedang ini terlalu panjang," protes putrinya. Takeo memaksakan diri untuk tersenyum. "Kendati demikian, tetap saja itu milikmu." "Akan kuberikan pada biara sampai.... " "Sampai apa?" Takeo memotong ucapan putrinya. "Sampai putra Ayah, atau putraku, cukup dewasa untuk memilikinya." "Bukan penama kalinya pedang itu berada di biara," sahut Takeo. "Tapi pedang itu milikmu, dan pedang juga memastikan dirimu bukan hanya sebagai pewaris Klan Maruyama, tapi juga Klan Otori." Takeo menyadari bahkan saat ia bicara bahwa pengakuan Kaisar membuat persoalan pernikahan Shigeko justru makin penting. Shigeko akan menyerahkan Tiga Negara kepada orang yang menikahinya, suami yang direstui Kaisar. Apa pun permintaan Saga, ia takkan menyerah begitu saja, tidak sebelum ia konsultasi dengan Kaede. Takeo sangat merindukan Kaede saat ini, bukan hanya menginginkan tubuhnya, tapi kearifan, kejernihan pikiran, sena kekuatan-nya yang lembut, aku tidak berarti tanpa dia, pikirnya. Rasanya ingin sekali berada di rumah. Tak sulit untuk membujuk Shigeko beristirahat lebih awal, dan Gemba juga pergi tidur, meninggalkan Takeo sendirian meng-hadapi malam yang panjang.* Halaman 648 dari 648 Minoru datang, seperti biasa, saat matahari baru terbit. Dia datang bersama para pelayan perempuan yang membawa teh. "Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang cerah," ujarnya. "Aku telah menyiapkan catatan atas semua yang terjadi kemarin, dan juga mencatat semua yang akan terjadi hari ini." Ketika Takeo mengambil catatan itu tanpa menjawab, si jurutulis berkata dengan ragu, "Lord Otori kelihatannya tidak sehat." "Aku kurang tidur, itu saja. Aku sehat-sehat saja, aku harus terus memesona serta mengesankan. Aku tidak bisa bersikap sebaliknya." Minoru menaikkan alis sedikit, terkejut dengan suara dingin Takeo. "Tentunya kunjungan Anda sangat berhasil, kan?" "Kita akan tahu sore ini." Takeo tiba-tiba memutuskan dan berkata, "Aku akan mendiktekan sesuatu padamu. Jangan berkomentar dan jangan beritahu siapa-siapa. Kau harus mengatur kepulangan kita agak lebih awal dari rencana." Minoru menyiapkan batu tinta dan meng-ambil kuas tanpa bicara. Tanpa memihak Takeo menceritakan semua vang diceritakan Mai semalam, dan Minoru menulisnya. "Aku turut berduka cita," ujarnya ketika Takeo selesai mendikte. Takeo memandang Minoru dengan tatapan menuduh. "Aku minta maaf atas kurang terampilnya diriku ini. Tanganku gemetar dan tulisanku sangat buruk." "Tidak apa-apa, selama masih bisa dibaca. Simpan baik-baik: aku akan memintamu membacakannya, malam ini atau besok." Minoru membungkuk hormat. Takeo sadar akan simpati tanpa kata-kata dari jurutulisnya; kenyataan bahwa ia telah berbagi kabar kematian Taku mengurangi penderitaannya. "Lord Saga mengirim surat untuk Anda," ujar Minoru, mengeluarkan gulungan kertas. "Beliau pasti menulisnya tadi malam. Beliau sangat menghormati Anda." "Biar kulihat." Tulisannya menggambar-kan orangnya, tebal dan ditekan, guratan tinta kelihatan hitam dan legas, bergaya kotak. "Beliau mengucapkan selamat padaku atas keramahan Kaisar padaku, dan atas ke-berhasilan hadiahku, serta mengucapkan semoga berhasil hari ini." "Beliau khawatir atas popularitas Anda," ujar Minoru. "Dan takut bila Anda kalah dalam pertandingan itu, Kaisar masih tetap mendukung Anda." "Aku akan mematuhi kesepakatan, dan aku berharap dia pun begitu," sahut Takeo. "Beliau mengharapkan Anda menemukan cara untuk berkelit dari kesepakatan tersebut, agar beliau mendapat alasan untuk tidak menepatinya." "Minoru, sikapmu menjadi begitu sinis! Lord Saga adalah bangsawan besar berasal dari klan kuno. Dia telah mengumumkan kesepakatannya. Dia takkan mengingkari kesepakatan itu tanpa membuat dirinya tidak terhormat, dan begitu pula aku!" "Persis seperti itulah cara bangsawan men-jadi besar," gumam Minoru. Halaman 649 dari 649 Jalanan jauh lebih ramai lagi dibanding kemarin, dan masyarakat menari-nari seperti kesurupan. Cuaca makin panas dengan kelembapan yang menandakan hujan plum. Arena di Biara Agung dipenuhi penonton: perempuan mengenakan kimono bertudung, laki-laki berpakaian cerah, anakanak, semua memegang payung dan kipas. Di dalam lingkaran terluar pasir merah para pe-nunggang kuda menunggu: kuda tim Saga memiliki sabuk kulit yang dikaitkan di bawah ekor serta tali dada berwarna merah, sedangkan milik Shigeko berwarna putih. Pelana kuda dilapisi kerang mutiara; surai dikepang; jambul dan ekornya mengkilat serta sehalus rambut seorang putri. Seutas tali jerami kuning membagi lingkaran sebelah luar dari lingkaran yang sebelah dalam, dengan pasir berwarna putih. Takeo bisa mendengar gongongan anjing yang bersemangat dari sisi timur arema, tempat sekitar lima puluh ekor anjing dalam sebuah kerangkeng berhiaskan daun dan rumbai-rumbai putih. Di bagian belakang lapangan terdapat bilik dari kain sutra didirikan bagi Kaisar, yang tersembunyi seperti sebelumnya, di balik tirai bambu. Takeo dibimbing ke tempat di sebelah kanan bilik Kaisar. Di tempat itu Takeo disambut para bangsawan, ksatria dan istri mereka, sebagian sudah bertemu dengannya sehari sebelumnya. Pengaruh kirin sudah tampak: seorang laki-laki memperlihatkan padanya pena lintang yang diukir mengikuti bentuk kirin, dan beberapa perempuan mengenakan tudung berhiaskan gambar kirin. Suasana hari itu terasa bagai piknik di pedesaan, meriah dan ramai, dan Takeo berusaha ikut ambil bagian di datamnya dengan sepenuh hati. Namun sesekali pemandangan tampak kabur dan langit semakin kelam, dan mata dan pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan Taku yang tertembak di leher lalu mati kehabisan darah. Ia mengalihkan perhatian pada mereka yang masih hidup, pada perwakilannya, Shigeko, Hiroshi dan Gemba. Kedua kuda abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam terlihat sangat kontras dengan kuda Gemba yang berbulu hitam. Kuda-kuda melangkah tenang mengelilingi lingkaran. Saga me-nunggang kuda besar dengan bulu warna coklat kemerahan. Kedua pendukungnya, Okuda dan Kono, menunggang kuda belang dan juga merah bata. Busur milik mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan busur Shigeko-dan ketiganya memiliki anak panah yang dibului dengan bulu bangau warna putih dan abu-abu. Takeo belum pernah menyaksikan per-buruan anjing, dan peraturan permainan itu dijelaskan oleh kawan pendampingnya. "Anda hanya boleh menembak bagian ter-tentu di tubuh anjing: punggung, kaki, leher. Anda tidak boleh menembak kepala, bagian lunak di perut atau kematuan, dan nilai Anda akan dikurangi jika anjingnya berdarah atau mati. Makin banyak darah menetes, makin buruk tembakannya. Ini semua tentang pengendalian sempurna yang sangat sulit dicapai sewaktu kuda berderap." Mereka berkuda dalam barisan menurut urutan pangkat, dari yang terendah sampai yang tertinggi, pasangan pertama Okuda dan Hiroshi. "Okuda akan mulai lebih dulu untuk menunjukkan cara melakukannya," tutur Saga kepada Hiroshi, dengan ramah, karena penunggang kedua memiliki peluang lebih menguntungkan. Anjing pertama dibawa masuk ke lingkaran: Okuda juga memasuki lingkaran lalu menderapkan kudanya, membiarkan tali kekang menggantung di leher kuda selagi dia menaikkan busur panah dan menaruh anak panahnya. Tali anjing dilepaskan dan hewan itu segera berjingkrakan, mengonggong pada kuda yang tengah berderap. Anak panah pertama Okuda berdesing melewati telinga anjing itu, membuatnya menyalak kaget lalu mundur, dengan ekor di sela kaki belakang-nya. Anak panah kedua mengenai dada. "Tembakan yang bagus!" seru laki-laki di sebelah Takeo. Tembakan yang ketiga terkena punggung anjing yang tengah berlari. Anak panah itu dilepaskan terlalu kuat: darah mulai menodai bulu putih anjing itu. Halaman 650 dari 650 "Kurang baik," adalah penilaian juri. Takeo merasakan ketegangan mulai ber-tambah saat Hiroshi memasuki lingkaran dan Keri mulai berderap. Takeo sudah mengenai kuda itu selama ia mengenai pemuda itu: hampir delapan belas tahun. Mampukah kuda abu-abu itu bertahan dalam per tandingan semacam ini? Akankah kuda itu mengecewakan penunggangnya? Takeo tahu Hiroshi mahir memanah, tapi mampukah pemuda itu bersaing dengan pemanah nomor satu dari ibukota? Anjing dilepaskan. Mungkin anjing tiu sudah melihat nasib kawannya dan tahu apa yang menantinya dalam lingkaran itu; anjing itu secepatnya berlari keluar lingkaran, meng-hempaskan tubuhnya di antara anjing-anjing lain. Anak panah Hiroshi luput mengenai anjing itu sejauh serentangan kaki. Anjing itu ditangkap, dibawa masuk lagi dan dilepas sekali lagi. Takeo bisa melihat kalau anjing itu ketakutan dan menggeram. Anjing-anjing itu pasti mencium amis darah sehingga ketakutan, pikirnya. Atau mungkin anjing saling berkomunikasi lalu memper-ingatkan. Kali ini Hiroshi lebih siap, tapi anak panahnya tetap tidak kena sasaran. "Lebih sulit dari kelihatannya," ujar tetangga Takeo dengan simpatik. "Butuh latihan selama bertahuntahun." Takeo menatap anjing itu saat dibawa masuk untuk yang ketiga kalinya, berusaha menyuruh agar anjing itu tenang. Ia tidak mau Hiroshi menyakiti anjing itu, tapi ia ingin pemuda itu setidaknya mendapat satu nilai untuk bidikannya. Penonton terdiam: di balik suara derap kuda, terdengar olehnya senandung yang amat pelan, suara yang dikeluarkan Gemba saat merasa gembira. Tak ada orang lain yang bisa mendengar-nya, tapi anjing itu bisa mendengarnya. Hewan itu berhenti meronta dan menyalak. Anjing itu tidak kabur saat dilepas, tapi malah duduk dan menjilati bulunya sebelum bangkit lalu berjalan pelan mengitari lingkaran. Anak panah ketiga Hiroshi kena bagian samping anjing itu, membuatnya ter-jatuh dan menyalak, tapi tidak berdarah. "Itu tembakan yang mudah! Okuda akan memenangkan babak ini." Juri memutuskan demikian. Tembakan kedua Okuda, meski membuat si anjing ber-darah, mendapat nilai lebih tinggi ketimbang dua tembakan Hiroshi yang meleset, Takeo bersiap menerima satu kekalahan lagi-maka tak peduli sebaik apa pun Shigeko melakukannya, hasil pertandingan sudah ditentukan. Matanya terpaku pada Gemba yang tak lagi bersenandung, tapi kelihatan sangat waspada. Kuda hitam tunggangannya juga tampak waspada, menatap pemandangan asing dengan telinga tegak dan bola mata mem besar. Lord Kono menunggu di sebelah luar lingkaran di atas kuda merah bata yang kuat sena penuh semangat. Laki-laki itu mahir berkuda, seperti yang sudah diketahui, dan kudanya memang cepat. Karena Hiroshi kalah pada babak sebelum-nya, kali ini Gemba mendapat giliran per-tama. Anjing yang berikutnya lebih lincah, dan kelihatan tidak takut pada kuda yang tengah berderap. Panah pertama Gemba tampak melayang dan mendarat perlahan di tungging anjing itu. Tembakan yang bagus, dan tidak ada darah. Tembakannya yang kedua hampir sama, sekali lagi tidak mengeluarkan darah, tapi kini anjing itu ketakutan, berlarian ke kanan dan kiri melintasi lapangan. Tembakan ketiga Gemba meleset. Kemudian Kono keluar dengan menunggang kuda merah bata, membuat kudanya berderap mengelilingi lingkaran sebelah luar, membuat pasir merah beterbangan. Para penonton berseru kagum. "Lord Kono sangat mahir dan terkenal," orang di sebelah Takeo memberitahunya. "Kemahirannya memang enak di pandang!" ujar Takeo setuju dengan sikap sopan, seraya berpikir, aku akan kehilangan segalanya, tapi aku takkan terlihat marah atau sedih. Halaman 651 dari 651 Anjing-anjing dalam kerangkeng makin bersemangat; gonggongan berubah menjadi lolongan, dan setiap anjing yang dibebaskan semakin liar karena ketakutan. Namun tetap saja Kono membukukan dua nilai tembakan sempurna tanpa darah. Pada tembakan ketiga, kuda tunggangannya terlalu bersemangat karena sorak sorai penonton, agak meloncat saat Kono menarik busur. Panahnya melayang di atas kepala anjing dan kena bagian samping pangg:ung kayu di belakangnya. Beberapa pemuda berlompatan turun untuk mengambilnya, pemenang yang beruntung mengayunkan anak panah itu di atas kepalanya. Setelah diskusi panjang para juri, babak kedua diputuskan seri. "Kini kita mungkin menunggu keputusan Kaisar," seru laki-laki di sebelah Takeo. "Cara ini sangat digemari pengunjung: bila hasilnya seri secara keseluruhan." "Tampaknya cara itu kurang sesuai karena kurasa Lord Saga akan dianggap memiliki lebih dalam olahraga ini." "Tentu, Anda benar. Aku hanya tidak ingin...." Laki-laki itu tak kuasa menahan malu. Setelah diam dengan sikap canggung selama beberapa saat, dia lalu mohon diri menjauh untuk bergabung dengan kelompok lain. Laki-laki itu berbisik kepada mereka, dan Takeo mendengar kata-katanya dengan jelas. "Sungguh, aku tak tahan duduk di sebelah Lord Otori saat dia menghadapi hukuman mati. Aku nyaris tidak bisa menikmati pertandingan karena mengasihani dirinya!" "Kabarnya pertandingan ini hanyalah alasan baginya untuk mengundurkan diri tanpa kalah dalam perang. Lord Otori tidak keberatan, maka kita tak perlu iba padanya." Kemudian kesunyian melanda seluruh arena sewaktu Shigeko memasuki lingkaran dan Ashige mulai berderap. Takeo hampir tidak sanggup memandang putrinya, namun ia juga tak mampu memalingkan wajah. Setelah peserta laki-laki, putrinya terlihat kecil dan rapuh. Meskipun penonton bersorak-sorai, gonggongan anjing yang ketakutan, dan ketegangan yang makin meningkat, baik si kuda maupun penunggangnya tampak benar-benar tenang. Gaya berjalan si kuda cepat dan mulus. sedang si penunggang duduk tegak dan tenang. Busur miniatur dan anak panahnya membuat penonton terkesima, dan berubah menjadi kekaguman saat anak pertama menyentuh pelan bagian samping tubuh anjing buruan. Anjing itu, terluka atau ketakutan, mengibaskan anak panah itu seakan hanya lalat. Kemudian anjing itu seperti menganggap kalau ini adalah per-mainan yang menyenangkan. Anjing itu berlarian mengitari lingkaran di waktu yang bersamaan dengan si kuda: Shigeko mem-bungkuk dan melepaskan anak panah kedua seolah benda itu adalah tangannya dan tengah mengelus leher hewan itu. Si anjing menggelengkan kepala dan mengibaskan ekor. Shigeko mendesak kudanya untuk ber-derap lebih cepat dan anjing itu berlari tunggang-langgang, moncong menganga, telinga melambai-lambai. Mereka mengitari arena sebanyak tiga kali seperti ini; kemudian Shigeko menarik kudanya berhenti di depan Kaisar. Anjing itu duduk di belakangnya, berjingkrakan. Shigeko membungkuk dalam dalam, membuat kudanya berderap lagi, ber-jalan memutar semakin mendekati anjing yang duduk memerhatikan, memutar kepala-nya, dengan lidah merah mudanya terjulur. Anak panah ketiga terbang lebih cepat namun tak kurang lembutnya, mengenai anjing itu nyaris tanpa suara tepat di bawah kepalanya. Takeo tak kuasa mengagumi putrinya, kekuatan dan kemahirannya yang diperkuat dengan kelembutan. Dirasakan pelupuk matanya menghangat, dan takut kalau rasa bangga akan menghilangkan kesedihannya. Takeo mengerutkan dahi lalu menahan agar wajahnya tetap tanpa ekspresi, tidak meng-gerakkan satu otot pun. Halaman 652 dari 652 Saga Hideki, peserta terakhir, kini menunggang kuda memasuki lingkaran berpasir putih. Kuda coklat kemerahan itu menarik-narik besi yang dipasang di mulutn-ya, melawan penunggangnya, namun laki-laki itu mengendalikan kuda dengan mudah. Saga mengenakan jubah hitam, berhiaskan bulu anak panah di bagian punggungnya, dan kulit rusa di kedua paha untuk melindungi kakinya, ekor pendeknya menggantung hampir menyentuh tanah. Saat dia mengangkat busur, penonton meng-hembuskan napas; ketika dia menaruh anak panah, mereka menahan napas. Kudanya berderap, buih dari mulutnya beterbangan. Anting dilepas: menggonggong dan me-lolong, tubuh anjing itu terhempas ke tanah. Anak panah Saga terbang lebih cepat dari pandangan mata, mendapat nilai sempurna; ke bagian samping tubuh si anjing dan berhasil menjatuhkannya. Si anjing berusaha bangkit terhuyung-huyung dan ke-bingungan. Mudah bagi Saga untuk me-nembaknya lagi dengan anak panah kedua, sekali lagi ddak membuat anjing itu ber-darah. Matahari sudah di ufuk barat, hawa kian panas, bayangan kian memanjang. Meskipun orang-orang berteriak, anjing melolong, dan anak-anak menjerit, namun Takeo tenang sedingin es. Perasaan itu mematikan semua perasaannya, menutupi semua kesedihan, penyesalan dan amarah. Disaksikannya dengan perasaan tanpa memihak selagi Saga menderapkan kuda mengitari lingkaran lagi, seorang laki-laki dengan pengendalian jiwa dan raga yang sempurna. Pemandangan itu tampak seperti dalam mimpi. Anak panah terakhir melesat di samping badan si anjing lagi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Pasti keluar darah, pikirnya, tapi bulu putih si anjing atau pasir berwarna pucat itu tetap bersih. Semua orang terdiam. Takeo merasakan semua mata tertuju pada dirinya, meskipun ia tidak memandang siapa pun. Telah dirasakannya kekalahan di tenggorokan, perut, hingga empedunya. Saga dan Shigeko setidaknya seri. Dua seri dan satu menang- Saga akan meraih kemenangan. Tiba-tiba, di depan matanya, seolah masih terus bermimpi, di pasir putih arena mulai tercemar warna merah. Anjing tadi meng-alami pendarahan hebat, dari mulut dan anusnya. Penonton berseru kaget. Punggung anjing itu melengkung, mencecerkan darah berbentuk melengkung di pasir, men-dengking satu kali, lalu mari. Tenaga Saga terlalu besar, pikir Takeo. Dia tidak bisa menundukkan kekuatan laki-lakinya: dia bisa melambatkan anak panah, namun tak mampu mengurangi tenaganya. Dua tembakan pertama telah menghancur-kan organ tubuh anjing itu dan mem-bunuhnya. Takeo seperti mendengar teriakan dan sorak sorai yang berasal dari tempat jauh. Perlahan ia bangkit, menatap ke ujung arena, tempat Kaisar duduk di balik tirai bambu. Pertandingan berakhir seri: kini keputusan ada di tangan Kaisar. Perlahan-lahan pe-nonton terdiam. Para peserta menunggu, diam tak bergerak: kelompok merah di bagian timur, sementara kelompok putih di bagian barat. Bayangbayang panjang kaki kuda terbentang melintasi arena. Anjing-anjing masih saja menyalak dari balik kandang, tapi tidak ada suara lain. Takeo menyadari kalau selama per-tandingan orang-orang telah menjauhinya, tak ingin menyaksikan terlalu dekat peng-hinaan terhadap dirinya, atau berbagi takdir-nya yang tidak menguntungkan. Kini ia menunggu seorang diri untuk mendengarkan hasilnya. Terdengar bisikan dari balik tirai, tapi Takeo sengaja menutup pendengarannya. Hanya saat Menteri muncul dari balik tirai dan dilihatnya pandangan resmi pertama ter-tuju pada Shigeko, dan kemudian, pandangan yang lebih gugup, tenuju pada Saga, Takeo merasa ada secercah harapan. "Karena kelompok Lady Maruyama tidak menumpahkan darah, Kaisar menganugerah-kan kemenangan kepada kelompok putih!" Takeo berlutuT dan menyembah. Kerumunan penonton bersorak menyetujui-nya. Ketika Takeo duduk tegak, seketika dilihatnya ruang di sekelilingnya telah dipenuhi orang yang berhambur meng-hampiri untuk memberinya selamat, ingin dekaT dengannya. Ketika berita itu menyebar ke seluruh penjuru arena dan di luarnya, nyanyian pun mulai terdengar lagi. Halaman 653 dari 653 Lord Otori telah muncul di ibukota; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami. Putrinya meraih kemenangan besar; Lady Maruyama tidak menumpahkan darah. Pasir tetap putih. Anjing pun tetap putih. Para penunggang putih menang. Tiga Negara hidup dalam damai; Begitu pula Delapan Pulau Takeo memandang ke arah Saga, dan melihat bangsawan itu juga tengah menatapnya. Tatapan mata mereka bertemu, dan Saga menundukkan kepala sebagai peng-akuan atas kemenangan itu. Ini tidak seperti dugaannya, pikir Takeo, lalu teringat kata-kata Minoru. Saga berharap bisa menyingkirkan diriku tanpa berperang, namun dia gagal. Dia akan memanfaatkan alasan apa pun untuk mengingkari janjinya. Lord Saga telah merencanakan mengadakan jamuan makan besar untuk merayakan kemenangannya yang sudah diketahui lebih dulu; jamuan makan memang dilakukan seperti yang direncanakan, namun berbeda dengan kegembiraan tulus di jalan-jalan di kota, perayaan tersebut tidak sepenuhnya tulus. Kendati begitu, tata krama tetap ber-laku, dan Saga mengumbar sanjungannya kepada Lady Maruyama; semakin jelas kalau dia menginginkan pernikahan itu lebih dari sebelumnya. "Kita akan menjadi sekutu, dan Anda akan menjadi ayah mertuaku," ujar Saga, tertawa dengan kegembiraan yang dipaksakan. "Walaupun aku percaya usiaku lebih tua beberapa tahun." "Aku akan senang sekali memanggil Anda putraku," sahut Takeo, dengan agak ter-cengang selagi kata-kata itu meluncur dari mulutnya. "Tapi kita harus menunda peng-umuman pertunangan sampai putriku me-minta pendapat klannya. Termasuk ibunya." Takeo melihat sekilas ke arah Lord Kono dan ingin tahu reaksi jujur bangsawan itu, di balik sikap sopan yang ditunjukkannya; pesan apa yang akan orang itu kirim pada Zenko tentang hasil pertandingan ini, dan apa yang tengah dilakukan Zenko? Jamuan berlangsung hingga larut malam: bulan sudah muncul dan bintang-bintang tampak besar, cahayanya berpencar dan ber-kabut dengan lembapnya udara. "Aku minta kalian semua tidak pergi tidur dulu," ujar Takeo ketika mereka kembali ke kediaman. Ia membimbing Shigeko, Gemba dan Hiroshi ke ruangan paling terpencil di kediaman itu. Semua pintu terbuka lebar; air bergemericik di taman dan sesekali nyamuk berdengung. Minoru dipanggil. "Ayah, ada apa?" tanya Shigeko segera. "Apakah ada kabar buruk dari rumah- apakah Ibu? Adik bayiku?" "Minora akan membacakannya," sahut Takeo, dan memberi isyarat agar si jurutulis mulai membaca. Minora membaca tanpa perasaan, dengan sikap dinginnya seperti biasa, tapi perasaan mereka bertiga tidak kurang bergolaknya. Shigeko menangis terang-terangan. Hiroshi terduduk pucat pasi, seolah terkena pukulan di dadanya lalu terhuyung-huyung. Gemba berdengus keras lalu berkata, "Kau me-rahasiakan ini seharian?" "Aku tidak ingin konsentrasi kalian ter-pecah. Aku tak menduga kalian akan menang. Bagaimana aku harus berterima kasih kepada kalian? Kalian tadi sangat luar biasa!" Takeo bicara dengan berlinang air mata penuh perasaan. "Beruntung Kaisar cukup terkesan pada-mu dan tak ingin menyinggung dewa-dewa dengan memutuskan untuk menentangmu. Segalanya bercampur aduk untuk meyakin-kan dirinya bahwa kau memiliki restu dari Surga." "Kurasa dia memutuskan ini agar men-dapatkan orang yang bisa mengimbangi kekuatan Saga," sahut Takeo. Halaman 654 dari 654 "Itu juga," Gemba setuju. "Tentu saja, dia manusia setengah dewa-tapi juga tak ber-beda dengan kita semua, termotivasi oleh gabungan antara idealisme, pragmadsme, penyelamatan diri sendiri dan niat yang baik!" "Kemenangan kalian membuat Kaisar ber-pihak pada kita," ujar Takeo. "Tapi kematian Taku berarti kita harus segera kembali. Zenko harus dihadapi sekarang juga." "Ya, kurasa kini waktunya kita pulang," sahut Gemba. "Bukan hanya karena Taku, tapi demi mencegah kekacauan lebih jauh lagi. Ada satu hal lagi yang tidak beres." "Berkaitan dengan Maya?" tanya Shigeko dengan ketakutan yang terdengar dalam nada suaranya. "Mungkin," sahut Gemba tanpa berkata lagi. "Hiroshi," ujar Takeo. "Kau telah kehilangan sahabat terdekatmu... Aku menyesal." "Aku berusaha menahan keinginanku untuk balas dendam." Suara Hiroshi terdengar parau. "Yang kuinginkan hanyalah kematian Zenko, begitu pula dengan Kikuta Akio dan putranya. Naluriku mengatakan kalau kita haras segera pergi dan memburu mereka-tapi Ajaran Houou menahanku untuk tidak melakukan kekerasan. Lalu bagaimana cara kita menghadapi para pem-bunuh ini?" "Kita memang akan memburu mereka," sahut Takeo. "Tapi akan dilakukan dengan adil. Aku telah diakui Kaisar, kekuasaanku telah ditegaskan oleh Paduka Yang Mulia. Zenko tidak memiliki lagi dasar hukum yang sah untuk menentangku. Bila dia tidak benar-benar tunduk, kita akan mengalah-kannya dalam pertempuran dan dia akan mencabut nyawanya sendiri. Akio akan digantung seperti penjahat biasa. Tapi kita harus pergi secepatnya." "Ayah," ujar Shigeko. "Aku tahu Ayah benar. Tapi tidakkah kepergian yang tergesa-gesa akan menyinggung Lord Saga dan Kaisar? Dan jujur saja, aku cemas pada keadaan kirin. Kesehatannya merupakan masalah terpenting bagi kelangsungan kedudukan Ayah. Hewan itu akan ketakutan bila kita semua pergi begitu mendadak. Tadi-nya aku berharap bisa melihatnya tenang dulu sebelum kita pergi.... Mungkin aku bisa tinggal di sini menemaninya?" "Tidak, Ayah takkan meninggalkan dirimu di tangan Saga," sahutnya dengan suara keras yang mengejutkan mereka sendiri. "Apakah aku harus menyerahkan semua putriku kepada musuhmusuhku? Kita telah berikan kirin kepada Kaisar. Kaisar dan orang-orangnya yang harus bertanggung jawab atas nasib hewan itu. Kita harus pergi sebelum akhir minggu: kita akan memanfaatkan cahaya bulan antara bulan sabit dan bulan purnama untuk melakukan perjalanan." "Kita akan berkuda di tengah hujan, dan mungkin tak melihat bulan sama sekali," gumam Hiroshi. Takeo berpaling ke arah Gemba. "Gemba, kau telah membuktikan kalau dirimu tahu segalanya sejauh ini. Apakah Surga masih terus berpihak pada kita dengan menunda hujan plum?" "Kita lihat saja apa yang bisa kita laku-kan," sahut Gemba berjanji sambil senyum, di sela-sela air matanya.* Sejak Takeo memintanya mengambil alih kepemimpinan Tribe, Muto Shizuka telah melakukan perjalanan ke hampir seluruh Tiga Negara. Dia mengunjungi desa-desa ter-sembunyi di pegunungan dan rumah-rumah pedagang tempat kerabatnya menjalankan berbagai usaha: membuat sake, fermentasi kedelai, peminjaman uang, hingga kegiatan mata-mata. Hierarki kuno Tribe masih tetap Halaman 655 dari 655 ditegakkan dengan struktur vertikalnya serta kesetiaan tradisional keluarga, yang berarti bahkan dalam kalangannya sendiri. Tribe menyimpan rahasia dan sering bertindak dengan cara mereka sendiri. Seperti biasa Shizuka disambut dengan sopan santun terta penghormatan, namun ia sadar ada sakit hati terhadap posisi barunya: andai Zenko mendukung, keadaannya pasti berbeda; tapi sadar selagi putranya itu masih hidup, maka ketidakpuasan di dalam keluarga Muto bisa berkembang menjadi sikap membangkang. Karena alasan itulah dia merasa berkewajiban untuk memper-tahankan kontak dengan semua kerabatnya, berusaha agar mereka tetap setia kepadanya, dan menentang putra sulungnya. Shizuka tahu betul kalau ada rahasia yang disimpan dan ketidakpatuhan berkembang di kalangan Tribe; karena, bertahun-tahun lalu, dia pernah mengungkapkan cara kerja pekerjaan Tribe kepada Shigeru, dan catatan terperinci itu yang memungkinkan Takeo mengalahkan dan mengendalikan Tribe. Kenji sudah tahu tindakannya itu, dan telah memilih untuk mengabaikan satu hal yang bisa disebut pengkhianatan; tapi Shizuka sendiri selalu ingin tahu siapa lagi yang mungkin mencurigai dirinya. Orang-orang di kalangan Tribe memiliki ingatan yang panjang, dan juga sabar dan pantang menyerah ketika berkaitan dengan balas dendam. Tak lama setelah Takeo berangkat ke Miyako, Shizuka bersiap pergi lagi, pertama ke Yamagata lalu ke Kagemura di pe-gunungan di belakang Yamagata, kemudian ke Hofu. "Kaede dan bayi laki-lakinya kelihatan sangat sehat, aku merasa aku bisa pergi sebelum hujan plum tiba," tutur Shizuka pada suaminya. "Kau ada di sini untuk merawat mereka, kau tak boleh bepergian dengan Fumio tahun ini." "Bayi ini sangat kuat," sahut Ishida setuju. "Tapi kau takkan tahu apa akan terjadi pada bayi: cengkeraman mereka pada kehidupan masih lemah, dan bisa terlepas tanpa terduga. Tapi bayi ini tampak seperti pejuang cilik." "Dia adalah ksatria sejati," sahut Shizuka. "Kaede amat memujanya!" "Belum pemah aku melihat seorang ibu begitu terpesona pada anaknya sendiri," aku Ishida. Kaede hampir tidak sanggup berpisah dari anaknya. Dia merawatnya sendiri, yang tidak dilakukannya pada anak-anaknya yang lain. Shizuka melihat itu dengan rasa iri ber-campur iba: konsentrasi penuh si bayi mengisap puting susu ibunya, perlindungan sang ibu yang sama kuatnya. "Anak ini akan diberi nama siapa?" tanya-nya. "Kami belum memutuskan," jawab Kaede. "Takeo sangat suka nama Shigeru, tapi nama itu berkaitan dengan hal-hal yang menyedih-kan, dan kami telah memiliki Shigeko. Mungkin nama Otori yang lainnya, Takeshi, Takeyoshi. Tapi anak ini takkan diberi nama sampai berusia dua tahun nanti. Aku me-manggilnya singa kecilku." Shizuka teringat betapa ia amat sayang kepada kedua putranya saat mereka masih kecil, merenungkan kekecewaan dan ke-cemasan yang mereka timbulkan saat ini. Sewaktu menikah dengan Ishida, Shizuka berharap bisa punya anak lagi, tapi tahun-tahun berlalu dan ia tidak juga hamil. Kini ia jarang mendapat haid; kesempatannya hampir habis: dan tentu ia tak ingin harapan-nya terkabul. Ishida tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya: istrinya sudah meninggal bertahun-tahun lamanya; meski tadinya dia ingin menikah lagi, tapi tak satu pun calon yang diterima oleh Lord Fujiwara. Ishida adalah laki-laki yang penuh cinta, serta sangat baik hati. Shizuka pernah mengatakan kepada Takeo, kalau ia cukup bahagia hidup tenang bersama Ishida di Hagi dan bisa terus mendampingi Kaede. Tapi sejak menyetujui untuk menjadi ketua keluarga Muto dan Tribe, tugas itu menyita tenaga dan waktu-nya. Itu juga berarti ada banyak persoalan yang tak bisa dibicarakannya dengan Ishida: Halaman 656 dari 656 Shizuka mencintai suaminya, dan suaminya itu memiliki banyak sifat baik yang dikaguminya, tapi tutup mulut tidak ter-masuk di dalamnya. Ishida tidak terlalu memikirkan mana yang bisa dibicarakan dengan orang banyak serta mana yang harus dirahasiakan. Sake bahkan bisa lebih me-longgarkan lidahnya, dan bisa saja lupa dengan apa yang telah diocehkannya di malam sebelumnya. Ishida menyukai semua kesenangan dari kedamaian-makanan yang berlimpah, kebebasannya untuk bepergian, berinteraksi dengan orang asing, benda-benda indah yang mereka bawa dari bagian dunia lain-hingga pada tahapan tidak ingin menghadapi kenyataan bahwa kedamaian selalu berada di bawah ancaman, bahwa tidak semua orang bisa dipercaya, bahwa musuh bisa saja berada dalam lingkungan keluarga-nya sendiri. Maka Shizuka tidak mengutarakan pada suaminya tentang Taku dan Zenko, dan Ishida pun sudah hampir melupakan malam di Hofu ketika dalam keadaan mabuk di-ungkapkannya kepada Zenko, Hana dan Lord Kono tentang teori kekuatan pikiran manusia, serta efek menyembuhkan diri sendiri dengan percaya kepada ramalan, dan bagaimana semua ini berlaku pada diri Takeo. Sunaomi dan Chikara sedih atas kepergian Shizuka, tapi ibu mereka, Hana, diharapkan berada di Hagi sebelum akhir bulan, dan mereka berdua terlalu disibukkan dengan pendidikan dan latihan untuk bisa merindu-kan neneknya. Sejak mereka berdua tinggal di Hagi, Shizuka mengamati keduanya dengan cermat untuk melihat apakah ada tanda kemampuan yang berkembang, tapi kedua anak itu kelihatan layaknya putra ksatria, tak berbeda dari anak lelaki seusia mereka yang berlatih bersama mereka, saling bersaing dan bertengkar. Kaede memeluk, memberinya jubah baru dengan tudung model baru dan seekor kuda dari istal, kuda betina yang sudah sering ditunggangi Shizuka. Ia merasa lebih mudah mendapatkan kuda ketimbang teman seper-jalanan: tersadar kalau ia merindukan Kondo Kiichi yang bisa menjadi teman yang sempurna untuk perjalanan semacam ini, dengan keahlian bertarung dan kesetiaannya; disesalinya kematian Kondo, dan ia pun mendoakannya. Ia menolak tawaran Kaede untuk dikawal ksatria Otori, dan memilih Bunta sebagai teman perjalanan. Bunta dulu menjadi informannya yang bekerja sebagai pelayan di kediaman Lady Maruyama Naomi, dan menetap di Inuyama setelah kematian majikannya itu. Setelah perang dan gempa, laki-laki itu menemukan jalannya ke Hagi, dan sejak saat itu bekerja melayani keluarga Otori. Usianya beberapa tahun lebih muda dari Shizuka, berasal dari keluarga Imai. Penampilannya kalem dan pendiam, namun sebenarnya dia pencopet ulung, pendongeng dengan keterampilan mengorek informasi, dan jago sumo dan petarung tangan kosong yang tangguh. Masa lalu yang mereka lalui bersama telah menciptakan ikatan antara mereka berdua, dan Shizuka merasa bisa memercayainya. Sepanjang musim dingin Bunta telah membawakannya potongan-potongan kecil informasi, dan begitu salju mencair, dia pergi ke Yamagata atas permintaan Shizuka untuk mencari informasi. Kabar yang dibawanya sungguh mengganggu: Taku belum kembali ke Inuyama dan masih di Hofu; Zenko terlibat hubungan erat dengan Kikuta dan menganggap dirinya sebagai ketua Muto; keluarga Muto berbeda pendapat. Masalah ini telah ia bicarakan dengan Takeo, tapi mereka belum memutuskan apa pun. Kelahiran putranya, persiapan untuk per-jalanan ke Miyako telah menyita perhatian Takeo. Kini Shizuka merasa berkewajiban untuk bertindak sendiri: berusaha memper-tahankan agar keluarga Muto tetap setia dan memastikan keamanan si kembar, Maya dan Miki. Shizuka menyayangi mereka berdua seperti putri yang tidak pernah dimilikinya. Dia yang merawat mereka ketika Kaede mem-butuhkan waktu yang begitu lama untuk me-mulihkan diri setelah melahirkan; dialah yang mengawasi semua latihan mereka dengan cara Tribe; dia pula yang telah melindungi dan membela mereka dari semua orang yang hendak menyakiti mereka. Ia punya harapan lain yang ia tak yakin mampu mewujudkannya, tujuan yang pernah diajukan namun ditolak Takeo. Shizuka tak kuasa menahan ingatannya pada Iida Sadamu, dan rencana untuk membunuh bangsawan itu. Andai dunia sejujur seperti sekarang ini. Ia telah mengatakan pada Halaman 657 dari 657 Takeo bahwa sebagai Ketua Muto dan sahabat keluarga Otori, ia menganjurkannya untuk menyingkirkan Zenko. Ia masih tetap berpegang pada pendapatnya saat memikir-kannya dengan pikiran yang jernih. Tapi ketika memikirkannya sebagai seorang ibu... Takeo sudah mengatakan kalau dia tak ingin membunuh Zenko, pikirnya. Aku tidak perlu melakukan hal yang bertentangan dengan keinginannya. Tak seo rang pun akan menyangka usulan itu datang dariku. Tapi di lubuk hatinya, Shizuka meng-harapkan anaknya itu mati ditangannya sendiri. Putra Bunta, pemuda berusia lima belas atau enam belas tahun, ikut bersama mereka untuk mengurus kuda, menyediakan makan, dan berkuda di depan untuk mengatur tempat pemberhentian selanjutnya. Cuaca hari itu cerah, jalanan aman dan terawat baik, kota-kota damai dan sejahtera, makanan berlimpah dan lezat. Shizuka kagum atas semua yang Takeo dan Kaede capai demi kemakmuran dan kebahagiaan negara, dan meratapi hasrat yang haus kekuasaan dan keinginan kuat untuk balas dendam yang mengancamnya. Tapi tidak semua orang tidak menikmati kedamaian dan kemakmuran di negeri ini. Keluarga Muto tempat dia menginap di Tsuwano menggerutu karena berkurangnya status mereka di kalangan pedagang sejak banyak orang yang terlibat dalam per-dagangan. Di Yamagata, di rumah lama Kenji yang kini ditinggali sepupunya, Yoshio, perbincangan selalu soal kemakmuran di masa lalu, ketika Kikuta dan Muto bersahabat dan semua orang takut dan meng-hormati mereka. Ia telah mengenal Yoshio sejak kecil karena mereka pernah dilatih bersama. Dia memperlakiikan Shizuka dengan akrab dan berbicara blak-blakan. Shizuka tak tahu apakah ia bisa mengandalkan dukungan sepupunya ini, tapi setidaknya sepupunya ini bersikap jujur. "Ketika Kenji masih hidup," tutur Yoshio. "Semua orang menghormatinya, dan bisa melihat alasannya untuk berdamai dengan Otori. Takeo memiliki informasi yang bisa menghancurkan Tribe, seperti yang dilaku-kannya sebelumnya di Maruyama. Lalu, banyak hal yang harus ditakukan: memberi kita waktu, dan menyimpan tenaga. Tapi semakin banyak orang mengatakan kalau tuntutan Kikuia akan keadilan perlu didengar: Takeo bersalah atas penghinaan yang terburuk, lari dari Tribe dan mem-bunuh Ketua dari keluarganya. Selama bertahun-tahun dia belum dihukum atas per-buatannya, tapi kini Akio dan Arai Zenko siap menghukumnya." "Kenji bersumpah setia pada Takeo atas nama keluarga Muto," Shizuka mengingat-kan. "Begitu pula putraku-dia telah bersumpah berulang kali. Dan aku memimpin keluarga Muto bukan hanya karena Takeo menunjukku: ini juga keinginan Kenji." "Kenji tak bisa bicara dari dalam kuburnya, kan? Itulah keprihatinan kami- aku jujur padamu, Shizuka. Aku senantiasa kagum dan juga suka padamu, walaupun dulu kau anak yang menyebalkan, tapi kau sudah berubah: bahkan sempat cukup cantik juga!" Yoshio menyeringai dan menuangkan sake lagi untuknya. "Simpan saja pujianmu itu," balasnya, sambil minum sake dengan sekali tenggak. "Aku sudah terlalu tua untuk itu sekarang!" "Kau minum dan bertarung layaknya laki-laki!" seru Yoshio dengan kagum. "Aku pun bisa memimpin layaknya laki-laki," Shizuka meyakinkannya. "Aku tak menyangsikannya. Tapi seperti yang kukatakan, orang-orang di Tribe ter-singgung karena Takeo yang menunjukmu. Masalah dalam keluarga Muto tidak pernah diputuskan oleh bangsawan-" "Takeo bukan sekadar bangsawan!" protes Shizuka. "Bagaimana dia mendapatkan kekuasaan? Layaknya bangsawan lain, dengan meraih kesempatan, menghadapi musuhnya dengan kejam, dan mengkhianati mereka yang telah bersumpah setia kepadanya." Halaman 658 dari 658 "Itu hanya salah satu sisinya!" "Itu adalah cara Tribe," sahut Yoshio, tersenyum lebar. Shizuka berkata, "Bukti keberhasilan pemerintahannya ada di mana-mana: tanah yang subur, anakanak yang sehat, pedagang yang kaya." "Ksatria yang frustrasi dan mata-mata yang menganggur," bantah Yoshio, menenggak sakenya lalu mengisi lagi. "Bunta, kau diam saja. Katakan kalau aku benar." Bunta mengangkat mangkuk ke mulutnya dan menatap Shizuka dari pinggiran mangkuknya selagi minum. "Bukan hanya karena Takeo yang menunjukmu, tapi juga karena kau perempuan. Ada kecurigaan lain pada dirimu yang jauh lebih berat." Senyum Yoshio hilang, dia duduk dengan bibir terkatup rapat dan menunduk. "Orang-orang ingin tahu bagaimana Takeo menemukan Tribe di Maruyama padahal dia belum pernah ke sana. Menurut kabar, Lord Shigeru memiliki catatan informasi tentang Tribe; orang tahu kalau Lord Shigeru dan Kenji berteman, tapi Shigeru tahu jauh lebih banyak tentang Tribe dari yang bisa dia tahu dari Kenji. Pasti ada orang yang memberi informasi padanya." Kedua orang itu meliriknya, namun ia tidak bereaksi. "Orang-orang yang mengatakan kaulah yang memberi informasi itu, dan itulah alasannya Takeo menunjukmu sebagai ketua Muto, sebagai imbalan atas pengkhianatan-mu selama bertahun-tahun." Kata-kata itu menggantung di udara bak sebuah pukulan. "Maaf," imbuh Bunta cepat. "Aku bukan-nya mengatakan kalau aku salah satu dari mereka; aku hanya ingin memperingatkan mu. Tentu saja Akio akan memanfaatkan desas-desus ini." "Itu sudah lama sekali," sahut Shizuka dengan nada ringan. "Selama Iida berkuasa, dan selama perang, banyak yang bertindak yang dapat dianggap sebagai pengkhianatan. Ayah Zenko menyerang Takeo setelah ber-sumpah bersekutu dengannya, namun siapa yang bisa menyalahkannya? Semua orang tahu cepat atau lambat Arai akan melawan Otori untuk mengendalikan Tiga Negara. Otori menang: Tribe juga merasakan kemenangannya, seperti yang sudah kita lakukan, dan kita akan terus begitu." "Uhh," gerutu Yoshio. "Sekarang nampak-nya Arai akan menentang Otori lagi. Tidak ada yang berpikir kalau Takeo akan meng-undurkan diri dengan sukarela, apa pun hasil pertandingan di Miyako. Dia akan kembali dan bertempur. Dia bisa saja mengalahkan Zenko di Barat, dan kemungkinan, meski sedikit peluangnya, mengalahkan Saga di Timur. Dia tak bisa menang melawan mereka berdua. Kita harus memihak pada pemenangnya.... " "Lalu Kikuta akan balas dendam," ujar Bunta. "Mereka sudah lama menanti. Akan terlihat kalau tidak ada yang bisa lepas dari Tribe." Shizuka mendengar kata-kata ini seperti gema. Ia pernah mengucapkan kata-kata yang sama tentang masa depan Takeo pada Kaede bertahun-tahun lalu di Terayama. "Kau bisa menyelamatkan diri, Shizuka, dan kemungkinan juga keluarga Muto. Yang mesti kau lakukan hanyalah mengakui Zenko sebagai ketua keluarga. Kami melepaskan diri dari Takeo sebelum dia kalah; kami tak ingin terpuruk bersamanya, dan rahasia apa pun yang kau simpan di masa lalu akan tetap tersimpan rapat-rapat." "Taku takkan setuju," sahut Shizuka menyuarakan pikirannya. "Dia akan setuju bila kau yang suruh, sebagai ketua dan sebagai ibunya. Dia tidak punya pilihan. Taku bisa berpikir dengan akal sehat. Dia akan memahami kalau ini demi yang terbaik. Zenko akan membayar upeti pada Saga, Tribe akan bersatu lagi, kita akan dapatkan kembali kekuatan kita. Halaman 659 dari 659 Karena Saga berniat menyatukan Delapan Pulau di bawah kekuasaannya, kita akan punya pekerjaan yang menarik dan menguntungkan selama bertahun-tahun yang akan datang." Dan aku tak perlu membunuh putraku, pikir Shizuka. Shizuka berangkat ke desa Muto, Kagemura, keesokan harinya. Malam sebelumnya bulan purnama dan ia berkuda dengan murung, kesal dengan perbincangan semalam. Ia takut kalau keluarga Muto di situ juga akan men-desaknya untuk mengambil jalan yang sama. Bunta hanya bicara sedikit, dan Shizuka merasa marah dan tidak nyaman dengan laki-laki itu. Sudah berapa lama Bunta curiga? Apakah sejak pertama kali orang itu melapor-kan tentang hubungan Shigeru dengan Maruyama Naomi? Selama bertahun-tahun ia takut pengkhianatannya akan terungkap, namun sejak mengakui perbuatannya pada Kenji, dan dimaafkan, rasa takut itu ber-kurang. Kini rasa takut itu muncul lagi, membuatnya waspada yang tidak ia lakukan selama bertahun-tahun, siap bertarung mem-bela diri. Ditemukan dirinya mengira-ngira tentang Bunta dan anaknya, berusaha memikirkan cara untuk menghabisi mereka kalau mereka berbalik menentangnya. Shizuka masih berlatih setiap hari, tapi ia sudah tak muda lagi; ia bisa mengalahkan banyak laki-laki dengan pedang namun juga sadar kalau ia tidak bisa menandingi kekuatan fisik mereka. Hari menjelang malam ketika mereka tiba di penginapan. Pagi harinya ia meninggalkan bocah itu dan kuda di belakang. Ia berjalan kaki seperti yang pernah ia lakukan bersama Kondo, melintasi pegunungan. Shizuka tak tidur karena gelisah. Ia hampir tak bisa menahan diri untuk menangis. Tiada henti ia memikirkan Kondo: ia pernah bercinta dengan orang itu di tempat ini; ia tidak mencintai Kondo; ia mengasihani orang itu. Kemudian Kondo muncul lagi saat ia mengira hidupnya akan berakhir, hanya untuk melihat orang terbakar hidup-hidup di depan matanya. Sifat Kondo yang sulit menunjukkan perasaan seperti mendapatkan kemuliaan tragis. Alangkah menyedihkan keadaan Kondo saat itu, serta alangkah mengagumkannya! Mengapa ia begitu terharu pada laki-laki itu kini? Nyaris seperti arwah Kondo tengah menggapai dirinya untuk mengatakan sesuatu, untuk memper ingatkannya. Bahkan saat melihat desa Muto di lembah tersembunyi tak mampu membuatnya gembira seperti biasanya. Hari sudah sangat sore ketika mereka sampai, matahari mulai tenggelam di balik gugusan pegunungan terjal, kabut mulai menyelimuti lembah lagi. Saat itu hawa terasa dingin, membuatnya senang dengan jubah bertudung yang dipakainya. Gerbang desa tampak dibuka dengan rasa enggan. Bahkan rumah-rumah di dalamnya berkesan tertutup dan tidak ramah, dinding kayu kelam terkena embun, atap-atap diperberat dengan bebatuan. Kakek dan neneknya sudah lama meninggal: rumah lama kini dihuni keluarga-keluarga yang sebaya dengan kedua putranya dan anak-anak; Shizuka tidak mengenal betul mereka, walaupun ia tahu nama, bakat dan sebagian besar rincian dalam hidup mereka. Kana dan Miyabi, kini sudah menjadi nenek, masih mengurus rumah, dan setidaknya mereka menyambut dirinya dengan kegembiraan yang tulus. Shizuka kurang yakin dengan ketulusan sambutan dari orang lainnya, meskipun anak-anak sangat gembira atas kedatangannya, terutama Miki. Belum sampai dua bulan sejak terakhir kali bertemu Miki: ia terkejut dengan perubahan gadis itu. Miki lebih tinggi dan agak kurus sehingga tampak lentur dan ramping. Tulang-tulang tajam di wajahnya kelihatan lebih menonjol dan matanya yang cekung berkilat. Sewaktu mereka berkumpul di dapur untuk menyiapkan makan malam, ia bertanya pada Kana, "Apakah Miki pernah sakit?" karena saat musim semi kerapkali terjadi demam mendadak dan sakit perut. Halaman 660 dari 660 "Kau mestinya tidak berada di sini ber-sama kami!" bentak Kana. "Kau tamu ke-hormatan: seharusnya kau duduk bersama para laki-laki." "Aku akan bergabung dengan mereka nanti. Ceritakan tentang keadaan Miki." Kana berpaling ke arah Miki yang tengah duduk di samping perapian, mengaduk sop di panci besi yang tergantung di atas api dengan kaitan besi berbentuk ikan. "Miki memang semakin kurus," sahut Kana setuju. "Tapi dia tidak mengeluh, bukan begitu, 'nak?" "Dia tidak megeluh," imbuh Miyabi tertawa. "Miki setangguh laki-laki. Kemarilah Miki, biarkan Shizuka memegang lengan-mu." Miki datang dan berlutut di dekat Shizuka tanpa bicara. Shizuka mencengkeram lengan bagian atas gadis itu. Dirasakakannya lengan itu sekeras baja, tidak ada daging, hanya otot dan tulang. "Apakah semuanya baik-baik saja?" Miki mengangguk. "Ayo berjalan-jalan bersamaku: kau bisa ceritakan apa yang membuatmu sedih." "Dia akan bicara padamu saat tidak ingin bicara dengan orang lain," ujar Kana dengan suara pelan. "Shizuka," bisik Miyabi bahkan lebih pelan lagi. "Waspadalah. Para pemuda...." Miyabi melirik sekilas ke ruang utama rumah tempat suara-suara laki-laki terdengar samar-samar, meski Shizuka bisa mengenali suara Bunta. "Ada yang merasa tidak suka," ujar Miyabi tidak jelas, terang-terangan takut ada yang menguping. "Begitulah yang diberitahukan kepadaku. Di Yamagata dan Tsuwano juga sama. Aku akan melanjutkan perjalanan ke Hofu, tempat aku akan bicarakan keadaan ini dengan kedua putraku. Aku akan pergi satu atau dua hari lagi." Miki masih berlutut di dekatnya, dan Shizuka mendengarnya menghela napas pelan dan merasakan kalau gadis itu semakin tegang. Dirangkulnya Miki, tercengang dengan tajam dan rapuhnya tulang di balik kulitnya, tak ubahnya sayap burung. "Ayo, pakai sandalmu. Kita akan jalan-jalan ke biara dan memberi salam kepada dewa-dewa." Kana memberi Miki sedikit kue mochi sebagai sesaji bagi dewa-dewa. Shizuka mem-buka tudung jubahnya; cuaca terasa dingin. Bulan bersinar redup menyinari udara yang berkabut, membuat bayang-bayang di se-panjang jalan dan di balik pepohonan yang mengelilingi biara. Walau-pun sudah dua hari sejak purnama bulan keempat, udara masih terasa dingin. Jauh di ketinggian pegunungan terdengar nyanyian katak dan jangkrik. Hanya seruan burung hantu yang tersendat-sendat. Biara diterangi dua lentera di kedua sisi altarnya. Miki menaruh kue mochi di depan patung Hachiman, dan mereka berdua me-nepukkan tangan lalu membungkuk hormat tiga kali. Shizuka pernah memanjatkan doa di sini bertahun-tahun yang silam untuk Takeo dan Kaede. Sekarang ia masih me-manjatkan permintaan yang sama, dan men-doakan arwah Kondo dan mengucapkan rasa terima kasihnya kepada laki-laki itu. "Apakah para dewa akan melindungi Maya?" tanya Miki, seraya menatap pahatan patung di depannya. "Kau sudah memintanya?" "Sudah, aku selalu meminta begitu. Juga untuk Ayah. Tapi aku tidak mengerti bagai-mana para dewa bisa mengabulkan doa semua orang, saat semuanya menginginkan hal yang berbeda. Aku mendoakan ke-selamatan Ayah, tapi banyak orang lain yang mendoakan kematiannya." "Inikah yang telah membuatmu kurus, mencemaskan ayahmu?" "Aku berharap bisa bersamanya. Dan Maya juga." Halaman 661 dari 661 "Terakhir kali kita benemu kau sangat gembira, dan baik-baik saja. Apa yang telah terjadl?" "Aku tidak dapat tidur nyenyak. Aku takut dengan mimpi." "Mimpi apa?" sela Shizuka saat gadis itu membisu. "Mimpi-mimpi saat aku bersama Maya. Dia menjadi si kucing dan aku menjadi bayangannya. Kucing mengambil segala yang ada dalam diriku dan aku harus mengikuti-nya. Ketika berusaha terus terjaga, aku men-dengar para laki-laki bicara: mereka selalu membicarakan hal yang sama, tentang keluarga Muto, dan apakah Ketua bisa dijabat oleh perempuan, dan Zenko juga Kikuta. Dulu aku senang berada di sini. Aku merasa aman dan semua orang menyukaiku. Sekarang para laki-laki terdiam saat aku lewat, dan anak-anak lain menghindariku. Ada apa Shizuka?" "Para laki-laki memang selalu menggerutu. Nanti juga mereka bosan," sahut Shizuka. "Lebih dari itu," ujar Miki dengan nada mendesak. "Sesuatu yang buruk sedang ter-jadi. Maya dalam bahaya. Kau tahu bagai-mana kami berdua: aku bisa tahu apa yang terjadi pada Maya, begitu juga sebaliknya. Kami selalu begitu. Aku bisa merasakannya berseru memanggilku, tapi aku tidak tahu di mana Maya berada." "Maya ada di Hofu bersama Taku dan Sada," sahut Shizuka dengan percaya diri untuk menyembunyikan kegelisahannya sendiri. Ia tahu benar si kembar bisa mengetahui pikiran masing-masing dari jauh. "Maukah kau mengajakku ke sana?" "Mungkin sebaiknya begitu." Tentu saja, pikirnya, aku harus mengajak-nya. Aku tak bisa meninggalkannya di sini Orang-orang akan memanfaatkan dia me-lawan Takto. Semakin cepat aku bicara dengan Taku dan Zenko, akan semakin baik. Kami harus menyelesaikan masalah kepemim-pinan ini sebelum perasaan tidak senang ini makin tak terkendali "Kita akan berangkat lusa." Shizuka menghabiskan keesokan harinya untuk berkonsultasi dengan para pemuda yang kini membentuk inti keluarga Muto. Mereka memperlakukannya dengan normat dan mendengarkannya dengan sopan. Silsilah keluarga, sejarah dan bakatnya telah mengendalikan rasa hormat dan rasa takut mereka. Shizuka lega, terlepas dari usia dan bentuk tubuhnya yang kecil, ia masih bisa mengendalikan mereka. Diulangi lagi niatnya untuk membicarakan masalah kepemim-pinan dengan Zenko dan Taku, serta menekankan bahwa ia takkan turun dari jabatannya sebagai Ketua sebelum Takeo kembali dari wilayah Timur. Ia mengatakan bahwa ini keinginan Kenji dan ia meng-harapkan kepatuhan total mereka sesuai tradisi keluarga Muto. Tak seorang pun keberatan saat ia mengatakan Miki akan ikut bersamanya, tapi dua hari kemudian di jalan menuju Yamagata, Bunta berkata, "Orang di desa kini tahu kau tidak memercayai mereka karena kau membawa Miki." "Saat ini aku tidak memercayai siapa pun." Mereka berkuda berdampingan, Miki di depan menunggang kuda anak lelaki Bunta. Shizuka berencana meminjam satu kuda lagi dari istal Lord Miyoshi di Yamagata. Itu akan membuat mereka berdua lebih leluasa, lebih aman. Shizuka memalingkan wajah lalu menatap langsung ke arah Bunta, menantang laki-laki itu. "Apa aku salah? Haruskah aku percaya padamu?" "Jujur saja, semua ini hanya masalah apa yang diputuskan Tribe. Aku takkan meng Halaman 662 dari 662 gorok lehermu selagi kau tidur, kalau itu yang kau maksud. Aku sudah lama mengenalmu-dan lagi, aku tak suka mem-bunuh perempuan." "Jadi beritahu aku lebih dulu sebelum kau mengkhianati diriku," ujarnya. Mata agak Bunta mengerut. "Akan ku-katakan." "Suruh Bunta dan putranya pulang," ujar Miki kemudian, ketika mereka tiba di Yamagata dan sedang berdua saja. Tidak ingin tinggal di rumah Muto dengan Yoshio, Shizuka lalu pergi ke kastil. Di sana mereka disambut istri Kahei yang membujuk mereka agar tinggal lebih lama. Saat bujukannya tidak berhasil, dia lalu menawarkan pen- damping dan juga kuda tambahan. "Sulit untuk memutuskan," ujar Shizuka kepada Miki. "Jika aku kirim mereka pulang, maka aku tidak punya lagi kontak dengan keluarga Muto selama di perjalanan, dan aku justru semakin mendorong Bunta untuk menjauhiku; jika kuterima tawaran Lady Miyoshi berarti kita akan bepergian secara terbuka-kau sebagai putri Lord Otori." Miki mengerutkan wajah pertanda tidak menyukai usulan itu. Shizuka tertawa. "Keputusan ini tidak pernah sesederhana yang kau kira." "Mengapa kita tidak pergi berdua saja?" "Dua orang perempuan bepergian tanpa pelayan atau pendamping justru akan lebih menarik perhatian-biasa-nya perhatian yang tidak diinginkan!" "Andai kita dilahirkan sebagai laki-laki!" ujar Miki, dan meski berusaha bicara dengan nada ringan. Shizuka menangkap nada kesedihan di balik kata-katanya. Teringat olehnya rasa sayang Kaede pada bayi laki-lakinya, kasih sayang yang tak pernah ditunjukkan pada putri kembarnya. Ia melihat kesepian yang dialami si kembar: tumbuh dewasa di antara dua dunia. Bila keluarga Muto berbalik menentang ayah mereka, maka mereka pun akan menolak kehadiran si kembar. Mereka bahkan akan berusaha untuk menghabisi si kembar dan Takeo. "Bunta dan putranya akan ikut dengan kita ke Hofu. Setibanya di sana, Taku akan mengurus kita; kau akan bersama Maya dan kita semua akan aman!" Miki mengangguk dan berusaha ter-senyum. Malam itu terjadi gempa kecil, membuat bangunan berguncang dan menyebabkan kebakaran di beberapa bagian kota. Udara tetap terasa penuh debu dan asap saat mereka pergi dengan dua kuda tambahan, satu ditung-gangi oleh pengurus kuda dari kediaman Miyoshi. Mereka bertemu Bunta dan putranya sesuai rencana, di tepi parit lebar kota, tepat di luar gerbang kastil. "Kau dapat kabar dari Taku?" tanya Shizuka pada Bunta, seraya memikirkan Taku mungkin menghubungi keluarga Muto. "Yoshio tidak mendengar kabar apa-apa. Hanya ada laporan bahwa dia masih di Hofu." Bunta menyeringai dengan kesan tidak senonoh sewaktu mengatakannya, lalu berkedip kepada putranya yang tertawa. Apakah semua orang tahu kalau putranya tengah tergila-gila pada Sada? Shizuka ber-tanya pada dirinya sendiri, merasakan kesal pada putra bungsunya itu. Namun di malam pertama perjalanan mereka, setelah Shizuka dan Miki pergi tidur, Bunta mengetuk pintu dan memanggil namanya pelan. Shizuka mencium bau sake. "Keluarlah. Aku mendengar kabar buruk." Bunta mabuk, sake sudah menghilangkan kepekaan serta membebaskan lidahnya. Shizuka mengambil pisaunya dari bawah tikar dan menyelipkannya di balik jubah tidurnya, sambil merapatkan jubah luarnya. Diikutinya Bunta sampai ke ujung be-randa. Bulan tidak kelihatan; terlalu gelap untuk melihat ekspresi di wajah Bunta. Halaman 663 dari 663 "Mungkin ini hanya rumor, tapi kurasa kau perlu dengar." Dia berhenti sejenak lalu bicara dengan canggung, "Ini bukan berita bagus: kau sebaiknya menyiapkan diri." "Apa?" tanya Shizuka, lebih keras dari yang diingin-kannya. "Taku diserang bandit. Dia dan kekasih-nya, Sada, tewas." "Tidak mungkin," ujar Shizuka. "Tidak ada yang tahu detailnya. Tapi orang-orang membicarakannya di kedai." "Orang-orang Tribe? Muto?" "Muto dan Kuroda." jawabnya canggung. "Aku turut berduka." Dia tahu kalau berita itu benar, pikirnya, karena ia pun tahu kalau itu benar. Saat merasakan kesedihan yang mendalam selama perjalanan ke Kagemura, ia merasa arwah Kondo berseru memanggil. Kini Taku berada di antara mereka. Ini bisa membunuhku, pikirnya. Penderitaan yang dirasakannya begitu menusuk hingga tak tahu bagaimana bisa bertahan, bagaimana ia bisa terus hidup di dunia yang tak ada Taku di dalamnya. Shizuka meraba pisau di jubahnya, ber-maksud menikam lehernya sendiri, menyam-but rasa sakit di tubuhnya yang bisa mengakhiri penderitaannya. Tapi sesuatu mencegahnya. Shizuka memelankan suara, ingat kalau Miki sedang tidur di dekat situ. "Putri Lord Otori, Maya, ada bersama Taku. Apakah dia juga ikut tewas?" "Tidak ada yang menyebut-nyebutnya, " sahut Bunta. "Kurasa tidak ada yang tahu kalau Maya ikut bersama mereka, kecuali keluarga Muto di Maruyama." "Apakah kau tahu?" "Aku dengar ada anak yang dijuluki Si Kucing Kecil bersama Taku. Aku sedang mencari tahu siapa orangnya." Shizuka tidak menjawab. Ia tengah berjuang mengendalikan diri. Di benaknya melintas kenangan masa lalu, bayangan pamannya, Kenji, saat mendengar kabar tentang kematian putrinya di tangan Kikuta. Paman, dipanggilnya arwah Kenji. Kau mengerti penderitaan yang kualami saat ini dan kini aku bisa rasakan sakit hatimu. Beri aku kekuatan untuk terus hidup, seperti dirimu. Maya, aku harus memikirkan Maya. Aku takkan memikirkan Taku, belum saatnya. Aku harus selamatkan Maya. "Apakah kita akan tetap ke Hofu?" tanya Bunta. "Ya, aku harus mencari tahu kebenaran-nya." Ia memikirkan semua ritual yang harus dilakukan bagi arwah Taku, ingin tahu di mana putranya dikubur. Ia merasakan lilitan penderitaan sekuat baja menghimpit dadanya saat memikirkan jasad putranya di dalam tanah, dalam kegelapan. "Zenko ada di Hofu?" tanyanya, merasa kagum ternyata kata-kata itu terlontar dengan tenang. "Ya, istrinya pergi ke Hagi naik kapal laut minggu lalu, tapi dia tidak ikut. Dia tengah mengawasi pengaturan perdagangan dengan orang-orang asing. Dia makin dekat dengan mereka, begitulah beritanya." "Zenko pasti tahu. Bila memang per-buatan bandit, maka dia bertanggung jawab untuk menangkap dan menghukum mereka, dan menyelamatkan Maya bila masih hidup." Namun bahkan saat ia bicara pun, Shizuka tahu kalau putranya tidak tewas dibunuh sembarangan bandit. Dan tak satu pun orang Tribe berani menyentuh Taku-kecuali Kikuta. Akio telah menghabiskan musim dingin di Kumamoto. Akio pasti telah berhubungan dengan Zenko. Halaman 664 dari 664 Shizuka tak percaya Zenko terlibat dalam kematian Taku. Apakah ia akan segera ke-hilangan kedua putranya? Aku tidak boleh menuduh sebelum bicara dengannya. Bunta menyentuh lengan Shizuka dengan ragu-ragu. "Ada yang bisa kubantu? Mau kuambilkan sake, atau teh?" Ia menarik lengan, membaca sesuatu yang lebih dari sekadar simpati dari gerakan Bunta. Seketika membenci semua laki-laki dengan nafsu dan kekerasan mereka yang berujung pada kematian. "Aku ingin sendiri. Kita pergi saat matahari terbenam. Jangan katakan apa pun pada Miki. Akan kuputus-kan kapan akan memberitahunya." "Aku sangat berduka," sahut Bunta. "Semua orang menyukai Taku. Ini benar-benar kehilangan yang menyedihkan." Ketika langkah kaki Bunta semakin meng-hilang, Shizuka terpuruk di beranda. Ia masih memegang pisau, alat yang bisa ia gunakan untuk lari dari dunia nan penuh derita ini. Terdengar olehnya langkah kaki ringan di lantai papan. Miki mendekat lalu memeluk-nya erat. "Kukira kau sudah tidur," Shizuka memeluk gadis itu dan membelai rambutnya. "Ketukan pintu tadi membuatku ter-bangun, lalu aku tak tahan untuk men-dengarkan." Tubuh kurusnya gemetaran. "Maya belum mati. Aku pasti tahu kalau dia sudah mati." "Di mana dia? Bisakah kau menemukan-nya?" Shizuka berpikir bila ia berkonsentrasi pada Maya, pada mereka yang masih hidup, maka ia takkan larut dalam kesedihan. Dan Miki, dengan kepekaan yang amat tinggi, nampaknya menyadari ini. Miki tidak meng-ucapkan sepatah kata pun tentang Taku, tapi membantu Shizuka berdiri. "Kemari dan berbaringlah," katanya, seolah Shizuka adalah anaknya. "Meskipun tidak bisa tidur, kau bisa beristirahat. Aku ingin tidur karena Maya berbicara padaku dalam mimpi. Cepat atau lambat dia akan mengatakan padaku di mana dia berada, dan kemudian aku akan bertemu dengannya." "Kita harus kembali ke Hagi. Aku harus membawamu pulang." "Tidak, kita harus ke Hofu," bisik Miki. "Maya masih di Hofu. Bila kelak kau tidak menemukanku, jangan cemas. Aku akan bersama Maya." Mereka berbaring dan Miki meringkuk di sebelah Shizuka. Gadis itu sepertinya ter-tidur, namun Shizuka tetap terjaga memikir-kan tentang hidup putranya. Semua perempuan di kalangan Tribe dan ksatria harus membiasakan diri mendengar kabar tentang kematian kejam putra mereka. Anak lakilaki diajarkan untuk tidak takut mati, dan anak perempuan dilatih untuk tidak menunjukkan kelemahan atau kesedihan. Ia melihat bagaimana kasih sayang seorang ibu yang terlalu melindungi telah mengubah putranya menjadi pengecut atau mengarah-kan mereka bertindak gegabah. Taku telah tiada, ia menangisinya, namun yakin kalau kematian putranya karena tidak ingin mengkhianati Takeo: Taku dibunuh karena kesetiaannya. Kematiannya bukanlah sesuatu yang tidak disengaja atau tidak bermakna. Dengan cara ini Shizuka sanggup menenangkan serta menguatkan dirinya selama beberapa hari berikutnya saat berkuda ke Hofu. Ia bertekad tidak akan bersikap seperti seorang ibu yang kebingungan dan bersedih, tapi bersikap sebagai ketua Muto; ia takkan memperlihatkan kelemahan tapi justru akan mencari tahu bagaimana putra-nya bisa mati dan menyerei pembunuhnya untuk dihukum. Cuaca panas dan pengap: bahkan angin laut tidak mampu mendinginkan kota pelabuhan itu. Hujan musim semi hanya turun sedikit, dan orang-orang bicara dengan cemas tentang panasnya cuaca yang tidak biasa. Cuaca seperti ini dapat menyebabkan kekeringan karena selama enam belas tahun Halaman 665 dari 665 atau lebih tidak terjadi kekeringan. Hujan musim semi dan hujan plum senantiasa datang di saat yang tepat sehingga banyak pemuda yang belum pernah mengalami kekeringan. Suasana di kota terasa menggelisahkan, bukan hanya karena cuaca. Berbagai pertanda yang mengancam dilaporkan setiap hari; wajah-wajah yang bicara tentang takdir buruk terlihat di lentera-lentera di luar biara Daifukuji; kawanan burung yang terbang membentuk huruf nasib buruk di udara. Segera setelah mereka tiba di sana, Shizuka menyadari kesedihan dan kemarahan yang sebenar-nya dari penduduk kota atas kematian Taku. Ia tidak pergi ke kediaman Zenko, tapi menginap di penginapan yang menghadap ke sungai, tidak jauh dari Umedaya. Di malam pertama, pemilik penginapan menceritakan kalau Taku dan Sada di-makamkan di Daifukuji. Dikirimnya Bunta untuk memberitahu Zenko tentang ke-datangannya. Ia bangun pagi-pagi, me-ninggalkan Miki yang masih tidur, berjalan ke biara warna merah tua yang berdiri di antara pepohonan suci, menghadap ke laut untuk menyambut kepulangan para pelaut ke Negara Tengah. Lantunan doa terdengar dari dalam biara, dan dikenalinya kata-kata suci dan alunan sutra bagi orang meninggal. Dua biarawan tengah menyebarkan air di papan jalan sebelum menyapunya. Salah satu dari mereka mengenali Shizuka, lalu berkata, "Ajak Lady Muto ke pemakaman. Aku akan memberitahu Kepala Biara." Dilihatnya simpati mereka, dan ia berterima kasih. Di bawah pepohonan besar terasa dingin. Sang Biarawan membimbingnya ke makam yang baru digali; belum ada batu nisan; lentera menyala di sisi makam dan sese-orang telah menaruh sesaji bunga-iris ungu-di depannya. Dipaksa dirinya membayangkan putranya diletakkan dalam peti mati di bawah tanah, tubuh yang kuat dan lincah kini terbujur kaku. Arwah putranya pasti gentayangan gelisah di antara dua dunia, menuntut keadilan. Biarawan yang kedua datang membawa dupa, dan tak lama kemudian, saat Shizuka berlutut berdoa tanpa suara, Kepala Biara datang lalu berlutut di sampingnya. Mereka tetap membisu beberapa saat; kemudian Kepala Biara melantunkan suara yang sama bagi orang meninggal. Air mata mengambang di pelupuk mata-nya dan mengalir turun di pipi. Kata-kata kuno naik terbang ke bawah naungan pe-pohonan, bercampur dengan kicau pagi burung gereja serta kicau lembut burung merpati. Kemudian, Kepala Biara mengajaknya masuk ke ruangannya dan menyajikan teh untuknya. "Aku sendiri yang mengurus pengukiran batu nisannya. Kurasa itulah yang diinginkan Lord Otori." Shizuka menatap orang itu. Ia mengenal Kepala Biara selama beberapa tahun, tapi dia selalu dalam suasana hati yang gembira, dia bisa berkelakar dengan para pelaut dalam dialek kasar mereka sama baiknya dengan menggubah syair indah penuh humor ber-sama Takeo, dan Tabib Ishida. Kini wajah-nya murung, dengan ekspresi sedih. "Apakah kakaknya, Lord Zenko, ber-hubungan dengan semua ini?" tanya Shizuka. "Aku khawatir Lord Zenko telah di-pengaruhi orang asing: tidak ada peng-umuman resmi, tapi semua orang mem-bicarakannya. Dia telah menerima agama mereka dan kini mengakuinya sebagai satu agama yang benar. Hal ini membuatnya tidak boleh masuk ke kuil dan biara kami, dan tidak boleh melakukan upacara yang di-perlukan bagi adiknya." Shizuka menatap pendeta itu, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Sikapnya sangat meresahkan," lanjutnya. "Sudah ada pertanda kalau para dewa ter-singgung. Orang-orang takut mereka akan dihukum dewa atas perbuatan pemimpin mereka. Sebaliknya, orangHarjono Siswanto Story Collection Halaman 666 dari 666 orang asing itu bersikeras kalau tuhan mereka, Deus, akan memberi pahala bagi Zenko dan siapa pun yang bergabung dengannya." "Termasuk sebagian besar pengawal pribadinya," imbuhnya, "yang diperintahkan pindah agama atau mati." "Benar-benar gila," ujar Shizuka, me-mutuskan untuk bicara dengan Zenko secepatnya. Ia tidak menunggu untuk di-panggil menghadap, namun segera kembali ke penginapan untuk berpakaian rapi dan memesan tandu. "Tunggu di sini," katanya pada Miki. "Bila aku tidak kembali nanti malam, pergilah ke Daifukuji, mereka akan mengurusmu." Gadis itu memeluknya sangat erat. Zenko keluar menuju beranda begitu tandu diturunkan di dalam gerbang. Ia memaksa dirinya berpikir kalau ia salah menilai putra sutungnya itu. Kata-kata pertama Zenko adalah simpati, diikuii ungkapan betapa gembira dia bertemu ibunya, terkejut karena ibunya tidak langsung menemui dirinya. Pandangan mata Shizuka jatuh ke kalung rosario di leher Zenko, lambang agama orang asing, menggantung di dadanya. "Kabar buruk ini merupakan pukulan bagi kita semua," ujarnya, selagi membimbing ibunya berjalan menuju ruangan yang meng-hadap ke taman. Seorang bocah, cucunya, tengah bermain di beranda, diawasi pengasuhnya. "Kemari dan sapa nenekmu," panggil Zenko, dan anak itu dengan patuh datang lalu berlutut di hadapan Shizuka. Itu pertama kalinya Shizuka bertemu cucunya: usianya kira-kira dua tahun. "Istriku, seperti yang Ibu tahu, sudah ke Hagi untuk menemani kakaknya. Sebenarnya dia enggan meninggalkan Hinomasa kecil, tapi kukira sebaiknya mempertahankan se-tidaknya salah satu putraku bersamaku." "Jadi kau mengakui kalau kau memper-taruhkan nyawa kedua putramu yang lain?" tanya Shizuka pelan. "Ibu, Hana akan bersama mereka dalam dua minggu lagi. Kukira mereka tidak dalam bahaya. Lagipula, aku tidak melakukan kesalahan apa-apa. Tanganku bersih." Di-angkat kedua tangannya lalu mengangkat tangan putranya. "Lebih bersih dari tangan Hinomasa," selorohnya. "Dia punya telapak tangan Kikuta!" seru Shizuka terkejut. "Mengapa kau tidak men-ceritakannya?" "Menarik, bukan? Darah Tribe tidak habis terkikis." Zenko tersenyum lebar, dan mem-beri isyarat pada pelayan perempuan itu untuk membawa putranya pergi. "Dia mengingatkanku pada Taku," tutur-nya, sambil menyeka mata dengan lengan baju. "Satu hal yang menghibur bila ternyata adikku yang malang hidup dalam diri putraku." "Mungkin kau bisa ceritakan siapa yang membunuhnya," ujar Shizuka. "Bandit, tentu saja. Ada penjelasan apa lagi? Aku akan kejar dan adili mereka. Tentu saja, dengan Takeo sedang di Ibukota, orang-orang yang putus asa semakin berani dan keluar dari persembunyiannya." Jelas sekali kalau Zenko tidak peduli bila ia percaya atau tidak. "Bagaimana kalau kuperintahkan kau untuk memberitahu yang sebenarnya?" Pandangan Zenko menghindar, dan menyembunyikan wajahnya dengan lengan baju lagi. Shizuka merasa kalau putranya itu tidaklah menangis, tapi justru tersenyum, senang dengan keberaniannya sendiri. Halaman 667 dari 667 "Janganlah bicara tentang perintah me-merintah, Ibu. Aku akan mematuhi semua kewajibanku sebagai anak, tapi dalam hal lain, sudah selayaknya Ibu mematuhiku, sebagai Muto maupun sebagai Arai." "Aku melayani Otori," sahutnya. "Begitu pula Kenji, dan kau pun telah bersumpah setia padanya." "Ya, Ibu melayani Otori," ujarnya, kemarahannya mulai terlihat. "Itulah yang menjadi masalah selama bertahun-tahun. Kemana pun kita melihat sejarah kebang-kitan Otori, kita melihat tangan Ibu -dalam penganiayaan Takeo atas Tribe, dalam pem-bunuhan ayahku, bahkan dalam kematian Lord Fujiwara-kenapa Ibu tega meng-khianati rahasia-rahasia Tribe kepada Shigeru?" "Akan kukatakan kepadamu! Aku meng-inginkan dunia yang lebih baik bagi kau dan Taku. Kurasa sudah semestinya kalian hidup di dalam dunia Shigeru, bukan dunia yang berisi pembunuh bayaran yang ada di sekelilingku. Takeo dan Kaede menciptakan dunia itu. Kami takkan membiarkan kau menghancurkannya." "Takeo sudah tamat. Apakah Ibu mengira Kaisar akan berpihak padanya? Kalau pun dia kembali, kami akan membunuhnya, dan aku akan dinobatkan menjadi penguasa Tiga Negara. Itu hakku dan aku sudah siap." "Kau sudah siap melawan Takeo, dan Kahei, Sugita, Sonoda-sebagian besar ksatria Tiga Negara?" "Takkan ada perang, yang ada hanyalah kerusuhan. Dengan Saga di wilayah Timur, sena dukungan tambahan yang kami miliki dari orang-orang asing-" Ditepuknya salib di dadanya- "Dengan senjata serta kapal mereka, Takeo dapat dikalahkan dengan mudah. Sebenarnya dia juga bukan benar-benar ksatria: semua pertempurannya yang terkenal itu hanya dimenangkan oleh keberuntungan ketimbang keahlian." Zenko memelankan suaranya. "Aku dapat melindungi Ibu sampai tahap tertentu, tapi bila Ibu bersikeras menentangku, aku tak bisa menahan keluarga Kikuta. Mereka menuntut Ibu dihukum, atas ketidakpatuhan selama bertahun-tahun terhadap Tribe." "Aku akan bunuh diri terlebih dulu," seru Shizuka. "Mungkin itulah keputusan terbaik," sahutnya, seraya menatap ibunya lekat-lekat. "Bagaimana kalau kuperintahkan Ibu melakukannya sekarang juga?" "Aku mengandungmu dalam perut selama sembilan bulan." Seketika Shizuka terkenang saat ia menemui Kenji untuk mendapatkan ijin dari Tribe agar bisa melahirkan anak ini. Putranya adalah hadiah bagi kekasihnya: betapa bangganya Arai saat itu. Kini ayah dan anak telah memerintahkan kematiannya. Kemarahan serta kesedihan menyelimuti dirinya: menangis selama setahun takkan mampu menguranginya. Bisa dirasakannya akal sehatnya bergulir ke tepi kegilaan. Aku be rha rap bisa menca but nyawaku sendiri, pikirnya, tergiur dengan pemusnahan yang disebabkan oleh kematian; hanya nasib si kembar yang mencegahnya. Ia ingin menanyakan keberadaan Maya, tapi takut mengungkap sesuatu yang mungkin Zenko belum tahu. Lebih baik tutup mulut, melakukan apa yang telah ia lakukan seumur hidupnya, bersandiwara sebaik mungkin. Shizuka berjuang membuang perasaannya dan berpurapura bersikap lembut. "Zenko, kau putra sulungku, dan aku ingin menjadi ibu yang baik dan berbakti padamu. Aku akan memikirkan semua yang kau katakan. Beri aku waktu satu atau dua hari. Biarkan aku mengatur pemakaman adikmu. Aku tak bisa memutuskan saat diliputi kesedihan." Selama beberapa saat Shizuka mengira kalau putranya akan menolak keinginannya: ia memperkirakan jarak antara taman dan luar dinding, tapi dalam kesunyian ia seperti mendengar desah napas sesorang-adakah penjaga yang bersembunyi di balik layar kasa, di taman? Apakah dia takut aku akan membunuhnya? Peluangnya lolos kecil. Ia bisa menggunakan kemampuan menghilang: jika para penjaga datang setelah ia mengalah-kan seorang penjaga, mengambil pedang penjaga itu.... Halaman 668 dari 668 Ternyata sisa-sisa rasa hormat masih berhasil membujuknya. "Baiklah," akhirnya Zenko berkata. "Aku akan meminta penjaga mengawal Ibu. Jangan coba-coba kabur, dan jangan sekali-sekali meninggalkan Hofu. Ketika masa berkabung selesai, Ibu harus ber-gabung denganku atau mencabut nyawa Ibu sendiri." "Kau akan datang untuk memanjatkan doa bagi adikmu?" Zenko melayangkan tatapan dingin, diikuti gelengan yang tidak sabar. Shizuka tak ingin memaksa karena takut Zenko akan menahannya di sini, mungkin dengan kekerasan. Shizuka membungkuk hormat, merasakan kemarahan yang membara dalam dirinya. Saat pergi, ia mendengar suara-suara di ujung beranda utama. Ketika menoleh, ia melihat Don Joao bersama jurubahasanya, Madaren menghampiri. Mereka mengenakan pakaian mewah, dan mereka berjalan dengan rasa percaya diri yang baru. Setelah memberi salam pada Don Joao dengan sikap dingin, Shizuka lalu bicara pada Madaren, tanpa sopan santun, "Kau pikir apa yang sedang kau lakukan di sini?" Madaren tersipu atas nada bicara Shizuka, tapi berhasil mengumpulkan keberanian lalu menjawab, "Melakukan kehendak Tuhan, layaknya yang kita semua lakukan." Tanpa menjawab Shizuka melangkah masuk ke dalam tandu. Selagi tandu itu digotong pergi dalam pengawalan enam orang, dirutukinya orang-orang asing itu karena mengganggu dengan kedatangan senjata dan Tuhan mereka. Ia hampir tidak ingat lagi kata-kata yang terlontar dari mulutnya tadi: kemarahan dan kesedihan membuat ia kacau; bisa dirasakannya perasaan-perasaan itu menarik-narik dirinya menuju kegilaan. Sewaktu tandu diturunkan di luar penginapan, Shizuka tidak segera turun. Ia berharap bisa tetap berada dalam ruang sempit yang mirip peti mati ini, dan tidak berhubungan dengan orang yang hidup lagi. Tapi ketika memikirkan nasib Miki, tatapan matanya penuh amarah. Bunta berjongkok di beranda, sama seperti saat dia ditinggal, tapi kamar itu kosong. "Di mana Miki?" tanyanya. "Di dalam," sahut Bunta, terkejut. "Tidak ada orang yang melewatiku, keluar atau masuk." "Siapa yang membawanya?" jantung Shizuka mulai berdebar kencang ketakutan. "Tidak ada, aku bersumpah." "Sebaiknya kau jangan berbohong," ujar Shizuka, masuk kembali ke kamar itu lagi, mencari dengan sia-sia di tempat-tempat yang paling sempit. Kamar itu kosong, tapi di satu sudut Shizuka menemukan goresan di balok kayu. Dua buah setengah lingkaran saling berhadapan, dan di bawahnya ada lingkaran penuh. "Dia pergi mencari Maya." Shizuka berlutut di lantai, berusaha menenangkan diri. Miki sudah pergi: menggunakan kemampuan menghilang, menyelinap melewati Bunta lalu pergi menuju kota-gadis itu dilatih selama bertahuntahun untuk melakukan hal seperti. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk gadis itu saat ini. Ia duduk lama, merasakan panasnya cuaca hari ini. Peluh mulai mengalir di sela payudara dan ketiaknya. Didengarnya para penjaga saling berseru dengan tidak sabar, dan menyadari kalau pilihannya semakin berkurang. Ia tidak bisa menghilang dan membiarkan Taku tidak diratapi, tapi apakah ia harus tinggal di Hofu sampai putranya atau Kikuta memutuskan kematiannya? Tak ada waktu untuk menghubungi keluarga Muto dan meminta bantuan mereka-dan lagipula, apakah mereka akan menanggapi karena kini Zenko telah menyatakan diri sebagai ketua? Halaman 669 dari 669 Shizuka memanggil para mendiang untuk memberinya saran: memanggil Shigeru, Kenji, Kondo dan Taku. Kesedihan dan keadaan tidak tidur mulai menuntut bayarannya. Ia merasakan napas dingin arwah mereka, Doakan kami Oh, doakan kami. Benaknya yang kelelahan makin men-curahkan perhatiannya pada kata-kata ter-sebut. Ia akan ke biara dan meratapi men-diang, hingga dirinya menjadi salah satu dari mereka, atau mereka akan mengatakan apa yang harus ia lakukan. "Bunta," panggilnya. "Ada satu tugas terakhir yang kuminta kau lakukan. Pergi dan carikan gunting tajam dan jubah putih untukku." Bunta muncul di teras, wajahnya pucat karena kaget. "Apa yang terjadi? Jangan katakan kalau kau ingin menghabisi nyawamu sendiri." "Sudahlah, lakukan saja permintaanku. Aku harus ke biara dan mengurus nisan serta ritual pemakaman Taku. Setelah memenuhi permintaanku, kubebaskan kau dari ke wajibanmu untuk melayaniku." Sewaktu Bunta kembali, Shizuka me-nyuruhnya menunggu di luar. Dibukanya bungkusan itu lalu mengeluarkan gunting. Dia melepas ikatan rambut, dibagi menjadi dua untai lalu menggunting keduanya, mem-baringkan jalinan rambutnya dengan hati-hati di alas lantai, terkejut memerhatikan betapa banyak ubannya. Lalu diguntingnya sisa rambutnya sampai pendek, merasakan helaiannya berjatuhan di sekelilingnya bak debu beterbangan. Dibuangnya sisa-sisa potongan rambut lalu mengenakan jubah putih. Diambilnya senjata miliknya- pedang, pisau, garotte, serta pisau lemparlalu menaruhnya di lantai, di antara dua untaian rambut panjangnya. Membungkuk hingga ke lantai, menghaturkan terima kasih kepada semua senjata dan kepada hidupnya sampai saat ini; lalu ia meminta dibawakan semangkuk teh, meminumnya lalu me-mecahkan cangkir kosong menjadi dua dengan gerakan cepat. "Aku takkan minum lagi," ujarnya lantang. "Shizuka!" prates Bunta dari teras, tapi Shizuka tidak mengacuhkannya. "Apakah dia sudah tidak waras?" didengarnya putra Bunta berbisik. "Perempuan yang malang!" Berjalan dengan perlahan dan berhati-hati, Shizuka sampai ke bagian depan penginapan. Sekerumunan kecil orang berkumpul di sini. Ketika ia melangkah masuk ke dalam tandu, mereka mengikutinya sampai ke jalan di tepi sungai menuju Daifukuji. Para pengawal Zenko dibuat gelisah dengan arak-arakan ini, dan berusaha menghalau, namun jumlahnya justru semakin besar dan makin sulit dikendalikan serta makin tidak bersahabat; banyak yang berlarian ke sungai yang hampir kering, dan mengorek batu-batu dari endapan lumpur lalu melempamya ke arah pengawal, berhasil menghalau mereka menjauh dari ger-bang biara. Pemanggul tandu menurunkan Shizuka di luar gerbang, dan ia berjalan perlahan memasuki pelataran utama, bergerak seolah mengambang. Kerumunan kian banyak di pintu masuk. Shizuka duduk di tanah, kakinya dilipai bak makhluk suci di atas bunga teratai, dan akhirnya ia membiarkan dirinya menangisi kematian putranya dan pengkhianatan putra-nya yang satu lagi. Ritual pemakaman diadakan selagi Shizuka duduk di sana, dan batu nisan dipahat lalu didirikan. Harihari berlalu dan Shizuka tetap bergeming, juga tidak makan dan minum. Di malam ketiga hujan turun rintik-rintik, dan orang-orang mengatakan bahwa Surga tengah memberinya minum. Setelah itu hujan turun setiap malam; di siang hari sering terlihat burung-burung beterbangan di sekitar kepalanya. "Mereka memberinya makan dengan butiran gandum dan madu," para biarawan mengumumkan. Penduduk kota mengatakan kalau Surga menangisi ibu yang ditinggalkan, dan mereka bersyukur terhindar dari kekeringan. Popularitas Zenko sedikit demi sedikit ber-kurang saat bulan dari bulan kelima mulai mendekati puncak purnamanya.* Halaman 670 dari 670 Selama berhari-hari Maya meratapi kepergian kuda-kudanya, tak sanggup membayang-kan kehilangan yang lebih besar lagi. Shigeko telah memintanya untuk merawat kedua kuda itu, dan ia membiarkannya pergi. Diingat-ingatnya lagi sewaktu melepas tali kekang dan kedua kuda betina kabur. la menyesali ketidakmampuan dirinya untuk bergerak atau membela diri yang tak bisa dijelaskan. Saat itu ketiga kalinya ia meng-hadapi bahaya yang sesungguhnya-setelah serangan di Inuyama dan pertemuan dengan ayahnya-dan merasakan kalau saat itu ia merasa gagal, walau sudah berlatih selama bertahun-tahun di Tribe. Maya punya banyak waktu untuk merenungkan kegagalannya. Saat tersadar kembali, tenggorokannya terasa kering, perutnya mual. Ia sadar sedang berada di kamar kecil remang-remang, ruang rahasia rumah Tribe. Takeo sering menceritakan saat Tribe mengurungnya di kamar semacam ini, dan kini kenangan itu menghibur dan me-nenangkannya. Ia mengira Akio akan langsung membunuhnya, tapi ternyata tidak-laki-laki itu menahan dirinya untuk tujuan tertentu. Maya tahu ia bisa kabur kapan saja karena pintu dan dinding takkan mampu menahan si kucing, tapi ia masih belum ingin pergi. Ia ingin tetap dekat dengan Akio dan Hisao: tak dibiarkannya mereka membunuh ayahnya; dirinya yang akan membunuh mereka lebih dulu. Maka dikendalikan amarah dan rasa takutnya, dan bersiap mencari tahu semua tentang mereka. Ia melihat Akio ketika orang itu mem-bawakan makanan dan minuman; makanan-nya jarang datang tapi ia tak terganggu dengan rasa lapar. Maya akhirnya memahami kalau makin sedikit ia makan, makin mudah menggunakan kemampuan menghilang dan sosok kedua. Ia mempraktikkannya saat sedang sendiri, terkadang bahkan ia pun terkecoh dan melihat Miki sedang bersandar di dinding di seberangnya. Ia tidak bicara pada Akio tapi mengamati, seperti Akio mengamati dirinya. Maya tahu kalau Akio tidak memiliki kemampuan menghilang atau tatapan maut Kikuta, tapi laki-laki itu bisa melihat orang yang menggunakan kemampu-an menghilang dan menghindari tatapan maut. Gerak refleksnya sangat cepat- ayahnya sering bilang kalau itu gerakan paling cepat yang pernah ada- sangat kuat dan tidak punya perasaan. Dua atau tiga kali sehari, pelayan perempuan datang untuk mengantarnya ke kakus: selain itu ia tidak melihat ada orang lain lagi. Tapi setelah dikurung selama kira-kira seminggu, di satu malam laki-laki itu datang, berlutut di depannya lalu meraih dan membalik telapak tangannya. Maya bisa mencium bau sake di napasnya, dan cara bicaranya pelan tapi aneh. "Kuharap kau jawab pertanyaanku dengan jujur karena aku adalah ketua keluargamu: apakah kau memiliki kemampuan seperti ayahmu?" Maya menggeleng, dan sebelum selesai menggeleng dirasakan kepalanya terhempas dan pandangan matanya kabur selagi Akio menamparnya. Ia tidak melihat gerakan tangan laki-laki itu. "Kau pernah mencoba mengunci tatapan mataku: kau pasti memiliki bakat tatapan maut Kikuta. Bagaimana dengan kemampu an menghilang?" Maya menceritakan karena tidak ingin Akio membunuhnya saat itu juga, tapi tidak menceritakan tentang si kucing. "Lalu di mana adikmu?" "Aku tidak tahu." Halaman 671 dari 671 Bahkan meski sudah menduganya kali ini, Maya tidak bisa bergerak cukup cepat untuk menghindari tamparan yang kedua. Akio menyeringai, seolah ini permainan yang sangat dinikmatinya. "Dia di Kagemura, bersama keluarga Muto." "Benarkah? Tapi dia bukan Muto; dia Kikuta. Kupikir sebaiknya dia berada di sini bersama kita." "Keluarga Muto takkan menyerahkan adikku padamu," sahut Maya. "Ada perubahan dalam keluarga Muto; kukira kau sudah tahu. Tribe selalu bersatu pada akhirnya," ujar Akio. "Begitulah cara kami bisa bertahan." Akio mengetuk-ngetuk gigi dengan kuku. Di bagian belakang tangan kanannya ada bekas luka lama, melintang dari pergelangan sampai ke bagian bawah ibu jarinya. "Kau melihatku membunuh penyihir Muto itu, Sada. Aku takkan ragu melakukan yang sama padamu." Maya tidak bereaksi atas perkataan itu; ia lebih tertarik pada reaksinya sendiri, tercengang kalau ternyata ia tidak takut pada laki-laki itu. Ia tak menyadari kalau ternyata, seperti ayahnya, ia dianugerahi kemampuan untuk tidak takut pada Kikuta. "Ini yang pernah kudengar," ujarnya. "Kalau ibumu takkan melakukan apa-apa untuk menyelamatkanmu, tapi ayahmu menyayangimu." "Itu tidak benar," Maya berbohong. "Ayahku tidak memedulikan aku dan adikku. Para ksatria membenci anak kembar dan menganggap mereka memalukan. Ayahku hanya bersifat baik, itu saja." "Dia berhati lembut," ujar Akio, dan Maya melihat kebencian serta rasa iri pada Takeo. "Mungkin kau bisa membawa Takeo kepadaku." "Hanya untuk membunuhmu," sahut Maya. Akio tertawa lalu berdiri. "Tapi dia takkan membunuh Hisao!" Maya menemukan dirinya memikirkan tentang Hisao. Selama setengah tahun ini ia harus menerima kenyataan kalau ini adalah putra ayahnya, kakak tirinya, yang tak pernah dibicarakan siapa pun, tak pernah diberitahukan pada ibunya. Dan Maya yakin kalau Hisao tak tahu ayah kandungnya. Ia memanggil Akio Ayah; Hisao menatap dengan pandangan tak mengerti ketika ia mengatakan kalau ia adalah adiknya. Maya mendengar di benaknya berulang kali suara Sada, Jadi anak itu benar-benar putra Takeo? Dan jawaban Taku, Ya, dan menurut ramalan dialah satu-satunya orang yang bisa membawa kematian Takeo. Karakter tidak mengenal kompromi, semacam warisan Kikuta yang membulatkan tekadnya yang kejam mulai terbentuk. Keseimbangan baginya menjadi begitu sederhana: bila Hisao mati maka Takeo bisa hidup selamanya. Selain latihan gerak badan yang dilakukan-nya dengan tekun, ia tidak ada kesibukan lain, dan sering terombang-ambing antara sadar dan tidur, bermimpi bagaikan nyata. Ia memimpikan Miki, mimpi yang begitu jelas sehingga ia seperti yakin kalau Miki ada di kamar itu bersamanya; ia memimpikan Hisao. Ia berlutut di sampingnya saat pemuda itu tidur lalu berbisik di telinganya, "Aku adikmu." Ia bahkan pernah bermimpi si kucing berbaring di sisi Hisao, dan merasakan kehangatan tubuh kakaknya itu. Ia menjadi terobsesi pada Hisao, ingin tahu semua tentang pemuda itu. Mulai bereksperimen dengan mengambil alih bentuk si kucing di malam hari selagi tidur. Awalnya ia ragu, karena hal itu ingin ia sembunyikan dari Akio, namun lama kelamaan kepercaya-an dirinya makin meningkat. Di siang hari ia adalah tawanan, sementara di malam hari ia bisa keluyuran dengan bebas ke seluruh bagian rumah, mengamati penghuninya, serta memasuki mimpi-mimpi mereka. Dilihatnya dengan sikap remeh rasa takut dan harapan mereka. Para pelayan perempuan mengeluhkan adanya hantu, merasakan hembusan napas di wajah mereka atau bulu hangat berbaring di sebelah mereka, Halaman 672 dari 672 mendengar langkah pelan makhluk besar. Hal-hal aneh terjadi di seluruh kota, pertanda serta penampakan. Akio dan Hisao tidur terpisah dari peng-huni laki-laki lainnya, di kamar bagian belakang rumah. Maya berjalan pada waktu tersunyi, tepat sebelum fajar menyingsing untuk mengamati Hisao yang sedang tidur, kadang dalam pelukan Akio, kadang sendiri. Pemuda itu tidur gelisah, bergoyang-goyang dan bergumam. Mimpi-mimpinya kejam dan tidak beraturan, tapi itu justru membuat Maya tertarik. Kadang Hisao terbangun dan tidak bisa tidur lagi; kemudian pergi ke rumah kecil di belakang rumah, di sisi lain halaman, tempat bengkel penempaan dan perbaikan alatalat rumah tangga dan senjata. Maya mengikuti dan mengamatinya, memer-hatikan gerakannya yang berhari-hari dan sangat teliti. Para pelayan perempuan tak pernah meng-ajak bicara. Selain perjalanan ke kakus ia hampir tidak pernah bertemu mereka sampai suatu hari seorang perempuan muda datang membawakan makanan. Usianya kira-kira sebaya dengan Shigeko, dan dia menatap Maya dengan keingin-tahuan yang terang-terangan. Maya berkata, "Jangan menatapku. Kau tahu kalau aku sangat kuat." Gadis itu tertawa cekikikan tapi tidak memalingkan wajah. "Kau seperti anak laki-laki," ujarnya. "Kau tahu aku anak perempuan," bentak Maya. "Kau pernah mengintipku kencing ya?" Maya bicara dengan bahasa anak laki-laki, dan gadis itu tertawa. "Siapa namamu?" tanya Maya. "Noriko," bisiknya. "Noriko, akan kubuktikan betapa kuatnya diriku. Kau bermimpi tentang kain pem-bungkus: kau pernah membungkus beberapa kue mochi dengairkain itu dan saat kau buka bungkusannya, kue-kue itu penuh ulat." "Aku tidak bilang siapa-siapa!" gadis itu tercekat, tapi malah mendekati Maya. "Bagaimana kau bisa tahu?" "Aku tahu banyak hal," sahut Maya. "Tatap mataku." Ditahannya tatapan gadis itu selama beberapa saat, cukup lama untuk melihat kalau gadis itu percaya pada takhayul, dan satu lagi, sesuatu tentang Hisao.... Kepala gadis itu berputar saat Maya menarik kekuatan tatapan mautnya. Maya menampar kedua pipi gadis itu untuk menyadarkannya. Noriko menatap bingung. "Kau bodoh kalau mencintai Hisao," ujar Maya terus terang. Gadis itu tersipu. "Aku kasihan padanya," bisiknya. "Ayahnya sangat keras kepadanya, dan dia sering sakit." "Sakit yang bagaimana?" "Dia sering terserang sakit kepala yang parah. Muntah, dan pandangannya kabur. Hari ini dia sedang sakit. Ketua Kikuta sangat marah karena mereka seharusnya pergi menemui Lord Zenko-Akio akhirnya pergi sendiri." "Mungkin aku bisa menolongnya," kata Maya. "Kenapa kau tidak mengantarku kepadanya?" 'Tidak bisa! Akio akan membunuhku kalau dia tahu." "Antar aku ke kakus," ujar Maya. "Tutup pintunya, tapi jangan dikunci. Aku akan ke kamar Hisao. Jangan khawatir; takkan ada orang yang melihatku. Tapi kau harus berhati-hati kalau Akio datang. Peringatkan aku saat dia kembali." Halaman 673 dari 673 "Kau takkan menyakiti Hisao?" "Dia laki-laki dewasa. Aku baru empat belas tahun-bahkan masih anak-anak. Aku tidak punya senjata. Bagaimana bisa aku menyakitinya? Lagipula, sudah kukatakan kalau aku ingin menolongnya." Bahkan saai bicara, Maya ingat semua cara yang pernah diajarkan kepadanya untuk membunuh dengan tangan kosong. Lidahnya menjilati bibir; tenggorokannya terasa kering, tapi setain itu ia tenang-tenang saja. Hisao sedang sakit, lemah, mungkin pandangannya kabur karena penyakitnya. Dia akan mudah dilumpuhkan dengan tatapan maut; di-sentuhnya lehernya sendiri, meraba. urat nadinya, membayangkan urat nadi Hisao. Dan kalau cara itu gagal, ia akan memanggil si kucing.... "Ayo, Noriko, kita ke kamar Hisao. Dia membutuhkan bantuanmu." Ketika Noriko masih ragu, Maya berkata pelan, "Dia juga mencintaimu." "Benarkah?" mata gadis itu berbinar-binar di wajahnya yang kurus dan pucat. "Dia tidak bilang siapa-siapa, tapi dia memimpikan dirimu. Aku pernah melihat mimpinya dengan cara yang sama aku melihat mimpimu. Dia memimpikan dirinya memelukmu dan mengigau dalam tidurnya." Maya memerhatikan wajah Noriko men-jadi lembut; tidak suka pada gadis itu karena mabuk kepayang oleh cinta. Noriko meng-geser pintu terbuka, melihat ke luar dan memberi isyarat kepada Maya. Mereka ber-jalan cepat-cepat ke belakang rumah, dan di pintu kakus Maya meremas perutnya dan berteriak seolah kesakitan. "Cepat, dan jangan berlama-lama di dalam situ," ujar Noriko, dengan spontan. "Mana bisa kutahan kalau sakit begini?" sahut Maya dengan nada yang sama. "Ini gara-gara makanan menjijikkan yang kau bawa!" Disentuhnya bahu Noriko saat bentuk tubuhnya memudar. Noriko sudah terbiasa dengan keanehan semacam itu, mengarahkan pandangannya tetap ke depan. Maya ber-gegas pergi ke kamar Hisao tidur, menggeser pintunya terbuka, lalu melangkah masuk. Teriknya sinar matahari di luar telah mengecilkan pupil matanya, dan sesaat ia tak bisa melihat apaapa. Kamar itu baunya masam, samar-samar tercium bau muntah. Kemudian dilihatnya pemuda itu meringkuk di matras di sudut, satu tangannya menutupi wajah. Dari irama napasnya yang teratur sepertinya dia memang tidur. Ia tak akan mendapat kesempatan seperti ini lagi. Sambil menahan napas, ia melenturkan pergelangan tangan, mengumpulkan tenaga, berjalan melintasi kamar, berlutut di sebelah Hisao dan menyerang bagian lehernya Usahanya melemahkan konsentrasinya hingga kemampuan menghilangnya sirna. Mata Hisao terbuka, dan menatap sejenak sebelum berkelit dari cengkeraman tangan gadis itu. Pemuda itu lebih kuat dari perkiraan, tapi ia langsung menatap mata pemuda itu dan selama beberapa saat membuat Hisao pusing; cengkeraman jarinya makin kuat bak tentakel, dan selagi punggung Hisao melengkung dan memukul-mukul saat meronta berusaha melepaskan diri. Ia bergantung seperti hewan saat Hisao berusaha bangkit dengan tangan dan lutut. Kulit pemuda itu berkeringat, dan Maya merasakan cengkeramannya mulai terasa licin. Hisao juga merasakannya, lalu mengibaskan kepala saat mencoba berkelit lagi. Ditangkapnya tubuh Maya lalu dihempaskannya ke dinding. Layar kasa yang rapuh sobek, dan dari suatu tempat ia mendengar Noriko memanggil namanya. Aku gagal, pikirnya, selagi tangan Hisao mencengkcram lehernya, dan Maya bersiap untuk mati. Miki! Ujarnya pelan, dan seolah Miki mendengarnya, dirasakannya kemarahan Miki pada Hisao merasuki dirinya dan si kucing mulai muncul, meludah dan meng-geram. Hisao berteriak kaget dan melepasnya; si kucing bergerak mundur, siap melarikan diri tapi masih belum ingin menyerah." Halaman 674 dari 674 Waktu sejenak itu memberi Maya waktu untuk meraih kembali kendali diri dan konsentrasinya. Dilihatnya kalau ternyata ada sesuatu yang melemahkan Hisao. Mata pemuda itu tidak tokus; agak terhuyung-huyung. Sepeninya pemuda itu berusaha melihat sesuatu di belakang Maya, dan mendengarkan suara berbisik. Maya mengira itu semacam tipuan untuk mengecohkan pandangannya, maka ia terus menatap tajam pemuda itu. Bau busuk dan jamur semakin menyengat: kamar itu terasa panas tak tertahankan: bulu si kucing menyesakkan napasnya. Terdengar olehnya bisikan di sebelah kanannya; kendati tak memahami kata-kata itu. tapi ia tahu kalau itu bukan suara Noriko. Ada orang lain lagi di kamar itu. Maya menoleh ke samping dan melihat perempuan itu. Masih muda, mungkin sembilan belas atau dua puluh tahun, potongan rambutnya pendek, wajahnya pucat. Perempuan itu mengenakan jubah putih, menyeberangi sisi seberang dunia fana, dan tubuhnya melayang. Ekspresi di wajah-nya melukiskan kemarahan dan putus asa yang bahkan membuat hati Maya terharu. Dilihatnya kalau Hisao begitu ingin menatap hantu itu tapi juga takut; roh si kucing yang merasuki dirinya bergerak dengan bebas antara dua dunia. Jadi ini yang dimaksud Taku, renungnya saat menyadari hutang budinya pada si kucing dan bagaimana ia bisa memenuhinya. Dan kemudian ia menyadari kekuatan yang ini dan bagaimana ia bisa memanfaatkannya. Perempuan itu berseru memanggilnya, "Tolong aku! Tolong aku!" "Apa yang kau inginkan?" tanya si kucing. "Aku ingin putraku mendengarkan aku!" Belum sempat Maya menjawab, Hisao mendekat. "Kembali kau!" ujar Hisao. "Kau telah memaafkanku. Kemarilah, ijinkan aku menyentuhmu. Apakah kau hantu juga? Boleh aku menyentuhmu?" Ia melihat perubahan tangan Hisao saat menggapai. Tangan itu melembut berbentuk melengkung yang ingin sekali mengelus bulu si kucing. Ia terkejut, si kucing bereaksi seolah tunduk pada majikannya, menunduk-kan kepala serta merebahkan telinga, dan membiarkan Hisao membelainya. Ia mematuhi keinginan si kucing. Sentuhan Hisao menyatukan sesuatu di dalam diri mereka. Hisao tercekat. Ia merasa-kan penderitaan saudaranya itu seolah berada di kepalanya sendiri: lalu berkurang. Maya melihat, melalui mata Hisao: pandangan setengah buta, kumparan cahaya bak roda bergerigi dari alat penyiksaan, dan Hisao ber-kata, "Ibu?" Hantu itu bicara. "Akhirnya!" ujarnya. "Sekarang maukah kau mendengarkan Ibu?" Tangan Hisao masih di atas kepala si kucing. Maya merasakan kebingungan pemuda itu: rasa lega karena penderitaannya telah sirna, rasa takutnya memasuki dunia alam baka, rasa takut melihat sedikit kekuatan yang bangkit. Di tepi kesadaran Maya, bergelayut ketakutan yang sama, jalan yang terbentang ke depan yang tak ingin ia ambil, jalan yang dirinya dan Hisao harus lalui bersama, meski ia membenci pemuda itu dan ingin membunuhnya. Noriko memanggil-manggil dari luar. "Cepat! Ketua sudah datang!" Hisao mengangkat tangannya. Maya kembali ke wujud aslinya dengan rasa lega. Ia ingin pergi dari pemuda itu, tapi Hisao menangkap lengannya; ia bisa merasakan cengkraman Hisao sampai ke tulang sumsumnya. Pemuda itu tengah menatap-nya, tatapannya kagum dan lapar. "Jangan pergi," ujarnya. "Katakan padaku. Apakah kau melihatnya?" Noriko, berdiri di teras, berganti-ganti memandang kedua orang. "kau sudah baikan," serunya. "Gadis itu menyembuh-kanmu!" Mereka berdua tidak mengacuhkannya. Halaman 675 dari 675 "Tentu saja aku melihatnya," sahut Maya seraya menyelinap melewati Hisao. "Dia itu ibumu, dan dia ingin agar kau mendengar-kannya."* Dia akan bilang pada Akio, pikir Maya, selagi Noriko bergegas kembali ke kamar yang terkunci. Dia akan ceritakan semuanya. Akio akan tahu tentang si kucing. Entah dia akan membunuhku atau mereka akan memanfaat-kan aku untuk mela wan Ayah. Aku harus melarikan dirinya, aku harus pulang; aku akan memperingatkan Ibu tentang Zenko dan Hana. Aku harus pulang. Tapi sentuhan tangan majikannya mem-buat si kucing enggan pergi. Dan Maya ingin, bertentangan dengan keputusannya, berjalan di antara dua dunia dan berbicara dengan hantu. Ia ingin tahu apa yang mereka ketahui, bagaimana rasanya mati, serta semua rahasia lain yang disimpan orang mati dari mereka yang masih hidup. Maya tidur nyenyak selama berminggu-minggu, tapi segera setelah kembali ke kamar sempit, kelelahan yang menggiurkan menye-limuti dirinya. Kelopak matanya terasa makin berat; sekujur tubuhnya terasa sakit karena kelelahan. Tanpa bicara kepada Noriko, ia berbaring di lantai dan langsung tertidur lelap. Maya terbangun, seolah ditarik paksa keluar dari air, oleh sebuah perintah. Datanglah kepadaku. Kala itu malam gelap pekat, udara terasa lembap. Leher dan rambutnya terasa lembap karena keringat. Ia tak ingin merasakan bulu tebal si kucing. tapi majikannya memanggil-nya: si kucing harus menemuinya. Telinga si kucing berdiri tegak; kepalanya berputar. Kucing itu berjalan dengan mudah-nya melewati layar kasa dan dinding menuju bengkel tempat api penempaan menyala semalaman. Para penghuni rumah sudah terbiasa melihat Hisao berada di situ saat dini hari. Pemuda itu telah menemukan tempat yang cocok dan tidak ada orang yang meng-ganggunya. Hisao menggapaikan tangan dan kucing itu menghampiri, seolah merindukan sentuhan dan belaiannya. Pemuda itu membelai, dan si kucing menjilati pipinya dengan lidah kasarnya. Tak satu pun dari keduanya bicara, tapi di antara mereka mengalir kerinduan akan kedekatan serta sentuhan kasih sayang yang dibutuhkan hewan itu. Setelah agak lama, Hisao berkata, "Perlihatkan wujud aslimu." Maya tersadar kalau ia berdempetan dengan Hisao, tangan pemuda itu masih di tengkuknya. Rasanya menyenangkan se-kaligus menjijikkan. Ia melepaskan diri dari pelukan Hisao. Tidak bisa dilihatnya ekspresi wajah Hisao dalam keremangan cahaya. Bara api meretih, asap membuat matanya pedih. Hisao mengangkat lentera lalu menatap. Ia terus menunduk, tak ingin menentang tatapan pemuda itu. Tak satu pun dari mereka bicara, seakan tak ingin kembali ke dunia manusia yang penuh dengan kata-kata. Akhirnya Hisao berkata, "Mengapa kau datang sebagai kucing?" "Aku membunuh seekor kucing dengan tatapan maut Kikuta, dan rohnya merasuki diriku," sahutnya. "Tak seorang Muto pun tahu bagaimana menghadapinya, tapi Taku telah membantuku mengendalikannya." "Aku adalah penguasanya: tapi aku tak tahu sebabnya atau bagaimana caranya. Kucing itu mengurangi sakitku, saat ber-samaku, dan menenangkan suara-suara Halaman 676 dari 676 hingga aku bisa mendengarnya. Aku suka kucing, tapi ayahku pernah membunuh seekor kucing di depan mataku karena aku menyukainya-kau bukan kucing itu kan?" Maya menggeleng. "Aku tetap menyukaimu," ujarnya. "Aku pasti sangat menyukaimu; aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Aku memerlukan dirimu bersamaku. Berjanjilah kau akan tinggal bersamaku." Hisao meletakkan lentera kembali di atas lantai dan berusaha menarik tubuh Maya lebih dekat lagi. Maya menolaknya. "Kau tahu kalau kita bersaudara?" tanyanya. Wajah Hisao mengkerut. "Dia itu ibumu? Hantu perempuan itu? Itukah sebabnya kau bisa melihatnya?" "Bukan, ibu kita berbeda, tapi ayah kita sama." Kini Maya bisa melihatnya dengan lebih jelas. Hisao tidak mirip ayahnya, atau dengannya atau Miki, namun rambutnya yang mengkilap mirip dengan rambut mereka, dan kulitnya memiliki tekstur dan warna yang sama, dengan nuansa warna madu. Seketika Maya teringat kenangan akan masa kecilnya-payung pelindung sinar matahari dan cairan unluk membuat kulit lebih terang: betapa bodoh dan sia-sianya semua itu sekarang. "Ayahmu adalah Otori Takeo, yang kami sebut si Anjing," Hisao tertawa dengan seringai yang dibenci Maya. Tiba-tiba ia membenci pemuda itu lagi, dan merasa jijik pada dirinya sendiri atas keinginan dan ketentraman yang dirasakan kucing itu hingga tunduk pada Hisao. "Aku dan ayahku akan membunuhnya." Hisao menjauh, menjauh dari cahaya lentera, dan mengeluarkan senjata api kecil. Cahaya berkilat di laras baja hitam senjata itu. "Dia itu penyihir, dan tidak seorang pun berhasil mendekatinya, tapi senjata ini lebih kuat ketimbang ilmu sihir." Takeo melirik ke arah Maya, lalu berkata dengan nada kejam yang disengaja, "Kau sudah lihat bagaimana senjata ini menghabisi Muto Taku." Maya tidak menjawab, tapi melihat dengan jelas dan tanpa perasaan terharu pada kematian Taku. Laki-laki itu mati dalam pertarungan, penuh kehormatan; tidak mengkhianati siapa pun; Taku dan Sada mati bersama. Tidak ada yang harus disesali dari kematiannya. Umpan Hisao tak membuat-nya terpancing maupun melemahkan diri-nya. "Lord Otori adalah ayahmu," ujar Maya. "Itu sebabnya aku berusaha membunuhmu, agar kau tidak membunuh ayahmu sendiri." "Akio adalah ayahku." Keraguan dan kemarahan terdengar dalam suaranya. "Akio memperlakukanmu dengan kejam, menganiaya dan berbohong padamu. Dia bukan ayahmu. Kau tidak tahu bagaimana seharusnya sikap ayah pada anaknya." "Dia sayang padaku," bisik Hisao. "Dia menyembunyikannya dari semua orang, tapi aku tahu. Dia membutuhkan diriku." "Tanya pada ibumu," sahut Maya. "Bukankah sudah kukatakan padamu untuk mendengarkannya? Ibumu akan mengatakan yang sebenarnya kepadamu." Kemudian keadaan hening dalam waktu lama. Udara terasa panas: Maya bisa merasakan peluh di dahinya. Ia merasa kehausan. "Jadilah kucing lagi, maka aku akan mendengarkannya," katanya begitu pelan hingga Maya hampir tidak bisa mendengar suaranya. "Apakah ibumu ada di sini?" "Dia selalu ada di sini," sahut Hisao. "Dia terikat pada diriku oleh seutas tali, seperti dulu aku pernah terikat pada tubuhnya. Aku tak pernah terbebas darinya. Kadang dia diam saja. Itu tidak terlalu buruk. Saat dia ingin bicara-maka rasa sakit itu menyerang-ku." Halaman 677 dari 677 "Karena kau berusaha melawan dunia arwah," ujar Maya. "Hal yang sama terjadi padaku. Saat si kucing ingin muncul dan aku menolaknya, aku juga kesakitan." Hisao berkata, "Aku tidak memiliki kemampuan Tribe apa pun. Aku tidak seperti kau. Aku tidak bisa menggunakan kemampuan menghilang. Aku tidak bisa menggunakan sosok kedua. Bahkan melihat semua kemampuan ini pun membuat perutku agak mual. Tapi tidak begitu dengan si kucing. Dia membuatku nyaman dan kuat." Hisao tidak menyadari kalau suaranya berubah dan menjadi seperti hipnotis, dihiasi dengan daya tarik yang tak bisa ditolak Maya. Gadis itu merasakan tubuh si kucing meregang dan melentur dengan keinginan yang kuat. Hisao menarik tubuh si kucing yang lentur itu lebih mendekat dan membelai-belai bulu-bulu tebalnya. "Tetaplah di dekatku." bisiknya, dan kemudian, bicara lebih keras, "Aku akan mendengarkan, apa pun yang ingin kau katakan." Bara api penempaan dan cahaya lentera meredup dan berkelap-kelip saat angin hangat dan berbau busuk tiba-tiba ber-hembus meniup debu di lantai, meng-gerakkan debu dan membuat daun jendela bergemeretak. Kemudian api makin ber-kobar, membara makin terang, menerangi arwah perempuan saat mendekat, melayang. Hisao duduk diam tak bergerak; si kucing berbaring di sebelahnya dengan kepala di bawah tangan Hisao, matanya yang keemasan tidak berkedip. "Nak," kata sang ibu, suaranya gemetar. "Biarkan Ibu menyentuhmu, biarkan ibu memelukmu." Jemari kurusnya menyentuh dahi Hisao, membelai rambutnya, dan Hisao merasakan sosok tubuh ibunya begitu dekat, merasakan tekanan paling lemah saat ibunya memeluk dirinya. "Dulu Ibu suka memelukmu seperti ini saat kau bayi." "Aku ingat," bisiknya. "Ibu tak sanggup meninggalkanmu. Mereka, Kotaro dan Akio, memaksa Ibu minum racun. Mereka menangisi kepergian Ibu dengan cinta, setelah mematuhi perintah Ketua dan memasukkan dengan paksa pit beracun ke mulut Ibu. Mereka menyaksikan Ibu mati dengan jiwa dan raga yang menderita. Tapi mereka tidak memisahkan diri Ibu darimu. Kala itu usia Ibu baru dua puluh tahun. Ibu tak ingin mati. Akio mem-bunuh Ibu karena dia membenci ayahmu. Tangan Hisao menggosok-gosok bulu si kucing, membuat hewan itu menunjukkan cakarnya. "Siapakah ayahku?" "Gadis itu benar. Dia memang adikmu; Takeo adalah ayah kandungmu. Ibu mencintainya. Mereka memerintahkan Ibu agar tidur dengannya, agar Ibu mengandung dirinya. Ibu mematuhi mereka. Tapi mereka tak menyangka kalau Ibu akan mencintainya, dan kalau kau akan dilahirkan hasil dari cinta. Mereka berusaha menghancurkan kita semua. Pertama Ibu; kini mereka akan memanfaatkan dirimu untuk membunuh ayah kandungmu, lalu kau pun akan mati." "Bohong," sahutnya, tenggorokannya ter cekat. "Ibu sudah mati," sahutnya. "Hanya orang hidup yang berbohong." "Aku membenci si Anjing seumur hidup-ku; aku tidak bisa mengubahnya sekarang." "Kau tidak mengenal siapa dirimu? Tak ada lagi orang Tribe, dari lima keluarga, yang bisa mengenali dirimu. Ibu akan ceritakan apa yang dikatakan kakekmu saat kematian-nya. Kau adalah penguasa alam baka." Lama setelah kejadian itu, ketika kembali ke kamarnya dan berbaring terjaga, memandangi kegelapan yang pucat perlahan berubah terang, Maya mengingat-ingat kembali saat mendengar si arwah meng-ucapkan semua kata-kata ini: tengkuknya bergidik; bulu-bulunya tegak berdiri. Tangan Hisao memegang erai lehernya. Hisao belum sepenuhnya memahaminya, tapi Maya ingat kata-kata Taku: Halaman 678 dari 678 penguasa alam baka adalah orang yang bisa berjalan di antara dua dunia, dukun yang mampu menenangkan atau menghasut orang yang sudah mati. Diingatnya suara-suara hantu yang berdesakan di sekelilingnya pada malam menjelang Perayaan Oban, di tepi pantai di depan rumah Akane; dirasakannya penye-salan atas kematian mereka yang kejam dan tidak pada waktunya, serta tuntutan mereka untuk balas dendam. Mereka mencari Hisao, penguasa mereka, dan dirinya sebagai si kucing, memberinya kekuatan untuk menguasai mereka. Tapi bagaimana Hisao, pemuda yang kejam dan brengsek ini, memiliki kekuatan semacam itu? Dan bagaimana Akio bisa memanfaatkan dia bila tahu itu? Hisao tak ingin Maya meninggalkannya. Ia merasakan kuatnya keinginan Hisao itu, dan ia merasakan keinginan itu memikat sekaligus berbahaya. Tapi Hisao tak ingin Akio tahu itu, belum... Ia tidak terlalu memahami bagaimana perasaan Hisao yang sebenarnya atas laki-laki yang selalu dipercaya sebagai ayahnya: gabungan antara cinta dan kebencian, meremehkan serta iba, juga takut. Maya mengenali perasaan seperti itu karena ia merasakan hal yang sama pada pemuda itu. Ia tidak tidur, dan sewaktu Noriko membawakannya nasi dan sop untuk makan pagi, ia tidak terlalu berselera. Mata Noriko merah, sepertinya habis menangis. "Kau harus makan," ujar Noriko. "Dan setelah itu kau harus bersiap untuk bepergian." "Bepergian? Aku akan pergi kemana?" "Lord Arai akan kembali ke Kumamoto. Hofu sedang gempar. Muto Shizuka tengah berpuasa di Daifukuji dan hanya diberi makan oleh burung." Noriko gemetar. "Seharusnya aku tidak mengatakan ini. Ketua harus menemaninya, dan Hisao juga. Mereka pasti mengajakmu." Matanya penuh dengan air mata dan disekanya dengan lengan jubah. "Hisao sudah cukup sehat untuk bepergian. Seharusnya aku senang." Bersyukurlah dia akan pergi jauh darimu, pikir Maya, lalu bertanya, "Shizuka ada di Hofu?" "Dia datang untuk memakamkan putra bungsunya, dan kabarnya dia sudah tidak waras. Orang-orang menyalahkan Lord Arai - serta menuduhnya terlibat dalam kematian Taku. Arai gusar dan segera pulang ke rumahnya menyiapkan pasukannya untuk berperang, sebelum Lord Otori kembali dari Miyako." "Omong kosong apa yang kau katakan! Kau tidak tahu apa-apa tentang hal ini!" Maya menyembunyikan ketakutannya dengan kemarahan. "Aku memberitahumu hanya karena kau sudah menolong Hisao," sahut Noriko. "Aku takkan mengatakan apa-apa lagi." Gadis itu mengatupkan bibir rapat-rapat, marah dan tersinggung. Maya mengangkat mangkuk sop dan menghabiskannya, pikirannya berpacu kencang. Ia tak ingin membiarkan mereka membawanya ke Kumamoto. Ia tahu kalau kedua putra Zenko, Sunaomi dan Chikara, sudah dikirim ke Hagi untuk menjamin kesetiaan ayah mereka, dan bahwa Zenko takkan ragu-ragu menekan ayahnya. Hofu berada di Negara Tengah dan setia pada Otori-ia mengenal kota itu dan tahu jalan pulang. Sedangkan Kumamoto jauh di wilayah Barat; ia belum pernah ke sana. Begitu sampai di sana, ia tidak akan punya peluang kabur. "Kapan kami akan pergi?" tanya perlahan. "Begitu Ketua dan Hisao siap. Kau akan sudah di jalan sebelum siang. Kudengar Lord Arai akan mengirim pengawal." Noriko mengangkat mangkuk. "Aku harus mem-bawa semua ini ke dapur." "Aku belum selesai makan." "Apa itu salahku kalau kau makan begitu lambat?" "Lagipula aku juga tidak lapar." "Kumamoto jauh dari sini," ujar Noriko saat keluar. Halaman 679 dari 679 Maya tahu ia hanya punya sedikit waktu untuk mengambil keputusan. Mereka pasti membawanya dengan disembunyikan, dengan tangan terikat mungkin; ia bisa saja mengecoh pengawal Zenko tapi takkan bisa lolos dari Akio. Ia mulai mengukur kamar itu dengan jarak langkah. Udara terasa semakin panas; ia lapar dan lelah; saat berjalan tanpa berpikir, ia hanyut dalam mimpi yang terjaga, dan melihat Miki berada di gang di belakang rumah. Maya terbangun kaget. Ini mungkin nyata: Shizuka pasti mengajak Miki begitu mendengar kematian Taku. Mereka datang untuk mencarinya. Miki ada di luar. Mereka bisa pergi ke Hagi bersamasama; mereka bisa pulang ke rumah. Ia tidak ingin berpikir lagi karena hanya akan membuang-buang waktu. Ia mengubah wujud menjadi kucing dan melewati dinding. Seorang perempuan di beranda berusaha menghalaunya dengan sapu sewaktu Maya berlari melewatinya; terus berlari melintasi halaman, tidak berusaha sembunyi-sembunyi, tapi ketika sampai di dinding sebelah luar, dilewatinya bangunan bengkel dan merasakan kehadiran Hisao di sana. Jangan sampai dia mclihatku. Dia tidak akan membiarkan aku pergi Gerbang belakang terbuka, dan dari jalanan di depan-nya terdengar olehnya derap kuda mendekat. la menoleh ke belakang dan melihat Hisao berlari dengan senjata di tangan, matanya mencari-cari di halaman. Ketika melihat, dia berseru, "Kembali!" Ia merasakan kekuatan perintah itu, dan tekadnya melemah. Si kucing mendengarkan majikannya; si kucing tidak akan meninggal-kannya. Ia sudah berada di luar, di jalanan, tapi kaki kucing itu terasa berat. Hisao memanggil lagi. Ia harus kembali kepadanya. Maya sadar dari sudut matanya melihat sosok samar yang tak kelihatan. Secepat bilah pedang, dari seberang jalan, sesuatu melesat di antara kucing itu dan Hisao, dan sosok itu memiliki ketajaman yang luar biasa hingga memutuskan keterkaitan antara mereka berdua. "Maya," didengarnya Miki memanggil. "Maya!" dan saat itulah Maya mendapatkan kekuatan untuk berubah wujud. Miki, sekarang kelihatan, berdiri di sampingnya. Adik kembarnya itu memegang eraterat tangannya. Hisao berteriak dari gerbang, tapi suaranya hanya suara anak laki-laki. Maya tidak harus mendengarkannya lagi. Kedua gadis itu menghilang lagi, dan selagi pengawal Lord Arai datang dari sudut jalan, mereka berlari tanpa terlihat memasuki jalan-jalan kota pelabuhan yang sempit dan berliku-liku.* Keberangkatan Takeo dari Miyako dilepas dengan upacara dan kegembiraan yang lebih besar, meski ada kekagetan dan kekecewaan karena ia pergi begitu cepat. "Kemunculan Anda ibarat komet," ujar Lord Kono, ketika bangsawan itu datang mengucapkan selamat jalan. "Melesat ber-cahaya melintasi langit musim panas." Takeo ingin tahu seberapa tulus pujian ini, karena orang biasanya percaya kalau komet merupakan pertanda buruk datangnya kehancuran dan kelaparan. "Kurasa aku ada alasan mendesak untuk pulang," sahutnya, seraya memikirkan kalau Kono mungkin sudah tahu apa alasannya; tapi bangsawan itu tidak menunjukkannya, atau menyebutkan kematian Taku. Halaman 680 dari 680 Saga Hideki bahkan lebih tak bisa berkata-kata karena terkejut dan merasa tidak senang akan kepergiannya yang mendadak itu. Mendesak agar tinggal lebih lama lagi-atau jika Lord Otori benar-benar harus kembali ke Tiga Negara, agar setidaknya meninggalkan Lady Maruyama untuk menikmati indahnya musim panas di ibukota. "Masih banyak yang perlu kita bicarakan-aku ingin tahu cara Anda memerintah Tiga Negara, apa yang menopang kemakmuran dan kesejahteraan kalian, bagaimana cara Anda menghadapi kaum barbar." "Kami menyebutnya orang asing," Takeo berani membetulkan perkataannya. Saga menaikkan alisnya. "Orang asing, kaum barbar, sama saja." "Lord Kono menghabiskan banyak waktu bersama kami. Dia pasti sudah melapor-kannya kepada Anda." "Lord Otori," Saga mencodongkan badan dan bicara dengan penuh rahasia. "Lord Kono mendapatkan sebagian besar informasi-nya dari Arai. Keadaan sudah berubah sejak saat itu." "Apakah aku mendapat jaminan dari Lord Saga?" "Tentu saja! Kita sudah mengumumkan kesepakatan yang mengikat. Anda tidak perlu khawatir. Kita adalah sekutu dan tak lama akan menjadi kerabat." Takeo bersikeras menolak bujukannya dengan sikap sopan yang tegas; dari semua penjelasan tentang keindahan yang perlu mereka lihat sebenarnya tidak bagus. Ibukota dilanda hawa panas, dan hujan plum yang bisa terjadi kapan saja membuat udara menjadi lembap dan berjamur. Ia tidak ingin Shigeko menderita dalam kondisi seperti itu. Ia ingin sekali pulang, merasakan dingin angin laut di Hagi, bertemu Kaede dan putranya, kemudian menghadapi Zenko dengan tegas. Lord Saga memberi kehormatan dengan menemani mereka selama minggu pertama perjalanan sampai di Sanda, tempat dia mengatur jamuan makan perpisahan. Saat jamuan selesai dan mereka akhirnya mengucapkan selamat tinggal, Takeo merasa semangatnya bangkit. Ia nyaris tidak men-duga bisa pulang membawa kemenangan besar seperti ini. Membawa dukungan dan pengakuan Kaisar, dan juga persekutuan yang tulus dengan Saga. Perbatasan wilayah Timur akan aman dari serangan; tanpa dukungan Saga, Zenko bisa disembuhkatt dari ambisinya dan menerima kenyataan sahnya pemerintahan Takeo. "Bila ada bukti keterlibatannya dalam kematian Taku, maka dia akan dihukum. Tapi bila memungkinkan, demi Shizuka, maka aku akan membiarkannya tetap hidup." Takeo melakukan perjalanan dengan tandu, dengan formalitas besar, sampai ke Sanda. Sungguh lega Saga sudah pergi dan membuatnya bisa menanggalkan jubah indahnya lalu menunggang Tenba lagi. Hiroshi yang menungganginya karena kuda itu menjadi terlalu bersemangat dan sulit dikendalikan bila tidak ditunggangi setiap hari; kini Hiroshi menunggang kuda tua miliknya, Keri, anak Raku. "Gadis itu, Mai, menceritakan kalau Ryume, kuda Taku, mati bersama majikan-nya," tutur Hiroshi kepada Takeo saat mereka berkuda berdampingan. "Tapi tidak jelas apakah dia juga mati ditembak." Hari itu cuaca panas, langit tak berawan; kuda-kuda berkeringat selagi jalan semakin menanjak menuju tanah lapang yang masih kelihatan jauh. "Aku ingat dengan jelas saat pertama kali kita lihat kuda-kuda jantan itu," sahut Takeo. "Kau langsung mengenali kalau mereka adalah anak-anak Raku. Mereka adalah pertanda pertama bagiku akan kembalinya harapan, bahwa kehidupan senantiasa bermula dari kematian." Halaman 681 dari 681 "Aku merindukan Ryume hampir sebesar rinduku pada Taku," ujar Hiroshi pelan. "Untungnya kuda Otori tidak menunjuk-kan tanda-tanda kematian. Tentu saja, di bawah bimbingan tangan ahlimu, kurasa mereka makin berkembang. Kukira aku tak akan memiliki kuda seperti Shun lagi, tapi mesti kuakui aku sangat senang dengan Tenba." 'Tenba menantang untuk dijinakkan, tapi ternyata hasilnya baik-baik saja." Tenba berderap cukup tenang, namun tepat saat Hiroshi bicara, kuda itu mengibaskan kepala dan berputar ke arah mereka datang, seraya meringkik keras. "Kau terlalu cepat bicara," ujar Takeo, seraya mengarahkan kuda itu kembali dalam kendalinya dan memaksanya agar bergerak ke depan lagi. "Dia masih menjadi tantangan: kau takkan bisa mengabaikannya." Shigeko, yang sedari tadi berkuda di akhir arak-arakan bersama Gemba, datang meng hampiri mereka. "Sesuatu membuatnya kesal," ujar Shigeko, dan membelokkan pelana untuk memandang ke arah belakangnya. "Dia merindukan kirin," ujar Hiroshi. "Mungkin sebaiknya kita tinggalkan saja dia bersama kirin," ujat Takeo. "Sempat terpikir olehku, tapi aku tidak ingin berpisah dengannya." "Dia akan menjadi liar dan tidak bisa dikendalikan di Miyako." Hiroshi melirik ke arah Shigeko. Tenba dijinakkan dengan kelembutan; kini tidak bisa ditangani dengan kekerasan." Tenba terus gelisah, tapi Takeo menikmati tantangan untuk membujuk Tenba agar tenang, dan ikatan di antara mereka berdua semakin kuat. Bulan purnama di bulan ke-enam sudah berubah, tapi tidak membawa hujan yang diharapkan. Takeo takut kalau mereka harus melewati jalur pegunungan paling tinggi dalam keadaan hujan, dan lega karena hawa panas makin menyengat. Kuda-kuda semakin kurus; pengurus kuda khawatfr' mereka makan pasir atau cacingan. Lalat penghisap darah mengganggu manusia dan hewan di malam hari. Sewaktu bulan baru di bulan ketujuh muncul di ufuk timur, halilintar berge-muruh dan petir berkilatan di langit tiap malam, tapi tetap tidak turun hujan. Gemba menjadi sangat pendiam; sering-kali saat terbangun di malam hari Takeo melihat dia sedang duduk tanpa ber-gerak: bermeditasi atau berdoa. Satu atau dua kali ia bermimpi, atau membayangkan Makoto, nun jauh di Terayama, melakukan hal yang sama. Mimpi-mimpi Takeo menggambarkan benang putus dan peti mati kosong, cermin tanpa bayangan, manusia tanpa bayangan. Ada yang tidak beres, Gemba pernah berkata, dan ia merasakan itu dalam aliran darah dan tulangnya. Rasa sakitnya yang berkurang selama perjalanan, kini terasa lagi, lebih sakit dari yang pernah dirasakannya. Dengan desakan yang hanya setengah dipahaminya, diperintahkannya agar kecepatan perjalanan ditingkatkan: mereka bangun sebelum matahari terbit dan berkuda di bawah cahaya bulan. Sebelum bulan mencapai seperempat bagian pertama, mereka sudah tak jauh dari Jalur Rajawali: kurang dari sehari perjalanan, Sakai Masaki yang berjalan lebih dulu untuk mengintai, melaporkan. Hutan semakin lebat di sekitar jalur itu, pohon ek serta hornbeam, dengan pohon cedar dan pinus di lereng yang lebih tinggi. Mereka berkemah di bawah pepohonan; air melimpah karena ada mata air, tapi makanan yang mereka bawa menipis. Takeo tidur sedikit, dan terbangun dengan seruan salah satu pengawal, "Lord Otori!" Saat itu matahari baru akan terbit, burung-burung baru mulai berkicau. Matanya ter-buka, mengira masih bermimpi: ia melihat sekilas, seperti biasa, pertama ke barisan kuda, lalu melihat kirin. Halaman 682 dari 682 Hewan itu berdiri di samping Tenba, leher panjangnya membungkuk, kakinya meregang keluar, kepalanya dekat dengan kuda-kuda, tanda putihnya berkilau menakutkan ditimpa cahaya keabuabuan. Takeo berdiri, tubuhnya terasa kaku dan pegal. Hiroshi yang tidur tidak jauh darinya sudah lebih dulu berdiri. "Kirin kembali?" pekiknya. Seruannya membangunkan yang lain, dan seketika itu juga kirin dikerumuni. Hewan itu menunjukkan semua tanda gembira karena berada di antara mereka: menggosokkan hidungnya pada Shigeko, serta menjilati tangan Hiroshi dengan lidah abu-abu panjangnya. Kulitnya tergores di mana-mana, lututnya berdarah; bagian belakang kaki kirinya tidak apa-apa, dan di lehernya ada bekas luka gesekan tali, seolah hewan itu berjuang melepaskan diri. "Apa artinya ini?" tanya Takeo dengan gempar. Dibayangkannya hewan itu lari melintasi daerah yang tidak dikenalnya, langkah panjangnya yang canggung, ketakutan dalam kesendiriannya. "Bagaimana hewan ini bisa kabur? Apakah mereka melepasnya?" Shigeko menjawab, "Itulah yang kutakut-kan. Seharusnya kita tinggal lebih lama, memastikan agar kirin senang. Ayah, biarkan aku yang mengembalikannya." "Sudah terlambat," sahuinya. "Lihatlah; kita tak bisa menyerahkannya pada Kaisar dalam kondisiseperti ini." "Dia takkan sanggup bertahan dalam perjalanan," sahut Hiroshi setuju. Pemuda itu pergi ke mata air, mengisi ember dengan air dan membiarkan kirin minum, kemudian mulai membasuh darah kering di badannya. Kulitnya mengkerut dan gemetar tapi tetap berdiri tenang. Tenba meringkik pelan melihatnya. "Apa artinya ini?" tanya Takeo pada Gemba setelah hewan itu diberi makan dan perintah dikeluarkan agar perjalanan segera dilanjutkan. "Haruskah kita meneruskan perjalanan dengan membawa kirin? Atau haruskah kita mengirim semacam ganti rugi ke Miyako?" Sejenak Takeo berhenti bicara, menatap putrinya selagi menenangkan dan membelai kirin. "Kaisar pasti merasa terhina karena hewan ini kabur," lanjutnya dengan suara pelan. "Ya, kirin memang disambut sebagai pertanda restu dari Surga," tutur Gemba. "Kini hewan itu menunjukkan kalau dia lebih memilihmu ketimbang Paduka Yang Mulia. Pasti akan dianggap sebagai peng-hinaan yang luar biasa." "Apa yang harus kulakukan?" "Bersiap untuk berperang, kurasa," sahut Gemba tenang. "Atau mencabut nyawamu sendiri, bila kau pikir itu lebih baik." "Kau tahu segalanya-hasil pertandingan, penyerahan Jato, kemenanganku. Tidakkah kau tahu yang satu ini?" "Segala sesuatu ada sebab dan akibat," sahut Gemba. "Peristiwa keji seperti kematian Taku telah melepaskan semua rangkaian peristiwa: ini pasti salah satunya. Mustahil bisa diramalkan atau mencegah semuanya." Diulurkan tangannya dan me-nepuk bahu Takeo, dengan cara yang sama Shigeko menepuk kirin. "Maaf. Sudah kukatakan sebelumnya bahwa ada yang tidak beres. Aku berusaha mempertahankan keseimbangannya, namun keseimbangannya terputus." Takeo menatapnya, tidak sanggup memahami kata-katanya. "Apakah telah terjadi sesuatu pada kedua putriku?" Dihelanya napas dalam-dalam. "Istriku?" "Aku tak bisa mengatakan rincian semacam itu. Aku bukan penyihir atau dukun. Yang kutahu hanyalah sesuatu yang menahan jaring yang rapuh telah terputus." Halaman 683 dari 683 Mulut Takeo terasa kering karena rasa takut. "Bisakah diperbaiki?" Gemba tidak menjawab, dan pada saat itu pula, di atas hiruk pikuk persiapan, Takeo mendengar derap langkah kuda dari kejauhan. "Ada yang berkuda ke arah kita," ujarnya. Tak lama kemudian kuda-kuda dalam barisan menaik-kan kepala dan meringkik, dan kuda yang tengah berjalan menghampiri meringkik balik selagi berjalan dengan santai di sekitar kelokan jalur dan mulai kelihatan. Ternyata itu salah satu kuda Maruyama pemberian Shigeko kepada Lord Saga, dan penunggangnya adalah Lord Kono. Hiroshi berlari ke depan untuk mengambil tali kekang sewaktu bangsawan itu meng-hentikan kudanya; Kono melompat turun dari punggung kudanya. Penampilannya yang tidak bertenaga sirna sudah; laki-laki itu kelihatan kuat dan trampil, seperti saat pertandingan. "Lord Otori, aku senang berhasil menyusul Anda." "Lord Kono," balas Takeo. "Kurasa aku tak bisa menawarkan banyak untuk menyegarkan diri. Kami baru saja hendak melanjutkan perjalanan. Kami akan berada di seberang perbatasan pada tengah hari nanti." Takeo tidak peduli jika si bangsawan tersinggung. Ia percaya tak ada satu hal pun yang bisa memperbaiki posisinya sekarang ini. "Aku harus meminta Anda menunda perjalanan," desak Kono. "Mari bicara berdua saja." "Kurasa tidak ada yang perlu dibicarakan saat ini." Kegelisahannya telah berubah men-jadi kemarahan. Takeo bisa merasakan kemarahannya memuncak di balik matanya. Selama berbulanbulan ia telah berusaha keras untuk bersabar dan mengendalikan diri. Kini dilihatnya kalau semua upayanya akan hancur oleh kejadian yang tak ber-aturan, rasa suka kirin yang tidak terkendali pada kawannya ketimbang dengan orang asing. "Lord Otori, aku tahu Anda meng-anggapku sebagai musuh, tapi percayalah, perhatianku pada Anda tulus dari lubuk hatiku. Mari, beri aku waktu untuk menyampaikan pesan Lord Saga." Tanpa menunggu jawaban, Kono berjalan menjauh menuju pohon cedar yang sudah tumbang hingga seolah menyediakan tempat duduk yang alami. Kerabat Kaisar itu duduk dan memberi isyarat agar Takeo bergabung dengannya. Takeo melihat sekilas ke timur. Tepian pegunungan tampak hitam pekat ber-lawanan dengan langit yang berkilauan, ber-lukiskan warna keemasan. "Kuberi waktu sampai matahari menyinari puncak gunung," ujar Takeo. "Ijinkan aku ceritakan apa yang terjadi. Kemenangan dari kunjungan Anda agak meredup dengan kepergian Anda yang lebih awal. Tadinya Kaisar berharap bisa lebih mengenal Anda-Anda membuat Kaisar ter-kesan. Tetap saja, Kaisar cukup gembira dengan hadiah-hadiah pemberian Anda, terutama hewan ini. Kaisar kemudian khawatir melihat kirin yang kian gelisah setelah kepergian Anda. Kaisar mengunjungi-nya setiap hari, tapi hewan itu ketakutan, dan tidak mau makan selama tiga hari. Kemudian dia kabur. Kami mengejarnya, tapi tentu saja, semua upaya kami untuk menangkapnya gagal, dan akhirnya dia berhasil lolos. Suasana ibukota berubah dari gembira bahwa Kaisar direstui Surga menjadi ejekan, bahwa restu Surga berpindah, bahwa ternyata Lord Otori-lah yang didukung Surga, bukannya Kaisar dan Lord Saga." Kono berhenti sejenak. "Tentu saja, peng-hinaan ini tak bisa diabaikan. Aku bertemu Lord Saga saat beliau meninggalkan Sanda; dan segera berbalik arah. Lord Saga berada hampir tidak sampai sehari menunggang kuda di belakangku. Kekuatan telah di himpun; pasukan khususnya senantiasa siaga, dan mereka sudah siap untuk kemungkinan semacam ini. Pasukan Anda kalah banyak dengannya. Aku diperintahkan menyampai-kan bahwa bila Anda Halaman 684 dari 684 tidak kembali bersamaku dan meminta maaf pada Kaisar: maka Anda harus bunuh diri-aku khawatir pilihan untuk mengasingkan diri sudah tidak ada lagi-Saga akan memburu Anda, dan merebut Tiga Negara dengan paksa. Anda dan keluarga Anda akan dihukum mati- kecuali Lady Maruyama, yang Lord Saga harap bisa dinikahinya." "Bukankah sejak awal dia telah meren-canakan akan seperti ini jadinya?" sahut Takeo, tidak berusaha mengendalikan amarahnya. "Biarkan dia mengejarku: dia akan kaget atas yang akan menantinya." "Aku tidak bisa mengatakan kalau aku terkejut, tapi menyesali keputusan Anda," ujar Kono. "Anda harus tahu betapa aku mengagumi Anda.... " Takeo memotong perkataannya. "Kau sering menyanjungku, tapi kurasa kau berniat jahat padaku dan berusaha melemah-kan diriku. Mungkin kau merasa dengan cara tertentu akan dapat membalaskan dendam atas kematian ayahmu. Jika kau memang memiliki kehormatan atau keberanian sejati, mestinya kau menantangku secara langsung, ketimbang diam-diam bersekongkol dengan Lord Arai, bawahanku dan adik iparku. Kau ular bermuka dua yang hebat. Kau telah menghina dan menipuku." Wajah Kono yang sudah pucat makin pucat. "Kita akan berjumpa dalam per-tempuran," sahutnya. "Saat itu tipuan dan ilmu sihir takkan bisa menyelamatkan Anda!" Kono berdiri, dan tanpa membungkuk hormat berjalan ke arah kudanya, melompat ke atas punggungnya lalu menarik tali kekang dengan kasar untuk memalingkan kepala kudanya. Kuda itu enggan mening-galkan kawan-kawannya, dan agak melawan, Kono menghentakkan kaki di bagian samping kuda itu; kuda itu bereaksi dengan melompat dan menendang, melemparkan bangsawan itu yang terjatuh dengan memalukan ke tanah. Keadaan menjadi sunyi. Dua pengawal terdekat menarik pedang, dan Takeo tahu semua orang berharap ia memberi perintah untuk membunuh Kono. Ia berharap melakukannya sendiri, sesuatu untuk melampiaskan kemarahannya, ingin menghukum orang yang berada di bawah kakinya atas semua penghinaan, rencana jahat dan pengkhianatan yang mengepung dirinya. Tapi sesuatu mencegahnya untuk melakukan itu. "Hiroshi, ambil kuda Lord Kono dan bantu dia," ujarnya, lalu berpaling agar tak lebih mempermalukan bangsawan itu. Para pengawal menurunkan pedang lalu menya-rungkannya kembali. Saat didengarnya derap langkah kaki makin menjauh menyusuri jalan itu, Takeo berpaling ke arah Hiroshi dan berkata, "Kirim Sakai pergi untuk memberitahu Kahei dan perintahkan dia bersiap untuk berperang. Kita harus berhasil menyeberangi jalur sempit secepat mungkin." "Ayah, bagaimana dengan kirin?" tanya Shigeko. "Dia kelelahan. Dia takkan sanggup mengikuti kita." "Hewan itu harus bisa mengikuti kita- bila tidak maka lebih baik dibunuh sekarang juga," sahutnya, dan melihat wajah putrinya tercengang. Besok mungkin ia akan melihat putrinya bertarung mempertahankan diri, Takeo sadar, namun putrinya itu belum pernah membunuh satu makhluk hidup pun. "Shigeko," tuturnya. "Ayah bisa menye-lamatkanmu dan kirin hanya dengan cara menyerahkan diri pada Lord Saga. Ayah akan bunuh diri, kau akan menikah dengannya, dan kita masih bisa menghindari pe-perangan." "Kita tidak bisa lakukan itu," sahut Shigeko tanpa ragu. "Saga telah menipu dan mengancam kita, serta mengingkari semua janjinya pada kita. Akan kupastikan kirin tidak tertinggal." "Maka tunggangilah Tenba," sahut Takeo. "Mereka berdua akan saling memberi semangat." Sebagai gantinya, Takeo mengambil kuda Shigeko, Ashige, dan menyuruhnya berjalan di depan bersama Gemba, seraya berpikir kalau putrinya akan lebih aman di sana ketimbang berada di belakang. Kemudian muncul masalah apa yang harus dilakukan dengan kuda beban, dan hadiahhadiah mewah dari Kaisar dan Lord Saga yang mereka bawa. Halaman 685 dari 685 Kuda-kuda itu tidak bisa mengimbangi jalan kuda lainnya-merasa kalau Kaisar sudah terlanjur tersinggung dan tak bisa ditebus dengan apa pun, Takeo memerintahkan agar bal-bal dan keranjang ditinggalkan di dekat kuil batu kecil di tepi mata air. Takeo menyesali kehilangan benda-benda indah itu: jubah sutra, cermin perunggu dan mangkuk berpernis. Ia berpikir betapa Kaede sangat senang atas itu semua, tapi tidak melihat ada jalan keluar lain. Tandu pun ditinggalkannya, bahkan baju zirah berhias indah pemberian Lord Saga. Baju zirah itu berat dan tidak praktis, dan Takeo lebih suka baju zirah miliknya yang diurus oleh Kahei. "Semua benda itu adalah sesaji untuk dewa gunung," tuturnya pada Hiroshi, selagi mereka berkuda menjauh. "Meski aku tidak percaya dewa mana pun bisa menolong kita saat ini. Apa artinya restu dari Surga? Kita tahu kalau kirin hanyalah hewan biasa, bukan makhluk dalam dongeng. Hewan itu kabur karena merindukan kawannya." "Kini kirin sudah menjadi perlambang," sahut Hiroshi. "Begitulah cara manusia menghadapi dunia." "Kini bukan saatnya untuk bicara filsafat! Sebaiknya kita bicarakan tentang rencana pertempuran." "Ya, aku sudah memikirkannya sejak kita melewati jalan ini: perbatasan di depan kita dapat digunakan untuk bertahan meng-hadapi pasukan Saga. Tapi apakah kini perbatasan itu tidak dijaga? Andai aku menjadi Saga, akan kututup semua rute yang bisa kau lalui sebelum kau meninggalkan ibukota." "Itu juga terpikir olehku," aku Takeo, dan ketakutan mereka dipastikan tak lama kemudian saat Sakai kembali melaporkan bahwa jalur telah dipenuhi pasukan Saga yang bersembunyi di sela bebatuan dan pepohonan, bersenjatakan panah dan senjata api. "Aku memanjat pohon dan melihat ke belakang ke arah Timur," tutur Sakai. "Dengan teropong aku melihat pasukan Saga dari kejauhan, sedang mengejar kita. Mereka mengibarkan panji-panji merah, dan pasukan pertahanan Saga di perbatasan pasti juga sudah melihatnya. Aku suruh Kitayama mengitari tempat itu-bila orang lain bisa melewatinya, maka dia juga bisa melewati-nya- tapi dia harus mendaki gunung dan turun di sisi gunung yang satunya lagi sebelum mencapai tempat Lord Miyoshi." "Butuh berapa lama hingga dia bisa sampai di sana?" tanya Takeo. "Beruntung bila dia bisa sampai sebelum malam." "Ada berapa banyak pasukan di perbatasan?" "Lima puluh sampai seratus orang. Kami tak sempat menghitungnya." "Baiklah, pasukan kita kurang lebih sebanding dengan jumlah pasukan musuh," ujar Hiroshi. "Tapi mereka memiliki semua keuntungan dari tanah datar." "Terlambat untuk memberi kejutan: tapi bisakah kita mengecoh dengan mengitari mereka?" tanya Takeo. "Satu-satunya harapan kita adalah meng-giring mereka ke lahan terbuka," sahut Hiroshi. "Saat itulah kita bisa menembak mereka satu demi satu-Anda dan Lady Shigeko harus berkuda dengan kecepatan penuh sementara kami melindungi kalian." Takeo terdiam merenung selama beberapa saat, kemudian menyuruh Sakai pergi lebih dulu bersama pengawal lainnya untuk ber-henti tepat di depan perbatasan lalu bersembunyi. Ia lalu menyusul Shigeko dan Gemba. "Ayah harus meminta kuda itu kembali," ujarnya. "Ayah hendak memancing musuh keluar dari persembunyian." "Ayah takkan pergi sendirian, kan?" tanya Shigeko, sewaktu turun dari punggung Tenba lalu mengambil tali kekang Ashige dari tangan ayahnya. Halaman 686 dari 686 "Ayah akan pergi bersama Tenba dan kirin," sahutnya. "Tapi takkan ada yang melihat Ayah." Takeo jarang memperlihatkan kemampu-an Tribe-nya pada Shigeko, atau bahkan membicarakannya, dan kini pun ia tak ingin menjelaskannya. Dilihatnya tatapan ragu putrinya yang kemudian dengan cepat dikendalikannya. "Jangan khawatir," ujarnya. "Tak ada yang bisa menyakiti Ayah. Tapi kau harus menyiapkan panahmu dan bersiap untuk menembak mati." "Kami akan berusaha melumpuhkan mereka ketimbang membunuh mereka," sahutnya seraya melirik ke arah Gemba yang duduk diam tanpa ekspresi di punggung kuda hitamnya. "Ini akan menjadi pertempuran yang sebenarnya, bukan perlombaan," tutur Takeo, ingin putrinya siap untuk peperangan yang haus darah. "Mungkin kelak kau tak punya pilihan." "Ayah harus ambil Jato kembali. Ayah jangan pergi tanpa membawanya." Takeo mengambil pedang itu dari putrinya dengan rasa terima kasih. Ada bingkai khusus yang sengaja dibuat pada pedang itu, hingga terlalu berat bagi Shigeko untuk membawanya; pedang itu sudah di punggung Tenba, tepat di depan pelana. Pedang itu masih disarungi dengan kain upacaranya dan kelihatan luar biasa. Takeo mengikatkan tali sutra kirin ke tali leher Tenba dan sebelum menaiki kuda, dipeluknya Shigeko, berdoa dalam hati bagi keselamatan putrinya. Saat itu kira-kira tengah hari dan cuaca sangat panas. Takeo meraih tali kekang Tenba dengan tangan kiri, mendongak sesaat dan melihat awan tebal yang mengandung kilat menumpuk di arah Barat. Tenba mengibaskan kepala menghalau kerumunan serangga kecil yang meng-gigitinya. Sewaktu menunggang kuda menjauh dari pasukan bersama kirin, Takeo menyadari ada seseorang yang berjalan kaki mengikutinya. Ia telah memerintahkan bahwa dia harus pergi sendiri, lalu memalingkan pelananya untuk memerintahkan siapa pun itu agar kembali ke pasukan. "Lord Otori!" Ternyata itu Mai, gadis Muto, adik Sada. Takeo berhenti sejenak lalu gadis itu berjalan menghampiri ke samping kuda. Tenba mengayunkan kepala ke arah gadis itu. "Mungkin aku bisa membantu," ujarnya. "Ijinkan aku pergi bersama Anda." "Kau bersenjata?" Mai menarik sebilah belati dari balik jubahnya. "Aku juga punya pisau lempar, dan garotte. Lord Otori berencana meng-gunakan kemampuan menghilang?" Takeo mengangguk. "Aku juga bisa menggunakannya. Apakah Anda bermaksud memaksa musuh menampakkan diri agar para pangawal bisa menyerang mereka?" "Mereka akan melihat seekor kuda perang dan kirin berjalan sendiri. Kuharap keingintahuan dan keserakahan akan meng-giring mereka menghampirinya. Jangan menyerang dulu sampai mereka berada di daratan terbuka dan Sugita memerintahkan tembakan pertama. Mereka pasti terbuai dengan kecerobohannya sendiri. Berlindung di sisi mana pun yang kelihatannya hanya ada sedikit musuh, dan bunuh musuh sebanyak-banyaknya semampumu. Makin mereka kebingungan, makin bagus." Mai tersenyum tipis. "Terima kasih, tuan. Setiap nyawa yang kuhabisi akan mem-balaskan dendam kakakku." Kini aku yang memulai peperangan, pikir-nya dengan perasaan sedih saat didesaknya Tenba agar berjalan lagi, lalu membiarkan kemampuan menghilang menyelimuti diri-nya. Jalanan itu makin curam dan berbatu, tapi tepat di depan perbatasan, jalannya agak menanjak dan melebar. Matahari masih tinggi di langit, tapi sudah mulai tenggelam di ufuk barat, dan bayangHarjono Siswanto Story Collection Halaman 687 dari 687 bayang mulai memanjang. Di kedua sisi jajaran pegunungan, muncul dari hutan lebat, ter-bentang Tiga Negara, kini berselimut awan. Petir berkilatan di kejauhan, dan terdengar gemuruh halilintar yang membuat Tenba mengibaskan kepala dan gemetar; kirin berjalan dengan tenang dan anggun seperti biasa. Dikejauhan Takeo mendengar desingan layang-layang dan kepakan sayap burung, keriat-keriut pepohonan tua, dan gemericik air. Saat memasuki lembah, terdengar oleh-nya suara berbisik, gemerisik pelan orang berpindah tempat, helaan busur, dan bahkan lebih mengancam lagi, bunyi ketukan senjata api yang tengah diisi bubuk mesiu. Sesaat darahnya membeku. Takeo tidak takut mati; ia sudah sering bersentuhan dengan kematian hingga tidak membuatnya takut; terlebih lagi, ia sudah yakin kalau tak seorang pun yang bisa membunuhnya sampai putranya sanggup melakukannya, tapi kini rasa takut yang nyaris tak disadarinya muncul, pada peluru yang bisa membunuh dari jauh, bijih besi yang mampu mengoyak daging dan tulang. Bila aku harus mati, ijinkan aku mati oleh pedang, ia berdoa saat halilintar bergemuruh lagi, bila aku mati akibat senjata api, maka itu hanya untuk keadilan, karena akulah yang mengenalkan serta mengembangkan benda itu. Ia tak ingat pernah menggunakan kemampuan menghilang saat menunggang kuda, ia membiasakan diri untuk memisah kan ketrampilan ksatria dari kemampuan Tribe. Dibiarkannya tali kekang kuda menggantung dan mengangkat kakinya dari sanggurdi agar tidak kelihatan ada penunggangnya. Ia ingin tahu apa yang ada dalam pikiran prajurit yang tengah me-mandangi kuda dan kirin berjalan melewati lembah. Apakah pemandangan itu mimpi, atau legenda yang menjadi kenyataan? Kuda hitam, dengan surai dan ekor berkilau sama terangnya dengan pelana, pedang di samping pelana; serta kirin, tinggi dan asing, dengan leher panjang serta kulit yang bercorak aneh. Terdengar olehnya desingan sebatang anak panah: Tenba juga mendengarnya dan terkejut, Takeo berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya selagi gerakan mendadak itu menarik tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Tak ingin terjatuh seperti Kono atau pun kehilangan kemampuan meng-hilangnya karena kurang konsentrasi. Dipelankan napasnya dan membiarkan tubuhnya mengikuti gerakan kuda seakan mereka adalah satu makhluk. Anak panah itu berjatuhan ke tanah sejauh beberapa langkah di depannya. Anak panah itu tidak dibidik langsung ke arah hewan hewan itu, hanya sekadar menguji reaksi alami mereka. Takeo membiarkan Tenba bergerak dengan cepat dan ringan. Kemudian ia menekan kedua kaki agak di samping perut kuda itu, memaksanya maju, bersyukur atas reaksi kuda itu seperti yang diharap-kannya. Kirin pun mengikuti dengan patuh. Terdengar teriakan di sebelah kanannya, dari sebelah utara lembah. Tenba menegak-kan telinga dan memutamya ke arah suara tadi. Satu orang lagi menjawab teriakannya, dari arah selatan. Langkah Tenba mulai berderap dan kirin mulai berlari dengan lompatan naik turun di sebelahnya. Anggota pasukan mulai menampakkan diri satu demi satu, bermunculan dari tempat persembunyian mereka lalu berlarian ke permukaan lembah. Mereka tidak bersenjata berat sehingga mudah untuk mengepung dan lebih leluasa: mereka berharap bisa menyergap cepat. Sebagian besar mereka bersenjatakan busur panah, dan beberapa senjata api, tapi mereka mengesampingkan senjata ini. Tenba mendengus, panik karena mereka seperti sekawanan serigala, dan mempercepat langkahnya sampai akhirnya melangkah santai dan pelan lagi. Hal ini membuat lebih banyak lagi pasukan bermunculan dan berlarian lebih cepat, berusaha menghalangi agar kedua hewan itu jangan ke ujung lembah. Takeo merasakan tanah mulai curam: mereka telah melewati titik tertinggi lembah; bisa dilihatnya tanah datar di bawahnya tempat pasukan Kahei menunggu. Kini teriakan terdengar di mana-mana, mereka berlomba-lomba menjadi orang pertama yang memegang tali kekang kuda perang itu untuk menyatakan menjadi milik-nya. Di depan, lima atau Halaman 688 dari 688 enam orang pasukan berkuda muncul dari celah antara tebing yang curam. Tenba berderap, meliuk bak kuda jantan tengah menggiring kuda betina, menyeringai, bersiap menggigit; langkah panjang kirin membuatnya seperti melayang di atas tanah. Takeo mendengar sebatang anak panah berdesing melewati dirinya, dan melihat prajurit pertama terjatuh, anak panah menembus dadanya. Di belakangnya terdengar dentuman langkah kuda selagi pasukannya Hiroshi ber-hamburan memasuki lembah. Desingan mengerikan anak panah me-menuhi udara, bak kepakan sayap. Terlambat, pasukan itu menyadari kalau itu jebakan dan mulai berlarian kembali untuk berlindung di antara bebatuan. Satu prajurit segera tumbang, sebilah pisau berbentuk bintang menancap di matanya, membuat mereka yang berada di belakangnya cukup lama merasa ragu untuk lari ke luncuran anak panah selanjutnya. Baik Tenba maupun kirin berada tepat di luar jangkauan, atau kemahiran para pemanahnya memang luar biasa, karena tak satu pun mengenai kedua hewan itu. Pasukan berkuda muncul di depannya, pedang terhunus di tangan. Takeo meraba-raba sanggurdi, memasukkan kakinya, menguatkan diri lalu menarik Jato dengan tangan kiri. Ia membiarkan dirinya terlihat di waktu yang sama ketika mengayunkan pedang ke kiri, menghantam prajurit berkuda hingga jatuh dari pelana. Ia menghempaskan berat badannya ke belakang saat berusaha melambatkan gerakan Tenba, lalu ia menebas tali yang mengikat kirin ke kuda itu. Kirin berlari dengan canggung ke depan sementara Tenba, mungkin mengingat untuk apa dia dilahirkan, melambatkan langkah dan berputar untuk menghadapi prajurit berkuda lain yang kini mengepung Takeo. Dilupakannya usia dan cacat tangannya, tangan kiri mengambil alih peran tangan kanannya yang cacat. Jato melompat seperti yang biasa dilakukannya, seolah bergerak atas kehendaknya sendiri. Ia menyadari Hiroshi yang datang bergabung dengannya. Kuda tunggangan Hiroshi yang berkulit abuabu pucat memerah karena darah. Lalu sekumpulan prajurit datang mengelilinginya: Shigeko dan Gemba dengan busur ter-sandang di punggung dan pedang di tangan. "Maju terus," serunya kepada mereka, dan tersenyum dalam hati selagi mereka berjalan melewatinya dan mulai berjalan menurun. Shigeko aman, setidaknya untuk hari ini. Bentrokan mereda dan sadar kalau pasukan berkuda musuh yang terakhir tengah ber-usaha menyelamatkan diri, dan prajurit pejalan kaki juga kabur, mencari perlin-dungan di sela bebatuan dan pepohonan. "Apakah kita akan kejar mereka?" scru Hiroshi, sambil mengatur napas, mem-belokkan Keri. "Jangan, biarkan mereka pergi. Saga pasti sudah dekat di belakang. Jangan ditunda. Kita sudah berada di Tiga Negara. Kita akan bergabung dengan Kahei malam ini." Tadi hanyalah pertempuran kecil, pikir Takeo saat mengembalikan Jato ke sarung dan akal warasnya mulai kembali. Per-tempuran besar akan terjadi nanti. "Kumpulkan prajurit kita yang terluka dan tewas," perintahnya pada Hiroshi. "Jangan tinggalkan satu orang pun." Kemudian Takeo berteriak lantang, "Mai! Mai!" Dilihatnya kedipan sosok dengan kemampuan menghilang di sisi utara, lalu mengarahkan Tenba menghampiri saat gadis itu menampakkan diri. Takeo mengulurkan tangan lalu mengayunkan gadis itu naik di belakangnya. "Kau terluka?" serunya sambil menengok ke belakang. "Tidak," teriak Mai balik. "Aku mem-bunuh tiga orang dan melukai dua orang." Dapat dirasakannya debar jantung Mai berpacu cepat menempel di punggungnya; aroma keringat Mai mengingatkan Takeo kalau sudah berbulan-bulan sejak ia tidur dengan istrinya. Betapa ia sangat merindukan Kaede: istrinya memenuhi pikirannya saat mengamati lembah untuk melihat prajurit nya yang selamat dan mengumpulkan sisa-sisanya. Lima orang tewas, sepertinya, mungkin enam orang terluka. Takeo bersedih bagi mereka yang tewas, kesemuanya telah ia kenal selama Halaman 689 dari 689 bertahun-tahun, dan bertekad memakamkan mereka dengan penghormatan yang tinggi di kampung halaman mereka di Tiga Negara. Pasukan Saga yang tewas ditinggalkannya di lembah, tidak bersusah payah menebas kepala mereka atau mengurus yang terluka. Saga akan berada di tempat ini esok hari, lalu entah di hari yang sama atau keesokan harinya mereka akan bertemu dalam per-tempuran. Suasana hatinya murung saat memberi salam pada Kahei di tanah lapang di bawah. Lega melihat Minoru tidak terluka, ia pergi bersama jurutulis itu ke tenda Kahei, tempat diceritakannya semua yang telah terjadi pada sang komandan, serta membicarakan rencana untuk keesokan harinya. Hiroshi membawa kuda ke dalam barisan, tempat Takeo bisa melihat putrinya bersama kirin. Wajah putrinya pucat, dan entah bagaimana terlihat agak kurus, hatinya terasa pedih melihat penderitaan putrinya. "Setidaknya kita tahu Saga tak bisa datang lewat jalan lain," tutur Takeo. "Dia harus melewati jalur sempit itu." "Kita akan segera kirim pasukan untuk mempertahankannya," sera Kahei. "Tidak, akan kita biarkan terbuka. Kita harap Saga mengira kita sedang kabur, kehilangan semangat dan kebingungan. Dan dia harus kelihatan seperti penyerang. Kita sedang mempertahankan Tiga Negara, bukan menentang Saga atau Kaisar. Kita tidak bisa tinggal di sini dan menahannya dengan tidak jelas. Kita haras mengalahkannya dengan telak dan membawa kembali pasukan ke wilayah Barat untuk menghadapi Zenko. Kau sudah mendengar tentang kematian Taku?" "Aku sudah mendengar desas-desus, tapi kami tidak ada kabar resmi dari Hagi." "Tidak ada kabar dari istriku?" "Tidak ada kabar sejak bulan ketiga, dan dia juga tidak menyebutkan tentang berita duka ini. Mungkin saat itu Kaede memang belum mendengar kabar itu." Hal itu membuat Takeo lebih tertekan lagi, karena ia mengharapkan surat dari istrinya, dengan berita tentang situasi Negara Tengah dan wilayah Barat, begitu pula dengan kabar tentang kesehatannya juga si bayi. "Aku belum mendapat kabar dari istriku; kami pernah mendapat pesan dari Inuyama, tapi tidak ada kabar dari Negara Tengah." Kedua laki-laki itu terdiam sejenak, memikirkan rumah mereka nun jauh di sana dan anak-anak mereka. "Baiklah, orang bilang kalau kabar buruk tersebar lebih cepat ketimbang kabar baik," sera Kahei, membuang kekhawatirannya dengan cara yang biasa, dengan kegiatan fisik. "Mari kutunjukkan pasukan kita." Kahei sudah mengatur pasukan dalam formasi tempur: kekuatan utama di sisi barat tanah datar, dan bagian samping di se-panjang tepi utara terlindungi oleh barisan bukit yang menonjol. Di sini ditempatkan-nya para prajurit bersenjata api, begitu pula dengan pasukan pemanah tambahan. "Kita menghadapi cuaca buruk," ujarnya. "Jika terlalu basah untuk menggunakan senjata api, maka kita kehilangan keuntungan terbesar kita." Takeo berjalan bersamanya di bawah cahaya rembulan untuk menginspeksi posisi, penjaga juga membawakan obor ilalang. Bulan putih semakin mendekati purnama, namun awan gelap berarak tidak beraturan, dan kilat menyala di langit barat. Gemba duduk di bawah sebatang pohon runjung kecil, di dekat kolam yang menyediakan air buat mereka: matanya terpejam, jelas terpisah dari hiruk pikuk kemah di sekitamya. "Mungkin adikmu bisa terus menunda turunnya hujan," ujar Takeo, berusaha membangkitkan semangat dirinya dan juga Kahei. "Hujan atau tidak, kita harus bersiap menyambut serangan mereka," sahut Kahei. "Kau sudah bertempur satu kali hari ini. Aku akan berjaga sementara kau dan pen-dampingmu tidur." Halaman 690 dari 690 Karena sudah berada di perkemahan sejak bulan kelima, Kahei mengatur agar ia bisa nyaman: Takeo mandi dengan air dingin, makan sedikit, kemudian meregangkan badan di bawah lipatan sutra tenda. la langsung tertidur, dan memimpikan Kaede. Mereka berada di penginapan di Tsuwano, dan malam itu adalah malam pertunangan Kaede dengan Shigeru. Dilihatnya Kaede saat berusia lima belas tahun, wajahnya masih mulus tanpa kerutan, tanpa goresan bekas luka di leher, rambut tebalnya hitam tergerai. Dilihatnya lentera berkelap-kelip di antara mereka berdua saat Kaede menatap tangannya lalu menaikkan pandangan ke wajah. Dalam mimpinya, Kaede ditunangkan dengan Shigeru sekaligus telah menjadi istrinya; diserahkannya hadiah pertunangan kepada Kaede, dan di saat yang bersamaan meraih tubuh Kaede dan menariknya ke arahnya. Saat dirasakannya bentuk tubuh Kaede yang amat disayanginya dalam pelukannya, terdengar olehnya gemeletak api dan menyadari kalau gerakannya yang tergesa-gesa menghantam lentera hingga jatuh. Ruangan itu meledak terbakar; api melahap tubuh Shigeru, Naomi, Kenji... Takeo terbangun, bau terbakar menyesak-kan cuping hidungnya, hujan sudah me-merciki tenda, kilat menghanguskan per-kemahan, cahaya terangnya yang mengeri-kan, halilintar memecah langit.* Setelah Takeo memotong tali pengikat, kirin terus berlari melintasi lembah, namun kaki-nya tidak cocok dengan permukaan tanah yang berbatu, dan segera saja langkahnya melambat, berjalan terpincang-pincang. Keributan di belakangnya membuatnya panik, namun di depannya nampak sosok manusia dan kuda yang tidak dikenalnya. Sadar kalau orang dan kuda yang sayang padanya masih di belakang, hewan itu menunggu dengan kesabaran dan ke-patuhannya yang biasa. Shigeko dan Gemba menemukannya di sana, lalu membawanya ke perkemahan. Shigeko diam tanpa bicara saat melepas pelana Ashige, mengencangkan tali di barisan kuda. Gemba mengambil rumput kering dan air. Mereka dikelilingi prajurit dari per-kemahan yang ingin mengetahui tentang pertarungan tadi, tapi Gemba menghalau mereka. Dia mengatakan bahwa Kahei harus diberitahu lebih dulu, dan bahwa Lord Otori ada di belakang mereka. Shigeko melihat ayahnya berkuda me-masuki perkemahan. Si gadis Muto, Mai, di belakang ayahnya dan Hiroshi di samping-nya. Sesaat ia merasa mereka berdua seperti orang yang berbeda: berlumuran darah, kejam, ekspresi kemarahan sisa pertempuran masih tergambar di wajah mereka. Ekspresi wajah Mai pun sama, membuat figurnya kelihatan maskulin. Hiroshi yang pertama turun dari kuda dan mengulurkan kedua tangannya untuk mengangkat gadis itu turun dari punggung Tenba. Setelah itu Takeo turun dan menyapa Kahei, Hiroshi mengambil tali kekang kedua kuda itu, tapi kemudian berdiri sebentar untuk berbicara dengan Mai. Shigeko berharap ia memiliki pendengaran tajam agar tahu apa yang sedang mereka bicarakan, kemudian mencaci dirinya sendiri karena merasa cemburu. Perasaan itu menodai rasa lega karena temyata ayahnya dan Hiroshi tidak terluka. Tenba mencium bau kirin dan meringkik keras. Hiroshi melihat ke arahnya dan Shigeko melihat ekspresi laki-laki yang sangat dikenalnya. Aku mencintainya, pikir Shigeko. Aku hanya akan menikah dengannya. Hiroshi mengucapkan selamat tinggal kepada Mai lalu membawa kedua kuda menuju barisan kuda, mengikat kuda miliknya, Keri, di samping Ashige, dan Tenba di sebelah kirin. Halaman 691 dari 691 "Mereka semua bahagia sekarang," ujar Shigeko, saat hewan-hewan itu makan dan minum. "Mereka punya makanan, punya teman, dan sudah lupa peristiwa mengerikan hari ini... Mereka tidak tahu apa yang menanti besok." Gemba meninggalkan mereka, mengata-kan kalau dia perlu menghabiskan waktu seorang diri. "Dia pergi untuk menguatkan dirinya dengan Ajaran Houou," ujar Shigeko. "Aku harus melakukan hal yang sama. Tapi aku merasa telah mengkhianati semua yang telah diajarkan para Guru Besar." Ia memalingkan wajah, seketika air mata terasa menusuk kelopak matanya. "Aku tak tahu apakah hari ini aku telah membunuh," ujarnya pelan. "Tapi panahku mengena banyak orang. Bidikanku tepat kena sasaran: tak satu pun anak panah yang meleset. Aku tidak ingin menyakiti anjing-anjing itu, namun aku ingin menyakiti orang-orang itu. Aku merasa gembira saat darah mereka menyembur. Berapa banyak dari mereka yang sudah mati sekarang?" "Aku juga membunuh," tutur Hiroshi. "Aku dilatih semasa kecil untuk hal ini, dan sudah terbiasa. Namun kini, setelah kejadian itu, aku merasakan penyesalan dan kesedihan. Aku tidak tahu bagaimana lagi cara untuk tetap setia pada ayahmu, kepada Tiga Negara, atau melakukan semampuku untuk melindungi ayahmu juga dirimu." Setelah berhenti sejenak, Hiroshi lalu menambahkan, "Besok pasti lebih buruk lagi. Pertarungan kecil ini tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pertempuran yang akan terjadi nanti. Seharusnya kau tidak terlibat. Aku tak bisa meninggalkan ayahmu, tapi biar kusarankan agar Gemba membawa-mu pergi. Kau bisa membawa kirin. Kembalilah ke Inuyama, ke tempat bibimu." "Aku juga tak ingin meninggalkan Ayah," ujar Shigeko, dan tidak kuasa menambahkan, "Juga Lord Hiroshi." Dirasakan pipinya merona merah lalu berkata, "Apa yang kau bicarakan dengan gadis itu tadi?" "Gadis Muto itu? Aku berterima kasih padanya karena membantu kita lagi. Aku sungguh-sungguh berterima kasih padanya karena membawa kabar tentang kematian Taku, juga karena telah bertempur bersama kita hari ini." "Oh! Tentu saja," sahut Shigeko, dan memalingkan wajah ke arah kirin untuk menyembunyikan rasa bingungnya. Ia ingin dipeluk pemuda itu; takut kalau mereka akan mati tanpa sempat menyatakan cinta. Namun ia tak tahu bagaimana mengatakan saat dikelilingi prajurit, pengurus kuda, dan saat masa depan mereka kian tak menentu? Kuda-kuda sudah selesai diurus: tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk berdiri di sana lebih lama lagi. "Mari berjalan-jalan sebentar," ajak Shigeko. "Kita harus melihat medan perang, lalu menemui ayahku." Hari masih terang, jauh di ufuk barat pancaran terakhir sinar matahari menyebar keluar dari balik awan tebal. Langit di antara tempat perlindungan mereka yang berwarna abu-abu tua, berwama abuabu pucat. Bulan masih tinggi perlahan berwarna keperakan. Shigeko tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Akhirnya Hiroshi bicara, "Lady Shigeko," ujarnya. "Satu-satunya kecemasan-ku saat ini adalah keselamatanmu." Nampak-nya Hiroshi pun berusaha mengungkapkan perasaannya. "Kau harus tetap hidup, demi nasib seluruh negeri." "Kau sudah seperti kakakku," tuturnya. "Tidak ada orang lain yang lebih berarti bagiku ketimbang dirimu." "Perasaanku padamu jauh melebihi perasaan kakak terhadap adiknya. Aku tak-kan mengucapkannya padamu, namun kenyataan kalau salah satu dari kita mungkin mati besok. Kau adalah perempuan paling sempurna yang pernah kukenal. Aku tahu derajat dan kedudukan menempatkan dirimu jauh di atas diriku, tapi aku tak bisa mencintai atau menikah dengan orang lain selain dirimu." Shigeko tak kuasa menahan diri untuk tersenyum. Kata-kata Hiroshi menghalau kesedihannya, memenuhi dirinya dengan rasa gembira serta keberanian. Halaman 692 dari 692 "Hiroshi," ujarnya. "Mari kita menikah, akan kubujuk orangtuaku. Saat ini aku tak lagi merasa wajib menjadi istri Lord Saga karena dia telah memperlakukan ayahku dengan kejam. Seumur hidup, aku senantiasa berusaha mematuhi orangtuaku dan ber-tindak dengan benar. Tapi kini kulihat ternyata, saat menghadapi kematian, ada hal lain yang lebih penting. Kedua orangtuaku mengutamakan cinta di atas kewajiban pada orangtua mereka; mengapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama?" "Aku tidak bisa melakukan apa yang ber-tentangan dengan keinginan ayahmu," sahut Hiroshi, dengan penuh perasaan. "Namun mengetahui bahwa kau merasakan apa yang kurasakan telah memuaskan semua keinginanku." Tidak semuanya, kuharap! Shigeko berani berpikir demikian saat mereka berpisah. Shigeko ingin segera menemui ayahnya, namun ia menahan diri. Setelah mandi dan makan, ia diberitahu kalau ayahnya sudah tidur. Satu tenda terpisah didirikan untuknya, lalu ia duduk sendirian dalam waktu yang lama, berusaha mengatur pikirannya dan mengobarkan kembali api yang tenang dan kuat dari Ajaran Houou dalam dirinya. Namun semua usahanya kalah oleh kenangan yang melintas di benaknya- jeritan dalam pertempuran, bau darah, desing anak panah-dan wajah serta suara Hiroshi. Shigeko tertidur sebentar dan terbangun oleh gemuruh halilintar dan percikan air hujan. Terdengar olehnya perkemahan meledak dalam kesibukan di sekelilingnya, dan melompat bangun, cepat-cepat mengenakan pakaian berkuda yang dikenakannya kemarin. Semuanya mulai basah, jarinya terasa licin. "Lady Maruyama!" seorang perempuan berseru memanggil dari luar, dan Mai masuk ke tenda membawa teh dan nasi dingin. Sementara Shigeko makan dengan cepat, Mai menghilang lagi. Saat kembali, gadis itu membawa perisai pelindung dada kecil terbuat dari kulit dan besi serta helm. "Ayah Anda mengirimkan ini," ujarnya. "Anda harus segera bersiap, juga kuda Anda, lalu pergi menemui beliau. Mari kubantu Anda." Shigeko merasakan bobot asing perisai dada itu. Rambutnya tersangkut saat benda itu diikat talinya. "Ikat rambutku," ujarnya pada Mai; lalu diambil pedang dan mengencangkannya di sabuknya. Mai menaruh topi baja di kepala Shigeko lalu mengikatkan talinya. Hujan turun dengan deras, tapi langit tampak kian pucat. Matahari hampir terbit. Shigeko bergegas menuju barisan kuda, melewati siraman hujan bak tirai baja abu-abu. Takeo sudah mengenakan baju zirah, Jato di sampingnya, menunggu kedatangan Hiroshi dan pengurus kuda menyelesaikan memakaikan pelana pada kuda. "Shigeko," panggilnya tanpa tersenyum. "Hiroshi memohon agar mengirimmu pergi, tapi sebenarnya Ayah membutuhkan semua orang yang ada. Saat ini terlalu basah untuk menggunakan senjata api, dan Saga tahu ini. Ayah yakin dia takkan menunggu hujan reda untuk menyerang. Ayah membutuhkan kau dan Gemba, karena kalian berdua adalah pemanah yang baik." "Aku senang," sahutnya. "Aku tak ingin meninggalkan Ayah. Aku ingin bertempur di samping Ayah." "Tetaplah bersama Gemba," ujar Takeo. "Bila kekalahan tak terhindar, dia yang akan menyelamatkanmu." "Aku akan mencabut nyawaku lebih dulu," hardik Shigeko. "Tidak, putriku, kau harus hidup. Jika kita kalah, kau harus menikah dengan Saga, dan mempertahankan negara dan rakyat kita sebagai istrinya." "Dan kalau kita menang?" Halaman 693 dari 693 "Maka kau bisa menikah dengan orang pilihanmu," sahut Takeo, matanya berkerut melirik ke arah Hiroshi. "Aku akan pegang janji Ayah," sahutnya ringan, selagi mereka berdua naik ke punggung kuda. Takeo berkuda bersama Hiroshi menuju bagian tengah tanah datar, tempat pasukan berkuda berkumpul, dan Shigeko mengikuti Gemba menuju sisi sebelah utara, tempat pasukan pejalan kaki, pemanah dan pasukan ber-senjata tombak berujung tajam dan tombak berkapak tengah mengatur posisi. Mereka berjumlah beberapa ribu orang, para pemanah diatur dalam dua tingkat, karena Kahei telah melatih seni tembakan alternatif hingga hujan panah seperti sambung menyambung. Andai keadaan tidak basah, mereka pasti melakukan hal yang sama untuk senjata api. "Saga menduga kita hanya berkonsentrasi pada senjata api," tutur Gemba. "Dia tak menduga kalau kekuatan pemanah kita sama hebatnya dengan pasukannya. Dia terkejut saat pertandingan berburu anjing itu ber-langsung, tapi tidak belajar dari kejadian itu. Kini dia akan sama terkejutnya seperti saat itu." "Kita harus tetap di sini," tambahnya, "bahkan saat pasukan bergerak memutar dan maju. Ayahmu ingin agar kita membidik dengan hari-hati dan menyerang pemimpin mereka. Jangan sia-siakan sebatang anak panah pun." Mulut Shigeko terasa kering. "Lord Gemba," panggilnya. "Bagaimana bisa terjadi seperti ini? Bagaimana kita bisa gagal menyelesaikan masalah dengan damai?" "Ketika keseimbangan hilang dan kekuatan laki-laki mendominasi, perang tidak bisa dihindari," sahut Gemba. "Beberapa luka telah diatasi oleh kekuatan perempuan, tapi aku tak tahu apa itu. Sudah takdir kita untuk berada di sini, takdir yang mengharuskan kita membunuh atau ter-bunuh. Kita harus merangkulnya dengan segala kejernihan pikiran, dengan sepenuh hati, bahwa sebenarnya kita tidak meng-inginkan atau pun mencarinya." Shigeko mendengarkan kata-kata ini, tapi nyaris tak bisa mengingatnya, perhatiannya dipusaikan pada pemandangan di depannya saat matahari semakin terang: warna merah dan emas baju zirah serta pelana, kuda yang sudah tak sabar, dan panji-panji Otori, Maruyama, Miyoshi dan klan lain dari Tiga Negara. Kemudian, dalam jumlah yang luar biasa besar, bak semut yang terganggu keluar dari sarang, gelombang pertama pasukan Saga mengalir melewati perbatasan.* Perang Takahara berlangsung lebih dari tiga hari di tengah badai yang disertai kilat dan petir. Perang berlangsung tiada henti dari matahari terbit hingga matahari terbenam. Malam harinya para prajurit merawat luka dan membersihkan medan perang dari anak panah yang berserakan. Jumlah pasukan Saga Hideki lebih besar tiga berbanding satu dengan pasukan Takeo, tapi jenderal Kaisar itu dirintangi oleh sempitnya jalur menuju dataran. dan posisi Takeo yang lebih meng-untungkan. Selagi pasukan Saga merangsek memasuki dataran, mereka dihujani anak panah dari kanan; prajurit yang selamat dari panah dihadang oleh pasukan utama Otori, pertama dihadang pasukan berkuda yang menggunakan pedang kemudian oleh prajurit pejalan kaki. Inilah perang paling brutal yang pernah Takeo alami, perang yang berusaha ia hindari. Pasukan Saga sangat disiplin dan luar biasa terlatih. Mereka telah menakluk kan wilayah wilayah di utara; berharap dianugerahi harta rampasan dari Tiga Negara; berperang dengan restu Kaisar. Halaman 694 dari 694 Sebaliknya, pasukan Takeo tidak hanya berperang demi nyawa mereka, tapi juga demi negara, kampung halaman, istri dan anak-anak serta tanah mereka. Miyoshi Kahei sudah bertempur bersama pasukan Otori sejak perang Yaegahara saat berusia empat belas tahun, hampir tiga puluh tahun lalu. Klan Otori menderita kekalahan besar, sebagian disebabkan oleh peng-khianatan para pemimpin distrik. Kahei tak pernah lupa masa-masa yang terjadi setelah itu: penghinaan atas ksatria, penderitaan rakyat di bawah penguasa lida Sadamu. Ia bertekad untuk tidak hidup dengan kekalahan seperti itu lagi. Keyakinannya bahwa Saga takkan bisa menang menguatkan tekad pasukannya. Sama pentingnya, persiapan Kahei dilaku-kan dengan sangat teliti dan penuh pe-rencanaan. Ia telah merencanakan operasi militer ini sejak musim semi, serta mengatur pengangkutan persediaan dan senjata dari Inuyama. Dia sudah tak sabar selama berbulan-bulan, ingin menghadapi ancaman atas pemerintahan Takeo. Kini akhirnya perang sudah dimulai, semangatnya ber-kobar: hujan tak bisa dihindari, karena sebenarnya dia ingin pasukannya meng-gunakan senjata api. namun ada yang luar biasa dengan senjata tradisional: busur panah dan pedang, tombak runcing dan tombak berkapak. Panji-panji klan basah karena lembap; tanah di bawah kaki dengan cepat berubah menjadi lumpur. Kahei menyaksikan dari lereng, kuda merah bata miliknya siap di sampingnya. Minoru, si juratulis, duduk di dekatnya bernaung di bawah payung, berusaha keras namun sia-sia menjaga agar tulisannya tetap kering serta mencatat semua kejadian. Ketika serangan pertama pasukan Saga dipukul mundur dan dihalau kembali ke jalur perbatasan, Kahei melompat ke kuda lalu bergabung dalam pengejaran itu, pedangnya mencincang dan menyabet punggung prajurit yang tengah melarikan diri. Di pagi di hari kedua, pasukan berkuda Saga kembali melewati jalur sempit sebelum hari terang, menyebar untuk mengecoh pasukan pemanah ke utara dan mengitari sebelah selatan dari pasukan utama Kahei. Takeo tidak tidur selain menyaksikan semalaman, mendengarkan suara pertama kegiatan dari musuh. Didengarnya langkah kuda, meski-pun kaki mereka dibungkus jerami, keriat-keriut dan gemerincing pelana serta senjata. Pemanah sebelah utara menembak membabi-buta, dan hujan anak panah kurang efektif dibandingkan hari sebelumnya. Semuanya basah kuyup-makanan, senjata, dan pakaian. Ketika hari terang, perang sudah ber-langsung lama, dan cahaya matahari yang baru terbit menerangi pertunjukan yang menyedihkan itu. Di bagian paling timur, pasukan pemanah terjebak dalam per-tarungan satu lawan satu dengan pasukan Saga. Takeo tak berhasil melihat seorang pun dengan jelas di tengah pertempuran sengit itu, meski lencana setiap kelompok prajurit pejalan kaki bisa terlihat samar di bawah guyuran hujan. Segera dilihatnya kalau sisi kanannya dalam ancaman, dan tidak mendapat bantuan apa pun. la segera ber-kuda untuk membantu mereka dengan Jato di tangan. Tenba gemetaran penuh semangat. Seakan tak lagi memiliki rasa menyesal, ia bergerak memasuki kekejaman pertempuran. Ia melihat, setengah sadar, kalau Okuda berada tidak jauh di sebelah kanannya. Ia menggerakkan Tenba ke samping untuk menghindari tikaman pedang ke arah kakinya, membelokkan kuda itu menghadapi si penyerang lalu menunduk menatap mata putra Okuda, Tadayoshi. Bocah itu terjatuh dari kuda dan kehilangan topi bajanya, serta terkepung sewaktu berusaha membela diri dengan gagah berani. Bocah itu mengenali Takeo dan ber-teriak memanggil; Takeo mendengar suaranya dengan jelas di tengah gemuruhnya pertempuran. "Lord Otori!" Ia tidak pernah tahu apakah itu seruan menantang atau seruan minta tolong karena Jato sudah turun ke tempurung kepalanya dan membelahnya. Tadayoshi mati seketika itu juga. Kini Takeo mendengar jerit kemarahan dan kesedihan, dan melihat ayah bocah itu tengah berkuda ke arahnya, pedang di kedua Halaman 695 dari 695 tangannya. Takeo merasa tidak tenang dengan kematian Tadayoshi, dan tidak siap. Saat itu Tenba tersandung, dan Takeo agak tergelincir dari pelananya, terjatuh ke depan, berusaha mencengkeram surai dengan tangan kanannya yang cacat. Tersandungnya Tenba membuat serangan Okuda agak berbelok, tapi Takeo masih bisa merasakan akibatnya karena ujung pedang Okuda mengenai bagian atas lengannya sampai ke bahu. Kuda Okuda terus berderap, memberi waktu bagi Takeo dan Tenba memulihkan diri; ia tidak merasa sakit dan mengira kalau ia tak terluka. Okuda membelokkan kuda lalu kembali menghampiri Takeo, jalannya dihalangi oleh kerumunan prajurit. Namun Okuda tidak mengacuhkan mereka semua, pandanganya hanya tertuju kepada Takeo. Amukan laki-laki itu membakar amarah lama dalam diri Takeo, dan membiarkan kobarannya kian membara karena perasaan itu menghangus-kan penyesalan; Jato menanggapi dan menemukan titik tak terlindungi di leher Okuda. Gerakan yang cepat dan kuat laki-laki itu justru membawa Jato menembus ke dalam daging dan pembuluh darahnya. Masih di hari kedua, Hiroshi dan pasukan-nya mendesak pasukan Saga kembali ke jalur sempit dalam serangan balasan; Kahei memulai gerakan mengepung lalu menjepit yang bisa menjebak pasukan musuh untuk mundur. Keberadaan sepupunya, Sakai Masaki, di belakangnya membuat Hiroshi teringat perjalanan di tengah hujan seperti ini bersama sepupunya itu saat berusia sepuluh tahun. Di usia itu, perang merupakan hal yang sangat diinginkannya, namun jalan yang diikutinya sekarang adalah jalan kedamaian, Ajaran Houou. Kini dirasa-kannya semua darah yang mengalir dari nenek moyangnya menggelegak dalam pem-buluh darahnya. Dibuangnya jauh-jauh semua pikiran lain dan berkonsentrasi pada pertarungan, membunuh, menang, karena masa depannya bergantung pada ke-menangan. Bila kalah dalam perang ini, ia merasa lebih baik terbunuh atau mencabut nyawanya sendiri. Hiroshi bertarung dengan kemarahan yang ia tidak tahu kalau ia memilikinya, memengaruhi semangat pasukan di sekitarnya, mendesak lawan kembali ke jalur sempit, tempat mereka terjebak di jalan yang menyempit. Tak bisa kemana-mana, pasukan Saga makin putus asa. Dalam salah satu desakan balasan, Keri tumbang, darah menyembur dari leher dan bahunya. Hiroshi menemukan dirinya bertarung melawan dua prajurit tanpa kuda. Lumpur menyulitkan dirinya untuk menjejakkan kaki dan jatuh dengan satu lutut, berpaling selagi pedang meng-hampirinya dan terus menangkis dengan pedangnya ke atas. Pedang kedua turun ke arahnya: dilihatnya Sakai menghempaskan badan di balik hujaman pedang itu; darah, darahnya sendiri atau darah Sakai, mem-butakan matanya. Bobot tubuh Sakai menahan tubuhnya berada di dalam lumpur saat pasukan yang bertempur menginjak-injak melewati mereka. Sesaat Hiroshi tak bisa percaya kalau beginilah akhirnya, lalu rasa sakit menyelimuti dirinya, meneng-gelamkan dirinya. Gemba menemukannya saat malam, sekarat karena kehilangan banyak darah dengan luka sayatan di kepala dan kaki. Luka-lukanya sudah ditutupi lumpur. Gemba menghentikan aliran darah serta membersihkannya sebisa mungkin, lalu menggendong Hiroshi kembali ke belakang barisan untuk bergabung dengan prajurit yang terluka. Takeo berada di antara mereka, bahu dan lengannya tersayat cukup dalam, namun tidak berbahaya, sudah dibersihkan dan dibalut dengan perban kertas. Shigeko tidak terluka, wajahnya pucat kelelahan. Gemba berkata, "Aku menemukannya. Dia sekarat. Sakai tewas tergeletak di atas tubuhnya. Sakai pasti telah menyelamatkan Hiroshi." Dibaringkannya pemuda yang terluka itu di bawah. Lentera telah dinyalakan, tapi berasap di tengah hujan. Takeo berlutut di samping Hiroshi, meraih tangannya dan berseru memanggilnya. "Hiroshit Kawanku! Jangan tinggalkan kami. Berjuanglah! Ber-juanglah!" Mata Hiroshi mengerjap-ngerjap. Napas-nya terengah-engah; kulitnya basah oleh keringat bercampur air hujan. Shigeko berlutut di samping ayahnya. "Dia tak mungkin sekarat! Dia tak boleh mati!" "Dia berhasil bertahan sampai sejauh ini," Halaman 696 dari 696 ujar Gemba. "Bisa kau lihat betapa kuatnya dia." "Jika dia bisa melewati malam ini, berarti masih ada harapan," sahut Takeo setuju. "Jangan putus asa. "Betapa mengerikan semua ini," bisik Shigeko. "Alangkah tidak termaafkan mem-bunuh orang." "Begitulah jalan hidup ksatria," ujar Gemba. "Ksatria bertarung lalu mati." Shigeko tak menjawab, namun air mata bercucuran dengan deras dari matanya. "Sampai berapa lama lagi Saga akan bertahan seperti ini?" tanya Kahei pada Takeo malam itu, sebelum mereka menggunakan kesempatan istirahat singkat untuk tidur. "Ini benar-benar gila. Dia mengorbankan anak buahnya tanpa tujuan." "Dia adalah orang dengan kebanggaan yang tinggi," sahut Takeo. "Dia tidak pernah kalah sehingga dia tidak akan mengakui pemikiran semacam itu." "Bagaimana kita bisa membujuknya? Kita bisa saja menahan serangannya tanpa waktu yang pasti- kuharap kau terkesan dengan para prajuritmu; menurutku mereka sangat luar biasa-tapi kita tak bisa menghindari besarnya korban. Semakin cepat kita bisa mengakhiri perang, semakin besar peluang kita menyelamatkan yang terluka." "Seperti Sugita yang malang," imbuhnya. "Dan kau juga, tentunya. Demam karena luka tak bisa dihindari dalam kondisi buruk seperti ini, tanpa sinar matahari untuk mengeringkan dan menyembuhkan. Kau harus beristirahat besok; menjauhlah dari medan perang." "Lukanya tidak parah," sahut Takeo, meski rasa sakit semakin terasa sepanjang hari ini. "Beruntung aku sudah terbiasa memakai tangan kiri. Aku takkan menjauh dari perang-tidak sebelum Saga mati atau kembali ke ibukota!" Shigeko menjaga Hiroshi semalaman, memandikannya dengan air dingin, berusaha menurunkan panas demamnya. Hiroshi masih hidup hingga pagi hari, tapi tubuhnya menggigil kencang sekali, dan Shigeko tak menemukan satu pun benda kering yang bisa menghangatkannya. Diseduhnya teh dan berusaha membuat pemuda itu meminum nya: Shigeko tercabik antara tetap menjaga Hiroshi atau kembali ke posisinya di samping Gemba untuk melawan serangan Saga selanjutnya. Tempat berlindung dari batang kayu yang didirikan untuk mereka yang terluka terus meneteskan air hujan; tanah di bawah mereka becek dengan air hujan. Mai sudah menghabiskan waktu siang dan malam di sana, dan Shigeko memanggilnya. "Apa yang harus kulakukan?" Mai berjongkok di samping Hiroshi dan meraba dahinya. "Ah, dia kedinginan," ujarnya. "Beginilah cara kami meng-hangatkan orang sakit di Tribe." Mai ber-baring dan mendempetkan tubuhnya ke tubuh Hiroshi. "Berbaringlah di sebelah sana," pcrintahnya, dan Shigeko melakukan-nya, merasakan kehangatan tubuhnya menyebar ke tubuh Hiroshi. Kedua gadis itu mengapit pemuda itu tanpa bicara sampai suhu tubuhnya mulai naik lagi. "Dan begitulah kami menyembuhkan luka," ujar Mai pelan, lalu menyingkirkan perban Gemba, menjilat pinggiran luka yang menganga dengan lidah lalu meludahkan air liurnya ke luka tersebut. Shigeko mengulangi gerakan yang sama, merasakan darah pemuda itu. Mai berkata, "Dia sekarat!" "Tidak!" sahut Shigeko. "Beraninya kau mengatakan begitu!" Halaman 697 dari 697 "Dia perlu dirawat dengan benar. Kita tak bisa melakukannya siang dan malam. Kau harus bertempur, dan aku harus merawat mereka yang lebih berpeluang hidup." "Bagaimana cara kita menghentikan perang ini?" "Laki-laki memang suka bertarung," ujar Mai. "Tapi bahkan laki-laki paling kejam sekalipun akan kelelahan, terutama jika mereka terluka." Mai menatap Hiroshi lalu menatap Shigeko. "Sakiti si Saga itu, maka dia akan kehilangan selera perangnya. Sakiti dia separah luka yang Hiroshi derita maka dia akan lari tunggang langgang mencari tabib di Miyako." Shigeko berkata, "Bagaimana cara men-dekatinya? Dia tidak muncul di medan perang, dia hanya mengarahkan pasukan dari jauh." "Aku akan menemukan caranya untuk Anda," ujar Mai. "Kenakan pakaian berwarna coklat seperti warna lumpur dan siapkan busur dan anak panah yang paling mematikan. Tidak banyak yang bisa kau lakukan untuk Lord Hiroshi," imbuhnya saat Shigeko raguragu. "Dia sudah berada di tangan para dewa." Shigeko mengikuti semua petunjuk Mai, membungkus kepala dan lehernya dengan sehelai kain lebar lalu mencorengkan lumpur di dahi dan pipinya agar tidak dikenali, Diambilnya busur yang digunakannya untuk bertempur, mengencangkan talinya dan menemukan sepuluh anak panah baru, ujung anak panah terbuat dari besi bermata satu, dibului dengan bulu elang. Ditaruhnya semua anak panah ini ke dalam tabung. Sementara menunggu Mai kembali, Shigeko duduk di samping Hiroshi, dan sesekali membasuh wajahnya dan memberinya minum karena saat ini dia terserang demam lagi. Shigeko berusaha menenangkan pikiran seperti yang pernah diajarkan kepadanya di Terayama, oleh Hiroshi dan Guru Besar lainnya. Guruku yang terhormat, temanku sayang, panggilnya dalam hati kepada Hiroshi. Jangan tinggalkan aku! Perang berlanjut dengan lebih kejam lagi, membawa teriakan-teriakan yang membuat gila, jeritan mereka yang terluka, dentingan baja, derap kaki kuda, tapi ada semacam kesunyian menyelimuti diri mereka berdua, dan Shigeko merasakan jiwa mereka saling bertaut. Dia takkan meninggalkanku, pikirnya, dan seketika itu juga pergi ke tendanya lalu mengeluarkan busur kecil dan anak panah dengan bulu burung houou miliknya: menje-jalkan semua ini ke dalam jubahnya, sementara disan-dangnya busur yang lebih besar di bahu kiri, tabung anak panah di bahu kanannya. Saat kembali ke tempat Hiroshi, Mai sudah kembali. "Kau darimana?" tanya gadis itu. "Kukira kau sudah kembali bertempur. Mari, ber-gegaslah." Shigeko bertanya dalam hati apakah perlu memberitahukan Gemba kemana ia akan pergi. Ketika tiba di puncak lereng dan melihat pemandangan di medan perang, disadarinya kalau ia takkan bisa menemukan gurunya itu. Strategi Saga kini tampaknya bisa mengungguli Otori dengan kekuatan jumlah pasukan yang lebih besar. Pasukan barunya masih segar dan telah beristirahat, sementara pasukan Otori sudah bertempur selama dua hari. Berapa lama lagi mereka bisa bertahan? tanyanya pada dirinya sendiri selagi mengikuti Mai mengitari sisi selatan tanah datar. Perasaannya sudah mati rasa melihat begitu banyak orang yang tewas. Pasukan Otori sudah membawa korban tewas dan terluka dari pihak mereka ke garis belakang, tapi pasukan Saga tergeletak di tempat mereka jatuh. Kuda-kuda yang terluka berusaha bangkit; segerombolan kecil kuda menderap, sesekali berhenti dan terpincang-pincang, berjalan ke barat daya, tali kekang mereka yang putus bergelantungan terseret di lumpur. Mengurus mereka sebentar, Shigeko melihat kuda-kuda itu berhenti tepat di depan kemah Otori. Mereka menundukkan kepala dan mulai makan rumput, seolah berada di padang rumput, terasing dan jauh dari medan perang. Agak di belakang mereka tampak kirin. Shigeko hampir tak memikir-kannya selama dua hari ini: tidak ada yang punya waktu untuk membangun kandang baginya; hewan itu diikat dengan tali kekang ke barisan kuda. Kirin terlihat menyedihkan dan merana karena sendirian serta makin Halaman 698 dari 698 kurus di bawah siraman hujan. Sanggupkah hewan itu bertahan melewati cobaan berat ini dan perjalanan panjang kembali ke Negara Tengah? Rasa iba pada hewan itu meng-hunjam hatinya, begitu kesepian dan jauh dari rumahnya. Kedua gadis itu berjalan melewati belakang bebatuan dan tebing yang mengelilingi tanah datar. Di sini suara per-tempuran agak berkurang. Di sekeliling mereka menjulang puncak-puncak Gugusan Awan Tinggi, menghilang ditelan kabut yang bergelayut bak gumpalan sutra yang belum dipilin. Tanahnya berbatu dan licin; kerap-kali mereka harus merangkak di bebatuan besar. Kadang Mai berjalan di depan, mem-beri isyarat kepada Shigeko untuk menunggu. Shigeko meringkuk bernaung di bawah tonjolan batu besar yang meneteskan air hujan selama waktu yang dirasakan bak seumur hidupnya. Ia merasa seakan telah tewas dan sekarang sudah menjadi hantu, berkeliaran di antara dua dunia. Mai kembali keluar dari kabut bak hantu, diam tanpa suara, dan memimpin untuk berjalan terus. Akhirnya mereka tiba di batu besar dan memanjat sisi sebelah selatan. Dua batang pohon pinus kerdil melekat di puncak batu itu, akar kedua pohon yang melingkar dan berbentuk aneh membentuk semacam kisi-kisi yang alami. "Tetap menunduk," bisik Mai; Shigeko menggeliat bergeser hingga ke posisi tempat ia bisa melihat di sela-sela akar ke arah timur, dan pintu masuk ke jalur sempit. Shigeko menahan napas dan menyejajarkan tubuhnya dengan bebatuan. Saga berada tepat di arah depan mereka, bertengger di tebing yang curam, tempat laki-laki itu mendapatkan pandangan bak burung rajawali ke medan perang di bawahnya. Saga duduk di bangku kecil mewah berlapis pernis dan dinaungi payung besar. Dia bersenjata lengkap dengan pakaian warna hitam dan emas, topi bajanya berhiaskan dua puncak emas, seperti gunung-gunung di panji-panji hitam putih yang berkibar-kibar di sampingnya. Beberapa perwira yang sama cemerlang dan bersih dengan dirinya walaupun hujan, berdiri mengelilinginya, bersama dengan peniup terompet perang dan kurir yang siap mem-bawa pesan. Tepat di belakangnya, serang-kaian tonjolan bebatuan yang terjatuh mem-bentuk anak tangga alami menurun ke jalur sempit. Shigeko melihat beberapa orang melompat naik turun di anak tangga itu, melaporkan perkembangan perang. Ia bahkan bisa mendengar suara Saga, mencermati suaranya yang penuh kemarahan. Shigeko mengintip lagi dan melihat laki-laki itu berdiri, berteriak dan menggerakkan tangan dengan kipas perang besi di tangannya. Para perwiranya mundur selangkah dari kemarahan besar itu, dan beberapa di antara mereka segera bergegas menuruni anak tangga batu untuk masuk ke kancah peperangan. Mai bemapas di telinganya, "Sekarang, saat dia berdiri. Kau hanya memiliki satu kesempatan." Shigeko menarik napas dalam-dalam dan berpikir di sela setiap gerakannya. Akan digunakannya pohon pinus terdekat untuk menopang kakinya. Dia akan melangkah di bawah batang togoknya: permukaan bebatuan pasti licin, hingga ia harus mem-pertahankan keseimbangan saat menarik busur dari bahu dan anak panah dari tabung. Gerakan ini telah diterapkannya ribuan kali selama dua hari terakhir, dan bidikannya belum pernah meleset. Shigeko melihat sekali lagi dan memerhati-kan titik kelemahan orang itu. Wajah terlihat jelas, tatapan matanya kejam, dan terlihat jelas kulit leher yang lebih putih. Shigeko berdiri: busur meregang; anak panah tepat sasaran; hujan memercik di sekelilingnya. Saga melihat ke arahnya, ter-duduk dengan susah payah; orang di belakangnya memegang erat-erat dada Saga di mana anak panah melubangi perisai dadanya. Terdengar jerit kaget dan terguncang, dan kini mereka membidiknya; satu anak panah melesat melewatinya, menghantam pohon pinus dan serpihan kayu terkena wajahnya; satu tembakan lagi meng-hantam batu di kakinya. Dirasakan satu pukulan tajam, seolah tubuhnya tersandung sebatang tongkat, tapi tidak merasa kesakitan. "Menunduk!" teriak Mai, namun Shigeko tak bergerak, begitu pula Saga yang tak berhenti memandangi dirinya. Ditariknya busur yang lebih kecil dari jubahnya dan menaruh sebatang anak panah di busur itu. Bulu burung houou berkilat keemasan. Aku akan mati, pikirnya, dan membiarkan anak panah itu melesat ke arah tatapan laki-laki Halaman 699 dari 699 itu. Saat itu halilintar menyambar, dan udara di sekitar mereka seketika penuh dengan kepakan sayap. Anak buah Saga yang berada di sekelilingnya menjatuhkan busur dan menutup mata mereka; hanya Saga yang tetap membuka mata, menatap anak panah itu hingga menembus mata kirinya, dan darah membutakan matanya. Sepanjang pagi Kahei bertarung di bagian sebelah selatan, tempat dia menambah jumlah pasukan, takut kekuatan pasukan Saga mengepung perkemahan dari sebelah sana. Terlepas dari kata-katanya yang penuh keyakinan kepada Takeo di malam sebelumnya. kini dia semakin cemas. Berapa lama prajuritnya yang tidak tidur sanggup dapat bertahan dari serangan yang seolah takkan berakhir? Dia mengutuk hujan yang menghalangi mereka menggunakan senjata api, mengingat saat-saat terakhir perang Yaegahara, ketika pasukan Otori, menyadari pengkhianatan dan kekalahan yang tak bisa dihindari, bertempur dengan putus asa hingga nyaris tak seorang pun tersisa. Ayahnya adalah salah satu dari sedikit prajurit yang selamat-apakah sejarah keluarga itu akan terulang lagi, apakah ia pun ditakdirkan kembali ke Hagi dengan membawa berita kekalahan besar? Ketakutannya semakin membakar tekad-nya untuk meraih kemenangan. Takeo bertarung di tengah, mengingat segala yang pernah Guru ksatria dan Tribe ajarkan untuk mengalahkan rasa lelah dan rasa sakit, mengagumi tekad dan disiplin mereka yang berada di sekelilingnya. Sewaktu pasukan Saga berhasil dipukul mundur, ia menunduk melihat Tenba terluka sayatan di bagian dada, merahnya darah bercampur bulu yang basah kuyup dengan air hujan. Sekarang ini, ketika perang berhenti untuk sementara, kuda itu seperti menyadari lukanya, dan mulai gemetar ketakutan. Takeo turun, memanggil seorang prajurit pejalan kaki untuk membawa kuda itu ke perkemahan, lalu bersiap untuk menghadapi serangan berikutnya dengan berjalan kaki. Sekelompok pasukan berkuda datang dari jalur sempit, kuda-kuda seperti terbang melewati jalur itu. Pedang-pedang berkilat, menghabisi prajurit pejalan kaki yang mundur ke rintangan yang telah mereka dirikan saat pemanah di sebelah utara meluncurkan anak panah. Banyak yang tepat sasaran, tapi Takeo tak tahan memerhatikan kalau jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan hari sebelumnya, dan per-tempuran itu sedikit demi sedikit mengikis kekuatannya. Seperti Kahei, keyakinannya pun mulai berkurang. Ada berapa banyak lagi pasukan yang dimiliki Saga? Persediaannya seperti tidak ada habisnya, dan mereka semua segar dan sudah beristirahat... seperti prajurit berkuda yang kini hampir mendekatinya. Dengan rasa terkejut dikenali pemimpin-nya adalah Kono. Dilihatnya kuda Maruyama, hadiahnya kini digunakan untuk melawan dirinya, dan merasakan kemarahan dirinya meluap. Setelah ayah orang ini nyaris menghancurkan hidupnya; kini sang anak berkomplot melawannya, berbohong pada-nya, menyanjung sambil menyusun rencana jahat untuk menjatuhkan dirinya. Dipegang nya Jato dengan erat, mengabaikan rasa sakit dari luka di tangannya, lalu melompat dengan cekatan ke samping agar si bangsawan berhadapan dengannya di sebelah kirinya. Tebasan pertamanya yang cepat ke atas mengenai kaki laki-laki itu dan hampir membuatnya putus: Kono menjerit, mem-belokkan kuda dan kembali; kini Takeo berada di sebelah kanannya. Saat menunduk di bawah tebasan pedang, dan hendak menikam pergelangan Kono, terdengar pedang di sebelahnya mengarah ke arah punggung-nya. Ia berguling menjauh, berusaha agar tidak terluka dengan pedangnya sendiri. Saat ini kaki-kaki kuda menginjak-injak di sekelilingnya. Takeo beriuang keras menjejakkan kaki dalam genangan lumpur. Pasukan pejalan kaki miliknya sudah merangsek ke depan dengan tombak dan tombak runcing; seekor kuda terjatuh berdebam di sam-pingnya, ter-sungkur dengan kepala lebih dulu, sudah mati, terperosok ke lumpur yang dalam. Halaman 700 dari 700 Seketika kilat menyala tepat di atas kepala, dan hujan turun makin deras. Di sela-sela deru hujan, Takeo mendengar suara lain, musik pelan dan seperti hantu yang menggema di seluruh tanah datar. Sejenak ia tak memahami artinya. Kemudian kumpulan massa di sekitarnya berkurang. Takeo berdiri, menyeka air hujan dan lumpur dari matanya dengan tangan kanan. Kuda Maruyama tadi melewatinya, Kono memegangi surai dengan dua tangan; kakinya masih menyemburkan darah. Nampaknya laki-laki itu tak memerharikan Takeo; pandangannya terpaku pada keamanan jalur sempit. Mereka mundur, pikir Takeo tak percaya, selagi suara terompet perang tenggelam dalam teriakan kemenangan dan pasukan di sekelilingnya mendesak ke depan mengejar musuh yang melarikan diri.* Para mantan gelandangan, dari desa mereka di Maruyama, berjalan melintasi medan perang untuk merawat kuda yang terluka serta memakamkan yang tewas. Saat jenazah dibaringkan berderet, Kahei, Gemba dan Takeo berjalan menyusuri barisannya, mengenali semua yang bisa mereka kenali, sementara Minoru mencatat nama mereka. Sedangkan pasukan Saga yang tewas dimakamkan dalam satu kubur di tengah tanah lapang. Menebas kepala tak diijinkan. Tanahnya berbatu-batu sehingga kuburnya pun tidak dalam. Burung gagak telah ber-kumpul, saling memekik dari tebing yang curam. Malam harinya, rubah berkcliaran mencari mangsa. Tonggak pagar pancang ditarik dan sebagian disusun menjadi tandu untuk mengangkut korban lukaluka kembali ke Inuyama. Sisanya digunakan untuk membuat barikade di sepanjang jalur sempit, dan Sonoda Mitsura serta dua ratus pasukannya tetap tinggal untuk menjaganya. Di malam hari keesokan harinya, saat korban tewas sudah dimakamkan, pertahanan sudah ditempatkan dan tidak ada tanda-tanda Saga kembali, sepertinya perang telah berakhir. Kahei memerintahkan pasukan beristirahat; mereka melepas baju zirah, meletakkan senjata, dan segera tertidur. Hujan deras saai Saga Hidcki memerintah-kan pasukannya mundur, kini berubah menjadi gerimis. Takeo berjalan di antara pasukan yang tertidur sama seperti ketika berjalan di antara korban tewas sebelumnya. Ia mendengarkan desis lembut rintik air hujan di dedaunan dan bebatuan, percik air terjun di kejauhan, kicau burung, merasakan butiran embun di wajah dan rambutnya. Seluruh bagian kanan tubuhnya, dari tumit hingga ke bahu, terasa sakit sekali, dan kelegaan atas kemenangan tenggelam oleh kesedihan melihat harga yang harus dibayar. Ia tahu kalau para prajurit yang kelelahan itu hanya bisa tidur sampai matahari terbit, kemudian harus berjalan ke Inuyama, lalu ke Negara Tengah untuk mencegah Zenko membangun kekuatan di wilayah Barat. Ia amat cemas, ingin pulang secepatnya; peringatan Gemba tentang peristiwa yang telah mengacaukan keselarasan pemerin-tahannya kembali menyiksa dirinya. Itu hanya bisa berarti sesuatu telah terjadi pada Kaede... Hiroshi telah dipindahkan ke dalam tenda Kahei yang menawarkan kenyamanan tertinggi, dan terlindung dari hujan. Takeo menemukan putrinya di sana, masih mengenakan baju perang, wajahnya masih berlumuran lumpur, kakinya diperban dengan asal-asalan. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya, sambil berlutut di samping Hiroshi, memerhatikan wajah pucat dan napasnya yang terputus-putus. "Dia masih hidup," sahut Shigeko dengan suara pelan. "Kurasa dia agak membaik." "Kita akan membawanya ke Inuyama besok. Tabib Sonoda akan merawatnya." Halaman 701 dari 701 Takeo bicara dengan yakin, meski sebenarnya ia memperkirakan Hiroshi takkan bertahan dalam perjalanan. Shigeko meng-angguk tanpa bicara. "Kau terluka?" tanya Takeo. "Sebatang anak panah mengenai kakiku. Tidak parah. Aku tak menyadarinya sampai setelah itu. Aku hampir tak bisa berjalan kembali. Mai yang menggendongku." Takeo tidak mengerti ucapan putrinya. Shigeko menatapnya dan berkata dengan cepat, "Mai mengajakku ke tempat Lord Saga. Aku memanah matanya." Mendadak air mata mengambang di pelupuk matanya. "Dia takkan mau menikahiku sekarang!" Air matanya seketika berubah menjadi tawa. "Jadi kami harus berterima kasih padamu atas mundurnya pasukan Saga yang tiba-tiba itu?" Takeo tak kuasa menahan perasaannya atas hasil yang adil ini. Saga tidak menerima kekalahan dalam pertandingan, dia mencari konflik: kini Shigeko membuat dia terluka parah, bahkan mematikan, dan telah memastikan kemenangan mereka. "Aku tidak bermaksud membunuhnya, hanya melukai," ujarnya. "Seperti yang selalu kulakukan selama perang, melumpuhkan tapi tidak membunuh." "Kau telah melakukan tugasmu dengan luar biasa," sahut Takeo, "Kaulah pewaris sejati Klan Otori dan Maruyama." Pujian Takeo membuat air matanya berlinang lagi. "Kau lelah," ujar Takeo. "Tidak lebih lelah dibandingkan yang lainnya; tidak lebih lelah dibandingkan Ayah. Ayah harus tidur." "Pasti, segera setelah memeriksa keadaan Tenba. Ayah ingin menungganginya kembali ke Inuyama. Kahei akan membawa pasukan. Kau dan Gemba harus mendampingi Hiroshi dan korban luka lainnya. Semoga Tenba siap: bila tidak siap, Ayah akan meninggalkannya bersamamu." "Dan kirin," ujar Shigeko. "Ya, bersama kirin yang malang. Hewan itu tidak tahu perjalanan panjang seperti apa yang menantinya, atau akibat apa yang akan terjadi di negeri ini." "Ayah jangan berkuda seorang diri. Ajak seseorang. Ajak Gemba. Dan Ayah boleh menunggang Ashige; aku tidak membutuh-kan kuda." Awan agak menghilang, dan cahaya redup matahari menyembul saat matahari terbenam, pertanda munculnya pelangi di langit. Takeo berharap itu berarti besok akan lebih kering, meski saat ini hujan sudah mulai turun, dan mungkin akan berlangsung selama berminggu-minggu. Tenba berdiri di sebelah kirin, kembali ke bawah rintik hujan, dengan kepala tertunduk. Kuda itu meringkik pelan menyapa saat Takeo menghampiri. Luka di dadanya sudah tertutup dan tampak bersih, tapi kaki kanan kuda itu agak pincang, walau kakinya kelihatan tidak terluka. Takeo menyimpul-kan kalau otot bahunya terkilir, membawa kuda itu ke kolam air dan membasuhnya dengan air dingin, tapi Tenba tetap saja lebih menggunakan kaki kanan belakangnya, dan kemungkinan tak bisa ditunggangi. Kemudi-an Takeo ingat pada kuda Hiroshi, Keri. Dia tak ada di antara kuda yang masih hidup. Kuda abu-abu pucat bersurai hitam, anak Raku, pasti tewas, tepat beberapa minggu setelah kematian saudara tirinya, kuda milik Taku, Ryume. Kuda-kuda itu mencapai usia tujuh belas tahun, usia yang baik, tapi kematian mereka membuat ia bersedih. Taku telah tiada, Hiroshi di ambang kematian. Suasana hatinya murung saat kembali ke tenda. Di dalam tampak redup, cahayanya memudar. Shigeko sudah tertidur di samping Hiroshi, wajahnya dekat dengan wajah pemuda itu. Seperti pasangan suami istri. Takeo menatap dengan penuh kasih sayang. "Sekarang kau boleh menikahi laki Halaman 702 dari 702 laki pilihanmu," ujarnya keras. Ia berlutut di sisi Hiroshi lalu menyentuh dahi pemuda itu. Tubuhnya dingin; napasnya melambat dan kian dalam. Takeo mengira Hiroshi tidak sadarkan diri, namun Hiroshi tiba-tiba membuka mata dan tersenyum. "Lord Takeo...." bisiknya. "Jangan bicara dulu. Kau akan baik-baik saja." "Perang?" "Sudah berakhir. Saga mundur." Hiroshi memejamkan mata lagi, namun senyum masih tetap tersungging di bibirnya. Takeo berbaring, semangatnya agak bangkit. Meskipun lukanya terasa sakit, ia segera tertidur, bak awan gelap yang menghilang. Ia berangkat menuju Inuyama keesokan paginya, bersama Gemba-sesuai anjurkan Shigeko- dan Minora. Ia berkuda di punggung kuda betinanya yang tenang. Kuda betina dan kuda hitam Gemba segar seperti Ashige, dan perjalanan mereka tempuh dengan cepat; di hari ketiga, demam ringan menyerang Takeo. Perjalanan ditempuhnya dalam rasa nyeri dan juga demam; ia dihantui mimpi dan halusinasi; sesekali suhu badannya meninggi dan gemetaran, tapi menolak berhenti. Di setiap pemberhentian, mereka menyebar kabar tentang perang dan hasilnya, dan segera saja orang berduyun-duyun ke arah Gugusan Awan Tinggi untuk membawa makanan kepada para prajurit dan membantu membawa korban yang terluka. Hujan yang deras selama berhari-hari bisa berakibat gagal panen. Jalanan berlumpur dan acapkali tergenang air. Seringkali Takeo lupa di mana ia berada, dan mengira tengah berada di masa lalu, menunggangi Aoi di samping Makoto menuju sungai yang meluap dan jembatan yang terputus. Kaede pasti kedinginan, pikirnya. Dia kurang sehat. Aku harus datang dan meng-hangatkan tubuhnya. Namun badannya sendiri tengah gemetar, dan sekonyong-konyong Yuki ada di sampingnya. "Kelihatannya kau kedinginan," ujarnya. "Mau kuambilkan teh?" "Ya," jawabnya. "Tapi aku tak boleh tidur denganmu karena aku telah beristri." Lalu diingatnya kalau Yuki sudah meninggal, dan takkan tidur dengan dirinya atau orang lain. Rasa menyesal menusuk hatinya atas nasib gadis itu dan peran dirinya dalam kematian itu. Sewaktu tiba di Inuyama, demamnya sudah reda dan pikirannya telah kembali jernih, tapi hatinya tetap cemas. Kecemasan-nya bahkan tak bisa dihilangkan dengan sambutan sepenuh hati penduduk kota yang merayakan kabar kemenangan dengan menari di jalanan. Adik Kaede, Ai, keluar menyambut di dinding sebelah luar kastil, tempat ia dibantu turun dari kuda oleh Minoru dan Gemba. "Suamimu selamat," katanya dengan segera, dan melihat wajah Ai bersinar dengan perasaan lega. "Syukur kupanjatkan pada Surga," sahut-nya. "Kau terluka?" "Kurasa aku sudah melewati bagian ter-buruk. Apakah kau mendapat kabar dari istriku? Aku tidak mendapat kabar apa pun sejak kami pergi di bulan keempat." "Lord Takeo," Ai mulai bicara, dan hati Takeo berdebar ketakutan. Hujan turun lagi dan para pelayan berlari ke depan membawa payung. "Tabib Ishida ada di sini," lanjut Ai. "Akan kupanggil dia. Dia akan merawatmu." "Ishida di sini? Mengapa?" Halaman 703 dari 703 "Dia akan ceritakan semuanya," ujar Ai, kelembutannya menakutkan Takeo. "Mari masuk. Kau ingin mandi dulu? Dan kami akan siapkan makanan bagi kalian." "Ya, aku akan mandi dulu," sahutnya, ingin bersiap dan menguatkan diri untuk mendengar kabar itu. Demam dan nyeri membuat kepalanya pening: pendengarannya agak lebih peka dari biasanya, tapi begitu jernihnya suara menyakitkan telinganya. Ia dan Gemba berjalan ke kolam sumber air panas dan melepas pakaian mereka yang kotor. Dengan hati-hati Gemba menyingkir-kan perban dari bahu dan lengan Takeo lalu membasuh lukanya dengan air panas. "Lukanya semakin pulih," ujar Gemba, tapi Takeo hanya mengangguk setuju; mereka juga tidak bicara selagi membasuh dan mengeringkan tubuh lalu masuk ke dalam air yang berbuih dan mengandung belerang. Hujan membasahi lembut wajah dan bahu mereka, mengelilingi mereka ber-dua seakan membawa mereka ke dunia lain. "Aku tidak bisa berlama-lama di sini," akhirnya Takeo berkata. "Bisakah kau ikut denganku untuk mendengar apa yang telah membawa Ishida ke Inuyama?" "Tentu saja," sahut Gemba. "Mengetahui yang terburuk adalah tahu cara bergerak maju." Ai sendiri yang menyajikan sop dan ikan panggang, nasi dan sayuran musim panas. Mereka makan dengan cepat: Ai menyuruh pelayan membereskan nampan dan mem-bawakan teh. Saat pelayan kembali, Ishida datang bersama mereka. Ai menuangkan teh ke mangkuk biru berlapis kaca. "Akan kutinggalkan kalian." Sewaktu Ai berlutut untuk menggeser pintu terbuka, Takeo melihatnya mengangkat lengan baju untuk menyeka air mata. "Tak ada luka lainnya?" tanya Ishida, setelah mereka saling memberi salam. "Biar kuperiksa." "Nanti saja," ujar Takeo. "Sudah mulai sembuh." Takeo menghirup teh, hampir tanpa merasakannya. "Kau sudah jauh-jauh kemari, kuharap kau membawa berita baik." "Menurutku kau harus segera mendengar nya," sahut Ishida. "Maafkan aku, aku merasa semua ini salahku. Kau menitipkan istri dan putramu dalam perawatanku. Hal-hal seperti ini memang sering terjadi; bayi sangatlah lemah. Mereka terlepas dari geng-gaman kita." Ishida berhenti dan menatap tak berdaya ke arah Takeo, bibirnya berkerut sedih, air mata berlinang di pipinya. Darah Takeo berdentum di telinganya. "Apakah kau hendak mengatakan kalau putraku meninggal?" Kesedihan melanda dirinya, dan air mata menetes. Mahkluk mungil itu, yang nyaris belum dikenalnya, yang kini tak akan bisa dikenalnya. Aku tak kuasa menanggung kabar buruk ini, pikirnya, kemudian, Bila diriku saja tak kuasa menanggungnya, bagaimana Kaede bisa tahan? "Aku harus segera menemui istriku," ujarnya. "Bagaimana istriku menerima keadaan ini? Apakah karena penyakit? Apa-kah Kaede juga sakit?" "Itu merupakan kematian di masa kanak-kanak yang tak bisa dijelaskan," tutur Ishida, suaranya pecah. "Bocah mungil itu sehat pada malam sebelumnya, diberi cukup makan, tersenyum juga tertawa, lalu tertidur tanpa rewel, namun tidak pernah terbangun lagi." "Bagaimana bisa begitu?" Tanya Takeo, nyaris marah. "Bukan karena sihir? Bagai-mana dengan racun?" Teringat olehnya kalau Hana berada di Hagi, mungkinkah dia penyebab kematian putranya? Takeo menangis, tidak berusaha menyem-bunyikannya. "Tak ada tanda-tanda racun," ujar Ishida. "Sementara sihir-aku benar-benar tidak tahu. Kematian seperti ini tidak wajar, tapi aku sama sekali tak tahu penyebabnya." Halaman 704 dari 704 "Lalu istriku: bagaimana keadaannya? Dia pasti hampir gila karena sedih. Apakah Shizuka bersamanya?" "Banyak hal buruk terjadi sejak kau pergi," bisik Ishida. "Istriku baru saja kehilangan putranya. Sepertinya dia menjadi gila karena sedih. Dia duduk tanpa makan di depan Daifukuji, di Hofu, dan menyerukan pada putra sulungnya untuk bertindak dengan adil. Sebagai jawabnya, Zenko mundur dalam keadaan gusar ke Kumamoto, tempat dia membangun kekuatan militer." "Istri Zenko dan putranya berada di Hagi," ujar Takeo. "Tentu dia tidak akan menyia-nyiakan nyawa mereka." "Hana dan kedua putranya sudah tidak di Hagi," ujar Ishida. "Apa? Kaede membiarkan mereka pergi?" "Lord Takeo," tutur Ishida dengan sedih. "Kaede pergi bersama mereka. Mereka dalam perjalanan ke Kumamoto." "Ah!" ujar Gemba pelan. "Kini kita tahu apa yang salah." Dia tak menangis, namun ekspresi kesedihan serta welas asih terlukis di wajahnya. Dia bergeser mendekati Takeo, seakan ingin menopang tubuh Takeo. Takeo duduk diam membeku. Telinganya sudah mendengar kata-kata itu, namun benaknya masih belum memahaminya. Kaede meninggalkan Hagi? Dia pergi ke Kumamoto, menyerahkan diri ke tangan yang tengah berkomplot menentang dirinya? Mengapa istrinya mau melakukan hal semacam itu? Bergabung dengan suami adik-nya? Tidak bisa dipercaya kalau istrinya melakukan itu. Namun sebagian dalam dirinya merasa tercabik-cabik, seolah seluruh tangannya terenggut habis. Dirasakan semangatnya naik turun menuju kegelapan, dan melihat kalau kegelapan itu akan melahap seluruh negara nya. "Aku harus menemuinya," ujarnya. "Gemba, siapkan kuda. Kira-kira sudah sampai di mana mereka sekarang? Kapan mereka berangkat?" "Aku pergi kira-kira dua minggu lalu," sahut Ishida. "Mereka pasti pergi beberapa hari kemudian, lewat Tsuwano dan Yamagata." "Bisakah aku mencegat mereka di Yamagata?" tanya Takeo pada Gemba. "Jaraknya seminggu berkuda." "Aku akan sampai di sana dalam tiga hari." "Mereka berjalan dengan lambat," tutur Ishida. "Tak satu pun sanggup menghibur atau mencegah kepergiannya. Yang terpikir olehku adalah meminta bantuan Ai, maka aku pergi diam-diam dari Hagi, seraya berharap bertemu denganmu dalam per-jalanan pulang." Ishida tidak memandang Takeo: sikap bersalah sekaligus bingung. "Lord Takeo," lanjutnya, tapi Takeo tak mengijinkannya melanjutkan. Benaknya seketika mulai ber-pacu, mencari-cari jawaban, membantah dan memohon, menjanjikan apa saja pada dewa manapun, agar istrinya tidak meninggalkan dirinya. "Hiroshi luka parah, Shigeko luka ringan," tutur Takeo. "Kirin juga mungkin butuh perhatianmu. Rawat mereka sebaik-baiknya, dan begitu sanggup bepergian, bawa mereka ke Yamagata. Aku akan ke sana dan mencari tahu apa yang telah terjadi. Minoru, kirim pesan sekarang juga kepada Miyoshi Kahei; beritahukan keberangkatanku." Takeo ber-henti bicara lalu menatap Gemba dengan pandangan penuh kesedihan. "Aku harus bersiap untuk bertarung melawan Zenko. Tapi bagaimana aku sanggup berperang melawan istriku sendiri?"* Halaman 705 dari 705 Di Hofu, gelombang pasang di awal bulan kelima datang setelah siang hari di Waktu Kuda*. Pelabuhan dalam puncak kesibukan-nya, dengan arus kapal yang datang dan pergi memanfaatkan angin barat untuk menuju Akashi dengan membawa hasil bumi Tiga Negara. Rumah makan dan penginapan dijejali orang yang baru turun dari kapal. Mereka minum sambil bertukar berita dan cerita, menyuarakan kekagetan dan penyesalan atas kematian Muto Taku; mengagumi mukjizat yang dialami Shizuka, yang diberi makan oleh burung-burung di Daifukuji; kesal pada Zenko yang sangat tidak berbakti pada orangtua dan menghina dewa-dewa serta pasti akan dihukum atas perbuatannya. Penduduk Hofu adalah orang-orang yang pemberani dan juga keras kepala. Mereka membenci perbudakan oleh Tohan dan Noguchi; maka mereka pun tak ingin kembali ke masa-masa di bawah kepemim-pinan Arai. Kepergian Zenko dari kota itu disertai dengan cemooh dan berbagai bentuk *) Waktu Kuda: berkisar antara jam 11.00 s/d jam 13.00. ungkapan dendam atau kebencian: para pengawal Arai yang berada di bagian belakang rombongan bahkan dilempari kotoran atau sampah, bahkan dilempari batu. Miki dan Maya melihat sedikit kejadian ini; mereka berlari dengan menghilangkan diri melewati jalanjalan yang sempit, dengan saru tujuan: menjauhkan diri dari Hisao dan Akio. Maya sudah kelelahan karena tidak tidur semalaman, pertemuan dengan Hisao, percakapan dengan hantu perempuan. Ia selalu menoleh ke belakang dengan gugup saat mereka lari, seolah yakin Hisao akan mengejar; pemuda itu takkan membiar-kannya pergi. Dan Akio pasti sudah tahu tentang si kucing. Hisao pasti dihukum, pikirnya, tapi tak tahu apakah pikiran itu membuatnya gembira atau sedih. Merasakan kalau kemampuan meng-hilangnya sirna saat ia kelelahan, Maya melambatkan larinya untuk mengatur napas, dan melihat Miki muncul kembali di sebelahnya. Jalan di sini sepi; kebanyakan orang berada di dalam rumah untuk makan siang. Di luar toko kecil, seorang laki-laki tengah berjongkok mengasah pisau dengan batu asah, mengambil air dari kanal kecil. Orang itu melonjak kaget melihat ke-munculan mereka yang tiba-tiba hingga pisau yang dipegangnya jatuh. Maya panik, tidak berdaya. Tanpa berpikir panjang, diambilnya pisau itu lalu dia tusuk tangan laki-laki itu. "Apa yang kau lakukan?" pekik Miki. "Kita butuh senjata, makanan dan uang," jawab Maya. "Dia akan berikan untuk kita." Laki-laki itu menatap dengan tak percaya pada darahnya sendiri. Maya berguling lalu muncul di belakang laki-laki itu, melukainya lagi, kali ini di leher. "Beri kami makanan dan uang, atau kau akan mati," ujarnya. "Adik, ambil pisau juga." Miki mengambil pisau kecil dari tempat-nya tergetak di atas selembar kain yang terhampar di tanah. Didekatinya laki-laki itu di bagian tangan yang tidak terluka lalu membimbingnya masuk ke dalam toko. Bola matanya terbelalak ketakutan, ditunjukkan-nya tempat dia menyimpan beberapa koin, dan memaksakan kue mochi ke dalam geng-gaman tangan Maya. "Jangan bunuh aku," dia memohon. "Aku membenci kejahatan Lord Arai: aku tahu dia telah manghasut dewa-dewa menentangnya, tapi aku tidak terlibat di dalamnya. Aku hanyalah seorang perajin yang miskin." "Dewa menghukum rakyat atas kejahatan penguasanya," Maya mengoceh. Kalau si bodoh ini mengira mereka adalah iblis atau hantu, maka ia harus memanfaatkan sebaik-baiknya. "Apa-apaan tadi itu?" tanya Miki sewaktu mereka meninggalkan toko, kini keduanya bersenjatakan pisau yang disembunyikan di balik pakaian. Halaman 706 dari 706 "Akan kuceritakan nanti. Ayo kita cari tempat untuk bersembunyi sebentar, tempat yang ada airnya." Mereka mengikuti kanal sampai ke jalan yang mengarah keluar kota menuju utara. Mereka tiba di jalan ke biara, hutan kecil mengelilingi kolam sumber air. Di sini mereka minum sebanyak-banyaknya, dan menemukan tempat yang terlindung di balik semak-semak, tempat mereka duduk dan ber-bagi kue mochi. Burung gagak memekik di ketinggian pohon cedar, dan jangkrik yang berderik membosankan. Peluh bercucuran di wajah kedua gadis itu, dan di balik pakaian terasa lembap dan gatal. Maya berkata, "Paman tengah menyiapkan pasukan melawan Ayah. Kita harus ke Hagi lalu memperingatkan Ibu. Bibi Hana sedang dalam perjalanan ke sana. Ibu tidak boleh percaya kepadanya." "Tapi Maya, kau gunakan kemampuan Tribe untuk melawan orang yang tidak bersalah. Ayah melarang kita melakukan hal itu." "Dengar, Miki, kau tidak tahu apa yang sudah kualami. Aku melihat Taku dan Sada dibunuh di depan mataku. Aku ditawan Kikuta Akio." Sesaat dikiranya kalau ia akan menangis, tapi perasaan itu segera berlalu. "Dan bocah itu, yang berseru-seru me-manggilku, adalah Kikuta Hisao; dia adalah cucu Kenji. Kau pasti pernah mendengar tentang dia di Kagemura. Ibunya, Yuki, menikah dengan Akio, tapi setelah bocah itu lahir, Kikuta memaksanya bunuh diri. Itu sebabnya Kenji menggiring Tribe kepada Ayah." Miki mengangguk, dia sudah mendengar semua kisah Tribe ini sejak kecil. "Lagipula, pada akhirnya, tidak ada orang yang tidak bersalah," tutur Maya. "Sudah menjadi takdir orang itu berada di sana saat itu." Gadis itu menatap permukaan kolam dengan murung. Ranting pohon cedar dan awan di belakangnya memantul di per-mukaan yang tenang. "Hisao adalah kakak kita," katanya seketika. "Orang mengira dia putra Akio, tapi sebenarnya bukan. Dia putra Ayah." "Itu tidak mungkin," ujar Miki dengan suara lemah. "Benar. Dan ada ramalan yang mengata-kan bahwa Ayah hanya bisa dibunuh oleh putranya sendiri. Hisao akan membunuh Ayah, kecuali bila kita mencegahnya." Maya menatap Miki. Dia hampir lupa akan keberadaan bayi yang baru lahir, seolah dengan tidak mengakui kelahiran adiknya itu. Maya belum pernah melihatnya, mau-pun memikirkannya. Seekor nyamuk hinggap di tangannya dan dia menepuknya. Miki berkata, "Ayah pasti tahu tentang ini." "Kalau sudah tahu, mengapa Ayah tidak berbuat apa-apa?" sahut Maya, merasa heran mengapa hal ini membuat ia begitu marah. "Jika Ayah memilih untuk tidak berbuat apa-apa, seharusnya kita juga begitu. Lagi- pula, apa yang bisa Ayah lakukan?" "Ayah seharusnya membunuh Hisao. Lagi-pula Hisao pantas mendapatkannya. Dia itu jahat, orang paling jahat yang pernah ku-temui, lebih jahat dari Akio." "Tapi bagaimana dengan adik bayi kita?" tanya Miki lagi. "Jangan membuat semuanya menjadi rumit, Miki!" Maya berdiri mengibaskan debu dari pakaiannya. "Aku mau pipis," ujar-nya, menggunakan bahasa laki-laki, lalu ber-jalan lebih jauh memasuki hutan. Di sini ada batu nisan yang berlumut dan terbengkalai. Maya berpikir kalau ia tak boleh mengotori-nya, maka dipanjatnya dinding samping lalu membuang hajat. Saat ia memanjat dengan susah payah kembali ke sisi dinding yang sebelumnya, bumi bergetar, dan dirasakan-nya bebatuan merekah di bawah tangannya. Maya setengah terjatuh ke atas tanah, merasa pusing selama beberapa saat. Puncak pe-pohonan cedar masih bergetar. Pada saat itu dirasakannya keinginan untuk menjadi si kucing, bersamaan dengan perasaan yang tidak dikenalinya, yang membuatnya gelisah. Halaman 707 dari 707 Ketika dilihatnya Miki duduk di samping kolam, ia terkejut melihat betapa kurusnya adiknya itu kini. Hal ini membuatnya merasa kesal. Maya tak ingin mencemaskan keadaan Miki: ia ingin segalanya tetap seperti biasa-nya, ketika mereka seperti memiliki satu pikiran. Ia tak ingin Miki tidak sepaham dengan dirinya. "Ayo," katanya. "Kita harus segera pergi." "Apa rencana kita?" tanya Miki sewaktu berdiri. "Tentu saja pulang." "Apakah kita akan berjalan kaki sampai ke rumah?" "Ada ide yang lebih baik?" "Kita bisa meminta bantuan dari se-seorang. Seorang laki-laki bernama Bunta datang bersama Shizuka dan aku. Dia akan menolong kita." "Apakah dia Muto?" "Imai." 'Tak satu pun dari mereka bisa dipercaya lagi," sahut Maya dengan perasaan jijik. "Kita harus pergi sendiri." "Tapi jaraknya jauh sekali," ujar Miki. "Butuh waktu seminggu berkuda dari Yamagata, berkuda secara terbuka dengan dua orang laki-laki yang membantu kita. Dari Yamagata ke Hagi berjarak sepuluh hari. Bila kita berjalan kaki dan sambil ber sembunyi, akan makan waktu tiga kali lebih lama. Lalu bagaimana kita mendapatkan makanan?" "Seperti yang tadi kita lakukan," sahut Maya, seraya menyentuh pisaunya yang tersembunyi. "Kita akan mencurinya." "Baiklah," ujar Miki tidak senang. "Apa-kah kita akan mengikuti jalanan mama?" Ia memberi isyarat ke arah jalan berdebu yang berbelok-belok menuju sawah yang meng-hijau ke arah pegunungan yang berselimut-kan pepohonan. Maya mencermati para pelancong yang berjalan menyusuri jalan itu dari kedua arah: ksatria berkuda, perempuan bertopi dan berkerudung lebar pelindung sinar matahari, biarawan berjalan dengan tongkat dan mangkuk pengemis, penjaja dagangan, pedagang, peziarah. Be-berapa di antara mereka mungkin saja menahan dan menghentikan mereka berdua, yang ter-buruk, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Atau mereka mungkin saja orang Tribe yang sedang mengejar. Maya menoleh ke belakang, ke arah kota, setengah berharap melihat Hisao dan Akio mengejar. Ia bimbang dan disadarinya ternyata ia rindu dan ingin bertemu Hisao lagi. Tapi aku membencinya! Bagaimana bisa aku ingin berjumpa dengannya? Berusaha menyembunyikan perasaan ini dari Miki, ia berkata, "Walau aku berpakaian laki-laki, siapa pun bisa melihat kalau kita kembar. Kita tak ingin menjadi perhatian. Kita akan berjalan melewati pegunungan." "Kita akan kelaparan," protes Miki, "atau tersesat. Ayo kembali ke kota saja. Ayo kita temui Shizuka." "Dia berada di Daifukuji," ujar Maya, ingat perkataan gadis pelayan itu. "Berpuasa dan berdoa. Kita boleh kembali. Akio mungkin sudah menunggu kita di sana." Rasa tegangnya makin bertambah; Maya bisa merasakan tarikan itu dalam dirinya, merasakan kalau pemuda itu sedang mencari-nya. Mendadak Maya melompat, mendengar suara Hisao. Datanglah kepadaku. Suara itu bergema seperti bisikan di sela-sela hutan. "Kau dengar itu?" Dicengkeram-nya tangan Miki. "Apa?" "Suara itu. Itu dia." Miki berdiri, mendengarkan dengan seksama. "Aku tidak dengar siapa-siapa," Halaman 708 dari 708 "Ayo pergi," ajak Maya, ia melihat ke angkasa. Matahari sudah bergeser dari titik puncaknya ke arah barat. Jalan hampir mengarah ke utara, melewati sebagian besar daerah tersubur di Tiga Negara, mengikuti aliran sungai di sepanjang jalan menuju Tsuwano. Sawah terbentang di kedua sisi lembah, rumah dan gubuk petani benebaran di tengah daerah persawahan. Jalan ter-bentang di sepanjang sisi barat sampai ke jembatan di Kibi. Juga ada jembatan baru, tepat sebelum Sungai Yamagata. Sungai itu sering meluap, tapi berjarak satu hari per-jalanan ke utara Hofu, sungainya makin dangkal, deburan air berbuih menghempas bebatuan. Mereka sudah sering melewati jalan ini; Miki yang terakhir kali, hanya beberapa hari lalu, sedangkan Maya saat musim gugur se-belumnya, bersama Taku dan Sada. "Aku penasaran di mana kedua kuda betina itu," ujarnya pada Miki saat me-langkah dari bawah naungan pepohonan lalu berjalan di bawah teriknya matahari. "Kau tahu, aku kehilangan mereka." "Kuda betina apa?" "Kuda pemberian Shigeko untuk per-jalanan dari Maruyama." Selagi mereka mulai berjalan menanjak menaiki lereng ke pepohonan bambu, Maya menceritakan dengan singkai tentang serangan itu, dan kematian Taku dan Sada. Setelah selesai bercerita, Miki menangis tanpa suara, namun mata Maya kering. "Aku memimpikanmu," ujar Miki, seraya menyeka mata dengan tangan. "Aku memimpikanmu sebagai si kucing, dan aku adalah bayangannya. Aku tahu sesuatu yang mengerikan terjadi padamu." Sejenak Miki terdiam, lalu berkata, "Apa-kah Akio menyakitimu?" "Dia mencekikku untuk membungkam mulutku, lalu memukulku beberapa kali, hanya itu." "Bagaimana dengan Hisao?" Maya mulai berjalan lebih cepat, sampai hampir berlari kecil di sela-sela batang pohon yang berwarna keperakan. Seekor ular kecil melintas di depan mereka, menghilang ke semak belukar, dan di suatu tempat di sebelah kiri mereka terdengar kicau burung kecil. Derik jangkrik kedengaran makin kencang. Miki pun ikut berlari. Mereka menyelinap dengan mudah di antara batang-batang bambu. "Hisao adalah penguasa alam baka," ujar Maya, ketika akhirnya lereng yang semakin curam memaksanya untuk melambatkan langkah. "Penguasa alam baka dari Tribe?" "Ya. Dia bisa menjadi luar biasa kuat, hanya saja dia tidak tahu bagaimana meng-atasinya. Tak ada orang yang pernah meng-ajarinya, selain cara bertindak kejam. Dan dia bisa membuat senjata api. Kurasa ada orang yang mengajarinya." Matahari tergelincir di balik puncak tinggi pegunungan di sebelah kiri mereka. Tidak akan ada bulan, dan awan rendah menyebar di langit dari arah selatan; juga tidak akan ada bintang. Rasanya waktu sudah lama berlalu sejak mereka makan kue mochi di biara tadi. Sambil berjalan, kedua gadis itu kini mulai secara naluriah mencari makanan: jamur yang tumbuh di bawah pohon pinus, wineberry, akar halus bambu, pucuk pakis yang sudah tua, meski semua ini makin sulit ditemukan. Sejak kecil mereka diajarkan oleh Tribe untuk hidup dari alam, mengumpul kan daun, akar dan buah-buahan sebagai makanan juga racun. Mereka mengikuti bunyi gemericik air dan minum dari sebuah sungai kecil. Di sungai juga menemukan kepiting kecil yang mereka makan hidup-hidup, mengisap daging berlumpur dari cangkangnya yang rapuh. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan selama senja yang panjang sampai malam sudah terlalu gelap hingga tak bisa melihat apa-apa. Kini mereka berada di lebatnya hutan, dan terdapat banyak tebing dengan batuan yang menonjol dan pohon tumbang yang menyediakan tempat bernaung. Mereka sampai di sebatang pohon beech besar yang setengah tercabut akarnya akibat gempa atau badai. Daun rontok selama bertahun-tahun menyediakan kasur yang empuk, dan batangnya yang besar dan akar-nya membentuk liang. Bahkan ada kacang-kacangan yang masih bisa dimakan di Halaman 709 dari 709 antara dedaunan. Kedua gadis itu berbaring, be-rangkulan. Dalam pelukan adiknya, Maya mulai merasa rileks, seolah dirinya menjadi utuh kembali. Maya tidak yakin apakah dia mengucap-kan kata-kata itu atau hanya memikirkannya. Hisao menyayangi kucing itu dan dia adalah penguasanya. Miki agak memutar badannya. "Kurasa aku tahu itu. Aku merasakannya: aku me-mutuskan ikatan antara pemuda yang me-manggilmu dan si kucing; dan kau berubah ke wujud aslimu." Tambahan lagi, ibunya selalu bersamanya. Saat Hisao bersama si kucing, ia bisa bicara dengan arwah ibunya." Tubuh Miki agak gemetar. "Kau pernah melihatnya?" "Sudah." Terdengar suara burung hantu di pe-pohonan di atas mereka, membuat keduanya melonjak kaget, dan di kejauhan terdengar jerit rubah betina. "Apakah saat itu kau takut?" bisik Miki. "Tidak." Maya memikirkannya. "Tidak," ulangnya. "Aku merasa iba. Dia dipaksa mati sebelum waktunya, dan harus menyaksikan putranya diubah menjadi jahat." "Mudah sekali menjadi jahat," ujar Miki pelan. Udara terasa menjadi agak dingin, dan cahaya menerangi tanah. "Hujan," ujar Maya. Dengan rintik-rintik pertamanya, bau lembap mulai muncul dari tanah. Mengisi cuping hidungnya dengan kehidupan sekaligus kematian. "Apa kau lari darinya? Sekalian pulang, maksudku?" "Dia sedang mencariku, memanggilku." "Dia mengikuti kita?" Maya tak langsung menjawab. Tubuhnya menyentak-nyentak gelisah. "Aku tahu Ayah dan Shigeko belum pulang, tapi Ibu akan melindungi kita, kan? Begitu kita sampai di Hagi, baru aku akan merasa aman." Tapi bahkan setelah kata-kata itu lepas dari mulutnya, ia pun tak yakin kalau semua ucapannya benar. Sebagian dari dirinya takut pada laki-laki itu dan ingin menjauh. Sebagian lagi ditarik kembali kepadanya, ingin bersama pemuda itu dan berjalan ber-sama di antara dunia. Apakah aku sudah menjadi jahat? Maya mengingat tukang asah pisau yang dilukai dan dirampoknya tanpa pikir panjang. Ayah pasti marah padaku, pikirnya; merasa bersalah dan tidak menyukai perasaan itu, ia menuangkan rasa marah untuk memadam-kannya. Ayah yang memaksaku; ini salah Ayah hingga aku menjadi seperti ini. Seharusnya Ayah tidak mengirimku pergi jauh. Seharusnya Ayah tidak boleh begitu sering meninggalkanku saat aku masih kecil. Seharusnya Ayah bilang kalau Ayah punya anak laki-laki. Seharusnya Ayah tidak boleh punya anak laki-laki! Miki sepertinya sudah tidur. Napasnya tenang dan teratur. Sikutnya menusuk badan Maya, dan Maya bergeser sedikit. Suara burung hantu tadi terdengar lagi. Nyamuk mencium bau keringat mereka dan ber-dengung di telinga Maya. Hujan membuat-nya kedinginan. Nyaris tanpa berpikir dibiar-kannya si kucing datang dengan bulu tebal-nya yang hangat. Segera terdengar suara Hisao. Datanglah padaku. Dan Maya merasakan tatapan pemuda itu berpaling ke arahnya, seolah Hisao bisa melihat melalui kegelapan, tepat ke mata keemasan si kucing, saat kepalanya berputar melihat ke arah Hisao. Kucing itu meregang-kan badan, menegakkan telinganya serta mendengkur. Maya berjuang kembali ke wujud aslinya. Dibuka mulutnya, berusaha memanggil Miki. Halaman 710 dari 710 Miki duduk tegak. "Apa yang terjadi?" Maya merasakan lagi kekuatan setajam pedang dari jiwa Miki yang menghalangi antara si kucing dan penguasanya. "Tadi kau melolong!" ujar Miki. "Tadi aku berubah menjadi kucing di luar kehendakku, dan Hisao melihatku." "Apakah dia sudah dekat?" "Aku tidak tahu, tapi dia tahu tempat kita berada. Kita harus pergi sekarang juga." Miki berlutut di pinggiran gua pohon dan melihat dengan seksama keluar ke gelapnya malam. "Aku tidak bisa lihat apa-apa. Gelap gulita, dan hujan. Kita tidak bisa pergi sekarang." "Kau akan tetap terjaga?" tanya Maya gemetaran karena dingin dan emosi. "Ada sesuatu yang bisa kau lakukan yang menghalangi antara dia dan aku, serta mem-bebaskan diriku darinya." "Aku tidak tahu apa itu," ujar Miki. Suaranya lemah dan lelah. "Atau bagaimana melakukannya. Kucing itu mengambil begitu banyak dari dalam diriku." Murni adalah kata yang terbersit di benak Maya, seperti murninya baja setelah dipanas-kan, dibengkokkan dan dipukul berulang kali. Dipeluknya Miki dan mendekapnya lebih erat. Berpelukan, kedua gadis itu me-nunggu cahaya matahari merayap perlahan menyinari mereka. Hujan berhenti saat hari mulai terang, mem-buat tanah terasa panas dan mengubah ranting dan daun yang meneteskan air hujan menjadi bingkai keemasan dan potongan pelangi. Jaring laba-laba, rumpun bambu, pakis: semuanya berkilau dan bersinar. Dengan menjaga agar sinar matahari tetap di kanan mereka, keduanya melanjutkan per-jalanan ke utara, di sisi sebelah timur pe-gunungan. Mereka berusaha sekuat tenaga naik turun parit yang dalam, seringkali harus menelusuri kembali jejak kaki mereka se-belumnya; sesekali melihat jalan di bawah sana, dan sungai di belakangnya. Meskipun ingin berjalan sebentar di permukaan jalan yang mulus, mereka tak berani melaku-kannya. Saat tengah hari, mereka berhenti di saat yang bersamaan. Di depan mereka tampak ada jalan yang tidak terlalu mulus, namun menjanjikan kalau bagian selanjutnya per-jalanan mereka akan lebih mudah. Mereka belum makan sejak pagi, dan kini mulai mencari-cari di rerumputan, tanpa bersuara, dan menemukan kacang beech, lumut, chestnut sisa musim gugur lalu yang telah bertunas, sedikit buah beri yang hampir ranum. Udara terasa panas, bahkan dalam naungan lebatnya hutan. "Kita istirahat sebentar," ujar Miki, seraya melepas sandal dan menggosokkan telapak kakinya di rumput yang lembap. Kakinya lecet dan berdarah, kulitnya berubah segelap tembaga. Maya sudah berbaring terlentang, menatap ke atas, ke arah hijau dedaunan yang berubah bentuk. "Aku lapar sekali," katanya. "Kita harus mendapatkan makanan sungguhan. Aku penasaran apakah jalan itu mengarah ke sebuah desa." Kedua gadis itu tertidur sebentar, tapi rasa lapar membangunkan mereka. Sekali lagi, hampir tidak perlu bicara, mereka mengen-cangkan kembali sandal dan mulai mengikuti jalan kecil tadi yang berkelok di sepanjang sisi gunung. Sesekali mereka melihat atap rumah petani jauh di bawah, dan mengira kalau jalan kecil itu akan membawa mereka ke sana. Tapi mereka tidak menemukan tempat apa pun, tak ada desa, bahkan tak ada gubuk atau biara terpencil di gunung, dan sawah garapan tetap berada di luar jangkauan di bawah tempat mereka berada. Mereka ber-jalan tanpa bicara, berhenti hanya untuk mengambil makanan yang disediakan atam, perut mereka mulai keroncongan. Matahari berlalu tersembunyi di balik gunung; awan berkumpul lagi di sebelah selatan. Tak satu pun dari kedua nya ingin menghabiskan semalam lagi di hutan, namun tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukan, selain terus berjalan. Halaman 711 dari 711 Hutan dan gunung menyatu saat senja tiba; burung berkicau melantunkan nyanyian pengiring matahari teng-gelam. Maya yang berada di depan, tiba-tiba berhenti. "Asap," bisik Miki. Maya mengangguk, dan mereka berjalan dengan lebih hati-hati. Baunya semakin kuat, kini bercampur dengan aroma daging panggang yang membuat perut mereka semakin keroncongan. Daging burung kuau atau kelinci, pikir Maya, karena ia pernah mencicipi kedua daging itu di sekitar Kagemura. Segera saja terbit air liurnya. Di sela-sela pepohonan bisa dilihatnya sebuah gubuk kecil. Api unggun menyala di depan-nya, dan sesosok tubuh ramping berlutut menjaga daging yang sedang dimasak. Maya bisa memperkirakan dari bentuk tubuh dan gerakannya kalau sosok itu adalah perempuan dan ada sesuatu dengannya yang terasa sangat familiar. Miki berbisik di telinganya. "Perempuan itu mirip Shizuka!" Maya mencengkeram tangan adiknya saat Miki hendak berlari menghampiri. "Tidak mungkin. Bagaimana dia bisa ada di sini? Aku akan ke sana dan melihatnya." Menggunakan kemampuan menghilang, Maya menyelinap di sela pepohonan dan ke belakang gubuk. Aroma daging begitu kuat hingga ia mengira akan kehilangan kon-sentrasinya. Dirabanya pisaunya. Sepertinya tidak ada orang lain lagi, hanya perempuan itu, kepalanya tertutup tudung yang di-pegangi dengan satu tangan sementara mem-bolak-balik daging pada tusuk pemanggang dengan tangan satunya lagi. Angin sepoi-sepoi berhembus perlahan di dataran itu dan membuat bulu-bulu coklat dan hijau melambai-lambai terkena angin-nya. Perempuan itu berkata, tanpa berpaling, "Kau tak perlu menggunakan pisau itu. Aku akan memberimu dan adikmu makan." Suaranya mirip suara Shizuka, tapi juga tidak mirip. Maya berpikir, Kalau dia bisa melihatku, maka dia pasti berasal dari Tribe. "Apakah kau Muto?" tanya Maya, lalu membuat dirinya terlihat lagi. "Ya, aku Muto," sahut perempuan itu. "Kau bisa memanggilku Yusetsu." Maya belum pernah mendengar nama itu. Suaranya pun dingin dan misterius, bak jejak terakhir salju yang tertinggal di sisi utara pegunungan di musim semi. "Apa yang kau lakukan di sini? Apakah ayahku yang menyuruhmu ke sini?" "Ayahmu? Takeo." Perempuan itu meng-ucapkan nama Takeo dengan semacam kerinduan yang dalam dan penyesalan, lembut sekaligus getir, yang membuat Maya bergidik. Kini perempuan itu menatap Maya, namun tudung menutupi wajahnya. Bahkan dengan cahaya api unggun, Maya tidak bisa melihat wajahnya. "Sudah hampir matang," kata Yusetsu. "Panggil adikmu lalu cuci tangan dan kaki kalian." Ada teko air di anak tangga gubuk. Kedua gadis itu bergantian menuangkan air men-cuci tangan dan kaki mereka. Di anak tangga, Yusetsu menaruh daging burung kuau bakar di lembaran kulit kayu yang di-bungkus daun. Dia lalu berlutut, mengiris daging menjadi potongan kecil. Si kembar makan tanpa bicara, melahap daging dengan rakus; panasnya membakar mulut dan lidah. Yusetsu tidak makan, dia hanya mengamati setiap suapan mereka, memerhatikan wajah dan tangan mereka. Ketika keduanya sudah mengisap tulang yang terakhir, Yusetyu menuangkan air ke selembar kain untuk mengelap tangan mereka. Dia membalikkan telapak tangan mereka dan menyusuri tanda Kikuta dengan jari-jarinya. Kemudian ditunjuknya tempat untuk buang hajat, dan memberikan lumut untuk membersihkannya; sikapnya penuh perhatikan, seolah dia adalah ibu mereka. Setelah itu dinyalakannya lentera dari sisa api yang masih menyala, dan mereka berbaring di Halaman 712 dari 712 lantai gubuk sementara perempuan itu terus memandangi mereka. "Jadi kalian anaknya Takeo," ujarnya lirih. "Kalian mirip dengannya. Kalian seharusnya menjadi anakku." Dan kedua gadis itu, dalam keadaan hangat dan kenyang, merasakan juga lebih baik kalau mereka memang menjadi anak Yusetsu, meski mereka belum tahu siapa perempuan itu sebenarnya. Yusetsu memadamkan lentera dan menye-limuti mereka dengan jubahnya. "Tidurlah," ujarnya. "Tidak ada yang bisa menyakiti kalian saat aku di sini." Mereka tidur tanpa bermimpi dan ter-bangun saat hari mulai terang. Hujan menyirami wajah mereka, juga tanah lembap di bawah tubuh mereka. Tak ada tanda-tanda gubuk, teko, maupun perempuan itu. Hanya bulu burung di lumpur dan bekas bara api yang menandakan kalau perempuan itu pernah ada di sana. Miki berkata, "Dia adalah hantu perempuan itu." "Mmm," gumam Maya, setuju. "Ibu Hisao? Yuki?" "Siapa lagi?" Maya mulai berjalan ke arah utara. Tak satu pun dari keduanya bicara lagi tentang perempuan itu, namun rasa daging burung kuau masih tertinggal di lidah dan tenggorokan mereka. "Ada jalan kecil," ujar Miki, mengejar Maya. "Seperti kemarin." Jalannya tidak rata, seperti jalanan rubah, melalui semak belukar. Mereka berjalan menyusurinya sepanjang hari, beristirahat dalam panasnya siang hari di rimbunnya semak hazelnut. Dan berjalan lagi sampai malam tiba saat bulan baru muncul, bulan sabit. Tiba-tiba tercium bau asap yang sama, aroma daging yang tengah dimasak yang menerbitkan air liur, seoerang perempuan sedang menjaga makanan yang dimasak, wajahnya tersembunyi oleh jubah bertudung. Di belakangnya ada gubuk, teko berisi air. "Kita di rumah," ujar Maya menyapa dengan akrab. "Selamat datang di rumah," sahut perempuan itu. "Cuci tangan; makanannya sudah matang." "Apakah itu makanan hantu?" tanya Miki saat perempuan itu membawakan daging- saat ini daging kelinci-dan mengirisnya untuk mereka. Yusetsu tertawa. "Semua makanan adalah makanan hantu. Semua makanan sudah mati dan memberikan rohnya pada kalian agar kalian bisa hidup." "Jangan takut," tambahnya ketika Miki ragu; Maya sudah menjejalkan daging ke mulutnya. "Aku di sini untuk membantu kalian." "Apa yang kau inginkan sebagai imbalan?" tanya Miki, tetap belum mau makan. "Aku membalas pertolonganmu. Aku ber-utang padamu. Karena kau memutuskan ikatanku dengan anakku." "Benarkah?" "Kau membebaskan si kucing, dan sekaligus membebaskanku." "Bila sudah bebas, seharusnya kau me-lanjutkan perjalananmu," tutur Miki dengan suara tenang dan tegas yang belum pernah Maya dengar. "Tugasmu sudah berakhir di dunia ini. Kau harus merelakannya, dan membiarkan arwahmu berjalan terus menuju kelahirannya kembali." "Kau bijaksana," sahut Yuki. "Akan lebih bijaksana dan lebih kuat lagi begitu kau dewasa. Dalam waktu satu atau dua bulan lagi, kau dan kakakmu akan mulai mendapat haid. Menjadi perempuan membuat kalian lemah, jatuh cinta menghancurkan diri kalian, dan membuat seorang Halaman 713 dari 713 anak menem-pelkan pisau di lehermu. Jangan tidur dengan laki-laki; bila kalian tidak me-mulainya, maka kalian takkan merindu-kannya. Aku sangat suka bercinta; ketika aku menganggap ayah kalian sebagai kekasihku, aku merasa seperti di Surga. Aku mem-biarkannya memiliki diriku seutuhnya. Aku merindukannya siang dan malam. Dan aku melakukan apa yang diperintahkan padaku: kalian anakanak Tribe; kalian harus tahu tentang kepatuhan." Kedua gadis itu meng-angguk, tapi tidak bicara. "Aku patuh pada Ketua Kikuta dan Akio, yang kutahu mesti kunikahi di kemudian hari. Tapi aku mengira akan menikah dengan Takeo dan melahirkan anak-anaknya. Kami sangat serasi dalam kemampuan Tribe, dan kukira dia jatuh cinta padaku. Dia kelihatan terobsesi padaku sama seperti aku terobsesi padanya. Kemudian aku tahu kalau Shirakawa Kaede yang dicintainya, kegilaan karena cinta yang bodoh membawa dirinya kabur dari Tribe dan membuat aku dihukum mati." Yuki terdiam membisu. Kedua gadis itu juga tidak berkata apa-apa. Mereka belum pernah mendengar versi cerita ini dari riwayat orangtua mereka, diceritakan oleh perempuan yang sangat menderita disebab-kan oleh cintanya pada ayah mereka. Akhirnya Maya berkata, "Hisao berusaha untuk tidak ingin mendengarkanmu." Miki mencondongkan badan ke depan dan mengambil sepotong daging, mengu-nyahnya pelan, merasakan lemak dan darahnya. "Dia tak mau tahu siapa dirinya," sahut Yuki. "Sifat dalam dirinya tercabik, itu sebabnya dia merasa sakit kepala yang sangat menusuk." "Dia tidak bisa dibebaskan dari dosa," ujar Maya, amarahnya kembali lagi. "Semakin lama dia menjadi semakin jahat." "Kalian adalah adiknya," tutur Yuki. "Salah satu dari kalian menjadi si kucing, yang disayanginya; sedang yang satunya lagi memiliki kualitas spritual yang menolak ke-kuatannya. Bila dia menyadari kekuatan itu sepenuhnya, maka dia akan menjadi benar-benar jahat. Tapi sampai tiba waktunya nanti, dia masih bisa diselamatkan." Yuki mencondongkan badan, dan membiarkan tudung terlepas. "Begitu dia sudah selamat, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku tidak bisa membiarkan anakku membunuh ayahnya. Namun ayah angkatnya harus membayar pembunuhan keji atas diriku." Dia cantik, pikir Maya, tidak seperti Ibu tapi dengan sifat yang selalu kuingin diriku menjadi seperti itu, kuat dan ptnuh semangat. Aku be rha rap dia yang menjadi ibuku. Aku berharap dia belum mati. "Sekarang kalian harus tidur. Teruslah berjalan ke utara. Aku akan memberi kalian makan dan membimbing kalian kembali ke Hagi. Kita akan menemukan ayah kalian dan memperingatkannya, saat kita sudah bebas, kita akan selamatkan Hisao." Yuki mencuci tangan mereka seperti yang dilakukannya di malam sebelumnya, tapi kali ini dibelainya tangan mereka dengan lebih lembut, layaknya seorang ibu; sentuhannya kuat dan nyata: dia tidak terasa seperti arwah, tapi keesokan paginya, si kembar terbangun di hutan yang kosong. Hantu perempuan itu sudah pergi. Miki bahkan lebih pendiam lagi ketim-bang sebelumnya. Suasana hati Maya labil, bergerak antara gembira karena kemung-kinan bertemu Yuki lagi malam itu, serta ketakutan akan Akio dan Hisao yang sudah dekat di balakang mereka. Dia mencoba memaksa Miki bicara, tapi jawaban Miki singkat dan tidak memuaskan. "Apakah menurutmu kita melakukan hal yang salah?" tanya Maya. "Sekarang sudah terlambat," bentak Miki, dan kemudian sikapnya melunak. "Kita sudah makan makanan darinya dan me-nerima bantuannya. Kita tidak bisa melaku-kan apa-apa lagi; kita hanya harus segera sampai di rumah dan berharap Ayah cepat kembali." "Bagaimana kau bisa tahu begitu banyak tentang hal itu?" tanya Maya, kesal dengan kemarahan Miki. "Kau bukan seorang penguasa alam baka juga, kan?" Halaman 714 dari 714 "Bukan, tentu saja bukan," pekik Miki. "Aku bahkan tidak tahu apa itu. Aku belum pernah mendengarnya sampai kau mengata-kan kalau Hisao adalah penguasa alam baka." Mereka berjalan menuruni lereng yang curam. Jalur itu berkelok di antara tonjolan batu-batu besar: sepertinya itu tempat kesukaan ular untuk berjemur. Sewaktu tubuh-tubuh yang bengkok bergerak cepat menghilang di balik bebatuan, Maya pun bergidik. Memikirkan arwah Akane, dan bagaimana ia menggoda Sunaomi dengan menyaru sebagai perempuan pelacur yang sudah mati itu. "Menurutmu apa yang sebenarnya Yuki inginkan?" tanyanya. "Semua hantu ingin balas dendam," jawab Miki. "Dia ingin balas dendam." "Pada Akio?" "Pada semua orang yang telah menyakiti dirinya." "Benar kan, kau memang tahu semuanya," ujar Maya. "Mengapa dia membimbing kita ke Hagi?" tanya Miki. "Untuk mencari Ayah; dia yang bilang begitu." "Tapi Ayah belum akan kembali sampai musim panas berakhir," lanjut Miki, seolah membuat bantahan kepada dirinya sendiri. Maka perjalanan mereka berlanjut saat bulan semakin penuh dan menyusut lagi. Bulan keenam tiba dan musim panas bergerak menuju puncaknya. Yuki menemui mereka setiap malam; mereka mulai terbiasa dengan kehadirannya, dan tanpa disadari mulai menyayanginya seakan perempuan itu adalah ibu mereka. Yuki menemani mereka dari antara matahari terbenam sampai matahari terbit, tapi perjalanan setiap harinya terasa lebih mudah karena kini mereka tahu Yuki menanti mereka di penghujung hari. Keinginannya pun menjadi keinginan mereka berdua. Setiap malam Yuki men-ceritakan masa lalunya: tentang masa kecil-nya di Tribe; kesedihan terbesar pertama dalam hidupnya, ketika temannya dari Yamagata dibakar sampai mati bersama semua keluarganya di malam Otori Takeshi dibunuh prajurit Tohan; bagaimana dia membawa pedang Lord Shigeru, Jato, lalu menyerahkannya ke tangan Takeo setelah sebelumnya mereka menyelamatkan Shigeru dari kastil Inuyama; dan bagaimana Yuki membawa kepala Lord Shigeru ke Terayama, seorang diri, melewati negeri yang tidak ramah. Mereka berdua kagum pada keberanian dan kesetiaan Yuki, dan terkejut serta gusar dengan kematiannya yang kejam, terharu dengan kesedihan dan rasa ibanya atas putranya.* Si kembar tiba di Hagi di sore hari. Matahari masih di langit barat, membuat air laut tampak seperti kuningan. Mereka meringkuk di hutan bambu tepat di tepi sawah, padi berwarna hijau terang. Ladang sayuran lebat dengan dedaunan, kedelai, wortel dan bawang. "Kita tidak membutuhkan Yuki malam ini," ujar Miki. "Kita bisa tidur di rumah." Namun pikiran itu membuat Maya sedih. Ia akan merindukan Yuki, dan seketika timbul niat ingin pergi ke mana pun perempuan itu pergi. Gelombang sedang surut dan tepi yang berlumpur terlihat jelas di sepanjang sungai kembar. Maya bisa melihat lengkungan jembatan batu, dan biara bagi dewa sungai tempat ia membunuh kucing milik Mori Hiroki. Tiang pancang kayu dari pagar penangkap ikan, dan perahu-perahu yang tertambat di tepinya, bak mayat yang tengah menanti air untuk menghidupkannya Halaman 715 dari 715 kembali. Di belakangnya tampak pepohonan dan taman rumah tua keluarga. Lebih jauh ke barat, di atas atap dan sirap rendah bangunan kota, menjulang kastil dengan panji-panji Otori berkibar tertiup angin. Maya memicingkan mata melihat mata-hari. Bisa dilihatnya umbul-umbul bangau Otori, tapi di sebelahnya ada umbul-umbul lain, tapak beruang hitam dengan latar belakang merah: lambang Klan Arai. "Bibi Hana ada di sini," bisiknya pada Miki. "Aku tidak ingin dia melihatku." "Bibi pasti di kastil," ujar Miki, dan mereka saling tersenyum, berpikir tentang keciniaan Hana pada kemewahan dan kedudukan. "Kurasa Ibu juga di sana." "Ayo kita ke rumah lebih dulu," saran Maya. "Bertemu Haruka dan Chiyo. Mereka akan kirim pesan pada Ibu." Maya menyadari kalau dirinya tidak yakin akan reaksi ibunya. Tiba-tiba teringat dengan penemuan terakhir mereka, kemarahan Kaede, tamparan itu. Sejak saat itu, Maya tak mendapat kabar apa pun dari ibunya, tidak ada surat, tidak ada pesan. Bahkan kabar tentang kelahiran adik laki-lakinya ia dengar melalui Shigeko di Hofu. Aku bisa saja ikut terbunuh bersama Sada dan Taku, pikirnya. Ibu tidak akan peduli. Perasaan itu amat menusuk hati dan mengganggunya: ia begitu ingin pulang ke rumah, tapi kini takut pada penerimaan ibunya. Andai Yuki adalah ibuku, pikirnya. Aku bisa mengadu dan men-ceritakan segalanya, dan dia pasti percaya. Kesedihan yang mendalam menerpa dirinya: bahwa Yuki sudah mati dan tidak mengenal kasih sayang anaknya. Bahwa Kaede hidup.... "Aku akan pergi," ujarnya. "Akan kulihat siapa yang ada di sana, melihat apakah Ayah sudah kembali." "Ayah pasti belum kembali," sahut Miki. "Ayah pergi jauh ke Miyako." "Baiklah, Ayah justru lebih aman berada jauh di sana ketimbang berada di rumah," sahut Maya. "Tapi kita harus ceritakan pada Ibu tentang Paman Zenko, bagaimana dia telah membunuh Taku dan tengah mem-bangun kekuatan." "Bagaimana dia bisa begitu berani saat Hana dan kedua putranya ada di sini, di Hagi?" "Hana mungkin berencana membawa mereka lari; itu sebabnya dia datang. Kau tunggu di sini. Aku akan kembali secepat-nya." Maya masih mengenakan pakaian laki-laki dan menu-rutnya tak ada orang yang bisa mengenalinya. Banyak anak laki-laki seusia-nya bermain di tepi sungai serta me-manfaatkan pagar jaring penangkap ikan untuk menyeberangi sungai. Gadis itu berlari dengan langkah ringan di atasnya seperti yang sudah sering dilakukannya: bagian atas tiang pancang terasa lembap dan licin. Setelah sampai di seberang, Maya berhenti di depan lubang di dinding taman, tempat aliran air mengalir ke sungai. Dengan meng-gunakan kemampuan menghilang, Maya melangkah masuk ke taman. Seekor bangau abu-abu besar yang tengah mencari ikan di sungai merasakan ada gerakan, menoleh ke arah Maya kemudian terbang. Kepakan sayapnya kedengaran menghentak tajam seperti suara kibasan kipas. Di sungai, seekor ikan air tawar melompat. Ikan itu mencipakkan air, dan burung itu terbang dengan kepakan sayap pelan: tepat seperti biasanya. Maya berusaha mendengarkan suara-suara di dalam rumah, begitu merindukan Haruka dan Chiyo. Mereka pasti kaget, pikirnya. Dan gembira. Chiyo pasti akan menangis bahagia seperti biasanya. Maya seperti mendengar suara mereka dari dapur. Tapi di balik gumaman tadi terdengar olehnya suara lain, berasal dari luar dinding dari tepi sungai. Suara anak laki-laki, berceloteh, tertawa. Halaman 716 dari 716 Maya merendahkan tubuhnya di balik batu paling besar sewaktu Sunaomi dan Chikara mencepukcepuk air sungai. Di saat yang sama, terdengar langkah kaki dari dalam rumah, dan Kaede serta Hana berjalan keluar menuju beranda. Kaede menggendong bayi yang tersenyum dan berusaha mencengkeram jubah ibunya. Kaede mengangkatnya agar bisa melihat kedua bocah yang datang menghampiri. "Lihat, sayangku, mungilku. Lihatlah sepupumu. Kau akan tumbuh besar menjadi tampan seperti mereka!" Si bayi tersenyum dan tersenyum lagi. Dia sudah berusaha menggunakan kakinya dan berdiri. "Alangkah kotornya kalian, anak-anakku," Hana membentak mereka, wajahnya berseri-seri dengan rasa bangga. "Cuci tangan dan kaki kalian. Haruka! Bawakan air untuk kedua tuan muda!" Tuan muda! Maya mengamati Haruka datang lalu mencuci kaki kedua bocah itu. Dilihatnya rasa percaya diri dan keangkuhan mereka berdua, melihat kasih sayang dan rasa hormat yang mereka dapatkan tanpa ber-susah payah dari semua perempuan di sekeliling mereka. Hana mengelitik si bayi dan membuatnya tertawa cekikikan dan menggeliat-geliat. Tatapan penuh kasih sayang terlukis di wajah ibu dan bibinya. "Bukankah sudah kukatakan," ujar Hana, "Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan memiliki anak laki-laki." "Benar," sahui Kaede. "Aku tidak tahu kalau aku bisa merasa seperti ini." Dipeluk-nya bayi itu eraterat, wajahnya nampak gembira dengan perasaan cinta. Maya merasakan kebencian yang tak pernah dirasakan seumur hidupnya, seakan hatinya hancur dan darah mendidih dalam dirinya. Apa yang akan kulakukan? pikirnya. Aku harus berusaha menemui Ibu tanpa ada orang lain. Apakah Ibu mau mendengarkanku? Apa seharusnya aku kembali pada Miki saja? Pergi ke kastil menemui Lord Endo? Tidak, aku harus menemui Ibu dulu. Tapi jangan sampai Hana curiga kalau aku ada di sini Maya menunggu tanpa suara di taman sewaktu matahari terbenam. Kunang-kunang menari di atas sungai, dan rumah berkilauan dengan cahaya lentera. Ia mencium bau makanan di ruangan di lantai atas, men-dengar kedua bocah berbicara saat makan. Kemudian pelayan muda membawa nampan kembali ke dapur, dan tempat tidur digelar. Kedua bocah itu tidur di bagian belakang rumah, tempat para pelayan beristirahat saat tugas mereka selesai. Hana dan Kaede tidur di kamar atas bersama si bayi. Saat rumah sudah sunyi, Maya mem-beranikan diri masuk. Dilewatinya nightingale floor tanpa suara karena sudah begitu terbiasa. Ia berjingkat menaiki tangga dan menyaksikan ibunya menyusui si bayi. Maya merasakan kehadiran yang akrab di sampingnya. Dia menengok ke belakang dan melihat hantu perempuan itu, Yusetsu. Prempuan itu tak lagi memakai jubah mantel bertudung namun berpakaian putih orang mati, seputih dagingnya. Napasnya terasa dingin dan berbau tanah, dan perempuan itu memandang pada si ibu dan anak dengan tatapan iri yang begitu jelas terpancar di wajahnya. Kaede menyelimuti si bayi rapat-rapat lalu membaringkannya. "Aku harus menulis surat untuk suamiku," tuturnya pada Hana. "Panggil aku kalau bayinya terbangun." Kaede berjalan menuruni tangga menuju bekas kamar Ichiro, tempat catatan dan alat tulis disimpan, seraya memanggil Haruka untuk membawakan lentera. Seka rang aku harus menemui Ibu, pikir Maya. Hana duduk di sisi jendela yang terbuka, menyisiri rambut panjangnya; sambil menyenandungkan nina bobo untuk dirinya sendiri. Lentera menyala di sebuah rak besi. Halaman 717 dari 717 Hana bernyanyi: Tulislah surat untuk suamimu, Kakakku yang malang. Dia tak akan menerima surat-suratmu. Dia tidak layak mendapatkan cintamu. Kau akan segera tahu Laki-laki macam apa dia. Alangkah beraninya dia bernyanyi seperti itu, di rumah Ayahku! pikir Maya. Gadis itu bimbang antara keinginan untuk menyerang Hana saat itu juga atau ke bawah untuk menemui ibunya. Hana berbaring, kepalanya berada di atas bantal kayu. Aku bisa bunuh dia sekarang! pikir Maya, sambil meraba pisaunya. Dia pantas mati! Tapi kemudian bcrpikir kalau sebaiknya membiarkan agar ayahnya yang menghukum bibinya itu. Maya hendak keluar kamar ketika si bayi menggeliat. Maya berlutut di sampingnya. Bayi itu menangis pelan. Mata-nya terbuka dan membalas tatapan Maya. Dia bisa melihatku! pikirnya kaget. Maya tak ingin si bayi benar-benar terbangun. Lalu ia sadar kalau ia tak bisa berhenti menatap si bayi. Maya tak bisa mengendalikan apa yang sedang dilakukannya. Ditatap mata adiknya dengan tatapan Kikuta, dan si bayi ter-senyum satu kali ke arahnya lalu tertidur, dan tidak pernah bangun lagi. Yuki berkata di sampingnya, Ayo, kita bisa pergi sekarang. Seketika itu juga Maya memahami kalau ini adalah bagian dari balas dendam perempuan itu, balas dendam terhadap ibu-nya, pembalasan keji atas kecemburuan yang sudah sekian lama. Lalu menyadari kalau ia telah melakukan tindakan yang tidak ter-maafkan, bahwa tidak ada lagi tempat baginya kecuali di dunia tempat para hantu berkeliaran. Bahkan Miki pun tak akan bisa menyelamatkannya saat ini. Dipanggilnya si kucing dan dibiarkannya mengambil alih dirinya, kemudian melompat menembus dinding, berlari menyeberangi sungai, masuk ke dalam hutan dan berpikir lagi, kembali ke Hisao. Yuki mengikutinya, melayang di atas tanah, dengan hantu bayi dalam pelukan-nya. "* Bayi laki-laki Kaede mati sebelum bulan purnama pertengahan musim panas. Bayi memang mudah mati, tidak ada orang yang kaget: saat musim panas bayi mati karena penyakit atau wabah, saat musim dingin karena flu. Biasanya dianggap bijaksana untuk tidak terlalu terikat pada anak-anak karena sedikit yang bisa bertahan melewati masa bayinya; Kaede berjuang mengendali-kan dan membendung kesedihannya, menyadari bahwa sebagai orang yang mewakili ketidakhadiran suaminya, ia tidak boleh patah semangat. Walau sebenarnya ia lebih ingin mati. Direnungkanya berulang kali apa kesalahannya hingga menyebabkan kehilangan yang tak tertahankan ini. Apakah ia memberi makan terlalu banyak. atau terlalu sedikit; seharusnya ia tidak boleh meninggalkan bayinya; ia sudah dikutuk, pertama dengan kehadiran si kembar, lalu dengan kematian ini. Sia-sia Tabib Ishida berusaha meyakinkan bahwa mungkin saja memang tidak ada alasannya, bahwa sudah biasa bayi mati tanpa alasan yang jelas. Kaede ingin sekali Takeo pulang, tapi juga takut setengah mati untuk memberitahukan-nya; merasa begitu ingin tidur bersamanya lalu merasakan cinta mereka bisa menghibur kesedihan hatinya seperti Halaman 718 dari 718 biasa. Namun ia juga merasa tak kuasa bercinta dengan suaminya karena tak sanggup menanggung beban perasaan hamil hanya untuk ke-hilangannya lagi. Takeo harus diberi tahu, tapi bagaimana melakukannya? Kaede bahkan tidak tahu di mana suaminya. Butuh waktu berminggu-minggu agar surat bisa sampai ke tangan suaminya. Kaede belum mendapat kabar lagi sejak suaminya mengirim surat dari Inuyama. Setiap hari Kaede bertekad untuk menulis surat, namun setiap hari pula ia tak kuasa melakukannya. Sepanjang hari berharap agar malam segera tiba supaya bisa melampiaskan kesedihan dirinya. Dan sepanjang malam tidak tidur, berharap matahari segera terbit, agar bisa mengenyampingkan sedikit rasa sakit di hatinya untuk sementara. Satu-satunya yang bisa menghiburnya adalah adik dan kedua keponakannya, yang disayangi seperti anaknya sendiri. Ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama mereka, mengawasi pelajaran mereka serta menyaksikan pelatihan militer mereka. Si bayi dimakamkan di Daishoin; bulan semakin menyusut menjadi potongan kecil di atas makamnya ketika kurir akhirnya datang membawa pesan dari Takeo. Saat dibuka gulungan kertasnya, sketsa burung karya suaminya terjatuh. Dihaluskannya kertas itu lalu menatapnya, goresan hitam seekor burung gagak di atas bebatuan tebing, burung tila serta bunga lonceng. "Takeo menulis surat ini dari daerah kecil bernama Sanda," tuturnya kepada Hana. "Dia bahkan belum sampai ke ibukota." Kaede melihat surat itu tanpa sungguh-sungguh membacanya; mengenali tulisan tangan Minoru, namun lukisan burung itu Takeo sendiri yang menggambarnya: bisa dilihatnya kekuatan dalam goresannya, melihatnya menopang tangan kanan dengan tangan kirinya, keahlian yang keluar dari tangan cacatnya. Kaede hanya berdua dengan Hana, kedua keponakannya berada di area berkuda, para pelayan sibuk di dapur. Kaede membiarkan air matanya jatuh berlinang. "Dia tak tahu kalau putranya telah tiada!" Hana berkata, "Kesedihannya tak berarti apa-apa bila dibandingkan kesedihanmu. Jangan menyiksa dirimu atas kesedihannya." Hana memeluk Kaede lalu berbisik pelan sekali. "Dia takkan bersedih. Dia justru akan lega." "Apa maksudmu?" Kaede agak menarik tubuhnya lalu menatap adiknya. Dilihatnya dengan tatapan nanar betapa cantiknya Hana, dan menyesali bekas luka yang ia derita. Namun tak satu pun dari semua itu penting baginya. Dia rela terbakar lagi, mencongkel kedua bola matanya kalau itu bisa mengembalikan anaknya. Sejak kematian anak laki-lakinya, Kaede amat bergantung pada Hana, menying-kirkan kecurigaan, hampir lupa bahwa Hana dan kedua putranya berada di Hagi sebagai sandera. "Aku sedang memikirkan ramalan itu." "Ramalan apa?" tanya Kaede seraya meng-ingat ketika di Inuyama saat ia dan Takeo tidur bersama, kemudian berbicara tentang kata-kata yang mengendalikan hidup mereka berdua. "Ramalan tentang Lima Per tempuran? Apa hubungannya dengan ramalan itu?" Ia tak ingin membicarakan tentang ramalan itu saat ini, tapi ada sesuatu di dalam nada bicara Hana yang membuat-nya ketakutan. Hana tahu sesuatu yang tidak diketahuinya. Kendati cuaca terasa panas, tubuhnya terasa dingin, gemetar. "Ada kata-kata lain dalam ramalan itu," tutur Hana. "Apakah Takeo tidak mengata-kannya?" Kaede menggeleng, benci untuk mengakuinya. "Bagaimana kau bisa tahu?" "Takeo mengutarakan pada Muto Kenji, dan kini telah diketahui luas di kalangan Tribe." Kaede merasakan kilatan amarah dalam dirinya. Ia selalu merasa benci dan takut pada kehidupan rahasia Takeo: suaminya pernah meninggalkan ia bersama Tribe, meninggal-kan ia dengan anaknya yang akhirnya meninggal dan dirinya sendiri sekarat. Kebencian lama berkecamuk lagi dalam dirinya. Kaede menyambut perasaan itu karena bisa membantunya menyembuhkan kesedihannya. "Sebaiknya kau katakan yang sebenarnya." Halaman 719 dari 719 "Bahwa Takeo selamat dari kematian, kecuali di tangan putra kandungnya." Selama beberapa saat Kaede tak bereaksi. Tahu kalau Hana tidak berbohong kepada-nya: ia tahu bagaimana Takeo dibentuk oleh ramalan ini, ketidaktakutannya serta tekad-nya yang kuat. Dan Kaede memahami kelegaan Takeo saat semua anak mereka perempuan. "Semestinya dia mengatakannya kepadaku, tapi dia ingin melindungiku," tuturnya. "Aku tak percaya dia akan senang atas kematian anaknya. Aku mengenalnya lebih baik dari itu." Rasa lega menyelimuti dirinya: semula ia takut sesuatu yang lebih buruk akan dikatakan Hana. "Ramalan adalah hal yang berbahaya," ujarnya. "Sekarang yang satu ini tidak mungkin menjadi kenyataan. Putranya sudah mendahului dirinya, dan takkan ada anak lagi." Takeo akan kembali kepadaku, pikirnya, seperti yang senantiasa dilakukannya. Dia takkan mati di wilayah Timur. Bahkan mungkin seka rang dia dalam perjalanan pulang. "Semua orang berharap Lord Takeo ber-umur panjang dan bahagia," ujar Hana. "Mari kita doakan kalau ramalan ini tidak mengacu ke putranya yang lain." Ketika Kaede menatapnya tanpa bicara, Hana melanjutkan kata-katanya, "Maaf, kak, kukira kau sudah tahu." "Ceritakan," kata Kaede tanpa perasaan. "Aku tak bisa menceritakannya. Bila hal ini dirahasiakan suamimu.... " "Ceritakan," ulang Kaede, dan mendengar suaranya pecah. "Aku sangat takut bisa membuatmu lebih sakit hati. Biar Takeo yang menceritakan saat dia kembali nanti." "Dia punya anak laki-laki?" "Ya," sahut Hana sambil menarik napas. "Anak itu berusia tujuh betas tahun. Ibunya adalah Muto Yuki." "Putrinya Kenji?" tanya Kaede lirih. "Jadi selama ini Kenji tahu?" "Kurasa begitu. Sekali lagi, hal ini bukan rahasia di kalangan Tribe." Shizuka, Zenko, Taku? Mereka semua tahu hal ini selama bertahun-tahun sementara ia sama sekali tidak tahu? Tubuh Kaede gemetar. "Kau sakit," ujar Hana dengan penuh perhatian. "Biar kuambilkan teh. Perlu kupanggilkan Ishida?" "Mengapa Takeo tidak mengatakan padaku?" tanya Kaede. Ia tidak terlalu marah pada ketidaksetiaan suaminya; malah merasa agak cemburu pada perempuan yang sudah mati bertahun-tahun lalu; tapi hatinya hancur karena merasa ditipu habis-habisan. "Andai Takeo mengatakannya padaku." "Kurasa dia ingin melindungimu," ujar Hana. "Berita itu hanyalah kabar burung," kata Kaede. "Tidak, aku pernah bertemu anak itu. Aku melihatnya beberapa kali di Kumamoto. Dia seperti kebanyakan orang Tribe, tidak jujur dan kejam. Kau takkan percaya kalau anak itu adalah kakak tiri Shigeko." Kata-kata Hana menikam dirinya lagi. Diingatnya lagi semua hal yang ia cemaskan tentang Takeo selama mereka bersama: kekuatan aneh, darah campuran, kekuatan aneh yang diturunkan dalam diri si kembar. Kesedihan lalu kekagetannya atas rahasia yang baru terungkap ini mengacaukan segala yang telah dijalani dalam hidup. Kaede membenci Takeo: membenci dirinya sendiri karena telah mengabdikan hidupnya pada suaminya; menyalahkan suaminya atas semua penderitaan yang ia alami, kelahiran terkutuk si kembar, Halaman 720 dari 720 kematian bayi laki-laki yang amat disayanginya. Kaede ingin menyakiti, me-rampas segalanya dari Takeo. Disadarinya kalau tangannya masih memegang sketsa tadi. Burung-burung itu mengingatkannya dengan kebe-basan, seperti biasanya, tapi itu hanyalah ilusi. Burung tidak lebih bebas ketimbang manusia, sama terikatnya dengan rasa lapar, hasrat, serta kematian. Ia terikat selama hampir separuh hidupnya pada laki-laki yang telah meng-khianati dirinya, yang tidak pernah layak mendapatkan dirinya. Dirobek-robek sketsa itu hingga hancur kecil-kecil lalu diinjak-injak. "Aku tak bisa tinggal di sini. Apa yang harus kulakukan?" "Ikutlah dengaku ke Kumamoto," ajak Hana. "Suamiku akan mengurusmu." Kaede teringat pada ayah Zenko yang telah dijadikan musuhnya, semuanya demi Takeo. "Betapa bodohnya aku selama ini," tangisnya. Tenaga baru menyeruak dari dalam dirinya. "Panggil kedua anakmu dan siapkan mereka untuk melakukan per-jalanan," pintanya pada Hana. "Berapa banyak pengawal yang ikut bersamamu?" "Tiga atau empat puluh," sahut Hana. "Mereka menginap di kastil." "Pengawalku juga menginap di sana," ujar Kaede. "Pengawal yang tidak ikut dengannya ke wilayah Timur." Kaede tak sanggup mengucapkan kata suamiku maupun menyebut namanya. "Kita akan membawa mereka semua, tapi suruh sepuluh pengawal-mu datang ke sini. Ada tugas untuk mereka. Kita akan pergi sebelum akhir minggu ini." "Terserah kau, kak," ujar Hana setuju.* Sudah semalaman di tepi sungai Miki menunggu Maya kembali. Saat matahari terbit dia menduga kalau saudara kembarnya itu sudah pergi ke alam baka, tempat ia tidak bisa mengikuri. Lebih dari segalanya, Miki ingin pulang ke rumah; ia lelah dan lapar, dan bisa dirasakannya kekuatan si kucing meyerap semua tenaganya. Tapi ketika tiba di gerbang rumah di tepi sungai, terdengar olehnya jeritan kesedihan, disadarinya kalau adik bayinya sudah meninggal malam itu. Kecurigaan yang amat dalam semakin besar dalam dirinya, memenuhi dirinya dengan ketakutan yang amat sangat. Miki meringkuk di luar dinding, menutupi kepala dengan tangan, takut masuk ke dalam tapi tidak tahu harus ke mana. Salah satu pelayan bergegas melewati dirinya tanpa mengenalinya, dan tak lama kemudian kembali bersama tabib Ishida yang nampak terkejut dan pucat. Tak satu pun dari mereka bicara kepada Miki, tapi mereka pasti telah melihat dirinya, karena tidak lama setelah itu Haruka keluar dan meringkuk di sebelahnya. "Maya? Miki?" Miki melihat air mata yang mulai ber-linang di pipinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani bicara, kalau-kalau ia menyuarakan apa yang dicurigainya. "Demi Surga, apa yang kau lakukan di sini? Kau Miki, kan?" Gadis itu mengangguk. "Ini waktu yang buruk," ujar Haruka, menangisi dirinya sendiri. "Masuklah, nak. Lihatlah dirimu, lihat keadaanmu. Apa kau tinggal di hutan seperti hewan liar?" Cepat-cepat Haruka menuntunnya masuk ke dalam rumah, tempat Chiyo, dengan wajah yang juga basah dengan air mata, tengah menjaga api. Chiyo memekik ter-kejut, dan mulai menggumamkan sesuatu tentang nasib buruk dan kutukan. Halaman 721 dari 721 "Jangan diteruskan," ujar Haruka. "Ini bukan salahnya." Ketel besi menggantung di atas api mengeluarkan bunyi berdesis, dan uap serta asap memenuhi udara. Haruka membawa sebaskom air lalu membasuh wajah, tangan dan kaki Miki. Air hangat membuat semua luka dan lecetnya terasa perih. "Kami akan menyiapkan air mandi untuk-mu," kata Haruka. "Tapi kau harus makan dulu." Ditaruhnya nasi di mangkuk lalu menuangkan kaldu di atasnya. "Alangkah kurusnya dia!" katanya ke samping, ke arah Chiyo. "Perlukah kuberitahu ibunya kalau dia di sini?" "Sebaiknya tidak usah," sahut Chiyo. "Jangan dulu. Nanti malah membuatnya semakin kesal." Tangis Miki terlalu keras untuk mem-buatnya bisa makan, napasnya tersengal-sengal dengan isak tangis. "Bicaralah, Miki," desak Haruka padanya. "Kau akan merasa lebih baik. Tidak ada masalah yang terlalu berat hingga tak bisa diceritakan." Sewaktu Miki menggelengkan kepala tanpa bicara, Haruka berkata, "Dia seperti ayahnya ketika pertama kali datang ke rumah ini. Dia tidak bicara selama berminggu-minggu." "Pada akhirnya dia bicara juga," gumam Chiyo. "Rasa terguncang membungkam mulutnya, lalu perasaan itu pula yang membuka mulutnya." Beberapa saat kemudian tabib Ishida datang untuk bicara dengan Chiyo agar menyeduh teh khusus untuk membantu Kaede tidur. "Tabib, lihat siapa yang ada di sini," kata Haruka, seraya menunjuk Miki yang masih meringkuk di salah satu sudut dapur dengan wajah pucat dan badan gemetar. "Ya, tadi aku melihatnya," sahut Ishida kebingungan. "Jangan biarkan dia dekat-dekat dengan ibunya. Lady Otori sedang bersedih. Bila makin tertekan maka dia bisa gila. Kau akan bertemu setelah ibumu lebih baikan," katanya pada Miki dengan nada agak tegas. "Sementara ini kau jangan meng-ganggu siapa pun. Kau boleh memberinya teh yang sama, Haruka; teh itu bisa menenangkannya." Miki dikurung di gudang terpencil selama beberapa hari berikutnya. Didengarnya suara-suara di dalam rumah di sekitarnya karena pendengaran Kikutanya makin peka. Didengarnya Sunaomi dan Chikara saling berbisik, sedih tapi sekaligus gembira dengan kematian sepupu kecil mereka. Didengarnya percakapan antara ibunya dan Hana, serta ingin sekali berlari menghampiri dan meng-halangi mereka, namun tak berani membuka mulut. Didengarnya tabib Ishida dengan sia-sia mengajukan keberatan pada ibunya, lalu mengatakan kepada Haruka kalau dia akan pergi ke Inuyama untuk bertemu dengan ayahnya. Bawa aku bersamamu, Miki ingin berseru memanggilnya, tapi Ishida pergi dengan terburu-buru, mencurahkan perhatiannya pada banyak persoalan: Kaede, istrinya sendiri, Shizuka, juga Takeo. Ia tak ingin dibebani oleh seorang anak yang bisu dan tidak sehat. Miki punya waktu yang banyak dalam kesunyian dan kesendirian, dengan penyesalan, perjalanan bersama Yuki dan tuntutan balas dendam perempuan itu pada ibunya. Ia merasa kalau dirinya sudah tahu sejak lama tujuan Yuki yang sebenarnya, dan kalau seharusnya ia bisa mencegahnya. Kini ia kehilangan semuanya: saudara kembarnya, ibunya-dan setiap malam memimpikan ayahnya dan takut kalau ia takkan bertemu ayahnya lagi. Dua hari setelah kepergian Ishida, Miki mendengar suara pengawal dan kuda di jalanan. Ibunya, Hana dan kedua putranya bersiap pergi. Terjadi adu mulut keras antara Haruka dan Chiyo tentang dirinya. Haruka berkata kalau Miki harus bertemu ibunya sebelum pergi, Chiyo menyahut kalau suasana hati Kaede sangat rapuh; tak bisa diduga akan bagaimana reaksinya nanti. Halaman 722 dari 722 "Tapi ini putrinya!" sahut Haruka dengan jengkel. "Apa artinya seorang putri baginya? Dia sudah kehilangan putranya; dia di ambang kegilaan," sahut Chiyo. Miki diam-diam masuk ke dapur dan Haruka menggandeng tangannya. "Kita akan menyaksikan kepergian ibumu," bisiknya. "Tapi jangan sampai terlihat." Jalanan penuh dengan orang, berkerumun dengan perasaan kegelisahan yang terlihat samar. Telinga Miki yang tajam menangkap potongan kata-kata yang mereka lontarkan. Lady Otori meninggalkan kota bersama Lady Arai. Lord Otori tewas di wilayah Timur. Bukan, bukan tewas tapi kalah dalam pertempuran. Lord Otori akan diasingkan, dan putrinya ada bersamanya.... Miki memerhatikan selagi ibunya dan Hana keluar dari rumah lalu menaiki kuda yang menunggu di luar gerbang. Sunaomi dan Chikara diangkat menaiki kuda poni mereka. Pengawal membawa lambang Shirakawa dan Arai mengelilingi mereka. Sewaktu rombongan mulai berjalan, Miki berusaha menangkap tatapan mata ibunya, namun Kaede menatap lurus ke depan, tidak melihatnya. Ibunya bicara satu kali. Sepuluh orang atau lebih prajurit pejalan kaki berlari memasuki taman; sebagian memegang obor yang menyala, sedang yang lainnya me-megang jerami dan potongan kayu kecil untuk menyalakan api. Dengan sigap dan tangkas, mereka membakar rumah itu. Chiyo berlari keluar dan menghalangi mereka, memukuli mereka dengan tinjunya yang lemah. Mereka mendorong dengan kasar; menghempaskan tubuh Chiyo ke atas beranda, yang kemudian memeluk erat salah satu tiang, seraya menangis, "Ini rumah Lord Shigeru. Beliau takkan memaafkan kalian." Mereka tidak bersusah payah menyingkir-kan perempuan tua itu, namun dengan ringannya menumpuk jerami di sekitar tubuh Chiyo. Haruka menjerit-jerit di sampingnya. Miki menatap ketakutan, asap membuat matanya pedih dan mengeluarkan air mata saat nightingale floor bernyanyi untuk yang terakhir kalinya. Ikan-ikan merah dan emas terebus di dalam kolam, benda-benda seni yang berharga dan catatan di dalam rumah itu meleleh dan mengerut. Rumah yang bertahan meski diguncang gempa, banjir dan perang luluh lantak dimakan api, bersama Chiyo yang menolak untuk meninggalkannya. Kaede berjalan ke kastil tanpa menengok. Kerumunan orang hanyut mengikutinya, membawa Haruka dan Miki bersama mereka. Di sini pengawal Hana telah menunggu, bersenjata dan juga membawa jerami dan obor. Pimpinan pengawal, Endo Teruo, yang ayahnya menyerahkan kastil kepada Takeo dan tewas terbunuh di jembatan batu oleh anak buah Arai Daiichi, datang menghampiri gerbang. "Lady Otori," ujarnya. "Apa yang terjadi? Kumohon Anda mendengarkanku. Mari masuk ke dalam. Mari kita bicarakan duduk persoalannya." "Aku bukan lagi Lady Otori," sahutnya. "Aku Shirakawa Kaede. Aku berasal dari Klan Seishuu dan aku akan kembali kepada klanku. Tapi sebelum pergi, aku perintah-kan kau serahkan kastil kepada pengawal-pengawal ini." "Aku tidak tahu apa yang telah terjadi pada Anda," sahutnya. "Tapi aku akan mati lebih dulu sebelum menyerahkan kastil Hagi saat Lord Otori tidak ada di sini." Laki-laki itu menarik pedang. Kaede menatap gusar. "Aku tahu seberapa sedikitnya anak buahmu yang tersisa," ujarnya. "Yang tersisa hanyalah pengawal yang sudah tua dan yang masih sangat muda. Dan aku mengutukmu, kota Hagi dan seluruh Klan Otori." "Lady Arai," seru Endo pada Hana. "Aku membesarkan suami Anda di rumahku bersama dengan putra kandungku sendiri. Jangan biarkan pengawal Anda melakukan kejahatan ini!" "Bunuh dia," ujar Hana, dan pengawal merangsek ke depan. Endo tidak memakai baju zirah, dan para penjaganya tidak siap. Kaede benar: kebanyakan dari mereka masih anak-anak. Kematian mereka yang tiba-tiba Halaman 723 dari 723 membuat kerumunan orang ketakutan; orang-orang mulai melempar batu ke arah prajurit Arai dan dibalas dengan pedang dan tombak terhunus. Kaede dan Hana membelokkan kuda lalu berderap pergi ber-sama pendamping mereka sementara sisa pengawal yang tinggal mulai membakar kastil. Saat pasukan Arai melarikan diri, orang-orang berjuang memadamkan atau menahan meluasnya api dengan berember air, tapi angin kencang berhembus dari laut; percikan api melahap atap dengan dahan kering yang mudah terbakar dan api segera saja melalap cepat, tak bisa dicegah. Penduduk kota berkumpul di jalan, di pantai dan sepanjang tepi sungai, tanpa bicara karena terkejut. Mereka tidak sanggup memahami apa yang telah terjadi, betapa kehancuran telah menyerang di jantung Hagi, merasakan bahwa keselarasan telah sirna dan kedamaian telah berakhir. Haruka dan Miki menghabiskan malam itu di tepi sungai bersama ribuan orang lainnya. Keesokan harinya mereka bergabung dengan orang-orang yang melarikan diri dari kota yang tengah ditalap api. Mereka menyeberangi jembatan, berjalan pelan agar Miki punya banyak waktu untuk membaca tulisan di jembatan. Klan Otori menyambut keadilan dan kesetiaan. Waspadalah ketidakadilan dan ketidaksetiaan. Kala itu hari kesembilan di bulan ketujuh.* "Ijinkan aku ikut dengan Lord Otori," Minoru memohon selagi Takeo bersiap pergi ke Yamagata. "Aku lebih senang kau tinggal di sini," sahut Takeo. "Keluarga dari korban yang tewas harus diberitahu, dan persediaan makanan disiapkan untuk perjalanan panjang berikutnya: Kahei harus membawa pasukan utama kita ke wilayah Barat. Dan selain itu ada tugas khusus untukmu," tambahnya, menyadari kekecewaan pemuda itu. "Tentu saja, Lord Otori," ujar si juratulis, memaksakan diri tersenyum. "Namun, aku punya satu permintaan. Kuroda Junpei menantikan Anda kembali. Maukah Anda ijinkan dia mendampingi Anda? Aku sudah berjanji akan memohon kepada Anda." "Jun dan Shin masih di sini?" tanya Takeo kaget. "Kukira mereka sudah kembali ke Barat." "Sepertinya tak semua orang senang dengan Zenko," gumam Minoru. "Aku curiga, Anda akan menemukan banyak dari mereka yang masih setia kepada Anda." "Apakah itu resiko yang harus kuambil?" Takeo bertanya pada diri sendiri, dan menyadari kalau ia tidak terlalu peduli dengan jawabannya. Ia sudah hampir mati rasa dengan kesedihan dan kelelahan, kecemasan dan rasa sakit. Berulang kali belakangan sejak Ishida menyampaikan kabar buruk itu, dirasakannya seperti berhalusinasi, dan kata-kata Minoru selanjutnya pun menambah perasaannya menjadi semakin tidak nyata. "Hanya Jun yang masih di sini, Shin di Hofu." "Mereka memisahkan diri? Aku tidak mengira kalau hal itu bisa terjadi." "Tidak, mereka memutuskan kalau salah satu harus pergi, dan yang lainnya haras tetap di sini. Mereka berbagi tugas. Shin ke Hofu untuk melindungi Shizuka, sedangkan Jun tinggal di sini untuk melindungi Anda." "Aku mengerti." Ishida menceritakan sedikit tentang Shizuka: bagaimana kabar yang tersiar mengatakan kalau perempuan itu sudah gila setelah kematian putranya dan duduk di pelataran kuil Daifukuji, ditopang Halaman 724 dari 724 oleh Surga. Pikiran kalau Shin yang tenang dan tidak banyak bicara mengawasi Shizuka membuatnya terharu. "Kalau begitu Jun boleh ikut denganku," katanya. "Sekarang, Minoru-aku meng-andalkanmu untuk mencatat kejadian yang sebenarnya tentang perjalanan kita ke Miyako, janji Lord Saga, provokasi yang telah menyebabkan perang, serta ke-menangan kita. Putriku, Lady Maruyama, akan segera sampai di sini. Aku menugas-kanmu untuk melayaninya sesetia kau melayaniku. Aku akan mendiktekan surat wasiatku kepadamu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku kelak, tapi aku mem-perkirakan hal yang terburuk: entah itu ber-bentuk pengasingan diri atau pun kematian. Aku menyerahkan semua kekuasaan dan wewenang atas Tiga Negara pada putriku. Akan kukatakan kepadamu siapa yang akan dinikahinya dan apa saja syaratnya." Dokumen itu didiktekan dan ditulis dengan cepat. Saat sudah selesai dan mem-bubuhkan capnya, Takeo berkata, "Kau harus berikan ini langsung ke tangan Lady Shigeko. Kau bisa katakan kepadanya kalau aku minta maaf. Aku berharap segalanya bisa terjadi sebaliknya, namun aku memercayakan Tiga Negara kepadanya." Selama bertahun-tahun mengabdi pada Takeo, Minoru jarang menunjukkan perasa-annya. Dia telah menghadapi kemegahan istana Kaisar dan kebiadaban perang dengan sikap acuh tak acuh. Kini wajahnya menyeringai selagi berjuang agar air matanya tidak menetes. "Katakan pada Lord Gemba aku sudah siap pergi," kata Takeo. "Selamat tinggal." Hujan terlambat turun dan tidak sederas biasanya; setiap sore terjadi badai sebentar dan langit kerapkali berawan, tapi jalanan tidak banjir. Kini Takeo bersyukur telah membangun jalan raya di seluruh Tiga Negara sehingga perjalanannya bisa secepat sekarang ini. Meski, pikirnya, jalanan yang sama terbuka bagi Zenko dan pasukannya, dan ingin tahu sudah seberapa jauh mereka mendahului dari arah barat daya. Pada malam ketiga, mereka menyeberangi perbatasan di Kushimoto dan berhenti untuk makan dan beristirahat sebentar di peng inapan di ujung lembah. Jaraknya kurang dari satu hari dari Yamagata. Penginapan itu dipenuhi pelancong; pemilik tanah daerah setempat yang mengetahui kedatangan Takeo langsung menghampiri untuk menyapa. Saat ia makan, laki-laki ini, Yamada, dan si pemilik penginapan menyampaikan kabar yang mereka dengar. Zenko dilaporkan berada di Kibi, tepat di seberang sungai. "Dia membawa sedikitnya sepuluh ribu pasukan," tutur Yamada murung. "Banyak di antara mereka yang membawa senjata api." "Apakah ada kabar dari Terada?" tanya Takeo, seraya berharap kapal-kapalnya mungkin melakukan serangan balasan di kota kastil Zenko, Kumamoto, dan memaksanya untuk mundur. "Kabarnya Zenko mendapatkan kapal dari kaum bar-bar," lapor si pemilik penginapan, "dan mereka melindungi pelabuhan dan daerah pesisir pantai." Takeo membayangkan pasukannya ke-habisan tenaga, serta masih berjarak sepuluh hari berjalan kaki. "Lady Miyoshi tengah menyiapkan Yamagata untuk pengepungan," tutur Yamada. "Aku sudah mengirim dua ratus pasukan ke sana, tapi tidak menyisakan satu pun orang di sini; panen sudah hampir tiba, dan sebagian besar ksatria Yamagata berada di wilayah Timur bersama Lord Kahei. Kota akan dipertahankan oleh petani, perempuan dan anak-anak." "Tapi sekarang Lord Otori sudah di sini," ujar si pemilik penginapan, berusaha mem-bangkitkan semangat semua orang. "Negara Tengah aman dengan adanya Lord Otori bersama kita!" Halaman 725 dari 725 Takeo berterima kasih padanya dengan senyum seraya menyembunyikan keputus-asaannya yang kian meningkat. Kelelahan membuatnya tertidur; lalu menunggu dengan gelisah dan tidak sabar sampai matahari terbit. Saat itu awal bulan, terlalu gelap untuk bisa berkuda di malam hari tanpa cahaya bulan. Mereka berada di jalan lagi, tak lama setelah matahari terbit, bergerak dengan cepat. Langit masih kelabu dan udara terasa tenang, lereng pegunungan memamerkan kibaran panji-panji besar mereka di tengah kabut. Dua prajurit berkuda berderap menghampiri dari arah Yamagata. Takeo mengenali salah satunya sebagai putra bungsu Kahei, pemuda berusia tiga belas tahun; sedang yang lainnya pengawal tua dari Klan Miyoshi. "Kintomo! Ada kabar apa?" "Lord Otori!" seru pemuda itu terengah-engah. Wajahnya pucat karena kaget, dan tatapan matanya bingung di bawah topi bajanya. Topi dan baju zirahnya tampak ke-dodoran karena dia baru memasuki masa dewasa. "Istri Anda, Lady Otori...." "Teruskan," perintah Takeo saat bocah itu terbata-bata. "Beliau datang dua hari lalu, mengambil alih perintah di sana, lalu berniat menyerah-kannya pada Zenko yang saat ini sedang berjalan dari Kibi." Pandangan Kintomo beralih ke Gemba lalu berkata dengan rasa lega, "Pamanku ada di sini!" Tak lama kemudian air mata mengambang di pelupuk matanya. "Bagaimana dengan ibumu?" tanya Gemba. "Ibu berusaha bertahan dengan sisa pasukan yang ada. Sewaktu sudah tak ber-daya lagi, ibu menyuruhku pergi selagi masih sempat, untuk memberitahu ayah dan kakak kakakku. Kurasa ibu akan mencabut nyawanya sendiri, juga kakak-kakak perempuanku." Takeo membelokkan kuda, tak mampu menyembunyikan kekagetan dan ke-bingungannya. Istri dan putri Kahei sudah mati, sementara suami dan ayah mereka ber-tempur mempertahankan Tiga Negara? Yamagata, permata Negara Tengah, akan diserahkan kepada Zenko oleh Kaede? Gemba mendekat ke sampingnya, dan menanti Takeo bicara. "Aku harus bicara dengan istriku," ujar Takeo. "Pasti ada penjelasannya. Kesedihan dan kesepian telah membuatnya gila. Tapi begitu aku ada bersamanya, akal sehatnya akan kembali. Aku takkan ditolak untuk memasuki Yamagata. Kita semua akan ke sana-semoga sempat menyelamatkan ibumu," imbuhnya kepada Kintomo. Jalanan dipenuhi orang yang melarikan diri dari kota untuk menghindari pe-perangan. Hal ini melambatkan perjalanan mereka, serta menambah kemarahan dan keputus-asaan Takeo. Ketika mereka tiba di Yamagata pada sore harinya, gerbang kastilnya dipalang. Utusan pertama yang mereka kirim ditolak masuk, sedangkan utusan yang kedua dipanah begitu masuk dalam jangkauan tembakan. "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang," ujar pengawal Miyoshi sewaktu mereka menarik diri berlindung masuk ke hutan. "Ijinkan aku membawa tuan muda kepada ayahnya, Zenko akan tiba di sini besok. Lord Otori seharusnya juga mundur bersama kami. Jangan sampai tertangkap." "Kalian boleh pergi," ujar Takeo. "Aku akan tinggal lebih lama lagi." "Kalau begitu aku akan menemanimu," kata Gemba. Dipeluknya keponakannya. Takeo memanggil Jun dan menyuruhnya mendampingi Kintomo dan menjaganya sampai bergabung dengan Kahci. "Ijinkan aku menemani Anda," ujar Jun dengan sikap canggung. "Aku bisa masuk ke dalam dinding setelah malam tiba dan membawa pesan Anda kepada.... " "Terima kasih, tapi hanya aku yang bisa menyampaikan pesan ini. Sekarang aku perintahkan kau pergi." Halaman 726 dari 726 "Aku akan mematuhi Anda, begitu tugas ini selesai, aku akan bergabung dengan Anda: dalam keadaan hidup bila memungkinkan; bila tidak, dalam kematian!" "Kalau begitu sampai jumpa lagi," sahut Takeo. Dipujinya Kintomo atas keberanian dan kesetiaannya, dan memerhatikan selama beberapa saat ketika bocah itu bergabung bersama kerumunan orang yang melarikan diri ke wilayah Timur. Lalu dialihkannya lagi perhatian kembali ke kota. Ia dan Gemba berkuda sedikit mengitari sisi timur, berhenti di pepohonan. Takeo turun dari Ashige lalu menyerahkan tali kekang pada Gemba. "Tunggu di sini. Bila aku tak kembali, baik itu malam ini, atau kalau aku berhasil melewati gerbang yang dibuka esok pagi, kau anggap saja aku sudah mati. Bila me-mungkinkan, makamkan aku di Terayama, di samping makam Shigeru. Dan simpan pedangku di sana untuk putriku!" Sebelum membalikkan badan, Takeo menambahkan, "Dan kau bisa melakukan kegiatan berdoamu itu untukku, bila kau mau." "Aku tak pernah berhenti melakukannya," ujar Gemba. Ketika malam tiba, Takeo meringkuk di bawah pepohonan dan menatap dinding yang melingkari kota. Teringat pada suatu senja di musim semi, bertahun-tahun silam, sewaktu Matsuda Shingen mengujinya dengan pertanyaan teoritis: bagaimana meng-ambil alih kota Yamagata? Kala itu dipikirnya cara yang terbaik yaitu memasuki kastil secara diam-diam lalu membunuh pemimpinnya. Ia pernah memasuki kastil Yamagata sebagai Tribe, kini ia melihat apakah ia bisa melakukannya, ingin tahu apakah ia sanggup membunuh. Ia pernah membunuh orang, dan masih ingat rasa bersalah, tanggung jawab dan penyesalan. Akan dimanfaatkannya bagian kecil dari pengetahuannya tentang kota dan kastil ini untuk yang terakhir kalinya. Di belakangnya terdengar kuda sedang mengunyah rumput, dan Gemba ber-senandung dengan gayanya yang seperti beruang. Burung malam pemakan serangga mengetuk-ngetuk di pohon. Angin berdesir sejenak lalu tenang. Bulan baru dari bulan kedelapan ber-gelayut di atas pegunungan di sebelah kanannya. Bisa dilihatnya gelapnya kastil langsung ke arah utara. Di atasnya rasi bintang beruang bermunculan di lembutnya langit musim panas. Dari dinding yang mengelilingi kota dan gerbang, bisa didengamya suara para penjaga: pasukan Shirakawa, dan Arai, dengan aksen bicara dari wilayah Barat. Bersembunyi di balik kegelapan, Takeo melompat ke puncak dinding, sedikit salah perhitungan, mencengkeram atapnya. Sesaat lupa dengan luka di bahu kanannya yang baru setengah sembuh, dan menahan napas menahan sakit ketika luka itu menganga lagi. Bunyi akibat gerakannya terdengar lebih gaduh dari yang diinginkannya. Ia lalu menyejajarkan diri tanpa terlihat di atas atap. Ada dua orang yang muncul di bawahnya membawa obor yang menyala. Mereka berjalan menyusuri jalanan lalu kembali lagi, sementara ia menahan napas dan mencoba mengacuhkan rasa sakit, menekuk sikutnya di atas puncak atap, menekan bahu kanan dengan tangan kiri. Ia merasakan sedikit lembap saat darah mengalir dari lukanya, beruntung tak banyak sehingga tidak menetes yang bisa mengakibatkan dirinya tertangkap. Kedua penjaga itu kembali ke tempatnya. Takeo menjatuhkan diri ke permukaan tanah, kali ini tanpa bersuara, dan mulai berjalan menelusuri jalanan menuju kastil. Malam semakin larut, tapi suasana kota jauh dari sunyi. Orang-orang berkerumun dengan cemas, banyak yang hendak pergi begitu gerbang dibuka. Didengarnya para pemuda-pemudi mengatakan bahwa mereka akan melawan pasukan Arai dengan tangan kosong, bahwa Yamagata takkan dirampas dari Otori lagi; didengarnya para pedagang meratapi berakhirnya kedamaian dan kemakmuran; para perempuan mengutuk Lady Otori karena telah menyebabkan perang. Hatinya hancur mengingat Kaede. bahkan di saat dirinya tengah mencari pen-jelasan tentang mengapa istrinya bertindak seperti ini. Kemudian ia mendengar Halaman 727 dari 727 orang-orang berbisik, '"Perempuan itu membawa kematian bagi semua yang menginginkan dirinya, dan kini dia akan membawa kematian pada suaminya, begitu pula dengan suami dan anak laki-laki kita." Tidak, Takeo ingin menjerit lantang. Tidak untuk diriku. Kaede tidak bisa membawa diriku pada kematian. Tapi ia takut kalau istrinya memang sudah melaku-kannya. Takeo berjalan melewati mereka tanpa terlihat. Di tepi parit besar ia meringkuk di bawah rumpun pohon willow yang menyebar di sepanjang tepi sungai. Pohon-pohon itu belum pernah ditebang: Yamagata tidak pernah terancam selama lebih dari enam belas tahun; pohon willow telah menjadi simbol kedamaian dan keindahan kota itu. Ia menunggu dengan cara Tribe dalam waktu yang lama, melambatkan napas dan detak jantungnya. Bulan sudah terbenam, kota sunyi senyap. Akhirnya Takeo mengambil napas sedalam-dalamnya, lalu menyehnap, tersembunyi oleh daun-daun willow, masuk ke sungai, berenang di bawah permukaan aimya. Diikutinya jalur yang pernah dilewatinya hampir separuh hidupnya yang silam, saat itu tujuannya adalah mengakhiri penderitaan kaum Hidden yang disiksa. Sudah bertahun-tahun lamanya sejak para tawanan digantung di dalam kerangkeng di sini; yang pasti masa masa menyedihkan itu takkan kembali? Namun kala itu ia masih muda, dan saat itu ia membawa besi pengait untuk menuruni dinding. Kini, dalam keadaan cacat, terluka, lelah, ia merasa bak seekor serangga cacat yang merayap dengan canggung menaiki bagian depan kastil. Takeo menyeberangi dinding sebelah luar yang kedua; di sini juga, para penjaga gugup dan gelisah, bingung sekaligus gembira karena bisa menguasai kastil dengan mudah. Didengarnya perang kecil yang berlangsung cepat dan dengan pertumpahan darah untuk merebutnya. Kekagetan mereka diwarnai dengan kekaguman pada kekejaman Kaede, kegembiraan mereka atas kebangkitan Klan Seishuu dengan mengorbankan Klan Otori. Pemikiran mereka yang plin-plan dan sempit membangkitkan amarahnya. Sewaktu memanjat turun memasuki dinding sebelah luar dan berlari dengan langkah ringan melewati jalan batu yang sempit ke taman kediaman, suasana hatinya terasa sengit dan putus asa. Dua penjaga lagi duduk di samping tungku bara kecil di salah satu ujung beranda, lentera menyala di kedua sisinya. Takeo melewati mereka begitu dekat hingga dilihatnya nyala api meliuk dan asapnya bergulung. Kedua penjaga itu terperanjat, lalu melihat ke gelapnya taman. Seekor burung hantu terbang rendah lewat, dan mereka menertawai ketakutan mereka sendiri. "Malam untuk hantu," kata salah sarunya dengan nada mengejek. Semua pintu terbuka, cahaya kecil samar-samar di sudut setiap ruangan. Bisa didengar-nya napas penghuninya yang sedang tidur. Aku mengenal napasnya, pikirnya. Dia tidur di sampingku selama malam-malam kebe-rsamaan kami. Takeo mengira sudah menemukan Kaede tidur di kamar yang besar, tapi saat berlutut di samping perempuan yang sedang tidur itu, disadarinya kalau itu Hana. Ia terpana dengan kebencian yang dirasakannya atas adik Kaede itu, namun kemudian meninggal-kannya dan terus berjalan. Udara terasa pengap di dalam rumah itu: tubuhnya masih basah karena berenang di sungai sebelumnya tapi tidak merasa kedinginan. Ia membungkuk di atas be-berapa perempuan yang tengah tertidur dan mendengarkan napas mereka. Tak satu pun dari mereka adalah Kaede. Saat itu puncak musim panas, kurang dari enam minggu dari waktu matahari berada pada jarak terjauh dari garis khatulistiwa. Matahari akan segera terbit. Ia tak bisa terus berada di sini. Satusatunya tujuannya adalah menemui Kaede: sekarang ia tidak bisa menemukannya sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Takeo kembali ke taman; saat itulah diperhatikannya bentuk samar bangunan terpisah yang tidak ia lihat sebelumnya. Berjalan ke arah bangunan itu, disadarinya kalau Halaman 728 dari 728 itu adalah paviliun yang dibangun di atas aliran sungai, dan di balik bunyi air sungai, dikenalinya napas Kaede. Di sini juga ditaruh lentera yang menyala, sinarnya sangat redup seolah minyaknya sudah hampir habis. Kaede duduk bersila, menatap ke kegelapan. Takeo tidak bisa melihat wajahnya. Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dibandingkan dengan saat menghadapi pertempuran mana pun. Ia membiarkan dirinya terlihat saat melangkah di lantai papan, dan berbisik, "Kaede. Ini Takeo." Tangan Kaede langsung bergerak ke samping, lalu mengeluarkan sebilah pisau kecil. "Aku datang bukan untuk menyakitimu," ujarnya. "Bagaimana kau bisa berpikir begitu?" "Kau tidak bisa menyakitiku lebih dari yang sudah kau lakukan," sahut Kaede. "Aku bisa saja membunuhmu, tapi aku percaya kalau hanya putramu yang bisa melaku-kannya!" Takeo diam membisu, memahami apa yang telah terjadi. "Siapa yang mengatakannya?" "Apa itu penting? Sepertinya semua orang sudah tahu kecuali aku." "Itu sudah lama berlalu. Kukira...." Kaede tidak membiarkan Takeo melanjut-kan. "Tindakannya mungkin sudah lama berlalu. Tapi kau menipuku tanpa henti. Kau membohongiku selama masa-masa kita ber-sama. Itulah yang tak kumaafkan." "Aku tidak ingin menyakitimu," ujar Takeo. "Bagaimana kau bisa menatap aku mengandung anakmu, senantiasa ketakutan kalau aku mungkin mengandung anak laki laki yang akan membunuhmu? Sementara aku merindukan anak laki-laki, kau berdoa untuk menghindarinya. Kau lebih suka melihatku dikutuk dengan si kembar, dan saat putramu lahir kau berharap dia mati. Bahkan mungkin kau yang mengatur kematiannya." "Tidak," sahut Takeo marah, "Aku takkan membunuh seorang anak pun, apalagi darah dagingku sendiri." Takeo berusaha bicara dengan lebih tenang, untuk menyelesaikan masalah. "Kematiannya adalah kehilangan besar-membuatmu melakukan semua ini." "Kejadian itu membuka mataku melihat siapa sebenarnya dirimu." Takeo melihat betapa besar amarah dan kesedihan di hadapannya. "Satu lagi kebohongan dalam hidup yang penuh dengan kebohongan," lanjut Kaede. "Kau tidak membunuh Iida; kau tidak dibesarkan sebagai ksatria; darahmu ternoda. Aku telah menyerahkan hidupku pada se-suatu yang kini kuanggap tak lebih hanya khayalan." "Aku tidak pernah berpura-pura padamu," sahutnya. "Aku tahu semua kegagalanku; sudah cukup sering aku membaginya denganmu." "Kau pura-pura bersikap terbuka sementara menyembunyikan banyak rahasia yang lebih buruk. Apa lagi yang kau rahasia-kan dariku? Berapa banyak perempuan lain? Berapa banyak anak laki- laki yang lain?" "Tidak ada. Aku bersumpah... hanya ada Muto Yuki, sewaktu aku mengira kau dan aku telah dipisahkan selamanya." "Dipisahkan?" ulangnya. "Tidak ada yang memisahkan kita, kecuali dirimu sendiri. Kau memilih untuk pergi: meninggalkan diriku, karena kau tidak ingin mati." Kata-kata ini sedikit banyak benar adanya hingga membuatnya merasa sangat malu. Halaman 729 dari 729 "Kau benar," ujarnya. "Waktu itu aku memang bodoh dan pengecut. Kumohon kau memaafkanku. Demi nasib seluruh negara ini. Kumohon untuk tidak meng-hancurkan semua yang telah kita bangun bersama." Takeo ingin menjelaskan bagaimana mereka telah menjaga negara ini dalam keselarasan, bagaimana keseimbangan itu jangan sampai hilang, namun tidak ada kata kata yang memperbaiki semua yang telah musnah. "Kaulah yang menghancurkannya," sahut Kaede. "Aku takkan memaafkanmu. Satu-satunya yang bisa menghilangkan pen-deritaanku adalah melihatmu mati." Kaede menambahkan dengan nada getir, "Satu hal terhormat yaitu mencabut nyawamu sendiri, tapi kau bukanlah ksatria dan takkan melakukannya, kan?" "Sesuai janjiku padamu, aku takkan melakukannya," sahut Takeo dengan nada lirih. "Aku membebaskanmu dari janji itu. Ini, ambil pisau ini! Habisi nyawamu, saat itulah baru aku bisa maafkan!" Kaede menyodorkan pisau itu ke arah Takeo, menatap langsung ke wajahnya. Takeo tak ingin menatapnya, takut istrinya terkena tatapan Kikuta. Ditatapnya pisau itu, tergoda untuk menggunakannya, dan menikam dirinya sendiri. Tak ada rasa sakit di tubuhnya yang akan terasa lebih sakit dibandingkan penderitaan yang menusuk jiwanya. Takeo berkata, berusaha mengendalikan diri, mendengarkan kata-katanya yang terdengar kaku dan formal seakan mereka tidak saling kenal, "Ada beberapa hal yang harus diatur terlebih dulu. Masa depan Shigeko harus dipastikan. Kaisar telah mengakui dirinya. Baiklah, ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, tapi mungkin aku takkan sempat melakukannya. Aku siap mengasingkan diri demi masa depan putri kita: aku yakin kau akan membuat kesepakatan yang sesuai dengan Zenko." "Kau takkan bertarung layaknya ksatria: kau takkan mati layaknya ksatria. Betapa hinanya kupandang dirimu di mataku! Kurasa kini kau akan menyelinap diam-diam, seperti layaknya penyihir, dan kau memang seperti itu." Kaede bangkit, seraya berteriak, "Penjaga! Tolong! Ada penyusup!" Gerakannya yang tiba-tiba membuat lentera padam. Paviliun seketika gelap gulita. Obor para penjaga bersinar redup di sela-sela pepohonan. Dari kejauhan Takeo mendengar ayam jantan berkokok. Katakata Kaede menyengat dirinya seperti pisau belati Kotaro yang beracun. Ia tak ingin ditemukan di sini seperti pencuri atau buronan. Tak sanggup menanggung rasa malu lebih jauh lagi. Takeo tak pernah begitu kesulitan menggunakan kemampuan menghilangnya. Konsentrasinya buyar: merasa seakan dirinya hancur berkeping-keping. Ia berlari ke dinding taman lalu memanjat ke atasnya, menyeberangi pelataran menuju dinding sebelah luar lalu merayap memanjatnya. Saat di puncak, bisa dilihatnya ke bawah tempat permukaan parit berkilauan hitam pekat bak cairan tinta. Langit semakin pucat di ufuk timur. Di belakangnya terdengar derap langkah kaki. Ia kehilangan kemampuan menghilang, mendengar keriat-keriut busur panah yang meregang, desing anak panah, dan setengah menyelam, setengah terjatuh ke dalam air; terjun dengan tiba-tiba membuat napasnya terputus dan telinganya berdengung kencang. Ia muncul ke permukaan, menghela napas, melihat anak panah di sebelahnya, men-dengar kecipak air lain di sekitarnya. Ia menyelam lagi lalu berenang menuju ke tepian, menarik dirinya untuk berlindung di bawah pepohonan willow. Takeo menghela napas beberapa kali, mengibaskan air dari tubuh bak seekor anjing, menghilang lagi lalu berlari melewati jalan-jalan menuju gerbang kota. Gerbang telah dibuka, dan orang-orang yang telah menunggu semalaman untuk meninggalkan kota, sudah berjalan melewatinya. Harta benda Halaman 730 dari 730 mereka terbungkus dalam buntalan di kayu panggul atau dimuat ke dalam kereta kecil yang ditarik dengan tangan, tatapan mata anak-anak mereka tampak serius dan kebingungan. Takeo merasa amat iba melihat keadaan mereka, sekali lagi berada di bawah kekuasaan para bangsawan. Di sela ke-sedihannya, ia berusaha mencari cara untuk menolong mereka, namun ia merasa hampa, yang terpikirkan olehnya hanyalah, semuanya telah berakhir. Di dalam benaknya dilihatnya taman di Terayama dan lukisan-lukisan yang tiada tandingannya, mendengar kata-kata Matsuda bergema selama ini. Kembalilah kepada kami saat semua ini telah berakhir. Akankah pernah berakhir? Kala itu ia bertanya. Semua yang memiliki permulaan pasti ada akhirnya, sahut Matsuda saat itu. Kini akhir dari segalanya telah tiba tanpa bisa dihindari; jaring tipis Surga telah menjerat dirinya, seakan pada akhirnya menjerat semua makhluk hidup. Semuanya telah berakhir. Ia akan kembali ke Terayama. Ditemukannya Gemba masih duduk bermeditasi di tepi hutan, kuda tengah makan rumput di sampingnya, surai mereka berbintik-bintik dengan butiran embun. Kedua kuda itu mengangkat kepala dan meringkik melihat kedatangannya. Gemba tidak bicara, hanya menatap Takeo dengan matanya yang cerdas dan penuh welas asih, kemudian berdiri dan memasang pelana, senantiasa bersenandung di balik napasnya. Bahu Takeo terasa sakit lagi dan dirasakannya demam menyerangnya. Matahari terbit, menghanguskan kabut saat mereka berjalan menyusuri jalanan sempit menuju kuil, jauh di tengah pegunungan. Ada semacam rasa ringan menyelimuti dirinya. Segalanya berangsur sirna di balik irama derap kaki kuda dan panasnya sinar matahari. Kesedihan, penyesalan, rasa malu semuanya berbaur menjadi satu. Diingatnya keadaan seakan dalam mimpi yang pernah dialaminya saat di Mino ketika pertama kali berhadapan dengan kekerasan penuh pertumpahan darah dari para ksatria. Kini nampak baginya kalau dirinya memang sudah mati pada saat itu dan hidupnya sama tidak nyatanya seperti kabut, mimpi tentang hasrat dan perjuangan yang terbakar habis bersama cahaya matahari yang cerah serta menyilaukan.* Shigeko melakukan perjalanan ke Inuyama dengan perlahan bersama banyak korban luka, termasuk kuda ayahnya, Tenba dan orang yang dicintainya. Kendati sebagian besar dari mereka dalam kondisi yang parah, Kahei telah memerintahkan mereka me-nunggu di dataran sementara pasukan utama kembali ke Inuyama. Kondisi jalan yang curam dan sempit, dan keadaan yang sudah sangat mendesak hingga mereka harus bergerak cepat. Ketika akhirnya jalan ber-angsur lebih lebar, Shigeko mengira kalau kuda itu dan kirin sudah pulih, dan Hiroshi akan meninggal: di siang hari ia meng-habiskan waktu untuk merawat mereka yang terluka bersama Mai. Di malam hari dibiar-kannya kelemahan dalam dirinya membuat tawar-menawar yang mustahil, karena Surga dan para dewa mengabulkan semua yang mereka inginkan kecuali menyelamatkan Hiroshi. Luka Shigeko pulih dengan cepat: ia berjalan selama beberapa hari pertama; tak masalah kalau ia berjalan terpincang-pincang karena mereka bergerak secara perlahan menuruni jalur pegunungan. Korban yang luka mengigau atau mengoceh karena demam, dan setiap pagi mereka harus me-ninggalkan orang yang meninggal di malam harinya. Betapa mengerikannya kemenangan dalam perang, pikirnya. Halaman 731 dari 731 Hiroshi berbaring tanpa mengeluh di tandu, terombang-ambing antara sadar dan tidak sadar. Setiap pagi Shigeko berharap menemukan tubuh pemuda itu kaku dan dingin, namun meski keadaannya tak kunjung membaik, Hiroshi belum mati. Pada hari ketiga, jalanan terasa lebih nyaman, lerengnya tak lagi terlalu curam dan mereka mulai melintasi jarak yang lebih jauh antara matahari terbit hingga matahari terbenam. Malam itu mereka beristirahat di desa pertama yang layak disinggahi. Tersedia seekor sapi jantan dan gerobak, dan Hiroshi dipindahkan ke atasnya pada keesokan hari-nya. Shigeko menaiki gerobak itu dan duduk di sampingnya, membasahi bibirnya dengan air serta melindungi wajahnya dari sinar matahari. Tenba dan kirin berjalan ber-dampingan, keduanya pincang. Tepat sebelum sampai di Inuyama, mereka bertemu Tabib Ishida dan iring-iringan kuda beban. Iringiringan itu membawa kertas halus dan kain sutra untuk membalut luka, begitu pula dengan tanaman obat-obatan dan salep. Dengan perawatannya, banyak dari mereka yang terluka bisa sembuh. Meskipun Ishida tidak menjanjikan apa-apa kepada Shigeko, dalam diri gadis itu muncul secercah harapan kalau Hiroshi mungkin termasuk di antara mereka yang bisa sembuh. Suasana hati Ishida murung, jelas kalau pikirannya ada di tempat lain. Saat sedang tidak sibuk merawat orang sakit, ia suka berjalan di samping kirin yang jalannya semakin melambat. Hewan itu nampak jelas tengah kesakitan: kotorannya hampir seperti cairan, dan tulang-tulangnya menonjol seperti benjolan. Namun kirin tetap lembut seperti biasa, dan kelihatannya senang ditemani Ishida. Shigeko mengetahui tentang kematian adik bungsunya dan ternyata ibunya kehilangan akal karena sedih; ia ingin sekali pulang ke Negara Tengah untuk menemani ayahnya. Juga sangat khawatir dengan si kembar. Ishida mengatakan pernah bertemu Miki di Hagi, tapi tidak ada yang tahu di mana Maya berada. Setelah satu minggu di Inuyama, Ishida juga mengatakan harus pergi ke Hofu karena tidak bisa berhenti memikir-kan istrinya, Shizuka. Namun mereka juga tidak mendapat kabar apa-apa, dan tanpa kabar sepertinya akan menjadi tindakan bodoh mengambil resiko untuk melanjutkan perjalanan: mereka tidak tahu siapa yang menguasai Hofu; di mana Zenko bersama pasukannya berada atau sudah seberapa jauh Kahei dalam perjalanan pulang. Lagipula, kirin tidak bisa berjalan lebih jauh lagi, begitu pula Hiroshi. Shigeko kembali kepada keputusannya untuk tetap di Inuyama sampai mendapat kabar dari ayahnya. Ia memohon pada Ishida untuk menemaninya dan membantunya merawat korban luka dan kirin, dan tabib itu dengan enggan menyetujui. Shigeko amat berterima kasih karena keberadaan Ishida sangat berarti baginya: Shigeko memaksa Ishida untuk menceritakan semua yang diketahuinya kepada Minora dan memastikan semua peristiwa, walaupun buruk, dicatat dengan baik. Bulan dari bulan kedelapan berada dalam bentuk seperempat sewaktu pembawa pesan akhirnya tiba, tapi baik mereka maupun surat yang mereka bawa bukanlah yang diharapkan Shigeko. Mereka datang naik kapal dari Akashi dan mengenakan lencana Saga Hideki di jubah, bersikap penuh hormat dan kerendahan hati serta meminta berbicara dengan Lady Maruyama. Shigeko terkejut: terakhir kali dilihatnya Lord Saga dibuat buta oleh panah-nya. Jika ia bisa menduga sesuatu datang dari laki-laki itu, maka tak lain adalah kapal perang. Untuk pertama kalinya selama ber-mingguminggu Shigeko baru menyadari bagaimana keadaan dirinya. Ia mandi dan mengeramasi rambut panjangnya, lalu meminjam jubah indah dari bibinya, Ai, karena semua benda miliknya sudah ditinggalkan dalam perjalanan pulang dari ibukota. Diterimanya para utusan itu di raang pertemuan kediaman kastil: mereka membawa banyak hadiah, dan surat yang ditulis sendiri oleh Saga Hideki. Shigeko menyambut mereka dengan sikap anggun, seraya menyembunyikan rasa malu-nya. "Kurasa Lord Saga sehat-sehat saja," tanyanya. Mereka meyakinkan dirinya kalau Saga sudah pulih dari luka yang dideritanya akibat perang; mata kirinya buta, tapi selain itu kesehatannya baik-baik saja. Shigeko memberi perintah untuk meng-hibur para utusan itu dengan upacara semewah mungkin. Kemudian ia meng-undurkan diri untuk membaca surat Lord Saga untuknya. Dia pasti mengancam, Halaman 732 dari 732 pikirnya, atau memberi hukuman yang setimpal. Namun ternyata isi surat itu agak berbeda, hangat dan penuh hormat. Saga menulis bahwa dia sangat menyesali serangannya atas Lord Otori: merasa bahwa satu-satunya strategi untuk hasil akhir yang memuaskan adalah menghapuskan ancaman dari Arai terhadap Otori; pernikahan antara dirinya dan Lady Maruyama bisa me-negaskan hal itu. Bila Shigeko setuju ditunangkan, maka ia akan segera menyebar pasukannya untuk bertempur bersama Lord Ototi beserta komandannya, Miyoshi Kahei. Saga tak menyebut tentang luka yang dideritanya: setelah selesai membaca surat itu, Shigeko merasakan, bersama dengan keheranan dan marah, sesuatu yang mirip dengan kekaguman. Disadarinya kalau Saga berharap mengambil alih kendali atas Tiga Negara, pertama dengan ancaman, kemudian dengan dalih, dan terakhir dengan kekerasan. Laki-laki itu sudah kalah dalam satu peperangan, namun belum menyerah: justru sebaliknya; dia menyiapkan serangan lain; tapi kemudian mengubah taktiknya. Shigeko kembali ke ruang pertemuan dan mengatakan kepada para tamunya bahwa dia akan menulis surat balasan kepada Lord Saga keesokan harinya. Setelah mereka beristirahat, Shigeko pergi ke ruangan tempat Hiroshi berbaring di dekat pintu-pintu yang terbuka, menghadap ke taman. Aroma dan suara malam musim panas memenuhi udara. Shigeko berlutut di sampingnya. Hiroshi terjaga. "Apakah kau kesakitan?" tanya Shigeko pelan. Hiroshi menggeleng pelan sekali, tapi Shigeko tahu kalau laki-laki itu berbohong; bisa dilihat betapa kurus badannya, kulitnya mengencang dan menguning di atas tulang-nya. "Ishida bilang kalau aku takkan mati, kali ini," ujar Hiroshi. "Tapi dia tidak bisa berjanji kalau aku bisa menggunakan kedua kakiku dengan baik lagi. Aku sangsi akan bisa menunggang kuda lagi, atau berguna dalam perang." "Kuharap kita tak perlu lagi berperang seperti itu," sahut Shigeko. Diraihnya tangan Hiroshi; meletakkan di dalam genggaman kedua tangannya. Tangan itu selemah dan sekering helaian daun di musim gugur. "Kau masih demam." "Hanya sedikit. Malam ini terasa panas." Tiba-tiba air mata mengambang di pelupuk mata Shigeko. "Aku takkan mati," kata Hiroshi lagi. "Jangan menangisi diriku. Aku akan kembali ke Terayama dan mengabdikan diriku sepenuhnya pada Ajaran Houou. Aku tak percaya kalau kita gagal: kita pasti telah melakukan kesalahan, melupakan sesuatu." Suaranya kian melemah, dan Shigeko bisa melihat kalau laki-laki itu sudah pergi ke dunia lain. Matanya terpejam. "Hiroshi," serunya ketakutan. Tangan Hiroshi bergerak lalu meng-genggam tangan Shigeko. Bisa dirasakannya tekanan jari pemuda itu; nadinya berdenyut, lemah namun teratur. Shigeko berkata, tidak tahu Hiroshi mendengarnya atau tidak, "Lord Saga menulis surat, menyarankan lagi kalau sebaiknya aku menikah dengannya." Hiroshi tersenyum tipis. "Tentu saja kau akan menikah dengannya." "Aku belum memutuskan," sahutnya. Shigeko duduk memegangi tangan Hiroshi semalaman, sementara pemuda itu terombang-ambing antara keadaan tidur dan terjaga. Dari waktu ke waktu mereka berbincang, tentang kuda dan masa kecil mereka di Hagi. Shigeko merasa sedang mengucapkan selamat tinggal pada Hiroshi; kalau mereka takkan berada sedekat ini lagi. Mereka berdua bak bintang yang beterbaran di langit, yang nampak saling berdekatan namun kemudian berayun terpisahkan oleh gerakan tak terelakkan dari surga. Sejak malam itu, lintasan nasib menjauhkan diri mereka dari satu dengan yang lainnya, meski mereka berdua tak akan berhenti merasakan kasih sayang yang tak kasat mata. Halaman 733 dari 733 Seakan menjawab tawar-menawar yang tak terucapkan dari mulut Shigeko, ternyata kirin yang mati. Ishida, dengan pikirannya yang sangat kacau, datang memberi-tahu Shigeko keesokan sorenya. "Tadinya sudah lebih baik," tuturnya. "Kukira hewan itu sudah melewati masa kritisnya. Tapi kemudian berbaring saat malam hari lalu tidak bangun lagi. Sungguh hewan yang malang. Aku berharap tidak pernah membawa nya kemari." "Aku harus melihatnya," ujar Shigeko, lalu pergi bersama Ishida ke istal di sisi mata air padang rumput, tempat dibangun sebuah kandang. Shigeko pun merasakan kesedihan menyelimuti dirinya melihat kematian hewan yang cantik serta lembut itu. Saat dilihatnya hewan itu, besar dan terbaring kaku tak bernyawa, mata dengan bulu mata panjang-nya tampak suram dan penuh debu. Shigeko merasakan firasat kuat dengan kejadian ini, "Inilah akhir dari segalanya," tuturnya pada Ishida. "Kirin muncul saat penguasa bersikap adil dan negara penuh damai: kematiannya berarti semuanya telah sirna." "Kirin hanyalah hewan biasa," sahut Ishida. "Luar biasa dan menakjubkan, tapi bukan berasal dari dongeng." Kendati demikian, Shigeko tak bisa menyingkirkan keyakinan kalau ayahnya sudah tiada. Disentuhnya kulit lembut kirin yang masih kelihatan berkilau, dan teringat kata-kata Saga. "Dia akan mendapatkan keinginannya," katanya dengan lantang. Diperintahkannya agar hewan itu dikuliti untuk diawetkan. Ia akan mengirimnya, bersama surat balasannya kepada Lord Saga. Shigeko kembali ke penginapan, meminta dibawakan atat tulis. Ketika pelayan kembali, Minoru datang bersama mereka. Selama beberapa hari terakhir Shigeko merasa kalau Minoru ingin bicara berdua saja dengannya tapi tak pernah ada kesempatan. Kini Minoru berlutut di hadapannya dan meng-haturkan sebuah gulungan kertas. "Ayahanda Lady Maruyama memerintah-kan aku untuk menaruh ini di tangan Lady Maruyama," katanya dengan suara pelan. Ketika Shigeko mengambilnya, Minoru membungkuk hormat sampai ke lantai di hadapannya, orang pertama yang meng-hormati dirinya sebagai penguasa Tiga Negara.* Dari Kubo Makoto, untuk Lady Otori. Aku ingin menceritakan kepadamu tentang hari-hari terakhir dalam hidup suamimu. Kala itu sudah hampir musim gugur di pegunungan di sini. Malam-malam terasa dingin. Dua malam yang lalu, aku mendengar suara burung hantu rajawali di pemakaman, tapi tadi malam sudah tidak ada. Burung itu sudah terbang ke selatan. Dedaunan mulai berganti warna: tak lama lagi kami akan melihat es pertama, lalu salju. Takeo datang ke biara kami bersama Miyoshi Gemba di awal bulan kedelapan; aku lega melihatnya masih hidup, karena kami sudah mendengar kehancu ran Hagi dan pasukan Zenko sudah sampai ke Yamagata. Menurutku jelas terlihat bahwa tidak ada serangan di Tiga Negara bisa berhasil saat Takeo masih hidup, dan aku tahu Zenko akan berusaha membunuhnya sesegera mungkin. Kala itu waktu tengah hari Takeo dan Gemba berkuda dari Yamagata. Hari itu Halaman 734 dari 734 cuaca terasa sangat panas; mereka tidak datang terburu-buru, tapi lebih dengan cara yang menyenangkan, seperti peziarah. Jelas sekali kalau mereka kelelahan, dan Takeo agak demam... tapi mereka tidak putus asa dan kelelahan layaknya buronan. Takeo mencerita-kan tentang pertemuannya denganmu di malam sebelumnya. Semuanya merupakan masalah antara suami dan istri, dan orang luar tidak bisa ikut campur. Yang bisa kukatakan hanyalah aku sangat menyesal, namun tidak terkejut. Cinta penuh hasrat tidak bisa hilang begitu saja, namun berubah menjadi hasrat yang lain, yaitu kebencian, kecemburuan serta kekecewaan. Perasaaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan tidak bisa diungkapkan dalam satu kata kecuali berbahaya. Aku sudah jelaskan berulangkali tentang perasaanku kepada Takeo. Kemudian kusadari bahwa kejadian kau diberitahu tentang rahasia itu adalah bagian dari rencana persekongkolan panjang untuk mengasingkan Takeo di biara, tempat kami semua bersumpah untuk tidak membunuh, serta tidak bersenjata. Memang, hal pertama yang dilakukan Takeo yaitu menyingkirkan Jato dari sabuk-nya. "Aku datang untuk melukis," tuturnya saat menyerahkan pedang itu kepadaku. "Kau pernah merawat pedang ini untukku. Sekarang aku meninggalkannya di sini sampai putriku, Shigeko, datang mengambilnya. Pedang ini diletakkan ke tangan Shigeko oleh Kaisar." Kemudian dia berkata, "Aku takkan mem-bunuh lagi. Belum aku begitu gembira seperti saat ini." Kami pergi bersama ke makam Lord Shigeru. Takeo menghabiskan sisa hari itu di sana. Biasanya banyak peziarah yang datang, tapi karena ada kabar bahwa perang maka tempat itu sepi. Setelah itu dia mengatakan tentang kekhawatirannya kalau rakyatnya akan mengira dia meninggalkan mereka, tapi mustahil baginya untuk berperang melawan-mu. Aku sendiri mengalami pergulatan batin terbesar yang pernah kualami sejak pertama kali bersumpah untuk takkan membunuh lagi Aku tak sanggup melihat kepasrahannya menerima kematian. Semua perasaaan manusiawi dalam diriku membuatku ingin mendesaknya untuk membela diri, untuk menghancurkan Zenko, dan harus kuakui, juga menghancurkan dirimu. Aku berjuang sekuat tenaga mengendalikan semua perasaan ini siang dan malam. Takeo sepertinya tidak mengalami per-gulatan batin dalam dirinya. Malah hampir kelihatan gembira, meski kutahu ia merasakan kesedihan yang amat dalam. Bersedih atas kematian putranya, dan tentu saja, perpisahan denganmu, namun dia telah menyerahkan kekuasaan pada Lady Shigeko dan membuang semua hasratnya. Sedikit demi sedikit campuran semua perasaan yang diperkuat ini melampaui kami semua yang ada di biara ini Semua yang kami lakukan, dari tugas biasa sehari-hari, sampai ke waktu sakral melantunkan doa dan meditasi seperti tersentuh oleh suatu kesada ran yang sangat mulia. Takeo mengabdikan dirinya untuk melukis; mempelajari dan membuat banyak sketsa burung. Di suatu hari sebelum kematiannya, dia menyelesaikan panel yang hilang di layar kasa kami. Kuha rap kau bisa melihatnya kelak. Burung-bu rung itu kelihatan begitu hidup hingga mengelabui kucingkucing di biara, dan kerap terlihat mengejar mereka. Setiap hari aku setengah be rha rap melihat burung-burung itu sudah terbang. Takeo juga merasa sangat terhibur dengan kehadi ran putrinya, Miki. Haruka membawa-nya dari Hagi "Aku tidak bisa memikirkan temp at lain yang bisa kami tuju," kata Haruka padaku. Kami saling mengenal, bertahun-tahun lalu ketika Takeo berjuang mati-matian setelah gempa dan pertarungan dengan Kotaro. Aku sangat menyukainya. Haruka banyak akal dan pandai, dan kami sangat berterima kasih kepadanya karena telah membawa Miki kemari. Perasaan Miki terguncang dengan semua peristiwa mengerikan yang disaksikannya, hingga membuatnya membisu. Ia membuntuti ayahnya seperti bayangan. Takeo menanyakan tentang saudara kembarnya, tapi Miki tidak tahu di mana Maya berada; dia tidak bisa berbicara dengan ayahnya selain dengan isyarat tangan. Halaman 735 dari 735 menatap keindahan dan ketenangan taman di luar. Haruskah diceritakannya pada Lady Otori tentang semua yang Takeo tahu tentang Maya dan kematian bayi laki-lakinya? Ataukah membiarkan kebenaran tetap menjadi rahasia yang dibawa ke alam baka? Diambilnya kuas lagi, tinta baru membuat huruf-hurufnya kelihatan tebal. Di pagi hari kematiannya, Takeo dan Miki berada di taman. Takeo sudah mulai melukis sebuah lukisan baru-lukisan kuda. Gemba dan aku baru saja keluar untuk bergabung dengan mereka. Waktu kira-kira menunjukkan setengah jam dari Waktu Kuda, seperempat kedua bulan kedelapan, cuaca sangat panas. Siraman derik jangkrik kedengaran lebih kuat dari biasanya. Ada dua jalan yang mengarah ke biara: jalan utama pertama dari penginapan menuju gerbang biara, dan yang kedua mengikuti aliran sungai, lebih banyak ditum-buhi tanaman dan lebih sempit, mengarah langsung ke taman. Melalui jalan inilah Kikuta masuk. Takeo mendengar lebih dulu kedatangan mereka dibandingkan yang lainnya, dan sepertinya langsung tahu siapa mereka. Aku belum pernah bertemu Akio, kendati aku tahu semua tentang dirinya, dan aku sudah tahu tentang anak itu selama bertahun-tahun lamanya, juga tentang ramalan itu. Aku minta maaf kalau aku mengetahuinya sedang kau tidak. Andai suamimu menceritakannya padamu bertahun-tahun yang lalu, tak diragukan lagi segalanya akan berbeda, namun dia memilih untuk tidak menceritakannya; dengan demikian kita membangun nasib kita sendiri. Aku melihat dua orang laki-laki berjalan cepat memasuki taman; di sisi laki-laki yang lebih muda melompat seekor kucing besar berbulu hitam, putih dan emas, kucing paling besar yang pernah kulihat. Sesaat kukira itu singa. Takeo berkata pelan, "Itu Akio; bawa Miki pergi." Tak satu pun dari kami bergerak, kecuali Miki, yang berdiri lalu bergerak men-dekati ayahnya. Pemuda itu memegang sepucuk senjata. Aku mengenali benda itu adalah senjata api, walau bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan senjata yang digunakan Otori, dan Akio memegang seperiuk arang yang berasap. Aku teringat dengan bau asap itu dan bentuknya yang lurus menjulang di udara yang tenang. Takeo menatap pemuda itu. Kusadari kalau itu adalah putranya-saat itu pertama kalinya ayah dan anak saling memandang. Mereka tidak terlalu mirip, namun tetap ada kemiripannya; warna rambut dan kulit mereka. Takeo benar-benar tenang, dan sikapnya membuat pemuda itu terpaku-Hisao, begitu dia dipanggil, walau kurasa kami akan mengganti namanya. Akio berteriak pada nya. "Lakukan! Lakukan!" Tapi Hisao seperti membeku. Perlahan ditaruh tangannya di atas kepala kucing itu, lalu mendongak seakan ada orang yang sedang bicara dengannya. Bulu kudukku berdiri. Aku tidak melihat apa- apa, tapi Gemba bilang, "Aku bisa merasakan kehadi ran arwah orang mati ada di sini" Hisao berkata kepada Takeo, "Ibuku bitang kalau kau adalah ayahku." Takeo menjawab, "Aku memang ayahmu." Akio terus berteriak, "Dia bohong. Akulah ayahmu. Bunuh dia! Bunuh dia!" Takeo berkata, "Aku memohon agar ibumu memaafkan aku dan kau juga." Hisao tertawa tak percaya. "Aku membenci-mu seumur hidupku!" Akio memekik, "Dia adalah Si Anjing-dia harus membayar kematian Kikuta Kotaro dan banyak lagi nyawa dari kalangan Tribe." Hisao menaikkan senjata api itu. Takeo bicara dengan jelas, "Jangan coba halangi dia; jangan sakiti dia." Tiba-tiba taman dipenuhi dengan burung, berbulu emas; cahaya matahari menyilaukan, Hisao menjerit, "Aku tak bisa melakukannya. Ibu tidak membiarkanku melakukannya," Halaman 736 dari 736 Beberapa peristiwa terjadi di waktu bersamaan. Gemba dan aku berusaha menyatukan kepingankepingannya tapi kami berdua melihatnya dengan panda ngan yang agak berbeda. Akio merampas senjata api itu dari Hisao, lalu mendorongnya ke samping. Kucing itu melompat menyerang Akio, membenamkan cakarnya di wajah laki-laki itu. Miki berteriak, "Maya!" Kemudian terjadi kitatan dan ledakan yang memekakkan telinga, aroma daging dan bulu yang terbakar. Senjata itu ternyata salah tembak, dan entah mengapa meledak. Tangan Akio terbakar, lalu tak lama kemudian mati kehabisan darah. Hisao terpaku, dan mengalami luka bakar di wajahnya, tapi selain itu dia tidak terluka. Kucing itu sekarat. Miki berlari menghampiri, menyebut-nyebut nama saudara kembarnya; aku belum pernah melihat pemandangan yang begitu mencengangkan: Miki nampak berubah menjadi sebilah pedang. Cahaya yang terpantul darinya membutakan mata kami. Gemba dan aku merasakan kalau ada sesuatu yang ditebas. Kucing itu berubah wujud saat Miki meng-hempaskan tubuh menimpanya, dan ketika kami bisa melihat lagi, Miki tengah memeluk saudara kembamya yang sudah mati. Kami percaya kalau ternyata Miki menyelamatkan Maya dari menjadi roh kucing untuk selamanya, dan kami berdoa agar kelahiran kembali Maya terjadi dalam kehidupan yang lebih baik, tempat orang kembar tidak dibenci dan ditakuti. Takeo berlari menghampiri mereka berdua, lalu memeluk keduanya. Tatapan matanya bersinar, bak permata. Kemudian dia meng-hampiri Hisao dan membantunya berdiri lalu memeluknya, atau yang tadinya kami kira begitu. Tapi sebenarnya dia sedang mencari-cari senjata rahasia Tribe di balik pakaian pemuda itu. Dia menemukan yang dicarinya, menariknya lalu mencengkeramkan tangan pemuda itu pada pegangannya. Dia tak ber-henti menatap pemuda itu selagi mengarahkan pisaunya ke perutnya sendiri, menyayat dan memutarnya. Mata Hisao berkaca-kaca dan ketika Takeo melepaskan tangannya dan mulai terhuyung-huyung, kaki Hisao juga tertekuk sewaktu terjatuh terkena tatapan tidur Kikuta. Takeo jatuh berlutut, di sebelah putranya yang tertidur. Kematian tak bisa dicegah akibat dari luka di perutnya, mengerikan dan menyakitkan. Aku berkata kepada Gemba, "Ambil Jato, " dan ketika dia kembali membawa Jato, aku membantu pedang itu melaksakanan tugas terakhirnya bagi tuannya. Aku takut kalau aku akan mengecewakannya namun pedang itu memahami kegunaannya sendiri dan melompat dari tanganku. Udara penuh dengan burung memekik ketakutan, dan bulu emas dan putih beterbangan ke tanah, menutupi genangan darah yang mengalir dari tubuhnya. Itulah terakhir kalinya kami melihat burung houou. Mereka telah meninggalkan hutan. Siapa yang tahu kapan mereka akan kembali? Pada bagian ini, dia merasa kesedihan meliputi dirinya lagi. Sejenak dibiarkannya perasaan itu menguasai dirinya, meng-hormati kematian sahabatnya dengan air mata. Tapi ada satu lagi yang harus ditulis. Ia mengangkat kuas lagi. *** Dua dari anak Takeo tinggal bersama kami Kami akan merawat Hisao di sini. Gemba percaya bahwa dari kejahatan yang sedemikian kejinya bisa lahir sebuah jiwa yang besar. Kita lihat saja nanti. Gemba mengajaknya masuk ke dalam hutan; anak itu tertarik pada hewan liar dan pemahaman yang mendalam tentang mereka. Dia sudah mulai membuat ukiran-uki ran berbentuk hewan itu, yang kami anggap sebagai pertanda baik. Kami rasa Miki membutuhkan kehadi ran ibunya bila ingin memulihkan semua kesedihannya, dan aku memintamu untuk memanggilnya. Haruka bisa mengantarnya kepadamu. Dalam diri Miki sudah terdapat jiwa yang besar, namun dia sangat rapuh. Dia membutuhkan dirimu. Makoto menatap ke arah taman lagi dan melihat Miki sedang termangu: dia begitu kurus hingga mirip hantu. Miki sering meng-habiskan waktu di sana, tempat ayah dan saudara kembamya meninggal. Makoto menggulung suratnya lalu menaruhnya bersama dengan surat yang lainnya yang ditulisnya untuk Kaede. Ia mengulang kisah itu berkali-kali, dengan banyak selingan. Kadang mengungkapkan Halaman 737 dari 737 rahasia Maya, kadang menggunakan kata-kata bijak Takeo tentang perpisahan, untuk Kaede, untuk dirinya sendiri. Versi surat yang jujur tanpa hiasan kata-kata ini dirasakannya hampir mendekati yang sebenarnya. Kendati demikian, ia tak bisa mengirimkannya karena tidak tahu di mana Kaede berada, atau apakah dia masih hidup atau sudah mati.* Daun-daun telah berguguran; pepohonan telah telanjang; burung-burung yang terakhir bermigrasi telah melintasi langit dalam barisan panjang bak goresan kuas ketika Kaede datang ke Terayama saat bulan purnama dari bulan kesebelas. Kaede mengajak kedua anak laki-laki, keponakannya, Sunaomi dan Chikara. "Aku senang bertemu dengan Sunaomi di sini," ujar Gemba saat keluar menyambut mereka. Dia sudah pernah bertemu Sunaomi tahun lalu, ketika bocah itu melihat burung houou. "Merupakan keinginan suamimu bila anak ini ikut dengan kami." "Mereka tidak tahu lagi harus pergi ke mana," sahut Kaede. Dia tak ingin berkata lebih banyak lagi di hadapan mereka berdua. "Ikutlah bersama Lord Gemba," desaknya pada mereka. "Lord Gemba akan menunjuk-kan tempat tinggal kalian." "Putrimu sedang ke hutan bersama Haruka untuk mencari jamur." ujar Gemba. "Putriku ada di sini?" tanya Kaede. Dia merasa hampir pingsan, lalu bertanya dengan tersendatsendat, "Putriku yang mana?" "Miki," sahut Gemba. "Lady Otori, mari masuk dan silakan duduk. Kau telah melalui perjalanan panjang; hari ini cuaca dingin. Aku akan memanggil Makoto dan dia akan menceritakan semuanya kepadamu." Kaede menyadari kalau ia berada di ambang kehancuran. Selama berminggu-minggu merasakan kalau dirinya sudah mati rasa diterpa kesedihan serta keputusasaan. Ia telah mundur memasuki keadaan dingin membeku seperti es, seperti yang pernah dialaminya ketika masih muda dan kesepian. Di tempat ini segalanya mengingatkan dirinya pada Takeo dengan ingatan sebening kaca. Tanpa sadar ia berkhayal kalau Takeo berada di sini, walau sudah mendengar tentang kabar kematiannya. Kini dilihatnya betapa bodohnya khayalan itu: Takeo tidak ada di sini; dia telah tiada, dan ia takkan berjumpa lagi dengannya. Genta biara berdentang, dan Kaede men-dengar langkah kaki di seberang lantai papan. Gemba berkata, "Mari ke aula. Aku akan minta diambilkan tungku bara, juga teh. Kau tampak kedinginan." Kebaikan Gemba membuat air matanya berlinang. Chikara juga mulai terisak. Sunaomi bicara, berusaha menahan tangis, "Jangan menangis, adikku. Kita harus ber-sikap berani." "Mari," ajak Gemba. "Kami akan ambil-kan makanan untuk kalian, dan Kepala Biara kami akan bicara dengan Lady Otori." Mereka berdiri di lorong biara di pelataran utama. Kaede melihat Makoto datang dari arah yang berlawanan, hampir berlari melintasi jalan beraspal di sela pepohonan ceri yang gundul. Kaede tak sanggup melihat ekspresi di wajah Makoto. Ditutupi wajahnya dengan lengan bajunya. Makoto meraih tangan Kaede yang satunya dan menopang tubuhnya, saat menuntunnya dengan penuh kelembutan menuju ke aula tempat lukisan-lukisan Sesshu disimpan. Halaman 738 dari 738 "Mari duduk di sini sebentar," ujarnya. Hembusan napas mereka terlihat putih. Seorang biarawan datang membawa tungku bara, dan tak lama setelah itu kembali membawa teh, namun tak satu pun dari keduanya meminumnya. Berusaha untuk bicara, Kaede berkata, "Aku harus menceritakan tentang kedua bocah itu kepadamu. Zenko dikepung dan dikalahkan oleh Saga Hideki dan Miyoshi Kahei sebulan lalu. Putri sulungku, Shigeko, ditunangkan dengan Lord Saga. Mereka akan menikah pada Tahun Baru. Tiga Negara diambil alih oleh Saga, dan akan disatukan dengan sisa wilayah Delapan Pulau di bawah Kaisar. Takeo meninggalkan surat wasiat yang menyatakan persyaratannya dan Saga menyetujui semuanya. Shigeko akan memerintah Tiga Negara dengan derajat yang sama dengan Saga. Maruyama akan diwariskan kepada pewaris keturunan perempuan darinya, dan Saga telah berjanji takkan ada perubahan dalam cara kami memerintah." Sesaat Kaede diam membisu. "Itu hasil akhir yang baik," ujar Makoto lembut. "Tujuan Takeo akan tetap diper-tahankan dan itu berarti berakhirnya peperangan." "Zenko dan Hana diperintahkan bunuh diri," lanjut Kaede. Membicarakan masalah ini agak membantunya untuk mengendalikan diri. "Sebelum mati, adikku membunuh putra bungsunya daripada meninggalkannya. Tapi aku berhasil membujuk Lord Saga, melalui putriku, untuk membiarkan Sunaomi dan Chikara tetap hidup, dengan syarat mereka dibesarkan di sini. Saga adalah orang yang kejam dan pragmatis: mereka akan selamat selama tidak ada orang yang mencoba memanfaatkan mereka sebagai pemimpin. Saga akan membunuh mereka bila melihat ada tandatanda akan hal itu. Tentu saja, mereka akan kehilangan nama keluarganya: Klan Arai harus dihancurkan. Orang-orang asing diusir dan agama mereka dihancurkan. Kurasa kaum Hidden akan bersembunyi lagi." Kaede tengah memikirkan Madaren, adik Takeo. Apa yang akan terjadi padanya? Apakah Don Joao mengajaknya ikut bersamanya? Atau malah akan ditinggalkan lagi? "Tentu saja kedua anak itu disambut baik di sini," ujar Makoto. Setelah itu, keduanya diam membisu. Akhirnya Kaede angkat bicara, "Lord Makoto, aku ingin meminta maaf padamu. Aku selalu merasa tidak suka, bahkan bersikap tidak ramah padamu, namun kini, dari semua orang yang ada di dunia ini, hanya kaulah orang yang kuinginkan untuk menemaniku. Bolehkah aku juga tinggal di sini untuk beberapa waktu?" "Kau dapat tinggal selama yang kau inginkan. Kehadiranmu bisa menghiburku," sahutnya. "Kita berdua mencintainya." Kaede melihat air mata mengambang di pelupuk mata Makoto. Lalu Makoto meraih sesuatu dari belakangnya dan mengeluarkan segulung kertas dari kotak di lantai, "Aku berusaha menulis semua yang telah terjadi dengan sejujur-jujurnya. Bacalah saat kau sudah merasa mampu melakukannya." "Aku harus membacanya sekarang," ujar Kaede, harinya berdebar kencang. "Maukah kau menemani saat aku membacanya?" Setelah selesai baca, ditaruhnya gulungan kertas itu dan melihat keluar ke arah taman. "Dia duduk di sini?" Makoto mengangguk. "Dan ini layar kasanya?" Kaede berdiri lalu melangkah mendekati. Burung-burung gereja itu menatapnya dengan sinar mata yang bercahaya. Diulurkan tangannya untuk menyentuh permukaan lukisan itu. Halaman 739 dari 739 "Aku tak bisa hidup tanpa dirinya," tiba-tiba Kaede bicara. "Diriku dipenuhi rasa ber-salah dan menyesal. Aku mengusirnya hingga jatuh ke tangan para pembunuhnya. Aku takkan sanggup memaafkan diriku." "Tak seorang pun dapat menghindari nasib," bisik Makoto. Kepala biara itu berdiri dan menghampiri Kaede hingga mereka saling berhadapan. "Aku juga merasa tak akan bisa terlepas dari kesedihanku, tapi aku berusaha dan menghibur diri dengan mengetahui bahwa Takeo mati dengan cara yang sama ketika dia hidup: tanpa rasa takut dan tetap welas asih. Dia menerima kalau waktunya telah tiba, dan meninggal dengan penuh ketenangan. Dimakamkan seperti keinginannya, di samping makam Shigeru. Dan seperti Shigeru, dia tidak akan terlupakan. Terlebih lagi, dia meninggalkan anak-anaknya, dua putri dan seorang putra." Kaede berpikir, aku tak siap untuk menerima kehadiran putranya. Akankah aku siap menerimanya? Dalam hatiku, yang bisa kurasakan hanyalah kebencian kepadanya dan kecemburuan pada ibunya. Seka rang Takeo berada bersama Yuki. Akankah mereka bersama dalam semua kehidupan masa datang mereka, akankah aku bisa berjumpa lagi dengannya? Apakah jiwa kami akan terpisahkan untuk selamanya? "Putranya mengatakan bahwa para arwah kini sudah beristirahat dengan tenang," lanjut Makoto. "Arwah ibunya telah meng-hantui seumur hidupnya, tapi kini dia telah terbebas darinya. Kami rasa dia adalah seorang shaman. Bila penyimpangan dalam dirinya bisa diluruskan, maka dia bisa men-jadi sumber kearifan dan karunia." "Maukah kau tunjukkan tempat suamiku meninggal?" bisik Kaede. Makoto mengangguk dan melangkah keluar ke beranda. Kaede memakai sandal. Sinar matahari kian meredup; taman kehilangan semua warnanya, tapi di atas batu-batu tempat Takeo meninggal ada percikan darah, mengering hingga berwarna kecoklatan. Kaede membayangkan kejadian-nya, tangan Takeo memegang pisau itu, bilahnya menembus tubuhnya, darah ter-pancar dari tubuhnya. Kaede terpuruk di atas tanah, menangis hingga tubuhnya terguncang. Aku akan melakukan hal yang sama, pikirnya. Aku tak tahan menanggung beban derita ini. Diraba pisau miliknya, pisau yang selalu ada di balik jubahnya. Sudah berapa kali ia berencana mencabut nyawanya sendiri? Di Inuyama, di rumahnya di Shirakawa, kemudian berjanji kepada Takeo untuk tidak menghabisi nyawanya sendiri sampai Takeo mati lebih dulu. Diingatnya dengan hati pedih kata-kata yang ia ucapkan pada Takeo. Ia memaksa suaminya untuk menghabisi nyawanya sendiri, dan dia telah melakukan-nya. Kini ia akan melakukan hal yang sama. Dirasakannya sebersit kebahagiaan. Jiwa dan raganya akan mengikuti suaminya. Aku harus melakukan dengan cepat, pikirnya. Jangan sampai Makoto menghalangi. Tapi bukan Makoto yang membuat pisau itu terjatuh dari tangannya; tapi teriakan seorang gadis dari aula yang mencegahnya, "Ibu!" Miki berlari ke taman, telanjang kaki, rambutnya tergerai. "Ibu! Ibu sudah datang!" Kaede melihat dengan terkejut betapa saat ini Miki sangat mirip Takeo, lalu melihat dirinya sendiri dalam diri putrinya, di usia itu, di ambang kedewasaan. Dulu ia adalah sandera, sendirian dan tidak terlindung: sepanjang masa remajanya, ibunya tidak berada di sampingnya. Dilihatnya kesedihan Miki dan berpikir, Aku tidak bisa menambah kesedihannya. Teringat olehnya kalau Miki telah kehilangan saudara kembarnya dan air matanya berlinang lagi menangisi Maya, menangisi anaknya. Aku harus hidup demi Miki, dan demi Sunaomi juga Chikara. Dan tentu saja, demi Shigeko, dan bahkan demi Hisao, atau apa pun namanya: demi semua anak Takeo, demi semua anak kami. Diangkatnya pisau itu lalu dilempamya jauh-jauh, kemudian membentangkan kedua tangannya untuk memeluk putrinya. Halaman 740 dari 740 Sekawanan burung gereja hinggap di bebatuan dan rerumputan di sekiiar mereka, memenuhi udara dengan kicauannya. Kemudian seolah ada sinyal dari kejauhan, burung-burung itu naik bersamaan lalu terbang jauh memasuki hutan. *** TAMAT UCAPAN TKRIMA KASIH Saya ingin berterima kasih kepada: Asialink atas beasiswa yang memungkinkan saya pergi ke Jepang selama dua belas minggu di tahun 1999-2000; Australian Council dan Department Luar Negeri dan Perdagangan yang telah mendukung program Asialink; Kedutaan Besar Australia di Tokyo; Akiyoshidai International Arts Village, Yamaguchi Prefecture, yang telah mensponsori saya selama masa tersebut; ArtsSA, the South Australian Department for the Arts, yang telah memberi kesempatan saya untuk menulis; Urinko Gekidan di Nagoya karena telah mengajak saya untuk bekerja dengan mereka di tahun 2003. Suami dan anak-anak saya yang telah menyokong dan menyemangati saya dengan berbagai cara, Di Jepang, Kimura Miyo, Mogi Masaru, Mogi Akiko, Tokuriki Masako, Tokuriki Miki, Santo Yuko, Mark Brachmann, Maxine McArthur, Kori Manami, Yamaguchi Hiroi, Hosokawa Fumimasa, Imahori Goro, Imahori Yoko, dan orang-orang lainnya yang telah membantu dengan riset dan memandu. Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net Sumber Pdf: syauqy_arr@yahoo.co.id